Pendidikan Agama Islam

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Agama Islam as PDF for free.

More details

  • Words: 2,171
  • Pages: 6
PENDIDIKAN (AGAMA) ISLAM: ANTARA ILMU DAN KOMPETENSI Oleh : Maksum Muchtar A. Pendahuluan Perhatian umat manusia terhadap pendidikan tidak akan pernah berhenti. Pendidikan setidaknya selalu dijadikan tumpuan umat manusia dalam dua hal. Pertama, sebagai sarana untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia yang tengah dihadapinya, atau diprediksikan dihadapi di masa mendatang. Kedua, sebagai sarana untuk membangun peradaban manusia, melampaui masalah-masalah yang dihadapinya. Jelasnya pendidikan diperlukan oleh umat manusia untuk keluar dari kesulitan kehidupan hari ini dan membangun peradaban, atau kehormatan dan kejayaan kehidupan manusia masa yang akan datang. Para ulama muslim klasik, secara lebih elegan merumuskan fungsi pendidikan semacam itu dalam istilah li sa’adat al-daarain. Kehidupan yang akan datang dalam konsep mereka menembus batas kehidupan di dunia dan melampauinya, hingga ke batas yang lebih jauh lagi, yaitu kehidupan akhirat. Bahwa pendidikan diandalkan untuk mengatasi problem “sekarang” dapat dilihat dari kecemasan banyak fihak terhadap kehidupan pada millenium ketiga, atau era global, yang menuntut kemampuan bersaing yang amat tinggi di satu fihak, dan ketangguhan menghadapi perubahan yang amat cepat difihak lain. Pada situasi seperti itu, banyak masyarakat manusia menaruh harapan terhadap pendidikan. Kehidupan di era global sendiri, secara lebih jauh dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi umat manusia itu sendiri di “masa akhir”, yang akan datang. Kala demikian, pendidikan untuk kedua kalinya diandalkan untuk menjaga eksistensi manusia itu, sebagai pembangun peradaban. Selama ini, masyarakat muslim meyakini bahwa “pendidikan (Agama) Islam” dapat memenuhi kedua fungsi diatas. Bahkan lebih dari itu, diyakini pula bahwa dalam menunaikan fungsi-fungsi tersebut pendidikan Islam lebih unggul dari pendidikan yang lain. Dasar keyakinan itu ialah karena pendidikan Islam bersumber dari dan sekaligus dituntun oleh wahyu, al-Qur’an. Keyakinan demikian memiliki sisi positif, setidaknya dapat melahirkan kegigihan untuk mempertahankan eksistensi pendidikan Islam, seperti selama ini dapat kita saksikan. Namun demikian, keyakinan seperti itu dapat menghilangkan daya kritis terhadapnya, sehingga pendidikan Islam terasa mandul, seperti kita rasakan. Terdapat dua realitas yang perlu direnungkan untuk mengkritisi pendidikan Islam. Pertama adalah bahwa masih banyak ketidak harmonisan, kemiskinan, dan ketidak berdayan dalam kehidupan umat Islam. Kedua adalah tuntutan global yang amat kompleks yang semangat pemecahannya belum tampak dalam praktek pendidikan Islam. Dua realitas tersebut dapat menggugah kita untuk mempertanyakan eksistensi pendidikan (agama) Islam, setidaknya dari sisi materi ajarnya, yaitu antara ilmu dan kompetensi. B. Melacak Jejak Pendidikan (Agama) Islam Jika dilakukan kilas balik secara sepintas tentang pendidikan Islam, kiranya dapat dicatat hal-hal berikut: 1. Hubungan Institusi dan Keluarga

