Pengaruh Tingkat Kecemasan Pasien Ggk Terhadap Hemodialisa.docx

  • Uploaded by: Crisandila Mangundap
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pengaruh Tingkat Kecemasan Pasien Ggk Terhadap Hemodialisa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,946
  • Pages: 30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal

Ginjal

Kronik

adalah

kegagalan

fungsi

ginjal

untuk

mempertahankan metabolisme dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik dalam darah (Muttawin & Sari, 2011). Nursalam (2006) menyebutkan bahwa gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang ditandai dengan uremia dimana urea dan limbah nitrogen beredar dalam darah yang mengakibatkan komplikasi jika tidak dilakukan dialisis atau tranplantasi ginjal. Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) saat ini menjadi masalah besar karena termasuk penyakit yang sulit disembuhkan. Gagal ginjal bersifat irreversible sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap. Tanpa terapi penggantian ginjal, kematian akibat kelainan metabolik dapat terjadi dengan cepat (Wahyuni et al, 2014). Penderita GGK terus meningkat setiap tahunnya, berdasarkan Center for Disease Control and Preventation prevalensi GGK di Amerika Serikat pada tahun 2012 lebih dari 10% atau lebih dari 20 juta orang (Alfiannur, Nauli & Dewi, 2015). Data yang dirilis oleh Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter, di Indonesia didapatkan gagal ginjal kronik sebesar 0,2% dan penyakit batu ginjal sebesar 0,6% dari seluruh penyakit yang tidak menular. Prevalensi tertinggi Sulawesi Tengah sebesar 0,5% dan DI Yogyakarta sebesar 0,3%. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di

1

Sulawesi Utara sebesar 0,3% dan prevalensi gagal ginjal kronik di Kota Tomohon sebesar 0,3%. Saat ini, hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya terus meningkat. Hemodialisis adalah metode terapi dialisis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan atau limbah dari dalam tubuh saat ginjal sudah tidak mampu melaksanakan fungsinya (Muttaqin, & Sari, 2011). Hemodialisis dapat memperpanjang usia, namun tindakan ini tidak akan bisa mengembalikan fungsi ginjal (Wahyuni, et al, 2014). Hemodialisis digunkan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien dengan penyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat (Nursalam, 2006). Pasien gagal ginjal kronik harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya, biasanya tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per 1 kali terapi, atau sampai mendapat ginjal baru melalui transplantasi ginjal (Muttaqin, & Sari, 2011). Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis akan mengalami kecemasan yang disebabkan oleh berbagai stressor, diantaranya pengalaman nyeri pada daerah penusukan saat memulai hemodialisis, masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan masalah pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang, depresi atau penyakit kronis serta ketakutan terhadap kematian (Brunner, & Suddarth, 2014). Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan mengatasi ancaman (Kaplan, et al., dalam Tokala, et al., 2015). Menurut Kusumawati & Hartono (2011) menyebutkan cemas adalah emosi

2

dan pengalaman subyektif dari seseorang yang membuat dirinya tidak nyaman. Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan maka perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders (Luna et al, 2012) Hasil penelitian yang dilakukan Luna, et al (2012) sebagian besar penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa diketahui 47,5% mengalami kecemasan ringan sedangkan 3,75% tidak mengalami kecemasan dan sisanya mengalami kecemasan sedang hingga sangat berat. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Tanvir (2013) dengan hasil 42,69% yang mengalami gangguan kecemasan dari 47,36% pasien yang mengalami kecemasan ringan, 28,94% mengalami kecemasan sedang dan 23,68% mengalami kecemasan yang parah. Penelitian ini juga pernah diangkat sebagai topik penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Jangkup, Elim, & Kandou (2015), pada penelitian ini meneliti tingkat kecemasan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialysis di BLU RSUD Prof. Dr. R. D Kandou Manado. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode survei. Sampel penelitian ialah penderita penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Ruangan Melati BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dengan 40 responden dan dapat disimpulkan bahwa semua pasien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis mengalami kecemasan umumnya pada kategori cemas sedang.

