LAPORAN PRAKTIKUM FITOHORMON ACARA II PENGARUH SITOKININ TERHADAP BUNGA POTONG
Disusun oleh: Opnofti Prihandayu 1401070053
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERO 2017
Kamis, 30 Maret 2017
PENGARUH SITOKININ TERHADAP BUNGA POTONG A. TUJUAN 1. Mengetahui pengaruh BAP dalam menunda kelayuan bunga potong krisan. 2. Mengetahui pemberian konsentrasi BAP yang paling optimal untuk menunda penuaan bunga. 3. Mengetahui faktor yang mampu mempengaruhi proses penuaan pada bunga potong krisan. B. DASAR TEORI Identifikasi promotor aktif dalam pembelahan sel (sekarang kita kenal sebagai sitokinin) dicapai pada tahun 1959, dimana ketika 6-(furfurylamino) purine dipurifikasi dari DNA sperma ikan hering dan dicatat sebagai komponen yang aktif pada level 10-9 M dalam bioassay pertumbuhan kalus tembakau (Davies, 1995). Letham pada tahun 1963 melakukan purifikasi sitokinin secara alami dari immature kernels pada Zea mays dan diidentifikasi sebagai 6-(4-hydroxy-3-methylbut-trans-2-enylamino) purine, yang sekarang dikenal sebagai zeatin. Zeatin merupakan sitokinin yang disintesis oleh tumbuhan dan diketahui bahwa sitokinin merupakan derivat purin (adenin). Trans-zeatin dan isopentenyl-adenin merupaka jenis sitokinin yang aktif.
Gambar 1. Struktur molekul trans-zeatin (tZ). Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Cytokinin
Sitokinin akan memacu pembelahan sel pada jaringan yang ditumbuhkan secara in vitro, seperti biakan empulur tembakau, floem, wortel atau batang kedelai. Sitokinin bersama dengan auksin pada konsentrasi optimum akan menginduksi pembelahan sel pada empulur tembakau (Salisbury, 1992). Selain
itu, interaksi antara sitokinin dan auksin pada tanaman akan menentukan arah diferensiasi sel. Biosintesis sitokinin merupakan modifikasi biokimia dari adenin. Biosintesis sitokinin diatur oleh gen ipt, CYP735A dan LOG. Biosintesis sitokinin terjadi di bagian ujung akar dan biji yang sedang berkembang. Sitokinin yang terdapat di akar ditranspor menuju pucuk melalui xilem, sedangkan transportasi sitokinin dari daun dewasa menuju daun muda melalui floem (Salisbury, 1992). Efek sitokinin terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman antara lain (Davies, 1995) : 1.
Pembelahan sel, penggunaan sitokinin eksogen akan menginduksi pembelahan sel pada kultur jaringan dengan interaksi bersama auksin. Hal
2.
ini juga terjadi secara endogen pada crown gall tumor pada tanaman. Morfogenesis pada kultur jaringan dan crown gall. Sitokinin memicu
3.
inisiasi tunas pucuk. Pada lumut, sitokinin menginduksi pembentukan bud. Pertumbuhan tunas lateral, penggunaan sitokinin atau peningkatan level sitokinin pada tanaman transgenik dengan gen tertentu yang mengatur sintesis sitokinin akan menyebabkan terbentuknya tunas lateral pada
4. 5. 6. 7. 8.
dominansi apikal. Perluasan daun Mengurangi pertumbuhan akar Penundaan senescence daun Meningkatkan pembukaan stomata pada beberapa spesies Perkembangan kloroplas, penggunaan sitokinin akan memulai akumulasi klorofil dan memicu diferensiasi etioplas menjadi kloroplas.
Senescence Senescence (penuaan) tanaman ialah proses penurunan kondisi dan aktivitas metabolisme yang disertai pertambahan umur dan mengarah pada kematian organ atau tanaman. Senescence dapat terjadi secara alami atau karena pengaruh eksternal seperti lingkungan abiotik (suhu ekstrem, keterbatasan
hara)
dan
biotik
(patogen,
naungan).
