1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Upaya peningkatan sistem kekebalan tubuh terhadap serangan berbagai virus atau antigen spesifik lainnya dewasa ini sangat perlu mendapat perhatian serius. Biosintesis Immunoglobulin sebagai protein yang mempunyai aktifitas antibodi untuk sistem kekebalan tubuh harus diupayakan berlangsung secara normal dengan terpenuhinya kecukupan koenzim yang dibutukan untuk biosintesis tersebut. Vitamin adalah senyawa organik yang dibutuhkan dalam jumlah kecil pada diet hewan maupun manusia untuk menjamin berlangsungnya pertumbuhan yang wajar (Conn et al.,1987). Karena vitamin dibutuhkan dalam diet hanya dalam jumlah miligram dalam satu hari, maka vitamin disebut juga “mikronutrient” (Lehninger, 1982). Tidak adanya vitamin dalam diet, pada umumnya akan dapat mengakibatkan sejenis penyakit defisiensi dengan gejala yang khas (Conn et al., 1987). Vitamin B6 atau piridoksin sebagai salah satu kelompok vitamin yang larut air, merupakan vitamin yang sangat penting untuk hewan maupun manusia. Piridoksal fosfat (PLP) sebagai bentuk aktif dari vitamin B6 merupakan koenzim yang serbaguna yang berperan untuk mengkatalis berbagai reaksi penting dalam metabolisme asam amino dan protein seperti transminasi, dekarboksilasi dan transulfurasi. Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa pada kondisi defisiensi piridoksin kadar total imunogobulin serum lebih rendah dibandingkan dengan kondisi normal. Tetapi sejauh ini belum ada penelitian yang mengungkapkan apakah piridoksin tersebut terlibat dalam biosintesis keseluruhan kelas Imunoglobulin (IgG,IgA, IgM) atau hanya untuk kelas tertentu saja. Oleh karena itu kami tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Piridoksin Terhadap Biosintesis Immunoglobulin G (IgG). Penelitian ini direncanakan akan
2
mampu mengungkap bagaimana keterlibatan piridoksin dalam mekanisme biosintesis IgG. Dari penelitian ini juga akan dilihat apakah ada perbedaan kadar IgG pada kondisi defisiensi piridoksin, normal dan kondisi piridoksin berlebih. Hasil penelitian ini akan menjadi sumbangan dalam pengembangan kajian ilmiah dalam rangka upaya peningkatan sistem pertahanan tubuh pada hewan dan manusia dimasa yang akan datang. 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan diatas, maka disusus rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: Apakah ada perbedaan kadar Immunoglobulin G (IgG) serum ayam broiler pada kondisi defisiensi piridoksin, normal dan kondisi piridoksin berlebih. 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui apakah ada perbedaan IgG serum pada kondisi defisiensi piridoksin, normal dan kondisi piridoksin berlebih. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Sebagai tambahan informasi bagi pengembangan ilmu tentang peranan piridoksin dalam biosintesa Immunoglobulin G (IgG). 2. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian lanjutan yang bertujuan untuk memanfaatkan piridoksin sebagai protein yang mempunyai aktifitas antibodi pada manusia. 3. Sebagai bahan masukan bagi pembaca, khususnya mahasiswa Jurusan Kimia di FMIPA UNIMED Medan.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Piridoksin Vitamin B6 atau piridoksin merupakan kelompok vitamin yang larut air dan vitamin yang penting untuk hewan maupun manusia. Piridoksin mempunyai rumus molekul C8H11O3N dengan berat molekul 169 (Freed, 1966). Vitamin B6 mempunyai tiga bentuk persenyawaan atau vitamer yang saling berhubungan erat yaitu piridoksin/piridoksol atau sering disingkat dengan PN yang merupakan alkohol primer, piridoksal (PL) yang menunjukan bentuk aldehid dan piridoksamin (PM) yaitu suatu senyawa aminometil (Scott, et al.,1982). Bentuk aktif vitamin B6 adalah piridoksal fosfat (PLP) dan juga terdapat dalam amino piridokamin fosfat (PMP) yang segera saling berubah didalam mahluk hayati. Ketiga macam vitamer dari vitamer dari B6 serta bentuk koenzimnya yaitu piridoksal Fosfat dan piridoksamin fosfat , disajikan pada gambar 1. OH
H C
CH2 CH2
HO
OH
H3C
CH2
HO
N
N
H3C
H
O
C
H CH2
O
P
O
O
C NH2 CH2
HO
O
O H3C
OH
Piridoksiamin
O
HO
CH2
OH
Piridoksal
Piridoksin
H
CH2
HO
N
H3C
NH2
O
N
Piridoksal fosfat
P
O
O H3C
N
Piridoksamin fosfat
Gambar 2.1. Struktur Piridoksin, Piridoksal, Piridoksamin, Piridoksal fosfat, dan Piridoksamin fosfat. Piridoksal fosfat (PLP) merupakan koenzim serbaguna yang berperan
4
dalam mengkatalisis berbagai reaksi penting dalam metabolisme asam amino dan protein. Salah satu peranan piridoksin yang paling menarik adalah dengan adanya fakta-fakta bahwa vitamin ini juga telibat dalam aspek pembentukan sistem imun atau pertahanan tubuh dari invasi mikroorganisme. 2.2. Sumber dan sifat –sifat vitamin B6 Semua vitamin yang larut dalam air kecuali vitamin B12 atau kobalamin dapat disintesis oleh tanam-tanaman, oleh karena itu vitamin yang larut dalam air banyak terdapat dalam kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran berdaun hijau, ragi dan terdapat juga pada daging dan susu (Martin et al., 1985) Menurut Scott et al (1982), vitamin B6 banyak terdapat dalam daging, tanaman berdaun hijau dan biji-bijian. Kebanyakan vitamin B6 dalam produk hewan terdapat dalam bentuk piridoksal dan piridoksamin fosfat, sedangkan dalam tanaman dan biji-bijian umumnya terdapat dalam bentuk piridoksin. Heard dan Annison (1986) menyatakan bahwa piridoksin merupakan bentuk dominan vitamin B6 pada bahan yang bersumber dari tanaman, sedangkan piridoksin hidroklorida (PN.HCl) merupakan bentuk vitamin yang digunakan untuk suplementasi pada pakan ternak. Beberapa sifat sifat dari piridoksin hidroklorida (PN.HCl) adalah merupakan kristal putih, tidak berbau, berasa agak asin, larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam lemak, tahan terhadap alkali dan panas tetapi tidak tahan terhadap cahaya terutama cahaya ultra ungu. Piridoksal dan piridoksamin bersifat sangat labil dan mudah rusak oleh pengaruh udara, cahaya dan panas (Moeljoharjo, 1988). Selanjutnya Freed (1966) mengemukakan beberapa sifat dari piridoksin hidroklorida yang diantaranya berwarna putih, berasa agak asin, mempunyai titik lebur 160o C, larut dalam air, etil alkohol dan aseton, pH larutanya sekitar 3,2.
2.3. Metabolisme dan fungsi biokimia Vitamin B6
Enzim
Enzim
Substrat Asam Amino
Lys
R
N
O
P O
N H
+
O R
C O
C
C O
N CH
O
OH
CH2
O
NH3+
CH O
C
5
H
H
(CH2)4
O
(CH2)4 NH3+
Lys
OH vitamin B6 mempunyai Ink dan henderson (1984) menyatakan bahwa O P O CH 2
CH vitamer vitamer yang mampu untuk saling berubah dalam sel sel hewan dengan O N CH 3
+
3
H melibatkan berbagai enzim seperti (a) PL Kinase, (b) PMP/PNP oksidase, (c) Basa Schiff PLP Basa Schiff PLP
dan enzim (Aldimin Internal)
dan enzim substrat asan amino transferase, (d) fosfatase, dan (e) PL oksidase (Gambar 2) (Aldimin Eksternal)
Gambar 2.2. Metabolisme Vitamer-Vitamer Vitamin B6 Pada Sel Hewan Piridoksal fosfat (PLP) merupakan koenzim yang serbaguna yang berperan untuk mengkatalisis berbagai reaksi penting dalam metabolisme asam amino dan protein, misalnya transminasi, dekarboksilasi, dan rasemisasi (Conn et al., 1987). Piridoksal fosfat juga terlibat dalam reaksi transulfurasi, misalnya pada reaksi pengubahan metionin menjadi sistein (Martin et al., 1985). Telah diketahui sekitar 60 jenis reaksi reaksi asam amino yang melibatkan piridoksal fosfat (Conn et al., 1987). Selama transaminasi, piridoksal untuk sementara diubah menjadi Piridoksamin Fosfat (PMP). Bentuk tersebut akan dirubah kembali jika sudah menemukan gugus asam amino yang diinginkan sehingga gugus aktif antara piridoksal dan asam amino saling berikatan. Gambar 2.3. Pembentukan basa Schiff pada PLP.