1

Pada masa awal, ketika Islam baru mulai berkembang, institusi pendidikan belum begitu banyak. Institusi yang ada adalah masjid, bait al-mu’allim, dan kuttab. Itupun jumlahnya masih terbatas. Namun demikian, yang penting dicatat di sini ialah peran keluarga. Keluarga pada ketika itu memiliki tanggung jawab terhadap aktivitas putra putrinya berkaitan dengan hasil pembelajaran dan implementasinya dalam kehidupan, khususnya di dalam keluarga. Tanggung jawab keluarga ini pada sisi lain sebetulnya melengkapi peran keluarga sebagai institusi pendidikan strategis pada masanya. Dalam pandangan Islam, keluarga memang ditempatkan sebagai institusi strategis dalam pendidikan, terutama berkait dengan beberapa aspek pendidikan yang mesti tertanam pada anak yang tidak bisa diwakilkan kepada institusi pendidikan manapun. Aspek yang dimaksud antara lain: 1) Aspek kepengasuhan (parenting); aspek ini penting karena ia memelihara kebermaknaan hubungan emosional antara seorang anak dengan ibu dan bapaknya. Hubungan itu tercipta sejak masa prenatal. 2) Aspek penyediaan hidangan keruhanian (maidaturruhany); aspek ini menciptakan kedalaman hubungan secara ruhani antara anak dan orang tuanya yang selanjutnya akan menjamin efektitas tertanamnya nilainilai spiritual seorang anak. Aspek ini terutama bisa maksimal melalui peran seorang ibu. Oleh karena itu Nabi pernah bersabda bahwa al-ummahaat madrasat al-uula. 3) Aspek pemeliharaan dan pengembangan potensi yang bersifat genetis dari anak; aspek ini terutama mengembangkan dan memelihara potensi-potensi positif anak yang bersifat genetis yang diturunkan dari orang tuanya. Misalnya kecerdasan, yang bisa di kelola dan ditingkatkan pada usia potensial anak (golden age). Dalam hal ini peran orang tua akan lebih maksimal jika ia memahami psikologis anaknya secara mendalam. Semua itu masih efektif diperankan pada generasi-generasi awal Islam. Pada masa belakangan, terutama di abad moderen, terjadi dua gejala penting. 1). Menguatnya peran masyarakat dalam mempengaruhi perilaku anak. Maksudnya, terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan dimana anak-anak tidak hanya hidup dengan keluarganya di dalam rumah, melainkan lebih terbuka sehingga terjadi kontak-kontak sosial di luar rumah, yang mengurangi ketergantungan anak terhadap rumah, dan mengurangi kontak anak dengan kedua orang tuanya. Dengan demikian, lingkungan sosial memiliki pengaruh yang juga cukup kuat di samping keluarganya 2). Semakin banyak orang tua yang melimpahkan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya kepada institusi-institusi pendidikan di luar rumah, baik itu madrasah, pondok pesantren, ataupun bahkan masyarakat terbuka. Ini berarti bahwa peran keluarga seperti pada masa awal Islam tidak lagi difungsikan secara optimal. Persoalan menjadi cukup rumit ketika kesiapan interaksi sosial dalam masyarakat terbuka juga tidak terrefleksi dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam nampaknya hanya disiapkan dalam sekenario hubungan antara institusi pendidikan dan keluarga dengan melupakan masyarakat dan institusi keluarga yang berubah. 2. Keilmuan yang diajarkan Madrasah Nidzamiyah di Baghdad, setidaknya oleh kalangan sunni pada masanya, dianggap sebagai model pendidikan (agama) Islam ideal. Karena itu, model madrasah ini banyak ditiru oleh dunia Islam, termasuk di Indonesia. Dari sisi keilmuannya, pesantrenpesantren di Indonesia mengajarkan jenis-jenis ilmu yang diajarkan di madrasah Nidzamiyah pada waktu itu. Sekalipun demikian, lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh kalangan syi’ah, atau golongan ikhwanushhafa yang dikenal sebagai