Senescence
erat
hubungannya dengan proses absisi, dimana senescence biasanya akan diikuti oleh proses absisi. Proses senescence dimulai dengan berkurangnya suplai nutrisi pada suatu organ, penurunan aktivitas metabolisme dan pertambahan umur. Senescence tidak sama dengan nekrosis. Nekrosis ialah kematian
jaringan/ organ yang disebabkan oleh kerusakan fisik, racun, atau kerusakan eksternal. Adapaun tipe-tipe senescence yaitu : 1. Monocarpic senescence Senescence yang terjadi setelah pembungaan dan pembuahan Tanaman akan mati setelah terbentuk buah dan biji, seperti tanaman pisang dan kacang-kacangan. 2. Polycarpic senescence (seasonal leaf senescence) Tanaman yang secara periodik akan menggugurkan daunnya karena pengaruh faktor lingkungan, seperti jati, flamboyan, randu. 3. Sequential senescence of leaves Daun-daun mengering dan mati setelah mencapai umur tertentu. Senescence terjadi secara berurut dari daun yang tuan ke daun yang muda (hierarchical senescence), misal pada daun tembakau. 4. Senescence of above ground plant Senescence pada bagian tunas tumbuhan herba perenial dan tumbuhan berumbi. A
B
Gambar 2. (A) Monocarpicsenescence pada kedelai, seluruh bagian tanaman mengalami penuaan setelah proses pembungaan dan pembuahan. (B) Sequential senescence pada tembakau. Sumber : http://id.pdfcoke.com/doc/88001924/Penuaan-Dan-Pengguguran-4 Faktor yang mempengaruhi senescence ialah faktor eksternal dan faktor internal, yaitu : 1. Faktor eksternal Panjang hari Suhu Stress abiotik atau abiotik seperti kekeringan, defisiensi nutrisi, infeksi patogen, luka, dan naungan 2. Faktor internal Jenis spesies Umur Perkembangan reproduktif Kompetisi nutrien antara organ vegetatif dan reproduktif Level fitohormon Senescence pada tanaman, baik pada bunga atau daun dipengaruhi dan dikontrol oleh interaksi beberapa hormon yaitu etilen, asam absisat (ABA), dan
sitokinin. Perubahan yang terjadi akibat adanya interaksi ketiga hormon merupakan hasil interaksi signaling dalam proses penuaan. Senescence bunga merupakan tahap akhir dari perkembangan bunga yang ditandai dengan kelayuan bunga dan gugurnya perhiasan bunga (corolla). Proses senescence keseluruhan bunga diatur oleh mekanisme genetik dan tergantung pada energi. Senescence petal diinduksi oleh peningkatan aktvitas RNAase, kadar etilen meningkat memacu terjadinya perombakan komponen sel dan degradasi antosianin sehingga warna bunga menjadi pudar. Senescence bunga juga terjadi karena adanya polinasi yang menyebabkan degradasi makromolekul dan remobilisasi nutrisi untuk proses perkembangan jaringan seperti ovarium (Stead, 1992). Produksi etilen meningkat saat senescence dan perlakuan etilen eksogenous akan mempercepat proses senescence mahkota bunga (Borochov dan Woodson, 1989). Penghambatan secara genetik maupun kimiawi pada biosintesis atau perception etilen dapat menunda senescence bunga. Selain etilen, ABA juga merupakan hormon pengatur utama dalam senescence bunga, dan penggunaan ABA secara eksogenous akan mempercepat gejala senescence dan mengatur transkripsi gen-gen senescence (Panavas dkk., 1998). Sehingga dapat disimpulkan bahwa etilen dan ABA akan memicu adanya senescence bunga. Sedangkan sitokinin memliki peran yang berkebalikan dengan etilen dan ABA. Sitokinin bersifat menunda senescence bunga. Konsentrasi sitokinin pada bunga mawar, anyelir dan Cosmos sulfureus yang masih muda sangat tinggi, dan menurun selama pembukaan corolla dan perkembangan bunga. Berbagai varietas mawar dengan masa hidup yang lebih panjang dilaporkan memiliki lebih banyak sitokinin daripada mawar dengan masa hidup yang lebih pendek (Mayak dan Halevy, 1970). Konsentrasi sitokinin pada mahkota bunga mawar dan bunga anyelir menurun sejalan dengan bertambahnya umur, dan penambahan sitokinin eksogen dapat memperlambat proses penuaan. Namun tidak semua bunga potong akan merespon adanya sitokinin eksogen untuk menangggulangi efek etilen yang dihasilkan oleh bunga tersebut. Respon sitokonin tergantung dari