6
Enzim-enzim PLP membentuk zat antara berupa basa Schiff yang berikatan secara kovalen dengan substrat. Bila tidak ada substrat, gugus aldehida PLP membentuk basa Schiff dengan gugus amino-ε
residu lisin yang spesifik
pada situs aktif. Ikatan basa schiff baru terbentuk pada penambahan suatu substrat asam amino. Gugus amino-α substrat asam amino menggusur gugus amino-ε lisin pada situs aktif. Dengan kata lain senyawa aldimin internal yang dihasilkan akan diubah menjadi aldimin eksternal. Basa schiff asam amino PLP yang terbentuk tetap terikat erat dengan enzim melalui interaksi multi non kovalen yang multipel. Scot et al. (1982), mengemukakan bahwa dasar kerja dari piridoksal fosfat dalam dekarboksilasi dan transminasi nampak pada reaksi dari gugus α amino dari asam amino dengan gugus aldehid pada posisi 4 piridoksal fosfat. Reaksi ini berlangsung karena piridoksal fosfat mempunyai kemampuan untuk memebentuk imino atau “basa sciff”
dimana
oksigen
dari
gugus
aldehid
dipertukarkan,
sedangkan nitrogen dari α amino dicentelkan kepada karbon aldehid dengan suatu ikatan rangkap. Menurut Lehninger (1982), pada reaksi transminasi yang dikatalisis oleh enzim transminase atau aminotranseferase, piridoksal fosfat yang teikat kuat berfungsi sebagai pembawa gugus amino dari senyawa donor yaitu asam α amino kepada apsektor gugus amino yaitu asam α keto. Selanjutnya Lehninger (1982) menyatakan bahwa pada siklus katalitik transminase, gugus amino dari suatu substrat α amino dipindahkan ke piridoksal fosfat yang terikat kuat oleh enzim, kemudian turunan amino yang dihasilkan yaitu piridoksamin fosfat akan memberikan gugus amino ke substrat yang kedua yaitu asam α keto, sedang koenzim kembali ke bentuk piridoksal fosfat. Selain terhadap lisin piridoksal fosfat juga merupakan koenzim yang mengkatalisis banyak ragam reaksi asam amino. Piridoksal fosfat juga berperan sebagai gugus prostetik enzim transminase misalnya glutamat oksaloasetat
A
C
H R
C C
P
B
CH
O O
OH
CH2
O
7
O
N
O
O
N
+
CH
3 transminase dan glutamat piruvat transminase (Moeljoharjodjo, 1988). Piridoksal H
fosfat (PLP) berfungsi sebagai koenzim dalam reaksi dekarboksilasi asam amino tirosin, arginin asam glutamat, dihidroksifenilalanin (DOPA) dan beberapa asam amino lainnya. Piridoksal fosfat berfungsi juga dalam sintesis triptopan dari indol dan serin. Disamping itu, vitamin ini ternyata berperan juga dalam sintesis δ-aminolevulinat yang merupakan zat pemula bagi senyawa-senyawa hem (Moeljoharjo, 1988), misalnya, Vitamin B6 terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Ensminger, Oldfield dan Heinemann, 1990) Sebagaimana suatu enzim memecah satu dari ketiga ikatan pada karbon α suatu asam secara selektif dengan prinsip bahwa ikatan yang akan dipecah harus tegak lurus pada π orbital penampang elektron itu. Pada enzim aminotransferase misalnya, hal tersebut dapat terlaksana dengan cara mengikat asam amino sedemikian rupa sehingga ikatan Cα -H tegak lurus terhadap cicncin PLP. Cara memilih satu dari beberapa kemungkinan hasil katalisis ini disebut pengaturan stereoelektronik. Tiga sifat umum katalisis dengan PLP mendasari beragam reaksi-reaksi tersebut. (1) basa schiff dibentuk oleh substrat asam amino (komponen ikatan amin) dan PLP (komponen karbonil). (2) bentuk PLP terprotonasi bekerja sebagai penampung elektron untuk menstabilkan zat antara katalitik yang bermuatan negatif, nitrogen pada cincin PLP menarik elektron dari asam amino, dengan kata lain PLP adalah suatu katalis elektrofilik. (3) Produk basa Schiff kemudian dihidrolisis.
Gambar 2.4. Sifat enzim piridoksal fosfat
8
Enzim piridoksal fosfat melabilkan satu diantara tiga ikatan pada karbon α suatu asam amino. Misalnya ikatan (A) dilabilkan oleh aminotransferase, ikatan (B) oleh dekarboksilase dan ikatan (C) oleh aldolase (seperti treonin aldolase). Enzim PLP juga mengkatalisis reaksi-reaksi pada karbon β dan γ pada asam amino. 2.4. Kebutuhan dan Defisiensi Piridoksin pada ayam Unggas sangat peka terhadap defisiensi vitamin, hal ini disebabkan oleh karena (1) unggas tidak memperoleh keuntungan dari sintesis vitamin oleh mikroorganisme dalam alat pencernaan, bahkan mikroorganisme usus pada unggas justru bersaing dengan tuan rumahnya sendiri dalam memperoleh vitamin, (2) unggas mempunyai kebutuhan yang tinggi terhadap vitamin untuk reaksi reaksi metabolisme dalam tubuh, (3) populasi yang padat dalam peternakan unggas modern, menimbulkan berbagai macam stres, sehingga unggas tersebut membutuhkan banyak vitamin (Yasin, 1988). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat kebutuhan berbagai jenis vitamin, baik bagi hewan maupun manusia. Daghir dan Shah (1973) melakukan penelitian terhadap ayam broiler umur satu hari (DOC) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan tingkat protein ransum terhadap kebutuhan vitamin B6. Daghir dan Shah menyimpulkan bahwa makin tinggi kandungan protein ransum, maka kebutuhan akan vitamin B6 semakin meningkat. Kesimpulan tersebut mendukung hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Gries dan Scott (1972) yang mengemukakan bahwa ransum dengan tingkat protein 22 persen membutuhkan piridoksin minimum 1,4 mg/kg ransum, sedangkan ransum dengan tingkat protein 31 persen membutuhkan piridoksin minimal 3,4 mg/ kg ransum. Kebutuhan piridoksin untuk ayam broiler yang direkomendasikan oleh NRC (1977) adalah 3.0 mg/kg ransum, sedangkan kebutuhan protein secara normal adalah 23 persen (wahju, 1988). Menurut Weiss dan Scott (1979), pemberian piridoksin sebanyak 3,0 mg/kg ransum kepada ayam petelur
9
nampaknya sudah mencukupi, sedangkan menurut NRC (1977) kebutuhan vitamin untuk ayam petelur sekitar 4,5 mg/kg ransum. Kebutuhan piridoksin untuk kalkun stater adalah 4,0 mg/kg, sedangkan untuk itik bibit (“breeder”) dibutuhkan piridoksin sebanyak 3,0 mg/kg ransum (wahju, 1988). Meskipun beberapa faktor telah diketahui dapat mempengaruhi tingkat kebutuhan piridoksin, tetapi penggunaan jagung, bungkil kacang kedele dan bahan bahan lain yang merupakan sumber energi dan protein dalam ransum, biasanya sudah memenuhi kebutuhan piridoksin (wahju, 1988). Karena
piridoksin,
piridoksal
serta
piridoksamin
terlibat
dalam
metabolisme asam asam amino dan protein maka kebutuhan akan vitamin tersebut akan meningkat jika konsumsi diet kaya protein, terutama protein yang mengandung metionin dan asam amino bersulfur lainnya dengan kadar yang cukup tinggi. Oleh karena itu defisiensi vitamin B6 menyebabkan timbulnya gejala sebagai akibat terganggunya metabolisme asam amino atau protein (Moeljohardjo, 1988). Berbagai jenis gejala defisiensi piridoksin pada ayam telah ditemukan oleh para peneliti. Defisiensi piridoksin pada ayam dewasa ditandai dengan penurunan produksi dan daya tetas telur, penurunan konsumsi pakan, kehilangan berat badan dan kematian. Defisiensi piridoksin yang hebat dimana tingkat piridoksin ransum dibawah 0,5 mg/kg ransum, dapat mengakibatkan hambatan pada perkembangan kantong telur, saluran telur, jengger, dan pial pada ayam petelur dewasa. Pada ayam jantan dapat terjadi hambatan perkembangan pada testes, jengger dan pial (Wahju, 1988; Scott et al., 1982). Weise dan Scott (1979) mengemukakan bahwa pada ayam petelur, defisiensi piridoksin dapat mengakibatkan gejala anorexia, kehilangan berat badan, penurunan cadangan lemak tubuh, menurunnya fertilitas dan daya tetas telur. Defisiensi piridoksin yang kronis pada ayam dapat mengakibatkan perosis, biasanya satu kakinya pincang, satu atau dua jari tengah membengkok (Gries dan Scott., 1972). Akibat defisiensi piridoksin pada anak ayam akan memperlihatkan gejala penurunan nafsu makan, kelambatan pertumbuhan dan gejala syaraf yang khas.