3

Cukor et al (2008) dalam Patimah, Suryani, & Nuraeni (2015) menjelaskan bahwa jika kecemasan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan beberapa dampak diantaranya seseorang cenderung mempunyai penilaian negatif tentang makna hidup, perubahan emosional seperti depresi kronis serta gangguan psikosa. Kecemasan seseorang dapat diukur dengan menggunakan beberapa instrumen antara lain Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), Analog Anxiety Scale, Zung Self Rating Anxiety Scale (ZSAS) dan Trait Anxiety Inventory Form Z-1 (STAI Form Z-I) (Kaplan & Saddock,1998). Dari beberapa kuisioner tersebut, Zung Self Rating Anxiety Scale merupakan instrumen yang dirancang untuk meneliti tingkat kecemasan secara kuantitatif yang biasanya digunakan pada pasien dewasa. Instrumen ZSAS dikembangkan oleh William W.K Zung (1997). Batasan keadaan kecemasan adalah suatu pengalaman manusia yang berbentuk respon emosional yang tidak menyenangkan, ditandai oleh perasaan takut dan khawatir terhadap ancaman bahaya yang tidak teridentifikasi, disertai gejala-gejala fisik yang disebabkan oleh rangsangan sistem saraf simpatik. Berdasarkan analisis statistik, ZSAS mampu membedakan dengan jelas penderita kecemasan dengan diagnosa lain dan juga hubungan antara setiap pertanyaan dengan total skor yang didapat adalah bermakna. Sehingga peneliti akan melihat tingkat kecemasan pasien yang menjalani hemodialisis di RSU GMIM Bethesda Tomohon dengan menggunakan kuisioner ZSAS (Kaplan, & Saddock. 1998). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 18 Febuari 2019 di ruang hemodialisa RSU GMIM Bethesda Tomohon, diperoleh data jumlah

4

pasien yang melakukan tindakan hemodialisis berjumlah 81 orang dimana rata-rata melakukan hemodialisis sebanyak 2 kali seminggu. Dari hasil wawancara dengan 8 pasien, 2 pasien yang sudah menjalani hemodialisis antara 2-5 tahun mengatakan sudah tidak takut saat melakukan tindakan hemodialisis, 5 pasien dengan lama tindakan hemodialisis antara 1-2 tahun mengatakan merasa takut tentang keadaan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh dan harus melakukan tindakan hemodialisis secara terus menerus seumur hidupnya. Sedangkan 1 pasien merasa takut dan khawatir dengan tindakan hemodialisis karena baru melakukan tindakan hemodialisis sebanyak 3 kali. Intervensi yang dilakukan oleh perawat untuk menangani cemas adalah memberikan penjelasan tentang penyakit gagal ginjal kronik dan pentingnya menjalani terapi hemodialisis untuk memperpanjang usia pasien. (Data Instalasi Dialisis RSU GMIM Bethesda Tomohon, 2019). Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti gambaran tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa di ruangan hemodialisa RSU GMIM Bethesda Tomohon. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa di ruangan hemodialisa RSU GMIM Bethesda Tomohon?” C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah gambaran tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa?

5

2. Bagaimanakah karakteristik pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa? D. Hipotesis Penelitian Terdapat hubungan antara tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa. E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan pasien dengan gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa di Ruangan Hemodialisa RSU GMIM Bethesda Tomohon tahun 2019. 2. Tujuan Khusus a. Diketahui gambaran tingkat kecemasan pasien dengan gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa di Ruangan Hemodialisa RSU GMIM Bethesda Tomohon tahun 2019. b. Diketahui karakteristik pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. F. Manfaat Penelitian 1. Bagi institusi rumah sakit Untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik mengenai kecemasan terhadap hemodialisa. 2. Bagi institusi Akademi Keperawatan Bethesda Tomohon Dapat menjadi bacaan untuk menunjang proses belajar dan sekaligus masukan untuk pemberian pelayanan keperawatan yang profesional 6

mengenai kecemasan pasien dengan gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa. 3. Bagi penulis Menambah pengetahuan dan meningkatkan pola pikir/kerja penulis yang logis, ilmiah, sistematis, dan terorganisir dalam pemberian pelayanan, asuhan keperawatan dengan memperoleh pengalaman yang nyata, dalam melakukan penelitian mengenai kecemasan pasien dengan gagal ginjal kronik terhadap hemodialisa di Ruangan Hemodialisa RSU GMIM Bethesda Tomohon.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kecemasan a. Definisi Kecemasan adalah perasaan yang tidak jelas tentang keprihatinan dan khawatir karena ancaman pada sistem nilai atau pola

keamanan

seseorang.