jenis bunga, tingkat perkembangan bunga dan konsentrasi sitokinin (Woodson, 1991). Secara alami pada saat polinasi (tahap perkembangan reproduktif) produksi etilen meningkat dan menyebabkan corolla mengalami penuaan. Ekspresi pada gen biosintetik etilen (ACC oksidase) diketahui akan menginduksi peningkatan biosintetsis etilen oleh adanya signal polinasi. Penggunaan sitokinin pada penundaan kelayuan bunga berkaitan dengan penurunan biosinteis etilen dan penurunan sensitivitas terhadap etilen. Produksi etilen selama kelayuan bunga memicu degradasi sitokinin dan inaktivasi oleh O-glucosylation (Taverner et al., 1999). Terlihat bahwa hormon sitokinin dan etilen bersifat antagonis. Sensitivitas bunga terhadap etilen meningkat selama pendewasaan dan perubahan sensitivitas ini akan menginisiasi senescence. Pada penelitian yang dilakukan oleh Doorn WG dkk. dalam jurnal berjudul “Delay of Iris flower senescence by cytokinins and jasmonates” menunjukkan bahwa
senescencebunga Iris diatur oleh hormon, aplikasi
beberapa hormon dan inhibitor hormon memberikan efek yang berbeda-beda. Perlakuan dengan auksin atau penghambat auksin tidak mengubah waktu sensescence. ABA mempercepat senescence tapi inhibitor sintesis ABA (norflurazon) tidak memberikan efek. GA3 sedikit menunda senescence pada beberapa eksperimen tapi tidak memberikan efek pada eksperimen yang lain. Penghambat GA (ancymidol atau AMO-1618) tidak mempengaruhi secara efektif. Asam salisilat (SA) juga tidak memberikan efek. Etilen, auksin, GA3, dan SA mempengaruhi pembukaan bunga. Jasmonat menunda senescence sekitar 2 hari. Efek yang sama juga terjadi pada sitokinin, sitokinin menunda senescence 1,5 – 2 hari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jasmonat dan sitokinin mampu mempertahankan kesegaran bunga atau menunda senescence. Sama halnya dengan senescence bunga, senescence pada daun ditandai dengan menguningnya daun tersebut, hal ini karena daun mulai kehilangan klorofil karena digantikan oleh pembentukan pigmen lain (xantofil atau karoten), RNA, protein, dan lipid dari membran plasma serta level HPR dan rubisco menurun pada daun tua. HPR merupakan enzim-enzim yang terlibat dalam proses fotosintesis, diantaranya plastidic Fru-1,6-bisphosphatase,
plastidic
aldolase,
NADP-dependent
glyceraldehyde-3-phosphate
dehydrogenase, dan NADP-dependent malate dehydrogenase (Wingler, 1998). Penurunan protein dan klorofil pada kondisi senescence dapat diinduksi oleh meningkatya gula. Gula berupa glukosa dan fruktosa meningkat pada daun yang sudah tua dan disertai dengan pati yang rendah pada daun tua. Level sukrosa lebih tinggi pada daun tua daripada daun dewasa dan daun muda. Akumulasi heksosa pada daun tua disebabkan oleh penghambatan gen-gen fotosintesis, dan interaksi antara sitokinin dan gula dalam pengaturan senescence. Selain akumulasi gula pada daun tua yang menyebabkan senescense, paparan cahaya merah atau merah jauh yang rendah juga dapat menginduksi senescence. Hal ini berkaitan dengan penerimaan cahaya merah atau cahaya merah jauh oleh fitokrom. Paparan cahaya merah atau merah jauh yang rendah akan mengganggu proses fotosintesis karena fitokrom merupakan penerima cahaya pada proses fotosintesis. (Rousscaux et al., 1996). Pada senescence daun, terjadi proses transportasi nutrisi seperti nitrogen dan fosfor dari daun yang mengalami senescence menuju daun yang sedang aktif tumbuh dan berkembang. Senescence dapat diperlambat dengan pengaturan sitokinin, sehingga menyebabkan masa hidup fotosintesis lebih panjang (Gan and Amasino, 1995). Sitokinin dapat secara langsung mempengaruhi jumlah enzim oleh berbagai mekanisme yang mempengaruhi tingkat sintesis atau degradasi protein. Sitokinin dapat meningkatan aktivitas Rubisco, Fru-1,6-bisphosphatase, NADP-dependent
glyceraldehyde-3-phosphate
dehydrogenase,
NADP-