10
Anak ayam tersebut berjalan terhenti-henti, gerakan gangguan pada syaraf pada kaki dan sering memeperlihatkan konvulsi ekstrim yang berakhir dengan kematian. Selama adanya gejala konvulsi ini, anak ayam berjalan tanpa tujuan, sayap terkulai, jatuh terguling guling, melakukan gerak dalam kandang yang terhenti-henti (Wahju, 1988). Dalam melakukan penelitian, penyakit sebagai akibat defisiensi piridoksin dapat dibuat dengan dua cara yaitu dengan memberikan makanan basal yang tersusun dari bahan-bahan atau zat yang tidak mengandung piridoksin atau dengan cara pemberian deoksipiridoksin satu analog stuktural yang bersifat kompetitif terhadap piridoksin (Beisel, 1982). 2.5. Sistem Imun dan Sintesis Imunoglobulin Pengertian dari sistem imun adalah suatu sistem perlindungan atau pertahanan tubuh pada vertebrata terhadap invasi mikroorganisme atau bahanbahan asing yang dapat menggangu kesehatanya. Sistem imun ada dua macam, yang pertama adalah sistem imun humoral yang ditandai oleh sintesis dan sekresi zat antibodi kedalam sirkulasi darah atau cairan tubuh lainnya oleh sel-sel limfosit B dan plasma didalam organ limfoid. Sistem imun yang kedua adalah sistem imun seluler yang berrespons terhadap antigen atau bahan organik asing yang ditandai oleh suatu reaksi penolakan atau penghancuran terhadap benda asing oleh sel-sel efektor (sel T) yang terdapat pada organ limfoid, misalnya reaksi penolakan terhadap organ yang dicangkokkan yang merupakan benda asing bagi penerima (Sikar, 1987). Immunoglobulin merupakan protein yang mempunyai aktifitas antibodi. Protein ini dihasilkan oleh sel-sel plasma sebagai akibat adanya interaksi antara limfosit B peka antigen dengan antigen spesifik. Berdasarkan berat molekul dan sifat sifat kimianya maka dikenal lima kelas imunoglobulin yaitu IgG, IgM, IgA, IgD, dan IgE di mana setiap kelas berbeda dalam hal susunan asam amino, berat molekul sekaligus berbeda juga dalam hal sifat sifat biologiknya (Kresno, 1884). Tabel 2.1. Sifat Dasar Beberapa Kelas Immunoglobulin
11
Kelas
IgG
IgA
Konsentrasi
Massa
Koefisien
Rantai
Rantai
Struktur
Serum
(kd)
Sendimentasi
Pendek
Panjang
Rantai
(mg/ml) 12
150
7
κ atau λ
γ
180-500
7, 10, 13
3
κ atau λ
κ 2γ
2
atau
α
λ 2γ 2 (κ 2α 2)n atau
IgM
1
950
18-20
κ atau λ
µ
(λ 2α 2)n (κ 2µ 2)5 atau
IgD
0,1
175
7
κ atau λ
δ
(λ 2µ 2)5 κ 2δ 2 atau
ε
λ 2δ 2 κ 2ε 2 atau
IgE
0,001
200
8
κ atau λ
λ 2ε
2
Catatan: n = 1, 2 atau 3. IgM dan oligomer-oligomer IgA juga mengandung rantai J yang menghubungkan molekul-molekul Immunoglobulin. IgA dalam sekret mempunyai suatu tambahan bagian sekretori.
Masing-masing kelas memiliki rantai berat dan ringan. Bagian konstan pada rantai berbeda dari satu kelas ke kelas yang lain, sedangkan rantai ringannya sama (κ maupun λ ). Rantai panjang pada Immunoglobulin G disebut rantai γ , sedangkan pada Immunoglobulin A, M, D dan E masing-masing α , µ , δ dan ε . Rantai-rantai panjang yang berbeda ini, bervariasi pada pola dasar, menyebabkan kelima kelas Immunoglobulin mempunyai karakteristik biologi yang berbeda-beda. Pada ayam telah dideteksi 3 kelas immunoglobulin yaitu IgM, IgG dan IgA. IgG dan IgM merupakan kelas immunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah, dan karena itu kelas ini berperan utama dalam mekanisme pertahanan yang diperantarai oleh antibodi. Kelas IgA terdapat dalam ekskresi eksternal tubuh seperti ludah, airmata, kolostrum dan keringat (Khare at al., 1996; Tizard, 1982; Litman dan Good, 1998). Kebutuhan piridoksin untuk ayam pada keadaan normal adalah sekitar 3,0 mg/kg ransum (Scott et al., 1992). Pada kondisi normal IgG pada serum ayam adalah sekitar 300-700mg/100 ml (Tizard, 1982).
12
0100090000037800000002001c0000000000040000000301080005000000 0b0200000000050000000c02fe046309040000002e0118001c000000fb021000070 000000000bc02000000000102022253797374656d000463090000e4c7110072edc 630d0e416000c02000063090000040000002d01000004000000020101001c00000 0fb029cff0000000000009001000000000440001254696d6573204e657720526f6d 616e0000000000000000000000000000000000040000002d010100050000000902 000000020d000000320a5900000001000400000000006009fb0420282d00040000 002d010000030000000000 Gambar 2.5. Struktur Immunoglobulin G (IgG) Immunoglobulin G (IgG) adalah antibodi utama dalam serum, juga terdapat dalam beberapa sub kelas IgG1, IgG2, IgG3 dan IgG4. Mempunyai massa 150 kd. Setelah terjadi infeksi virus sistematik, IgG terus disintesis selama beberapa tahun dan merupakan perantara utama bagi perlindungan terhadap infeksi ulang. Subkelas IgG berbeda dalam hal daerah “tetap” dari rantai beratnya dan akibatnya berbeda sifat biologinya seperti fiksasi komplemen, pengikatan pada fagosit, dan pengalihannya ke dalam kolostrum dan susu. Pada sapi dan domba, IgG1 merupakan Immunoglobulin utama dalam kolostrum dan berperan penting pada perlindungan hewan baru lahir terhadap infeksi (Fenner, 1995). Suatu pendekatan dalam meneliti protein sebesar itu dengan hasil yang baik adalah dengan memecahnya menjadi fragmen-fragmen yang tetap mempunyai aktivitas. Pada tahun 1959 Rodney Porter menunjukkan bahea Immunoglobulin G dapat dipecah menjadi tiga fragmen aktif 50 kd dengan proteolisis terbatas dengan papain.
Dua diantara fragmen tersebut mengikat antigen. Keduanya disebut Fab (F untuk “fragmen” dan ab untuk “antigen binding”). Tiap Fab mengandung satusitus pengikatan untuk untuk hapten atau antigen dan memiliki afinitas pengikatan yang sama untuk hapten untuk seperti afinitas keseluruhan molekul.. tetapi, Fab tidak dapat mengikat silang suatu antigen yang memiliki determinan yang multipel karena ia univalen (mengandung hanya satu situs pangikatan).
13
Fragmen lainnya adalah Fc (50 kd), disebut Fc karena dengan mudah membentuk hablur (c untuk “cristalin”), tidak mengikat antigen, tetapi memiliki aktivitas biologis penting yang lain. Fc menyebabkan terjadinya respon perlindungan yang disebut fugsi efektor. Makrofag yang memiliki reseptor untuk unit Fc pada permukaannya, juga menangkap kompleks antigen-antibodi. Sintesis antibodi berlangsung terutama di limpa, buku limfa, jaringan limfoid terkait-usus dan jaringa limfoid terkait-bronkus. Limpa dan buku limfa menerima antigen virus melalui darah atau limfatika dan mensintesis antibodi yang terbatas terutama untuk kelas IgM pada awal respon dan kelas IgG selanjutnya. Sebaliknya, jaringan limfoid submukosa dari saluran pernafasan dan pencernaan, seperti tonsil dan tompok Peyer (“Peyer’s patches”), menerima antigen secara langsung dari sel epitel di atasnya, dan mereka menghasilkan antibodi utamanya dari kelas IgA). Berbagai penelitian tentang hubungan piridoksin dengan aspek kekebalan tubuh pada hewan dan manusia telah dilaporkan. Kumar dan Axelrod (1988) mengemukakan bahwa total sel sel pembentuk antibodi pada tikus defisiensi piridoksin, lebih sedikit dibandingkan dengan tikus normal. Selanjutnya Debes dan Kirksey (1999) membuktikan bahwa induk tikus yang diberi ransum defisiensi piridoksin semasa kehamilan dan laktasi, mengakibatkan jumlah limfosit dan sel-sel pembentuk antibodi yang lebih sedikit pada anak tikus tersebut dibandingkan dengan anak tikus yang induknya diberi ransum dengan tingkat piridoksin yang normal. Biesel (1992) mengemukakan bahwa defisiensi piridoksin pada hewan dan manusia, dapat menurunkan respon immun berperentara sel (“cel mediated immune response”) dan respon immun humoral terhadap berbagai jenis antigen. Penelitian tentang hubungan piridoksin dengan status immun pada manusia lanjut usia telah dilakukan oleh Talbot et al., (1997). Mereka melaporkan bahwa suplementasi piridoksin dapat memperbaiki fungsi limfosit dan mensimulasi sistem kekebalan tubuh pada manusia lanjut usia. Sebelumnya telah dilakaukan studi tentang pengaruh piridoksin terhadap sintesis antibodi pada ayam broiler (Silitonga, 1992). Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian piridoksin berpengaruh terhadap titer HI (titer antibodi) dan
Piridoksal Fosfat (PLP) DNA
Purin dan Pirimidin Immunoglobulin RNA FRAGMEN C1 14
SERIN kadar globulin serum. Pemberian piridoksin dengan dosis 3,0 mg/kg ransum memberikan kadar globulin paling tinggi. Penelitian selanjutnya menunjukan bahwa piridoksin berpengaruh nyata terhadap kadar immunoglobulin serum, kadar DNA dan RNA organ Fabricus. Defisiensi piridoksin memberikan kadar immunoglobulin yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok defisiensi (Silitonga, 1996). Dengan adanya fakta-fakta bahwa pada kondisi defisiensi piridoksin diperoleh kadar DNA dan RNA bursa Fabricus serta kadar Immunoglobulin serum paling rendah, maka diperoleh kesimpulan bahwa piridoksin beperan penting dalam biosintesis DNA. Kondisi ini selanjutnya berpengaruh terhadap pembentukan RNA dan biosintesis Immunoglobulin.