Individu

mungkin

dapat

mengidentifikasi situasi, tetapi pada kenyataannya ancaman terhadap diri berkaitan dengan khawatir dan keprihatinan yang terlibat didalam situasi. Situasi tersebut adalah sumber dari ancaman, akan tetapi bukan ancaman itu sendiri (Janiwarty dan Pieter, 2013). Kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang kita alami dalam tigkat yang berbeda (Maimunah, 2011). Kecemasan disebut juga dengan ansietas, yaitu merupakan bagian dari respons emosional yang menggambarkan rasa kecemasan, khawatir, gelisah dan tidak tentram disertai dengan gejala fisik dalam merespon terhadap penilaian individu yang subjektif yang keadaannya dipengaruhi alam bawah sadar (Janiwarty dan Pieter, 2013).

8

b. Penyebab kecemasan Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu dan sebagian besar tergantunga pada seluruh pengalaman hidup seseorang.

Peristiwaperistiwa

atau

situasi

khusus

dapat

mempercepat munculnya serangan kecemasan. Menurut Savitri Ramaiah (2003:11) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi kecemasan, diantaranya yaitu : 1) Lingkungan Lingkungan

atau

sekitar

tempat

tinggal

mempengaruhi cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Sehingga individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya. 2) Emosi yang ditekan Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal ini, terutama c. Gejala kecemasan Keluhan-keluhan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan diantaranya cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan

9

banyak

orang,

gangguan

pola

tidur,

mimpi-mimpi

yang

menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhankeluhan somatic, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran

berdenging

(tinnitus),

sesak

nafas,

gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala (Hawari, 2008). Sue dkk dalam purba dkk (2008), menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan terwujud dalam empat hal, antara lain : 1) Manifestasi kongnitif, yang terwujud dalam pikiran sesorang, sering kali memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi. 2) Prilaku motorik, kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti gemetar. 3) Perubahan somatic, muncul dalam keadaan mulut kering, tangan dan kaki dingin, diare, sering BAK, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan lain-lain. Hampir semua penderita kecemasan menenjukkan peningkatan detak jantung, respirasi, ketegangan otot dan tekanan darah. 4) Afektif, diwujudkan dalam perasaan gelisah dan perasaan tegang yang berlebihan. d. Tingkat kecemasan Menurut Stuart (2008), cemas juga disebut dengan aansietas. Setiap tingkatan kecemasan memiliki lahan presepsi yang berbeda pada setiap individu tergantung pada kemampuan indivudu dalam

10

menerima informasi dan pengetahuan mengenai kondisi yang ada dalam dirinya maupun lingkungannya. Tingkat kecemasan adalah sebagai berikut : 1) Ansietas ringan, cemas yang berhubungan dengan ketengangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan presepsinya. 2) Ansietas sedang, cemas yang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. 3) Ansietas berat, perasaan cemas yang sangat mengurangi lahan prsepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang lebih terinci dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. e. Mekanisme koping terhadap kecemasan Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat

menyebabkan

stres

pada

individu.

Keith

(2009)

mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stres seseorang, yaitu: sifat menerima keadaan; pengalaman dalam mengatasi stres; karakteristik individu; persepsi tentang stres; strategi koping; dan dukungan sosial. Synder CR (2001) menjelaskan bahwa koping merupakan proses berfikir, merasakan atau melakukan sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi. Koping merupakan beberapa

11

respon yang berkesinambungan sebagai akibat dari stres. Faktor dari keterampilan koping yaitu: fokus masalah; pengaturan lingkungan;

fokus

emosi;

dan

pengaturan

diri.