2

bercorak filsafat, ternyata juga mengajarkan jenis-jenis ilmu yang sama seperti yang diajarkan pada madrasah Nidzamiyah. Yang membedakan, dua yang terakhir ini memberikan pengajaran filsafat dan logika, yang menjadikan murid-muridnya lebih kritis. Pengajaran filsafat dan logika itu ternyata dikemudian hari merupakan landasan yang memudahkan kalangan syi’ah dan kaum filsafat menerima kehadiran ilmu-ilmu lain, selain yang secara tradisional diajarkan pada madrasah. Ilmu-ilmu yang dijadikan mata ajar utama di madrasah Nidzamiyah adalah : Al-Qur’an wa al-Hadits, Kalam, Fiqh (Syafi’i), Siirah, Akhlaq,Tashawwuf, Lisaniyyat (Bahasa). Ilmuilmu itulah yang belakangan dikenal dengan sebutan ilmu agama atau al-‘uluum al’diiniyyah. Dalam sejarah memang sering dibicarakan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan yang diperoleh para ilmuwan Muslim, seperti aljabar, optik, kimia dan seterusnya. Namun demikian, agak sulit untuk mengatakan bahwa semua itu merupakan buah dari aktivitas pendidikan yang sistematik dan terorganisir. Dugaan paling aman, ialah bahwa semua kemajuan itu lebih merupakan hasil usaha individu. Hal itu perlu menjadi pertimbangan kita, sebab dalam catatan sejarah, lembaga pendidikan lain selain madrasah yang memang eksis hanyalah “bimaristan” yang di dirikan oleh al-Mustanshir. Al-Bimaristan ini semacam sekolah perawat atau mungkin sekolah kedokteran yang mengajarkan ilmu tib, yang waktu itu dapat meliputi Ilmu Alam, Kimia, Fisika, Mantiq dan Teologi. Akan tetapi, selain umurnya tidak lama, Bimaristan ini tidak mendapat respon yang luas dari dunia Islam seperti yang terjadi terhadap madrasah Nidzamiyah. Kemungkinan karena ilmu-ilmu di atas tidak dikategorikan sebagai al-‘uluum al-diiniyyah, naqliyyah yang ditempatkan sebagai ilmu yang fardlu ‘ain, melainkan sebagai al-‘uluum al-‘aqliyyah yang sifatnya fardlu kifaayah. Jelasnya, keilmuan yang diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam didominasi oleh ilmu-ilmu agama, atau setidaknya dalam semangat ilmu-ilmu agama (Islam) dalam pengertian yang terbatas. Yang demikian itu juga terjadi di Indonesia. Apa yang sekarang dijadikan nama-nama fakultas di IAIN atau jurusan-jurusan di STAIN secara jelas mencerminkan hal itu. Demikian juga ketika ilmu-ilmu di atas dijadikan sebagai ciri keislaman madrasah di Indonesia, saat madrasah dengan semangat Nidzamiyyah semacam dibubarkan dengan diberlakukannya UU No. 2/1989. Kenyataan ini juga menegaskan bahwa pengaruh Nidzamiyyah masih cukup signifikan hingga abad moderen. 3. Perhatian terhadap Life Skill dan Dunia Kerja Pernyatan-pernyatan bahwa pendidikan Islam klasik tidak merespon dunia kerja sebetulnya tidak tepat betul. Terlepas dari tujuan politik dibelakangnya, apa yang dilakukan madrasah Nidzamiyah pada waktu itu sebetulnya mengandung usaha untuk memenuhi kebutuhan hakim atau qadhi di wilayah kekuasaan Nidzamul Mulk, baik dalam masyarakat atau untuk menempati jabatan-jabatan resmi dalam pemerintahan. Usaha sesudahnya yang dilakukan al-Mustanshir dengan mendirikan madrasah al-Mustanshiriyyah, yang meliputi juga pengajaran fiqih selain madzhab Syafi’i, atau bahkan dengan mendirikan Bimaristan adalah juga bukti respon terhadap kebutuhan pasar, atau kebutuhan kerja. Namun demikian, ketika institusi pendidikan Islam lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu agama, perhatian terhadap dunia kerja sebetulnya hanya meliputi wilayah yang terbatas. Ada beberapa hal yang menegaskan keterbatasan dimaksud, yaitu: Keilmuan Islam itu sendiri yang sebetulnya telah relatif mandeg, sehingga kurang memiliki kekuatan respon,