Gambar 2.6. Skema mekanisme pengaruh piridoksin terhadap biosintesis DNA, RNA dan Immunoglobulin. Walaupun telah diketahui bahwa kadar immunoglobulin serum, kadar DNA dan RNA pada organ bursa fabricus lebih rendah pada ayam broiler yang normal (Silitonga, 1996), namun penelitian tersebut belum mengungkapkan apakah
piridosin
tersebut
terlibat
dalam
biosintesis
keseluruhan
kelas
immunoglobulin atau hanya untuk kelas tertentu saja. Oleh karena itu penelitian ini direncanakan akan mampu mengungkap bagaimana sebenarnya keterlibatan piridoksin dalam mekanisme biosintesis IgG. Dari penelitian ini juga akan dilihat
15
apakah ada perbedaan kadar IgG serum pada kondisi defisiensi piridoksin, normal dan kondisi piridoksin berlebih. Jika ternyata terdapat perbedaan antara kadar Immunoglobulin dari perlakuan terhadap ayam yang diberikan, maka akan menunjukkan keterlibatan vitamin B6 atau piridoksin dalam proses kekebalan tubuh pada ayam sehingga mampu mempengaruhi daya resistensi ayam terhadap penyakit terutama yang disebabkan oleh virus. 2.5.Hipotesis Penelitian Dalam keadaan normal, piridoksin dibutuhkan hewan dan manusia pada proses sintesis asam nukleat, asam amino dan protein. Fakta- fakta menunjukan bahwa piridoksin berperan dalam biosintesis DNA, RNA dan Immunoglobulin. Immunoglobulin G merupakan bagian kelas immnuoglobulin yang utama dan terbanyak ditemukan dalam serum ayam, dimana kelas immunoglobulin tersebut berbeda dalam hal susunan asam amino dan berbagai sifat fisikokimianya dengan immunoglobulin lainnya. Dengan demikian, keterlibatan piridoksin dalam biosintesis IgG diduga akan menunjukan perbedaan yang cukup berarti pada kondisi defisiensi, normal dan kondisi piridoksin yang berlebih. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut : Ada perbedaan kadar Immunoglobulin G ( IgG ) serum ayam broiler pada kondisi defisiensi piridoksin, normal dan kondisi piridoksin berlebih. Secara statistik dapat ditulis sebagai berikut: H0
:
µ1 = µ2= µ3
Ha
:
Paling sedikit ada sepasang µ yang berbeda
Keterangan :
µ1
=
Rataan kadar IgG serum ayam broiler pada kondisi defisiensi piridoksin.
µ2
=
Rataan kadar IgG serum ayam broiler pada kondisi normal
µ3
=
Rataan kadar IgG serum ayam broiler pada kondisi
16
suplementasi piridoksin.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
17
Penelitian dilakukan di laboratorium Kimia FMIPA UNIMED Medan yang menyangkut tahap “bioassay” yaitu tahap pemberian perlakuan piridoksin terhadap ayam broiler. Analisa serta identifikasi Immunoglobulin G sampel dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA-IPB Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-November 2008. 3. 2. Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam broiler umur satu hari (DOC) strain yang seragam sebanyak 24 ekor. Antigen yang digunakan adalah vaksin NDV (Newcastle Desease Virus). Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum komersil yang telah mengandung piridoksin dengan dosis normal. Piridoksin yang digunakan dalam penelitian ini adalah piridoksin hidroklorida
(PN.HCl).
Antagonis
piridoksin
yang
digunakan
adalah
deoksipiridoksin. Bahan-bahan kimia dan alat yang digunakan disebutkan dalam prosedur penelitian. 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Rancangan Percobaan dalam penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) denga tiga perlakuan dan setiap perlakuan diberi lima ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah berupa kondisi piridoksin ransum yang bervariasi. untuk setiap kelompok diberi perlakuan piridoksin dengan dosis bervariasi dengan rician sebagai berikut : Tabel 3.1 Perlakuan Ransum Kelompok Ayam
18
Kelompok Defisiensi (D)
Perlakuan Diberi ransum komersil yang telah mengandung piridoksin dengan dosis normal, diberi tambahan antagonis piridoksin yaitu deoksipiridoksin dengan
Kontrol (K)
dosis 3,0 mg/kg ransum Diberi ransum komersil yang telah mengandung
Suplementasi (S)
piridoksin dengan dosis normal. Diberi ransum komersil yang telah mengandung piridoksin dengan dosis normal, dengan tambahan piridoksin 3,0 mg/kg ransum
3.3.2.Prosedur Penelitian adapun tahapan-tahapan kerja yang dilakukan dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Pemeliharaan ayam percobaan dengan memberi perlakuan kondisi piridoksin yang bervariasi dan biosintesis
immunoglobulin dengan
penyuntikan antigen NDV b. Pemisahan fraksi albumin dan globulin serum dengan metode penggaraman. c. Isolasi Immunoglobulin Serum dengan metode Kromatografi kolom gel sephadex G-200 d. Isolasi IgG dengan metode kromatografi kolom protein sepharos CL-4B e. Identifikasi dan analisis fraksi Immunoglobulin dilakukan dengan elektroforesis gel poliakrilamida terdenaturasi (SDS-PAGE) f. Penentuan kadar IgG .