dependent malate dehydrogenase (Harvey et al., 1974; Feierabend and de Boer, 1978), and HPR. Jadi, keterlibatan hormon memang sangat mempengaruhi senescence bunga dan daun. Hormon etilen dan asam absisat (ABA) diketahui sebagai hormon penginduksi senescence, sedangkan hormon saitokinin dan jasmonat sebagai hormon penghambat senescence. Tidak hanya peran hormon yang akan memicu dan menghambat senescence. Faktor abiotik seperti intensitas cahaya juga mempengaruhi proses senescence. Intensitas cahaya yang rendah dapat mempercepat penuaan, karena intensitas cahaya yang rendah dapat mengurangi ekspresi gen-gen yang
tergantung pada cahaya dan dapat menghilangkan fungsi protein yang terlibat dalam fotosintesis dan fungsi klorofil. Enzim protease yang terdapat di dalam kloroplas akan keluar menuju sitoplasma, kemudian
protease akan
menghidrolisis protein yang terlarut serta protein pada membran kloorplas dan mitokondria sehingga fungsi protein ditiadakan. Namun dengan adanya sitokinin, maka kerusakan tonoplas dapat dicegah (Thimman, 1987). Sitokinin juga mampu menghambat pembentukan radikal bebas dan mempercepat penguraian radikal bebas sehingga radikal bebas tidak akan mengoksidasi lipid membran (Thompson dkk., 1987). Adapun aplikasi teknologi yang dapat mempertahankan kesegaran tanaman selain hormon sitokinin dan jasmonat. Penyisipan gen ipt dapat diaplikasikan untuk membuat tanaman transgenik dengan masa hidup yang lebih lama, gen ipt mengkode isopentenyl transferase, suatu enzim yang mengkatalisis kondensasi pada dimethylallylpyrophosphate dan 5′-AMP menjadi isopentenyladenosine (iPA) 5′-phosphate (Hsiang Chang, 2003). Krisan Krisan (Chrysanthemum sp.) merupakan sejenis tumbuhan berbunga yang sering ditanam sebagai tanaman hias atau sebagai bunga potong. Bunga krisan dengan beberapa sebutan lain seruni atau bunga emas berasal dari daratan Cina. Tanaman krisan masuk ke Indonesia pada tahun 1800 dan sejak tahun 1940 krisan dikembangkan secara komersil untuk tanaman hias. Bunga krisan memiliki beberapa keunggulan yaitu masa tanamnnya singkat dan harganya stabil, memiliki keanekaragaman warna dan bentuk bunga yang tinggi, krisan mampu bertahan selama 2 minggu di vas setelah di potong. Kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman krisan (Chrysanthemum sp.) antara lain (Anonim, 2013) : 1. Tanaman krisan membutuhkan air yang memadai, tetapi tidak tahan terhadap terpaan air hujan. Oleh karena itu utk daerah yg curah hujannya 2.
tinggi, penanaman dilakukan di dalam bangunan rumah plastik. Proses pembungaan membutuhkan cahaya yang lebih lama yaitu dengat bantuan cahaya lampu TL dan lampu pijar. Penambahan penyinaran yang paling baik adalah tengah malam antara jam 22.30-01.00 dengan lampu 150 watt untuk areal 9 m2 dan lampu dipasang setinggi 1,5 meter dari
permukaan tanah. Periode pemasangan lampu dilakukan sampai fase 3.
vegetatif (2-8 minggu) untuk mendorong pembentukan bunga. Suhu udara terbaik untuk daerah tropis seperti Indonesia adalah antara 20-
4.
26°C. Toleran suhu udara untuk tetap tumbuh ialah 17-30°C. Tanaman krisan membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk awal pembentukan akar bibit. Pada saat setek diperlukan 90-95%, sedangkan tanaman muda sampai dewasa antara 70-80%, dengan penyeimbangan
5.
sirkulasi udara yang memadai. Kadar CO2 di alam sekitar 3000 ppm. Kadar CO2 yang ideal untuk menginduksi fotosintesis antara 600-900 ppm. Pada pembudidayaan tanaman krisan dalam bangunan tertutup seperti rumah plastik,
6.
greenshouse, dapat ditambahkan CO2 hingga mencapai kadar optimum. Tanah yang ideal untuk tanaman krisan ialah bertekstur liat berpasir,
7.
gembur dan memiliki drainase yang baik, dengan pH sekitar 5,5-6,7. Elevasi tempat yang ideal untuk budidaya tanaman ini antara 700-1200 m
8.
dpl. Tanaman krisan mulai berbunga pada umur 10-14 minggu setelah tanam,
tergantung jenis varietasnya. C. ALAT dan BAHAN 1.