3

daya manfaat yang memadai dihadapan masyarakat yang selalu berkembang. Selain itu, orientasi pembelajarannya yang lebih berat pada pendekatam doktriner dan bersifat teoritis sehingga kurang atau bahkan tidak memberikan manfaat yang berarti kepada peserta didik, baik sebagai life skill maupun sebagai kompetensi untuk merespon dunia kerja atau dunia kehidupan lainnya yang kompetitif. C. Mencari Jalan Keluar Jika melihat realitas-realitas di atas, kiranya diperlukan pemikiran ulang terhadap hal-hal berikut: ilmu dan keilmuan dalam pendidikan Islam, pengajaran life skill dan kompetensi keberagamaan, serta pengelolaan pendidikan Islam. 1. Ilmu dan Keilmuan Islam Di Indonesia, kritik dominasi ilmu-ilmu agama pada pendidikan Islam sebetulnya telah dilakukan secara konkrit setidaknya sejak 1915 ketika di Minangkabau Zainudin Labai alYunusiah mendirikan Diniah School Labai al-Yunusy, yang memadukan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum dalam kurikulumnya. Kritik berikutnya dilakukan secara lebih terpaksa dengan dikeluarkannya SKB tiga menteri tahun 1974 dengan mengatasnamakan “peningkatan mutu madrasah” dengan memberikan porsi ilmu umum yang lebih banyak (70%), yang disusul dengan disahkannya UU No. 2/1989 (USPN) dengan mengatasnamakan “integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional” melalui (semacam) pembubaran madrasah dengan menyisakan sedikit waktu untuk ilmu agama. Kedua perubahan yang terakhir ini atas inisiatif pemerintah. Akan tetapi, kritik tersebut sifatnya terbatas dan belum tuntas. Terabatas karena belum ada pengintegrasian antara keduanya, ilmu agama dan ilmu umum. Terlebih memang masih terkesan ada resistensi ketika “ciri Islam” pada madrasah direpresentasikan dengan ilmuilmu keislaman, yang meliputi Al-Qur’an- Hadits, Aqidah-Akhlaq, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab, setidaknya dalam implementasinya. Jadi, kecenderungan untuk menjadikan ilmu-ilmu keislaman sebagai ilmu yang tersendiri, tidak tersentuh dan disentuhkan dengan ilmu-ilmu lain, dan belum berorientasi kompetensi (keberagamaan), masih cukup kuat. Keterbatasan lanjutannya adalah bahwa apa yang terjadi ditingkat pendidikan menengah itu dalam batas tertentu belum ditindaklanjuti secara memadai di tinggakat perguruan tinggi Islam. Ditingkat perguruan tinggi, kritik itu sebetulnya telah dimunculkan oleh Harun Nasution yang merumuskan delapan pembidangan Ilmu dalam Islam. Kritik awal itu baru dilanjutkan dengan istilah wider mandate untuk IAIN dan STAIN pada awalnya, yang diteruskan dengan perubahan menjadi UIN. Akan tetapi, semuanya itu masih terbatas. Secara konsepsional pengintegrasian antara ilmu umum dan agama itu telah digagas, bahkan sebagiannya telah coba diaplikasikan dalam pendidikan Islam. Setidaknya ada empat gagasan yang muncul dan dicoba diaplikasikannya secara formal, yaitu gagasan keilmuan “Pohon Rimbun”nya Imam Suprayogo, “Sarang Laba-laba”nya Amin Abdullah, “Jurusan Gado-gado Betawi”nya Azyumardi Azra, dan “Jenang Kudusnya” Muslim. Ini berarti bahwa ilmu dan keilmuan Islam dalam pendidikan Islam perlu difikirkan lebih lanjut, mereformasi dominasi pemikiran Nidzamiyah. Dengan demikian selain dapat menembus keterbatasan dan sekaligus kebekuan ilmu-ilmu keislaman selama ini, juga akan membuka potensi manfaatnya dalam menjawab masalah dan kebutuhan ummat. 2. Pengajaran Life Skill dan Kompetensi Keberagamaan