3.3.2.1. Pemeliharaan dan Pemberian Perlakuan Pada Ayam Sebelum penelitian dimulai, disediakan tiga buah kandang dengan bentuk,
19
ukuran dan bahan yang seragam. Kandang dibersihkan, dicat dan dibebas hamakan dengan larutan karbol. Dalam tahap ini juga disediakan ransum sesuai dengan jenis perlakuan yang akan akan diberikan baik untuk kelompok kontrol (K), defisiensi (D) maupun kelompok suplementasi (S). Ayam percobaan diberi nomor kode pada sayap dan ditempatkan masingmasing lima ekor dalam satu kandang. Tata cara pemeliharaan selama 30 hari dilakukan sesuai prosedur (AAK, 1991). Selama pemeliharaan, setiap kelompok ayam diberi ransum sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Dalam masa pemeliharan diberikan antibiotik dan pengawasan yang rutin. Pemberian variasi ransum diberikan berdasarkan perkembangan umur ayam. Pemberian perlakuan terhadap ayam dilakukan dengan cara pencekokan setiap hari. Setelah berumur tiga minggu, semua ayam percobaan disuntik dengan antigen “Newcastle Disease Virus” (NDV). Sepuluh hari setelah penyuntikan antigen NDV, darah diambil untuk preparasi serum yang akan digunakan untuk analisis, isolasi, identifikasi dan penentuan kadar IgG serum. 3.3.2.2. Pemisahan Fraksi Albumin dan Globulin Serum dengan Metode Penggaraman Isolasi immunoglobulin serum ayam broiler yang diteliti dilakukan dengan beberapa tahap, tahap pertama adalah Pemisahan fraksi albumin dan globulin serum dengan metode “salting out” / penggaraman (Herbert, 1990). Kedalam
tabung
sentrifusi
dimasukkan
1,0ml
serum,
kemudian
ditambahkan 0,18 gr Natrium Sulfat Anhidrat (18% w/v) sedikit demi sedikit sambil di aduk hingga larut. Larutan tersebut diinkubasi selama 30 menit pada suhu 25˚C sambil diaduk sekali-sekali dan alat sentrifus dipanaskan hingga 25˚C. Larutan dipusing pada suhu 25˚C, 5000 rpm selama 30 menit. Supernatan dipisahkan dan endapan globulin di larutkan dalam 1,0 ml aquades. Selanjutnya larutan ditambahkan Natrium Sulfat Anhidrat 14% (w/v) dan di inkubasi selama 30 menit pada suhu 25˚C, lalu dipusing kembali selama 30 menit pada suhu 25˚C dengan kecepatan 5000 rpm. Supernatan dibuang dan endapan globulin dilarutkan
20
dalam 1,0 ml aquades. Proses penggaraman dengan Natrium Sulfat Anhidrat (14% w/v) diulangi sekali lagi. Endapan globulin dilarutkan dalam 1,0 ml buffer fosfat mM (pH 8,2) dan disimpan untuk analisis berikutnya. 3.3.2.3. Isolasi Fraksi Immunoglobulin Serum dengan Metode Kromatografi Kolom Gel Sephadex G-200. Setelah fraksi albumin dan globulin diperoleh, tahap berikutnya adalah Isolasi Immunoglobulin dengan Metode Kromatografi kolom gel Sephadex G-200 (khare,1996). Mula-mula kolom dipersiapkan dan diletakkan dalam tiang penyangga. Kemudian kolom diisi dengan buffer fosfat 100mM (pH 8,2) dan bubur Sephadex G-200 secara perlahan-lahan. Klem dibuka dan buffer dibiarkan mengalir terus, seiring dengan itu dilakukan penambahan bubur Sephadex G-200 hingga mencapai 1-2 cm dari bagian atas kolom. Kemudian kolom diklem dan dilakukan penambahan buffer fosfat hingga 1 cm di bagian atas kolom. Sebanyak 500 µl sampel hasil pemisahan “salting out” dimasukkan dengan cepat ke atas gel dalam kolom, dan klem dibuka. Setelah seluruh sampel terendam dalam gel di dalam kolom, ditambahkan buffer fosfat 100mM (pH 8,2) dan penambahan ini dilakukan terus menerus hingga kolom tidak sempat kering. Fraksi-fraksi / eluen ditampung masing-masing sebanyak 0,5ml dalam 30 buah tabung reaksi yang telah diberi nomor sebelumnya. Dari setiap tabung (fraksi) diambil 30 µl dan dimasukkan ke tabung lain, lalu ditambahkan 5,0 ml pereaksi Bradford. Absorbsinya dibaca pada λ 595 nm dalam spektronik 20. Selanjutnya dibuat grafik dari Absorbansi 595 nm vs nomor fraksi. Fraksi-fraksi yang terelusi pada volume elusi sekitar 3 ml hingga 6 ml (untuk kolom 10 ml) dan mempunyai puncak paling tinggi di pastikan adalah fraksi Immunoglobulin (Mackenzie, 1990). Sebanyak empat tabung fraksi-fraksi Immunoglobulin dikumpulkan, dicampur dan disimpan untuk analisis dan identifikasi Immunoglobulin selanjutnya.
21
3.3.2.4. Isolasi Fraksi Immunoglobulin G dengan Metode Kromatografi Kolom Protein Sepharos CL-4B. Setelah fraksi yang memiliki kadar protein paling besar disatukan, tahap selanjutnya adalah isolasi fraksi Immunoglobulin G dengan metode kromatografi kolom protein sepharos CL-4B (Mackenzie, 1996). Kolom polietilen terlebih dahulu dipersiapkan dan diletakkan pada tiang penyangga. Kolom kemudian diisi dengan bubur protein A sepharos CL-4B secara perlaha-lahan lalu dibilas dengan buffer fosfat pH 8,2. Klem dibuka agar pembilasan dapat berlangsung dengan sempurna. Penambahan bubur protein sepharos dapat dihentikan apabila tinggi bubur sudah mencapai tanda batas tinggi kolom yang diinginkan. Sebanyak 1 ml hasil penyatuan fraksi dari prosedur sebelumnya dimasukkan kedalam kolom tepat pada saat permukaan bubur hanya dibasahi sedikit buffer. Saat bubur telah dilewati fraksi sampel sampai pada batas permukaannya, kolom dibilas lagi dengan fase gerak berupa 1 ml buffer asetat pH 5.16 dan tetesannya ditampung sebanyak 1 ml pula. Setelah larutan melewati tanda batas bubur, kolom kembali dibilas dengan buffer asetat pH 4 sebanyak 1 ml dan tetesannya ditampung kembali dalam tabung terpisah. Setelah mencapai tanda batas, bubur dibilas kembali secara perlahan dengan buffer asetat pH 3,5 lalu kemudian tetesannya ditampung dan siap untuk dianalisis dengan metode selanjutnya. 3.3.2.5. Identifikasi dan Analisis Fraksi Immunoglobulin Dilakukan dengan Elektroforesis Gel Poliakrilamida Terdenaturasi (SDS-PAGE) Elektoforesis gel poliakril amida digunakan untuk analisis kualitatif dan identifikasi Immunoglobulin (Hames dan Rickwood, 2000; Mackenzie, 1990; Alexander, 1995). Pada tahap preparasi sampel disediakan 7 buah tabung (vial) yang bersih dan kering yang telah diberi nomor. Kedalam masing-masing vial dimasukkan sampel sebagai berikut: Tabel 3.2. Perlakuan sampel untuk SDS-PAGE Nomor Vial
Sampel yang Dimasukkan
Kode Sampel
22
1
Fraksi Immunoglobulin serum ayam
K1
hasil isolasi yang diberi perlakuan 2
normal Fraksi Immunoglobulin serum ayam
S1
hasil isolasi yang diberi suplementasi 3
piridoksin 3.0 mg/kg ransum Fraksi Immunoglobulin serum ayam
4
defisiensi piridoksin hasil isolasi Marker standar Immunoglobulin G
D1 M IgG
Kedalam masin-masing vial dipipet 10 µl sampel, kemudian ditambahkan 200 µl “dissociation buffer” dihomogenkan dengan “vortex mixer”, didenaturasi dengan pemanasan dalam penangas air 80 ˚C selama dua menit. Selanjutnya ke dalam masing-masing-masing vial ditambahkan dua tetes β-mercapto etanol, dikocok dengan “vortex mixer” dan dipanaskan kembali dalam penangas air selam lima menit. Sampel tersebut disimpan di lemari es dan telah siap di “inject” ke dalam sumur-sumur gel poliakrilamida. Sebanyak 10 µl masing-masing sanpel dimasukkan (di inject) kedalam sumur gel menurut urutan yang telah ditentukan. Plat kaca yang berisi gel dan sampel dengan hati-hati dimasukkan ke dalam bak elektroforesis SDS-PAGE (LKB 2001 Vertical Electroforesis System) dan di elektroforesis selama 3 jam hingga warna pelacak mencapai dasar plat gel diangkat dari bak dan dilakukan pemisahan gel dari plat kaca. Gel difiksasi dengan larutan TCA 12% selama 24 jam dalam bak plastik dan disimpan dalam lemari es. Pewarnaan dilakukan dengan menggunakan larutan Coomasie Blue R-250 dalam campuran metanol, asam asetat dan aquades dalam bak plastik berisi gel selama 4 jam dan ditempatkan diatas “shaker”. Pencucian gel (penghilangan warna) dilakukan dengan larutan pencuci campuram metanol, aquades dan asam asetat (5:4:1) dan ditempatkan diatas “shaker” selama satu jam hingga sel jernih
23
dan nampak pita-pita biru protein. Selanjutnya gel direndam dalam larutan gliserol 1 % dan disimpan dalam lemari es. Untuk menentukan nilai Rf (laju mobilitas) pita-pita protein, maka dilakukan pengukuran jarak pergerakan pita-pita protein dan pewarna pelacak dari tempat awal. Nilai Rf dari pit-pita protein ditentukan dengan rumus:
Rf =
Jarak pergerakan pita protein dari tempat awal ( cm ) Jarak pergerakan warna pelacak dari tempat awal ( cm ) Dengan membandingkan nilai Rf standard Immunoglobulin marker (pada
tabel), dapat diduga fraksi Immunoglobulin sampel yang diidentifikasi. 3.3.2.6. Penentuan Kadar Immunoglobulin G Penenuan kadar Immunoglobulin G (IgG) dengan Teknik Immunodifusi sesuai prosedur (Fahey dan Mc Kelvey, 1995). Setelah IgG diperoleh bandnya, gel elektroforesis dipotong lalu dilarutkan dengan buffer fosfat untuk dilakukan proses dihomogeniser (penghancur sel). Setelah gel larut secara keseluruhan kemudian diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar. Penentuan kadar IgG dilakukan dengan mengukur absorban sampel pada panjang gelombang 595 nm dengan metode bradford. 3.4. Teknik Analisa Data Data kadar IgG yang diperoleh dari hasil pengukuran instrumentasi selanjutnya ditabulasi, lalu dianalisis dengan analisa ragam secara statistik untuk pembuktian hipotesis. Pembuktian hipotesis dilakukan pada taraf signifikasi α = 0,01. Jika terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diberikan, maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Hanafiah, 1991) Tabel 3.3. Jadwal Penelitian No
Kegiatan
Tahun 2008 pada bulan
. 7
8
9
10
11
24
1
Persiapan penelitian berupa: 1. Persiapan sampel
2
///
2. Persiapan alat dan bahan Pemeliharaan ayam percobaan
dengan
///
memberi perlakuan kondisi piridoksin yang bervariasi dan biosintesis
immunoglobulin
dengan penyuntikan antigen NDV 3
1
Isolasi
dan
Identifikasi
///
Immunoglobulin Serum 2
Identifikasi
dan
analisis
fraksi
Immunoglobulin dilakukan dengan elektroforesis
gel
poliakrilamida
terdenaturasi (SDS-PAGE) 3
Isolasi
IgG
dilakukan
dengan
Kromatografi gel-sphadex G-200 4
Identifikasi
IgG
dengan
teknik
Immunoelektroforesis 5 4 5
Penentuan kadar IgG dengan teknik
Immunodifusi sesuai prosedur Pengolahan data dan interpretasi data Penulisan draft skripsi dan seminar hasil
/// ///
ujian/ meja hijau
DIAGRAM ALIR Pemisahan
Fraksi
Penggaraman.