Alat :
2.
Gunting bunga Botol Gelas
Pipet Filter pump Gelas ukur
Bahan :
BAP Aquadest Bunga potong (bunga krisan merah)
D. CARA KERJA 1. Mencampurkan air dengan larutan BAP ke dalam masing-masing gelas dengan jumlah dan konsentrasi yang berbeda untuk setip gelas. Mengambil larutan BAP sebanyak 1 ml dengan menggunakan filter pump dan menuangkannya ke dalam gelas yang berisi air sebanayak 100 ml untuk 2.
memperoleh larutan dengan konsentrasi 1 ppm. Mengambil larutan BAP sebanyak 2 ml dengan menggunakan filter pump dan menuangkannya ke dalam gelas yang berisi air sebanayak 200 ml
untuk memperoleh larutan dengan konsentrasi 2 ppm. Begitu seterusnya 3.
untuk langkah percampurannya hingga perlakuan ke 5, yaitu 5 ppm. Menyiapkan pula gelas berisi air yang tidak mendapatkan campuran
4. 5.
larutan BAP untuk dijadikan kontrol. Memberi label pada setiap gelas menurut konsentrasi larutannya. Kemudian melakukan perendaman bunga krisan pada setiap gelas yang berisis larutan BAP. Sebelum itu, memotong bunga krisan terlebih dahulu
6.
untuk menyesuaikan dengan ukuran gelas. Melakukan pengamatan pada masing-masing fisik bungaa dari segi kesegaran dan warna batang, daun, dan bunga. Kemudian membandingkan hasil kenampakan antar perlakuan konsentrasi larutan BAP tersebut.
E. HASIL PENGAMATAN Kontrol Hari Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Keterangan Mulai layu sebagian Mulai layu sebagian Mulai layu sebagian Beberapa bunga kering Beberapa bunga kering Beberapa bunga kering Banyak bunga kering Semua bunga kering Semua bunga kering Semua bunga kering Semua bunga kering
Konsentrasi 1 ppm
Hari Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Keterangan Masih segar Masih segar Mulai layu sebagian Mulai layu sebagian Mulai layu sebagian Mulai layu sebagian Mulai layu sebagian Beberapa bunga kering Beberapa bunga kering Beberapa bunga kering Beberapa bunga kering
Konsentrasi 2 ppm
Hari Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Keterangan Masih segar Masih segar Masih segar Masih segar 1 bunga mulai mengering, yang lain masih segar 1 bunga mulai mengering, yang lain masih segar 1 bunga mulai mengering, yang lain masih segar Beberapa bunga kuncup layu, yang lain masih segar Beberapa bunga kuncup layu, yang lain masih segar Beberapa bunga kuncup layu, yang lain masih segar Beberapa bunga kuncup layu, yang lain masih segar
Konsentrasi 3 ppm
Hari Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Keterangan Masih segar Masih segar Masih segar Mulai layu sedikit Mulai layu sedikit Mulai layu sedikit Mulai layu sedikit Beberapa bunga mulai kering Beberapa bunga mulai kering Beberapa bunga mulai kering Beberapa bunga mulai kering
Konsentrasi 4 ppm
Hari Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan Masih segar Masih segar Masih segar Masih segar Masih segar Masih segar Masih segar, tangkai mulai membusuk (warna coklat) Masih segar, tangkai mulai membusuk (warna coklat bagian bawah) Masih segar, tangkai mulai membusuk (warna coklat bagian bawah) terdapai jamur di bagian tangkai
10 11 12
Masih segar, tangkai berwarna coklat terdapai jamur di bagian tangkai Masih segar, tangkai berwarna coklat terdapai jamur di bagian tangkai Masih segar, tangkai berwarna coklat, terdapat jamur
Konsentrasi 5 ppm
F.