Koping

didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses koping, individu dapat: memperkirakan ancaman atau peluang

pada

lingkungannya;

mengevaluasi

tuntutan

dan

sumberdaya atau daya dukung lingkungan, serta kemampuan untuk mengorganisasikan elemen-elemen tersebut; dan menggunakan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif yang kemungkinan timbul dalam situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi faktor penyebab stres, seseorang menggunakan strategi koping untuk mengurangi tekanan yang timbul (Lazarus & Folkman 1984). Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan dua jenis koping, yaitu emotion focused coping dan problem-focused coping.

12

Emotion-Focused Coping. Bentuk koping ini bertujuan untuk

mengontrol

respon emosional

yang muncul dalam

menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya untuk mengubah keadaan. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain kontrol diri, mengambil jarak dengan stresor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima atau melarikan diri dari keadaan (Lazarus dan Folkman 1984). Problem-Focused Coping. Bentuk koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor atau meningkatkan sumber daya dalam menghadapi stres. Individu cenderung menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau sumber daya masih dapat diubah. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan, berusaha mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial, dan melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana (Lazarus dan Folkman 1984). 2. Gagal Ginjal Kronik a. Definisi Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan

13

uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (KMB, Vol 2 hal 144). Penyakit gagal ginjal kronik bersifat progresif dan irreversible dimana terjadi uremia karena kegagalan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan serta elektrolit (Smeltzer, Suzanne, 2002 hal 1448). Sementara itu, The Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) of the national kidney foundation (NKF) mendefinisikan penyakit gagal ginjal kronik sebagai kerusakan pada parenkim ginjal dengan penurunan glomerulus filtration rate (GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 selama tiga bulan atau lebih dan dapat berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah tahap akhir dari penyakit gagal ginjal kronik yang ditandai dengan kerusakan ginjal secara permanen dan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dengan GFR ˂ 15 ml/min/1,73 m2, yang memerlukan terapi pengganti ginjal berupa hemodialisa atau transplantasi ginjal (Imam Pranoto, 2010) Gagal ginjal kronik (GGK) didefinisikan sebagai nilai LFG yang berada dibawah batas normal selama lebih dari 3 bulan (Davey, 2005). Kondisi GGK merupakan perkembangan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat biasanya berlangsung selama beberapa tahun (Wilson, 2006). b. Etiologi Penyebab penyakit GGK bermacam-macam, menurut Perhimpunan Nefrogi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 dua penyebab utama

14

paling sering adalah penyakit ginjal hipertensi (35%) dan nefropati diabetika (26%). Penyakit ginjal hipertensif menduduki peringkat paling atas penyebab GGK. Penyebab lain dari GGK yang sering ditemukan yaitu glomerulopati primer (12%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis kronik (7%), nefropati asam urat (2%), nefropati lupus (1%), ginjal polikistik (1%), tidak diketahui (2%) dan lain-lain (6%). Penyebab dari gagal ginjal kronik antara lain : 1) Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis) 2) Penyakit peradangan (glomerulonefritis) 3) Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis) 4) Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sistemik) 5) Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal) 6) Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme) 7) Nefropati toksik 8) Nefropati obstruktif (batu saluran kemih) c. Klasifikasi Klasifikasi GGK dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan pada LFG dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada derajat 1-3 biasanya belum terdapat gejala apapun (asimptomatik) dan baru muncul pada derajat 4 dan 5 (Arora, 2015).

15

Tabel. 1 Klasifikasi GGK (KDIGO, 2013) Derajat

LFG (ml/mnt/1,732m2) ≥ 90

Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat

2

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan

3A

45-59

Kerusakan ringan dengan LFG turun dari ringan sampai sedang

3B

30-44

Kerusakan ginjal dengan LFG turun dari sedang sampai berat

4

15-29

Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat

5

˂ 15

Gagal ginjal

d. Manifestasi Klinis 1) Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369) : a) Gejala dini : sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi b) Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah

16

2) Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin – angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,

perubahan

tingkat

kesadaran,

tidak

mampu

berkonsentrasi). 3) Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut : a) Kardiovaskuler : Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis pitting edema (kaki, tangan,

sacrum),

edema

periorbital

friction

rub

pericardial, pembesaran vena leher. b) Integumen : Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritis ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar. c) Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal pernafasan kussmaul. d) Gastrointestinal : Nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan salura cerna. e) Neurologi

:

Kelemahan

dan

konfusi/perubahan tingkat kesadaran,

keletihan, disorientasi,

17

kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapan kaki, perubahan perilaku. f) Muskuloskeletal : Kram otot, kekuatan otot hilang, kelemahan pada tungkai, fraktur tulang, foot drop g) Reproduktif : Amenore, atrofi testekuler. e. Penatalaksanaan Pengobatan GGK dibagi dalam dua tahap yaitu penanganan konservatif dan terapi pengganti ginjal dengan cara dialisis atau transplantasi

ginjal

atau

keduanya. Penanganan GGK secara

konservatif terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal, menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor yang reversible. Ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif dalam mempertahankan kehidupan pasien pada hal ini terjadi penyakit ginjal stadium akhir satu-satunya pengobatan yang efektif adalah dialisis intermiten dan transplantasi ginjal (Wilson, 2006). Tujuan terapi konservatif adalah mencegah memburukny faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006). Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan sebagai berikut : 1) Diet Protein Pada pasien GGK harus dilakukan pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti dapat

18

menormalkan kembali dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Asupan rendah protein mengurangi beban ekskresi sehingga

menurunkan

hiperfiltrasi

glomerulus,

teknana

intraglomerulus dan cidera sekunder pada nefron intak (Wilson, 2006). Asupan protein yang berlebihan dapat mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan

tekanan

intraglomerulus

yang

akan

meningkatkan

progrsifitas perburukan ginjal (Suwitra, 2006). 2) Diet Kalium Pembatasan kalium juga harus dilakukan pada pasien GGK dengan cara diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obatobatan ang mengandung kalium tinggi. Pemberian kalium yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya bagi tubuh. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80 mEq/hari. Makanan yang mengandung kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni (Wilson, 2006). 3) Diet Kalori Kebutuhan jumlah kalori untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi (Sukandar, 2006).

19

4) Kebutuhan Cairan Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati pada GGK. Asupan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan pemburukan fungsi ginjal (Wilson, 2006). Ketika terapi konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan dan lain-lain tidak bisa memperbaiki keadaan pasien maka terapi pengganti ginjal dapat dilakukan . terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis, dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal (Rahardjo et al, 2006). 1) Hemodialisis Hemodialisis adalah suatu cara dengan mengalirkan darah ke dalam dialyzer (tabung ginjal buatan) yang terdiri dari 2 komponen yang terpisah yaitu komparetemen darah dan komparatemen semipermeabel

dilisat untuk

yang

dipisahkan

membuang

sisa-sisa

membran metabolisme

(Rahardjo et al, 2006). Sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat berupa air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zatzat lain. Hemodialisis dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 3-4 jam terapi (Brunner dan Suddarth, 2001). 2) Dialisis Peritoneal Dialisis peritoneal merupakan terapi alternatif dialisis untuk penderita GGK dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari (Prodjosudjadi dan Suhardjono, 2009). Pertukaran cairan 20

terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan semalaman (Wilson, 2006). Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien Dialisis Peritoneal (DP). Indikasi medik yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi nonmedik yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri, dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006). 3) Transplantasi Ginjal Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan

transplantasi

ginjal

jauh

melebihi

jumlah

ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh pasien (Wilson, 2006). f. Patofisiologi Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak

21

(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368). Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448). Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium : 1) Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami

poliuria.

Perubahan

ini

diyakini

dapat

22

menyebabkan glomerulusklerosis fokal, terdiri dari penebalan difus matriks mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membran basalin kapiler. 2) Stadium 2, insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat. 3) Stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi hipertensi. 4) Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati dan hipertensi hampir selalu ditemui. 5) Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat. 3. Hemodialisis a. Definisi Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).