Albumin
dan
Globulin
Serum
dengan
Metode
inject 500 ?l
Sampel
+ Buffer fosfat mM (pH 8,2)
Preparasi Kolom + Bubur Sephadex G-200
25
Isolasi Fraksi Immunoglobulin Serum dengan Metode Kromatografi Kolom Gel Sephadex G-200.
Hasil Spektra Fraksi Immunoglobulin Sampel Analisis + 5,0 ml Reagen Bradford Fraksi dengan puncak ?fosfat = 595 tertinggi nm disatukan karena diyakini sebagai fraksi Immunoglobulin +20 Buffer mM (pH0,5 8,2) Spektronik 80 ?l Kuvet Masing-masing ml Fraksi Kolom (secara kontinu) 26
Identifikasi dan Analisis Fraksi Immunoglobulin Dilakukan dengan Elektroforesis Gel Poliakrilamida Terdenaturasi (SDS-PAGE)
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
27
4.1. Penyajian Hasil Data Hasil perhitungan rataan kadar Immunoglobulin G serum pada ayam broiler dengan kelompok perlakuan pemberian piridoksin disajikan pada tabel berikut: Perlakuan Kadar Immunoglobulin G ( mg/100 ml) Defisiensi Normal Suplementasi 238,96 355,84 467,41 Keterangan : ketiga hasil rataan menujukkan perbedaan yang nyata pada taraf (α = 0,01) Dari hasil analisa serum setelah melalui proses isolasi salting out, kromatografi kolom gel sephadex G-200, kromatografi kolom protein sepharos CL-4B, identifikasi dengan elektroforesis poliakrilamida terdenaturasi (SDSPAGE) dan proses dehomogeniser serta perhitungan kadar IgG dengan pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 595 nm melalui metode bradford maka diperoleh hasil rataan kadar IgG untuk kelompok Defisiensi, Normal (Kontrol) dan Suplementasi berturut-turut yakni 238,96 ; 355,84 ; 467,41 mg/100ml. 4.2. Analisa Data dan Pengujian Hipotesis Hasil pengolahan data dengan analisa ragam adalah sebagai berikut : Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
db
JK
2 3 5
52198,80 11,84 52210,64
KT 26099,40 3,95
Fhitung 6607,44
Ftabel 30,81
Fhitung = 6607,44 Ftabel
= 30,81 Karena Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak Berarti : terdapat perbedaan kadar IgG serum ayam broiler pada kondisi
28
Defisiensi, Normal dan Suplementasi piridoksin. 4.3. Pembahasan Hasil analisa ragam dengan menggunakan metode Beda Nyata Terkecil pada taraf α = 0,01 menunjukkan bahwa ternyata terdapat perbedaan nyata antara kadar IgG serum darah ayam yang diberi perlakuan Defisiensi, kondisi Normal dan juga kondisi piridoksin berlebih (Suplementasi). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar piridoksin yang diberikan terhadap ayam dapat mempengaruhi kadar IgG dalam serum darahnya. Hal ini membuktikan bahwa piridoksin berperan aktif dalam proses biosintesis IgG dalam serum darah ayam dimana IgG itu sendiri merupakan komponen perlindungan atau pertahanan tubuh pada ayam. Keberadaan IgG akan membuat ayam akan lebih cepat sembuh jika terserang penyakit terutama yang disebabkan oleh virus. Dari kondisi fisik ayam broiler itu sendiri menunjukkan perbedaan yang dapat diamati melalui pengamatan langsung dimana ayam kelompok Defisiensi masih memiliki tanda-tanda penyakit yang dialaminya seperti kulit agak pucat dibagian muka dan masih mengeluarkan lendir dari paruhnya. Hal ini dikarenakan kondisi fisik ayam masih belum pulih benar setelah dilakukan vaksinasi beberapa hari sebelumnya. Hari pengamatan tersebut dilakukan pada hari ke 30 tepat saat ayam-ayam tersebut diambil serum darahnya. Sesuai dengan studi yang telah dilakukan sebelumnya tentang pengaruh piridoksin terhadap sintesis antibodi pada ayam broiler (Silitonga,1992) menunjukkan bahwa pemberian piridoksin berpengaruh pada titer HI (titer antibodi)
dan
kadar
globulin
serum.
IgG
merupakan
subkelas
dari
Immunoglobulin, dimana Immunoglobulin adalah salah satu kels antibodi (Kuby,1997). IgG juga memberikan kontribusi kekebalan tubuh melawan berbagai agen penginfeksi yang memiliki suatu sifat persebaran melalui regenerasi sel darah termasuk didalamnya bakteri-bakteri, virus-virus, parasit-parasit dan beberapa jenis jamur (Belanti,1978). Diharapkan dalam pendekatan berikutnya penggunaan
piridoksin
juga
dapat
diaplikasikan
pada
manusia
untuk
29
meningkatkan sistem immunitasnya terhadap penyakit-penyakit bersumber dari virus, mengingat bahwa piridoksin memegang peran penting dalam biosintesis IgG sebagai antibodi tubuh.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
30
5.1. Kesimpulan 1. Pemberian piridoksin berpegaruh terhadap kadar Immunoglobulin G pada serum darah ayam broiler. 2. Kelompok Suplementasi atau kelompok yang diberikan piridoksin berlebih menunjukkan kadar Immunoglobulin G paling tinggi yaitu 467,41 mg/100ml,
sedangkan
kelompok
Defisiensi
yang
diberikan
deoksipiridoksin memberikan hasil analisa kadar Immunoglobulin G paling rendah yaitu 238,96 mg/100ml. 3. Piridoksin berperan dalam proses biosintesis Immunoglobulin G dalam serum darah ayam broiler. 4. Peningkatan Immunoglobulin G dapat meningkatkan kekebalan tubuh pada ayam broiler yang terserang penyakit.