Hari KeKeterangan 1 Masih segar 2 Masih segar 3 Masih segar 4 Masih segar 5 Masih segar 6 Masih segar 7 Masih segar 8 Masih segar 9 Masih segar 10 Masih segar 11 Masih segar PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini mengenai pengaruh pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berupa sitokinin kami melakukan pengujian terhadap bunga krisan berwarna merah. Pemilihan menggunakan bunga krisan tersebut dikarenakan bunga krisan merupakan salah satu bunga yang memiliki nilai estetika atau keindahan yang tinggi sehingga banyak orang (konsumen) yang menjadikan bunga krisan sebagai pilihan dalam acara-acara tertentu untuk memperindah ruangan. Keindahan bunga krisan membuat jumlah permintaan yang tinggi di pasaran sehingga bunga krisan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Dalam hal ini bunga krisan sering kali dijual dalam bentuk bunga potong (rangkaian bunga). Bunga krisan yang sering dimanfaatkan dalam hal keindahannya dengan nilai jual yang tinggi membuat banyak orang membudidayakan bunga krisan. Apabila dipasarkan dalam bentuk bunga potong, maka ketahanan kesegaran bunga tersebut menjadi berkurang karena telah terpisah oleh akarnya. Pada praktikum kali ini kami menggunakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berupa sitokinin, dimana sitokinin yang kita gunakan berupa BAP. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sitokinin berupa BAP dikarenakan BAP merupakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sitokinin yang banyak dijual
pada toko-toko bahan kimia pertanian. Pemberian sitokinin ditujukan untuk menunda penuaan, sehingga bunga krisan akan lebih terjaga kesegarannya lebih lama. Dalam hal ini, kami menggunakan beberapa perlakuan mengenai konsentrasi sitokinin (BAP) sebagai variabel bebas. Perlakuan yang kami gunakan yaitu dengan menggunakan BAP 1 ppm, 2 ppm, 3 ppm, 4 ppm, dan 5 ppm yang dilakukan untuk beberapa kelompok (satu perlakuan untuk satu kelompok). Penggunaan konsentrasi BAP yang berbeda-beda tersebut ditujukan untuk mengetahui konsentrasi optimal penggunaan sitokinin (BAP) pada bunga potong krisan. Selain pengujian yang dilakukan menggunakan beberapa konsentrasi sitokinin (BAP), kita juga melakukan pengujian terhadap bunga krisan yang tidak diberi penambahan BAP, dimana hal hal tersebut dilakukan sebagai kontrol untuk pembanding perlakuan yang diberikan. Pada pengujian ini kami melakukan pengamatan pengaruh pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berupa sitokinin dengan menggunakan BAP selama 11 hari. Pengamatan yang dilakukan adalah pada bagian fisik bunga krisan yang dilihat dari segi kesegaran, warna batang, warna daun, dan warna bunga. Pada pengamatan yang kami lakukan terlihat pada bunga krisan yang tidak diberi penambahan BAP (kontrol) menunjukan pada hari pertama terlihat bunga yang sudah mulai layu hingga pada pengamatan hari ketiga. Tetapi, layu yang dialami oleh bunga tersebut baru sebagian, sedangkan sebagian lainnya masih terlihat segar. Kemudian pada hari ketiga hingga keempat terdapat beberapa bunga yang sudah kering dan pada pengamatan berikutnya terdapat lebih banyak bunga yang mengering hingga pada hari kedelapan terlihat semua bunga telah kering. Kemudian pada pengamatan hari selanjutnya teramati bahwa mahkota bunga mengalami kerontokan yang selalu bertambah hingga pengamatan hari ke sebelas. Kelayuan daun dan mahkota bunga pada perlakuan sitokinin 0 ppm (tanpa pemberian penambahan sitokinin) terjadi secara alami. Hal tersebut dikarenakan pada tanaman bunga krisan tersebut tidak diberikan sitokinin eksogen, sehingga kadar etilen meningkat seiring bertambahnya umur tanaman. Produksi etilen selama kelayuan bunga memicu degradasi sitokinin dan inaktivasi oleh O-glucosylation (Taverneretal.,1999). Penghambatan