4

“Ideologisasi” ilmu-ilmu keislaman (agama) selain dapat memandulkan perkembangannya, juga dapat “memenjara”kan sisi praktisnya sebagai life skill atau kompetensi keberagamaan itu sendiri. Dalam khazanah Islam selalu dikatakan bahwa keridla’an Allah, kehidupan yang mulia hanya akan dicapai jika merentangkaan secara seimbang hablun minallah dan hablum minannaas. Ada juga yang memperluas hablun yang terkhir ini meliputi hubungan dengan alam semesta. Jadi ada tiga hubungan yang harus senantiasa seimbang. Juga dikatakan bahwa pendidikan (Islam) diadakan untuk mengantarkan manusia ke arah sana. Muatan pendidikan tersebut diyakini (harus) berupa ilmu-ilmu agama (Islam) itu, yang disarikan dari wahyu. Merentang hablun itu adalah sebuah keterampilan atau kompetensi. Dari situ dapat dirumuskan kompetensi-kompetensi yang berada di masing-masing wilayah hablun. Dalam hablunminallah misalnya terdapat sabar, tawakkal, ikhlas dst. Dalam wilayah hablun minannaas terdapat misalnya silaturrahim, ukhuwwah, musaawaah,’adl, husnudzdzan, tawaddlu’, wafaa, insyiraf, amanah,’iffah wa ta’affuf, qawamiyyah, munfiqun dan seterusnya. Selanjutnya dalam rentang hablun ma’a al-‘alam dapat diidentifikasi al-uns, al-mura’ah dan lainnya. Semuanya adalah keterampilan. Kompetensi-kompetensi yang berisikan nilai, moralitas, dan spiritualitas ini yang (seharusnya) terkandung dalam ilmuilmu agama dan itulah yang sesungguhnya merupakan nilai lebih pendidikan (agama) Islam dari lainnya. Namun demikian, pembelajaran ilmu-ilmu agama selama ini hanya menjadikan semuanya itu sebagai ilmu dan bukannya sebagai kompetensi yang kemudian membuahkan karakter peserta didik. Isu-isu tentang ham, jender, pluralisme dan seterusnya akan mudah terjawab dengan implementasi kompetensi-kompetensi di atas. Jelasnya, jika pun yang hendak diatasnamakan adalah ilmu-ilmu agama, maka kompetensikompetensi seperti itu yang semestinya lebih ditekankan. Kompetensi-kompetensi tersebut akan mebjadi tulang punggung kompetensi-kompetensi (skill) profesi dan penguasaan knowledge secara umum. Dan itulah jalur masuk integrasi antara ilmu-ilmu agama dengan imu-ilmu umum sehingga semuanya bisa menjadi Ilmu Islam. 3. Pengelolaan Pendidikan Islam Ketika pendidikan Islam ingin melakukan reorientasi berupa integrasi ilmu umum dan agama, dan integrasi antara knowledge, skill, dan attitude yang bingkai oleh nilai, moralitas dan spiritualitas Islam yang kompetensis, maka hal itu menuntut pengelolaan pendidikan Islam yang berbeda dari yang selama ini di lakukan. Satu hal yang kiranya perlu terus diperkuat adalah komitmen terhadap kualitas, efisiensi dan efektifitas. Orientasi kepada kompetensi, kualitas, efektifitas dan efisiensi berarti kemauan untuk tunduk pada ukuranukuran atau standard-standard yang jelas dan transparan. Banyak hal yang perlu dilakukan untuk itu, tetapi juga banyak pelajaran yang dapat diambil untuk mempercepat pelaksanaan good gavernance pendidikan Islam. Dunia bisnis dan manajemen dapat dijadikan guru untuk itu. D. Penutup Agar pendidikan Islam dapat lebih maju, maka kiranya diperlukan reorientsi ilmu dan keilmuannya, memperkuat orientasi pada kompetensi dengan mengaplikasikan nilai-nilai, moralitas, dan spiritualitas ajaran, serta kemauan untuk menciptakan produk yang berkualitas secara efektif dan efisien.

5

Wallahu a’lam bi al-shawaab.

6

Related Documents