23

Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat. Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ; Nursalam, 2006). b. Tujuan Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya

dikeluarkan

sebagai

urin

saat

ginjal

sehat,

meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009). Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya

24

merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi. Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang susunan yang kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2microglobulin, dan albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti pcresol, lebih lambat berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah proses yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009). Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan untuk masingmasing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi

25

sel ataupun organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia (Lindley, 2011). c. Indikasi Pada dasarnya hemodialisis diperlukan pada pasien gagal ginjal akut, gagal ginjal terminal dan pasien dengan keracunan berat untuk obat-obat tertentu. Yang sering kita kerjakan adalah untuk pasien-pasien dengan gagal ginjal akut maupun untuk gagal ginjal terminal. Bagi pasien gagal ginjal akut sebelum dicapai stadium recovery mungkin ada keadaan azotemia yang disertai fluid overload atau keadaan gangguan elektrolit berat. Indikasi hemodialisis adalah psien akarena uremia dengan pericarditis, encephalopati uremikum, oedema paru yang refrakter terhadap diuretika, perdarahan uremik, pasien selalu dalam keadaan anoreksi, nauseas atau vomiting. Sedang indikasi berdasar hasil biokimia adalah kadar BUN3 100 mg/dl dan titer kreatinin310 mg/dl, creatinin clearanse 5-7 mlmm, keadaan hiperkalemia dan asidosis (Muhad dan Hakim, 1991). Bila keadaan pasien gagal ginjal akut tadi wujud utamanya adalah fluid overload dengan azotemia maka tindakan ultrafiltrasi hemodialisis adalah merupakan pilihan yang tepat. Pada pasien kelebihan cairan ini dapat ditarik cairannya sekitar 2-3 liter akan dengan cepat memperbaiki oedema paru. Tindakan penarikan cairan ini disebut sequential ultrafiltrasi, dimana aliran cairan dialisat dihentikan (di lepas) dan kemudian dihubungkan dengan

26

pompa bertekanan negatif, maka cairan darah akan mengalir dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat melalui membran semi permiabel. Dengan sendirinya molekul albumin dan molekul besar lainnya tidak dapat melewati membran semi permeabel tadi. Apabila pasien gagal ginjal akut/kronik tadi berada dalam posisi hiperkalemia berat yang berbahaya dan juga kelebihan cairan maka dapat didahulukan hemodialisis dulu dengan dialisat free potasium, baru dikerjakan penarikan cairan baik secara sequential ultrafiltrasi atau dengan mengatur besarnya TMP. d. Komplikasi Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi

dimungkinkan

karena

pemakaian

dialisat

asetat,

rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan

gangguan

keseimbangan

dialisis

terjadi

karena

perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang.

27

Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008). Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2008). e. Prinsip yang Mendasari Kerja Hemodialisis Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2006). Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan

28

konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et all, 2011)). f. Prinsip Kerja Hemodialisis Mekanisme kerja hemodialisis adalah difusi-ultra-filtrasi dengan membran semi permeabel. Agar supaya darah tidak menjendal di dalam dializer, maka dipakai heparin (anti koagulan). Dosis heparin tergantung keadaan pasien, bisa heparinisasi sistemik, heparinisasi regional, bisa heparinisasi minimal. Darah dikeluarkan dari tubuh penderita uremia, dimasukkan ke dalam dializer (ginjal buatan). Agar tidak terjadi koagulasi, dipakai heparin dengan takaran-takaran tertentu, dan blood-line sudah dibasahi dulu dengan NCl fisiologis. Aliran darah di dalam Hollow Fiber berpapasan dengan cairan dialisat yang susunan dialisat sudah ditetapkan dan suhunya sudah diatur. Kecepatan Blood Flow ± 100-300 ml/m dan dialisat flow ±500 ml/m. Benang-

29

benang Hollow Fiber (ginjal buatan) sebenarnya terdiri dari membran tipis dengan lubang-lubang poreus sekitar 5 nm. Molekul-molekul kecil yang berasal dari produk-produk nitrogen (sampah) misalnya : ureum, kreatinin, asam urat, indol, phenol, gunadin, maupun molekul air, Na, K, Ca, Mg, PO4, Cl merupakan partikel yang kecil, sehingga dapat melewati lubang poreus berdasarkan perbedaan konsentrasi. Produk-produk sampah nitrogen yang bermolekul besar yang disebut middle-molecule dan molekul-molekul lain misalnya : albumin, globulin merupakan molekul-molekul yang besar sehingga tidak dapat melewati llubang poreus tadi, sehingga tidak terbuang waktu hemodialisis tadi.

30

Related Documents


More Documents from "Arnia Wahyuningsih"