produksi etilen tidak mampu dilakukan oleh sitokinin endogen yang rendah. Rendahnya kadar sitokinin dikarenakan tidak adanya akar pada tanaman krisan(akar dipotong), padahal akar merupakan salah satu tempat biosintesis sitokinin. Selain itu, terjadinya kelayuan bahkan kerontokan mahkota bunga juga dapat disebabkan karena suplai nutrisi mulai mengalami penurunan dan akan menyebabkan terganggunya aktivitas metabolisme tanaman, sehingga kadar sitokinin alami pada bunga akan menurun selama pembukaan corolla dan perkembangan bunga. Biosintesis sitokinin terjadi di bagian ujung akar yang kemudian akan ditransport menuju pucuk melalui xilem Pada penambahan BAP 1 ppm terlihat bahwa sebagian bunga mulai layu pada pengamatan hari ketiga hingga hari ketujuh yang kemudian mengering pada hari kedelapan namun hanya beberapa bunga saja yang terlihat mengering. Pada pengamatan hari kesembilan dan hari kesepuluh masih menunjukan hasil yang sama seperti pada pengamatan hari kedelapan. Namun pada pengamatan hari kesebelas terlihat sangat banyak bunga yang kering. Kemudian pada perlakuan dengan menggunakan penambahan BAP 2 ppm berdasarkan pengamatan yang dilakukan menunjukan kesegaran yang lebih tahan lama terhadap bunga krisan dibandingkan pada perlakuan pemberian BAP 1 ppm, dimana terlihat bunga mengering baru terjadi pada hari pengamatan kelima yaitu menunjukkan hanya 1 bunga saja yang mulai kering, sedangkan yang lainnya masih segar. Hal tersebut masih terlihat sama sampai pada hari ketujuh pengamatan. Kemudian pada hari kedelapan hingga hari kesebelas menunjukan semakin meningkatnya jumlah bunga yang layu atau mengering dan semakin sedikit bunga yang terlihat segar. Pada perlakuan penambahan BAP 3 ppm menunjukan hasil yang tidak berbeda jauh dari pemberian BAP 2 ppm, dimana pada pemberian BAP 3 ppm bunga terlihat mulai layu pada hari keempat namun masih terlihat hanya sebagian bunga yang layu sedangkan yang lainnya masih segar. Kemudian pada pengamatan hari kedelapan terjadi peningkatan jumlah bunga yang layu bahkan terlihat mengering. Pengeringan yang terjadi pada bunga tersebut ditandai pula dengan terjadinya kerontokan pada mahkota bunga. Pada pemberian BAP 4 ppm berdasarkan data hasil pengematan yang diperoleh menunjukan tingkat kesegaran bunga yang masih terjaga hingga
pengamatan hari terakhir, yaitu pada pengamatan hari ke sebelas. Namun, pada pengamatn kali ini tidak hanya dilakuakn terhadap kriteria kesegaran kondisi bunga saja, tetapi dilakukan pengamatan pula pada bagian tangai bunga (keseluruhan kondisi fisik bunga potong krisan tersebut), dimana keseluruhan kondisi fisik bunga krisan masih terlihat segar dan baik hingga pengamatan hari ke enam. Tetapi pada pengamatan hari ketujuh menunjukkan mulai terlihat terjadinya pembusukan pada bagian tangkai yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna coklat pada bagian tangkai tersebut. Pembusukan pada bagian tangkai terjadi pada pengamatan hari ketuju, namun hanya terjadi pada sebagian potongan bunga krisan saja, sedangkan yang lain masih terlihat segar pada bagian tangkai dengan warna hijau yang masih terjaga. Kemudian terlihat peningkatan jumlah tangkai bunga yang mengalami pembusukan dan terus terjadi peningkatan hingga pengamatan hari selanjutnya. Namun pada pengamatan hari kesembilan mulai terlihat munculnya jamur pada tangkai dan hal tersebut masih terlihat hingga pengamatan
hari
terakhir.