5.2. Saran 1. Piridoksin dapat dijadikan sebagai zat tambahan untuk mencegah ternak khususnya ayam dari penyakit. 2. Perlu adanya pengembangan penelitian lebih lanjut tentang sub kelas Immunoglobulin lainnya yang juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. 3. Diharapkan dalam pendekatan penelitian berikutya penggunaan piridoksin juga dapat diaplikasikan pada manusia untuk sistem imunitasnya terhadap penyakit-penyakit bersumber dari virus. DAFTAR PUSTAKA Alexander, R.R., J.M. Griffiths dan M.L. Wilkinson. 1985. Basic Biochemical
31
Methods. Jhon Wiley & Sons, Newyork. A.A.K. 1991. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Beisel, W.R. 1992. Single Nutrients and Immunity, Am. J. Clin. Nutr. 35: 417-464 Belanti, Joseph A. 1978. Immunology II. Asian edition. W.B. Saunders Company, Philadhelphia. Conn, E.E P.K. Stumpf, G. Bruening and R.H. Doi. 1997. Outlines of Biochemestry. Jhon Weley & Sons New York Daghir, N.J., and M.A. Shah. 1973. Effect of dietary protein level on vitamin B6 requirements of chicks. Poultry Sci. 52: 1247-1252. Debes, S.A., and A. Kirksey. 1999. Influence of dierary pyridoxine on selected immune capasitities of rat dams and pups. J. Nutr. 109: 744-250 Ensminger, M.E., J.E. Oldfield and W.W. Heineman. 1990. Feeds& Nutrition. 2nd. Ed. The Ensminger Publishing Company, Clovis-USA. Fahey, J.L., and Mc Kelvey. 1995, quantative determination of serum immunoglobulins ini anti body-agar plates. J. Immunol. 94: 84-90. Fenner, F.J., et al. 1995. Veterinery Virology. 2nd edition. Academic Press Inc, USA. Freed, M., 1966. Methods of Vitamun assay. 3rd ed Interscience Publishers, New York. Gries, C.L., and M.L. Scott. 1972. The patology of pyridoxine deficiency in chicks. J. Nutr. 102: 1259-1268. Hames, B.D. dan Rickwood. 1990. Gel Electrophoresis of Protein : Apractikal Aproach.IRL Press. Oxford. Hanafiah, M. 1991. Rancangan Percobaan. Rajawali Press, Jakarta. Heard, G.S, and E.F. Annison., 1986. gastrointestindtal absorption of Vitamin B6 in the Chiken. J. Nutr. 116: 107-120. Ink, S.L., and L.M. Henderson. 1984. Vitamin B6 metebolism. Ann. Rev. Nutr. 11: 1210-1222 Khare. M.L.., Kumar and J. Grun. 1996. Immunoglubins of the chicken Anti Body to Newcastle Disease Virus (Muktewwae and F Strain). Polutry Sci, 55:
32
152-159 Kresno, S.B. 1984. Imunologi: Dagnosis dan Prosedur Laboratorium. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Kuby, Janis. 1997. Immunology . 3rd edition. W.H. Freeman and Company, New York. Lehninger, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publisher INC, NewYork. Litman, G. And R Good. 1998. Immunoglubins. Pelenum Medical book Company. New York and London. Mackenzie. D.C. 1990. Technical Requirements for Amino Acid and Protein Structure. IPB-Australia Project, Bogor. Martin, D.W., et al., 1985. Biokimia ( diterjemahkan oleh Iyan Darmawan), Penerbit E.G.C. Jakarta. Moeljoharjdjo, D.S. 1988. Biokimia Umum II. Laboratorium Biokimia FMIPA – Institut Pertanian Bogor. Moeljoharjdjo, D.S. dan D.E. Purwakusumah. 1991. Fraksinasi sub seluler. Kursus Singkat PAU-Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Murtidjo, B.A. 1997. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanasius, Jakarta. Scoot, M.L., M.C. Neishem And R.J Young. 1992. Nutrition of the chickens. 3rd. Ed. M.L. Scoot & Associates, Ithaca, New York Silitonga, P.M. 1992. Pengaruh Piridoksin Terhadap Sintesis Antibodi pada Ayam Broiler, M.S. Thesis, Institut Pertanian Bogor. Silitonga, P.M., M. Simorangkir dan M. Silitonga. 1996. Pengaruh piridoksin Terhadap Kadar Immunoglobulin, DNA dan RNA pada Ayam Broiler. Proyej PPTG-Dirjen Dikti-Depdikbud. Stryer, Lubert. 2000. Biokimia. Edisi empat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Talbott, M.C., L.T. Miller and N.I. Kerkvliet. 1997. Pyridoxine Suplementation : Effect on limpocyte responses in elderly persons. Am. J. Clin. Nutr. 46: 659-664 Tizard, I.R. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. (Partodiredjo, cs).
33
Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya. Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajahmada University Press, Yogyakarta. Yasin, S. 1988. Fungsi Dan Peranan Zat- Zat gizi Dalam Ransum Ayam petelur. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Lampiran : PERLAKUAN PIRIDOKSIN DAN DEOKSI PIRIDOKSIN
34
Kelompok Defisiensi
: Cekok 1 ml larutan stok Deoksi piridoksin/ekor/hari
Kelompok Normal
: ------------------------
Kelompok Suplementasi
: Cekok 1 ml larutan stok Piridoksin/ekor/hari
Kebutuhan ransum untuk ayam Umur 1 minggu
: 20 gr/ekor/hari
Umur 2 minggu
: 40 gr/ekor/hari
Umur 3 minggu
: 60 gr/ekor/hari
Umur 4 minggu
: 70 gr/ekor/hari
Kebutuhan vitamin B6 untuk ayam broiler
= 3 mg/kg ransum
Minggu I Kebutuhan ransum untuk ayam umur 1 minggu
= 20 mg/ekor/hari
Maka : Banyaknya vitamin B6 yang dibutuhkan ayam 20/1000 x 3 mg Untuk 8 ekor dibutuhkan
= 0,06 mg/ekor/hari = 8 x 0,06 mg = 0,48 mg/hari
Untuk 1 minggu (7 hari)
= 7 x 8 x 0,06 mg = 3,36 mg
* Larutan stok untuk 7 hari (1 minggu) Untuk 1 ekor ayam (cekok 1 ml air)/hari
8 ml/hari
Untuk 8 ekor selama 7 hari = 7 x 8 ml = 56 ml Maka larutan stok untuk 1 minggu Dilarutkan 3,36 mg Piridoksin dalam 56 ml air 3,36 mg Deoksipiridoksin dalam 56 ml air (untuk tanggal 24-30 Juni 2008)
Satuan ppm ppm = mg zat / mg sampel x 10 Untuk kebutuhan 1 hari 1 ekor ayam membutuhkan
= 0,06 mg / 20 gr ransum
35
= 0,06 mg / 20 x 10 mg x 10 = 60/20 ppm = 3 ppm Tabel Dosis Piridoksin Mingguan yang diberikan pada ayam broiler (Suplementasi) Minggu
I II III IV
Dosis
3 ppm 3 ppm 3 ppm 3 ppm
Kebutuhan
Jumlah larutan
ransum
stok mingguan
(gr/ekor/hari)
(ml)
ayam
20 40 60 70
56 56 56 56
(ekor) 8 8 8 8
Jumlah
Jumlah piridoksin yg dibutuhkan (mg)
3,36 6,72 10,08 11,76
Tabel Dosis Deoksipiridoksin Mingguan yang diberikan pada ayam broiler (Defisiensi) Minggu
Dosis
Kebutuhan
Jumlah larutan
ransum
stok mingguan
(gr/ekor/hari)
(ml)
Jumlah ayam
Jumlah Deoksipiridoksin yg dibutuhkan (mg)
(ekor)
I II III IV
3 ppm 3 ppm 3 ppm 3 ppm
20 40 60 70
56 56 56 56
8 8 8 8
Lampiran : Pembuatan Gel Elektro foresis Bahan-bahan penyusun gel elektroforesis - Running Gel ( 5 – 10%) dari 40ml larutan a) 1. 7,5% - 10 ml stok akrilamida (15%) + 10 ml air 2. 10% - 14 ml stok akrilamida (15%) + 6 ml air 3. 15% - 20 ml stok akrilamida (15%)* b) 5,0 ml Buffer tris-HCl pH 8,9 3,0 M c) 0,4 ml Sodium dodesil sulfat (SDS) 10%
3,36 6,72 10,08 11,76
36
d) 0,02 ml e) 0,4 ml f) 14,18 ml
N’N’N’N’ Tetrametiletilen diamin (TEMED) Amonium persulfat (0,5 gr dalam 4,5 ml air)** Air