penambahan BAP 5 ppm
Kemudian
pada
perlakuan
menggunkan
berdasarkan data yang diperoleh menunjukan
kondisi fisik bunga yang tetap segar hingga pengamatan hari terakhir. Berdasarkan data hasil pengamatan yang diperoleh secara umum menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pemberian konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berupa sitokinin dengan penggunaan sitokinin penambahan BAP, maka menunjukkan semakin lama kesegaran bunga potong krisan tetap terjaga. Hal tersebut dikarenakan pengaruh sitokinin dalam menunda penuaan bunga. Senescence (penuaan) ialah proses penurunan kondisi dan aktivitas metabolisme yang disertai pertambahan umur dan mengarah pada kematian organ atau tanaman. Senescence dapat terjadi secara alami karena faktor eksternal (abiotik dan biotik) maupun karena faktor internal. Dalam percobaan kali ini dengan penambahan BAP mampu menunda penuaan tanaman. Hal tersebut dikarenakan BAP merupakan salah satu contoh dari sitokinin, sehingga mampu menunda penuaan bunga. Proses penuaan yang lebih lama dikarenakan mekanisme kerja sitokinin yang mempersingkat waktu berlangsungnya fase S pada daur sel . Selain itu, hal
tersebut juga berkaitan dengan kemampuan sitokinin dalam menurunkan sintesis etilen dan sensitivitas sel terhadap etilen. Namun pada penggunaan BAP 2 ppm dengan penggunaan BAP 3 ppm justru menunjukkan bahwa ketahanan kesegaran bunga yang lebih terjaga pada penggunaan BAP 2 ppm dibandingkan dengan pemberian BAP 3 ppm. Hal tersebut terlihat bahwa pada perlakuan penggunaan BAP 2 ppm bunga mulai ada yang layu atau mengering pada hari ke lima, sedangkan pada pemnggunaan BAP 3 ppm pada hari ke empat sudah terdapat bunga yang layu walaupun hanya beberapa bunga saja. Hal tersebut dapat disebabkan karena prosentase kandungan sitokinin yang telah ada secara alami dalam tanaman tersebut, dimana pada dasarnya sitokinin merupakan hormon yang mampu diperoleh oleh tiap tanaman secara alami yang dihasilkan pada bagian ujung akar dan biji yang sedang berkembang. Dalam hal ini kita tidak mampu menghitung kadar sitokinin yang terkandung dalam bunga potong tersebut, sehingga dimungkinkan secara faktok internal bunga potong dengan perlakuan penggunaan BAP 2 ppm sebenarnya secara internal memiliki kadar sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan pada bunga potong yang diberi perlakuan pemberian BAP 3 ppm. Kemudian berdasarkanhasil pengamatan yang dilakukan terlihat pula bahwa pada perlakuan pemberian konsentrasi BAP 4 ppm walaupun kondisi mahkota bunga masih terlihat segar hingga pengamatan hari terakhir, namun menunjukkan pembusukan pada bagian tangkai yang disertai tumbuhnya jamur pada sekitar tangkai, sedangkan pada pemberian BAP pada konsentrasi yang lebih rendah menunjukkan kondisi yang baik-baik saja pada bagian tangkai bunga (tidak terjadi pembusukan). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya faktor internal dari tanaman tersebut yang tidak dilakukan pengujian pada praktikum kali ini, dimana pada dasarnya proses penuaan pada tanaman selain dipengaruhi oleh hormon juga dapat dipengaruhi oleh faktor seperti jenis spesies, umur tanaman, perkembangan reproduktif, dan kompetisi nutrien antara organ vegetatif dan reproduktif. Pada praktikum kali ini terlihat bahwa semua perlakuan sitokinin pada berbagai konsentrasi masih mampu mempertahankan kesegaran daun dan mahkota bunga krisan (Chrysanthemum sp.) pada pengamatan hari pertama.
Hal tersebut dapat dikarenakan suplai nutrisi pada organ batang, daun, dan bunga masih memenuhi kebutuhan metabolisme tanaman. Jumlah cadangan makanan masih tercukupi untuk digunakan sebagai substrat pada proses respirasi tanaman. Jadi, pada pengamatan hari pertama dengan hasil yang masih seragam pada semua pemberian perlakuan penambahan sitokinin masih belum nampak pengaruh sitokinin dalam mempertahankan kesegaran daun dan mahkota bunga karena semua perlakuan memperlihatkan morfologi yang sama. G. KESIMPULAN 1. Pemberian BAP terhadap tanaman mampu menunda penuaan tanaman. 2. BAP merupakan salah satu contoh hormon sitokinin sehingga mampu menunda penuaan. 3. Mekanisme kerja BAP yang mempersingkat waktu berlangsungnya fase S pada daur sel dan menurunkan sintesis etilen dan sensitivitas sel terhadap etilen. 4. Berdasarkan praktikum yang dilakukan menunjukkan semakin tinggi konsentrasi pemberian BAP maka semakin lama kesegaran bunga krisan terjaga. 5. Berdasarkan praktikum yang dilakukan menunjukkan pemberian BAP yang paling optimal untuk menunda penuaan bunga krisan adalah pada konsentrasi 9 ppm.
DAFTAR PUSTAKA Salisbury, F.B dan C.W.Ross.1995.Fisiologi Tumbuhan Jilid 2.Bandung: ITB Press
LAMPIRAN
Gambar 1. Hari ke 0
Gambar 2. Minggu pertama
Gambar 3. Minggu ke 2