- Stacking Gel 3% dari 10 ml a) 1,0 ml Stok akrilamida (30%) b) 1,25 ml Buffer tris-HCl pH 7,0 0,5 M c) 0,1 ml Sodium dodesil sulfat (SDS) 10% d) 0,005 ml N’N’N’N’ Tetrametiletilen diamin (TEMED) e) 0,1 ml Amonium persulfat (0,5 gr dalam 4,5 ml air)** f) 7,54 ml Air Ket: * konsentrasi akrilamida harus disesuaikan dengan sampel ** zat harus dibuat beberapa saat sebelum digunakan Prosedur pembuatan gel - Plat kaca disusun sejajar dan diberi pembatas sesuai dengan ketebalan gel yang diinginkan - Kedalam plat kaca dimasukkan adonan running gel dengan menggunakan spoid, lalu dibiarkan beberapa saat samapi cairan membentuk gel dan dipastikan bahwa tidak ada gelembung udara yang terbentuk. - Setelah running gel mengeras lalu dimasukkan adonan stacking gel dengan spoid,. Banyaknya stacking gel yang ditambahkan harus beberapa cm dari pangkal kaca untuk membentuk sumursumur gel. - Masukkan plat pembentuk sumur gel poliakrilamida lalu ditunggu hingga ia membentuk gel - Setelah gel terbentuk secara keseluruhan barulah plat diangkat dan gel siap digunakan dalam proses slsktroforesis Lampiran : Hasil Elektroforesis perbandingan kelompok
setiap Perlakuan
37
Gambar hasil elektroforesis (sumur 20) Keterangan : Sumur : 1. dikosongkan 2. dikosongkan 3. sampel kelompok Normal (serum awal) 4. sampel kelompok Normal (sepadex G-200) 5. sampel kelompok Normal (sepharos pH 3,5) 6. sampel kelompok Normal (sepharos pH 4) 7. sampel kelompok Normal (sepharos pH 5,16) 8. marker IgG 9. sampel kelompok Suplementasi (serum awal) 10. sampel kelompok Suplementasi (sepadex G-200) 11. sampel kelompok Suplementasi (sepharos pH 3,5) 12. sampel kelompok Suplementasi (sepharos pH 4) 13. sampel kelompok Suplementasi (sepharos pH 5,16) 14. marker protein 15. sampel kelompok Defisiensi (serum awal) 16. sampel kelompok Defisiensi (sepadex G-200) 17. sampel kelompok Defisiensi (sepharos pH 3,5) 18. sampel kelompok Defisiensi (sepharos pH 4) 19. sampel kelompok Defisiensi (sepharos pH 5,16) 20. dikosongkan
Lampiran: Hasil Elektroforesis sampel
10 µl 20 µl 20 µl 20 µl 20 µl 20 µl 10 µl 20 µl 20 µl 20 µl 20 µl 20 µl 10 µl 20 µl 20 µl 20 µl 20 µl
38
Gambar hasil elektroforesis sampel Keterangan : Kode sampel D1 K1 S1 M IgG *
a* (cm) 5,5 5,5 5,5 5,1
Rf (a/b) 0,78 0,78 0,78 0,71
a = jarak pergerakan pita protein sampel b = jarak pergerakan pewarna pelacak ; b = 7 cm
Pita tunggal dengan Rf 0,78 adalah Immunoglobulin G (IgG)
Lampiran : Tabel Bahan kurva standard Bahan (ml) 1
2
3
Tabung 4
5
6
7
39
Standard BSA* 0 0,1 Sampel IgG _ _ Aquadest 0,8 0,7 Reagen 0,2 0,2 Bradford Total (ml) 1,0 1,0 Ket :* konsentrasi 1000 ppm (0,1%)
Absorbansi
Tabel Hasil Absorbansi Tabung 1 2 3 4 5 6
0,2 _ 0,6 0,2
0,4 _ 0,4 0,2
0,6 _ 0,2 0,2
0,8 _ 0 0,2
_ 0,2 0,6 0,2
1,0
1,0
1,0
1,0
1,0
Std BSA 0 ppm 100 ppm 200 ppm 300 ppm 500 ppm 1000 ppm
A 0,000 0,059 0,151 0,271 0,380 0,845
kurva standard
0.900 0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 0
y = 0.000847x - 0.0124 R 2 = 0.9951
500
1000
konsentrasi
Hasil absorbansi sampel Kode A(y) D1 0,189 K1 0,290 S1 0,382 Perhitungan kadar IgG dengan persamaan: y = 0.000847x – 0,0124
Kode D2 K2 S2
untuk: D1 ; 0,186 = 0,000847x – 0,0124 x = 0,189 + 0,0124 / 0,000847 = 257,78 D2 ; 0,191 = 0,000847x – 0,0124
A (y) 0,191 0,288 0,385
40
K1 ; K2 ; S1 ; S2 ;
x 0,290 x 0,288 x 0,382 x 0,385 x
= 0,191 + 0,0124 / 0,000847 = 0,000847x – 0,0124 = 0,290 + 0,0124 / 0,000847 = 0,000847x – 0,0124 = 0,288 + 0,0124 / 0,000847 = 0,000847x – 0,0124 = 0,382 + 0,0124 / 0,000847 = 0,000847x – 0,0124 = 0,191 + 0,0124 / 0,000847
Tabel hasil perhitungan kadar IgG Perlakuan No Sampel 1
= 240,14 = 357,02 = 354,66 = 465,64 = 469,18 A (y) 0,189
Kadar IgG mg/ 100ml (x) 237,78
Defisiensi 2 Kontrol (Normal)
1 2 1
0,191 Rata-rata 0,290
240,14 238,96 357,02
0,288 Rata-rata 0,382
354,66 355,84 465,64
0,385 Rata-rata
469,18 467,41
Suplementasi 2
Lampiran :
41
Kadar IgG Perlakuan Defisiensi
No. Sampel 1 2
Kontrol
1 2
Suplementasi
1 2
Absorbans 0.189 0.191 Rata-rata 0.290 0.288 Rata-rata 0.382 0.385 Rata-rata
Kadar (mg/100ml) 237.78 240.14 238.96 357.02 354.66 355.84 465.64 469.18 467.41
Catatan : Kadar normal IgG ayam = 300 – 700 mg/100ml Perhitungan : Ulangan 1 2 Total (Yi..) _
Rata-rata ( Y i..)
Defisiensi 237,78 240,14 477,92
Piridoksin Normal 357,02 354,66 711,68
Total Suplemementasi 465,64 469,18 943,82
238,96
355,84
467,41
2124,42 (Y) 1062,21 ( _
Y)
db Total = Σ i ri - 1 =6–1 =5 db Perlakuan = 3 – 1 =2 db Galat = db total – db perlakuan = 5 – 2 = 3 Faktor Koreksi (FK) Y2 (2124,42) 2 4513160,336 FK = = = = 752193,39 6 6 ∑ ri i
Jumlah Kuadrat Total (JKT) JKT = ∑ Y 2ij − FK = ( 237,78) + ( 240,14 ) + ( 357,02 ) + ( 354,66) + ( 465,64) 2
2
2
i, j
+ ( 469,18) − 752193,39 = 804404,026 − 752193.39 = 52210,636 2
Jumlah Kuadrat Perlakuan (JKP)
2
2
42
JKP = ∑ i
Y 2i 477.922 + 711.682 + 934.82 2 − FK = − 752193.39 = ri 2
804392.19 − 752193.39 = 52198.80 Jumlah Kuadrat Galat (JKG) JKG = JKT − JKP = 52210,64 − 52198,80 = 11,84 Kuadrat Tengah Perlakuan (KTP) JKP 52198,80 KTP = = = 26009,40 t −1 2 Kuadrat Tengah Galat (KTG) JKG 11,84 KTG = = = 3,95 dbGalat 3 Fhitung =
KTP 26099,40 = = 6607,44 KTG 3,95
koefisien keragaman (kk) KTG 3,95 kk = × 100% = × 100% = 0,187% _ 1062,21 Y Ftabel (0,01) = 30,81 Tabel Analisa ragam untuk data kadar Immunoglobulin pada serum ayam broiler. Sumber db JK KT Fhitung Ftabel keragaman Perlakuan Galat Total
2 3 5
52198,80 11,84 52210,64
26099,40 3,95
6607,44
30,81
Karena Fhitung > Ftabel , maka tolak H0 Berarti : Terdapat perbedaan kadar IgG serum ayam pada kondisi Piridoksin berlebih (Suplementasi), kondisi Normal dan kondisi Defisiensi.
Uji Beda Nyata (BNT)
43
BNT = t( α )( v )
2 KTG 2 × 3,95 = t( 0,01)( 3 ) = 5,841 × 1,987 = 11,606 r 2
_
Y 1= 238,96 _
Y 2= 355,84 _
Y 3= 467,41 Beda yang teramati dari rataan setiap perlakuan adalah sebagai berikut : _
_
_
_
Y 2 - Y 1 = 355,84 – 238,96 = 116,88 Y 3 - Y 1 = 467,41 – 238,96 = 228,45 0,01) _
(nyata pada α = 0,01) (nyata pada α =
_
Y 3 - Y 1 = 467,41 – 355,84 = 111,57
(nyata pada α = 0,01)
44
Lampiran: DATA BERAT BADAN (GRAM) AYAM BROILER SELAMA PENELITIAN TANGGAL 18 JUNI S/D 16 JULI 2008 TINGKAT PIRIDOKSIN
ULANGAN
MINGGU KE / TANGGAL
1
AWAL 18-6-2008 49
I 25-6-2008 165
II 2-7-2008 450
III 9-7-2008 710
IV 16-7-2008 800
2 3 4 5 6 7 8
52 49 51 53 51 48 49
154 143 146 169 154 145 137
340 410 340 450 380 360 350
710 740 680 640 650 700 640
1070 1030 1040 850 850 830 800
1
49
139
380
650
910
2 3 4 5 6 7 8
46 47 49 43 49 49 46
150 137 162 169 135 161 151
410 350 400 410 440 450
760 700 620 780 820 820
1
47
132
370
700
1030
2 3 4 5 6 7 8
46 54 53 52 57 55 55
163 162 147 142 137 137 159
330 360 370 390 390 300 400
640 620 600 680 690 590 660
1020 920 970 1050 960 960 1000
NORMAL
RATA-RATA
DEFISIENSI 1060 1010 820 1030 1140 1080
RATA-RATA
SUPLEMENTASI
RATA-RATA
45
DATA PERTAMBAHAN BERAT BADAN (GRAM) AYAM BROILER SELAMA PENELITIAN TANGGAL 19 JUNI S/D 17 JULI 2008 TINGKAT PIRIDOKSIN
ULANGAN
UMUR
1
1 Minggu 26-6-2008 116
2 Minggu 3-7-2008 285
3 Minggu 10-7-2008 260
2 3 4 5 6 7 8
102 94 95 116 103 97 88
186 267 194 281 226 215 213
370 330 340 190 270 340 290
1
90
241
270
2 3 4 5 6 7 8
104 90 113 126 86 112 105
260 188 231 275 279 299
350 350 220 370 380 370
1
85
238
330
2 3 4 5 6 7 8
117 108 94 90 80 82 104
167 198 223 248 253 163 241
370 260 230 290 300 290 260
4 Minggu 17-7-2008 90
NORMAL 360 290 360 210 200 130 160
RATA-RATA 260
DEFISIENSI 300 310 200 250 320 260
RATA-RATA 330
SUPLEMENTASI
RATA-RATA
320 300 370 370 270 370 340