I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kakao (Theobrema cacao L.) adalah salah satu komoditas unggulan sub
sektor perkebunan. Komoditi kakao secara konsisten berperan sebagai sumber devisa negara yang memberikan kontribusi yang sangat penting dalam struktur perekonomian Indonesia (Arsyad et al., 2011). Komoditi kakao juga menjadi penyedia lapangan pekerjaan karena mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Selain itu itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri (Rifin dan Nurdiyani, 2007). Dari sisi luas areal, kakao menempati luar areal keempat terbesar untuk sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit, kelapa, dan karet. Sedangkan dari sisi ekonomi, kakao memberikan sumbangan devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet (Hasibuan et al., 2012). Mengingat besarnya potensi kakao dalam perekonomian, maka pengembangan komoditas dapat dilakukan melalui peningkatan produksi dan perluasan areal kakao. Meskipun merupakan komoditi unggulan, secara umum usaha tani kakao rakyat masih memiliki kekurangan di berbagai aspek, mulai dari aspek budidaya seperti pemeliharaan, panen/pasca panen, pengolahan hingga pemasaran (Iqbal dan Dalimi, 2006). Sejalan dengan pernyataan tersebut, menurut Sahardi et al. (2005), secara garis besar permasalahan pada agribisnis kakao adalah: (1) produksi, dimana kuantitas dan produktivitas kakao mengalami penurunan akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK); (2) diversifikasi, dimana petani kakao kurang memperhatikan jenis komoditas lain untuk mengurangi resiko
kegagalan; (3) pascapanen, dimana mutu kakao rendah yang mengakibatkan harga juga rendah; (4) belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao; (5) pemanfaatan limbah kakao yang belum optimal untuk pupuk dan pakan ternak; (6) sarana dan prasarana kurang optimal; dan (7) kelembagaan, dimana kelompok tani belum berfungsi optimal dan keberadaan lembaga penyedia modal masih terbatas. Pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungannya. Potensi produksi ditentukan oleh faktor genetik sedangkan produksi aktual di kebun ditentukan juga oleh faktor-faktor luar, baik lingkungan fisik maupun teknis budi daya. Agar potensi genetis komoditas yang diusahakan mampu terekspresi dengan baik, maka lahan yang diusahakan harus sesuai dan teknis budi daya yang standar (Prawoto et al., 2005). Selanjutnya dalam Prawoto et al (2005) bahwa minat pekebun untuk mengusahakan tanaman kakao amat kuat karena terdorong oleh harga yang selama cenderung cukup tinggi. Oleh karena lahan yang sesuai untuk budi daya kakao sudah makin terbatas, maka besar kemungkinan pekebun akan merambah lahan yang mendekati marginal, baik marginal sifat fisika maupun kimia. Salah satu sasaran yang dapat dirambah oleh pekebun adalah areal yang secara periodik maupun konsisten tergenang, air tanahnya dangkal atau kadar lengas terus menerus tinggi. Risiko dalam berusahatani pada lahan seperti itu tentunya produktivitas tidak optimum dan biaya produksi yang lebih mahal. Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, perkembangan luas areal kakao di Indonesia selama periode tahun 1980-2013 cenderung meningkat (Gambar 1), yaitu dari 37,08 ribu ha pada tahun 1980 menjadi 1,74 juta ha pada tahun 2013. Rata-rata peningkatan luas areal kakao mencapai 13,29% per tahun.
Berdasarkan status pengusahaannya, perkebunan kakao dibedakan menjadi perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar swasta (PBS). Dari ketiga jenis pengusahaan tersebut, PR menguasai 86,63% luas areal kakao Indonesia, diikuti oleh PBS dan PBN masingmasing sebesar 6,87% dan 6,50% (Tabel 1).
(Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Kakao di Indonesia Menurut Status Pengusahaan,1980–2013)
Tabel 1. Rata-rata Laju Pertumbuhan dan Kontribusi Luas Areal dan Produksi Kakao di Indonesia, 1980–2013
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusdatin (2014). Keterangan : *) Angka Sementara
Salah satu upaya perbanyakan tanaman kakao adalah dengan cara generatif yaitu dengan menggunakan bahan berupa biji atau benih, untuk mencapai produksi kakao yang tinggi diperlukan bahan tanam yang berkualitas dengan diikuti tindakan kultur teknis, diantaranya adalah pembibitan yang baik (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006) karena penyediaan bibit kakao yang baik akan menentukan keberhasilan budidaya kakao (Rofiq, 2002). Untuk tanaman coklat pupuk yang baik adalah dalam bentuk organik, karena hampir semua unsur hara terdapat di dalamnya. Fungsinya dapat memperkaya kandungan humus dalam tanah sehingga dapat memperbaiki struktur tanah, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan mampu menahan air lebih besar serta memperbaiki aerase tanah (Heddy, 1993) namun disisi lain ada beberapa kelemahan disamping karena kuantitasnya yang besar dan tidak semua petani memilikinya, juga bahan organik akan melepaskan asam-asam organik yang akan menurunkan pH tanah berarti pula menurunnya tingkat kesuburan tanah. Memperhatikan masalah tersebut di atas, untuk mengatasinya perlu dicari teknologi yang dapat mengurangi banyaknya aplikasi pemberian pupuk, dengan tidak mengurangi efek pemupukan pada bibit dan kualitas bibit yang dihasilkan. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2006), tanaman kakao menghendaki tanah yang memiliki kemampuan tukar kation yang tinggi, pH netral dan terbebas dari unsur hara mikro, seperti Al, Fe dan Mn terlarut sehingga dapat menjadi racun bagi kakao. Untuk dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, maka salah satu solusinya adalah dengan menggunakan atau menambahkan bantuan sesuatu material Zeolit, yang dikenal sebagai “Soil Counditioner”.
Menurut Barrer (1992) dalam Handoko (2002) nama zeolit berasal dari dua kata dalam bahasa yunani, yaitu zeo (mendidih) dan lithos (batu) yang menggambarkan perilaku mineral ini yang dengan cepat melepaskan air bila dipanaskan sehingga kelihatan seolah-olah mendidih, sepeti pada pengamatan Cronsted, ahli mineral swedia, terhadap mineral stilbite yang ditemukannya pada tahun 1756. Karena sifat zeolit mampu meningkatkan KTK yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan
kesuburan
tanah
dan
sekaligus
untuk
mengikat
(mengawetkan) pupuk yang diberikan. Dengan demikian pemupukan akan lebih efisien apabila tanah pertanian diberi zeolit, karena dapat mengawetkan unsur seperti, N, K, Ca dan Mg. Zeolit merupakan bahan pembenah tanah alami yang dapat mengikat hara yang diberikan melalui pupuk sehingga mencegah pencucian hara (Al Jabri et al.2011). Pemberian zeolit ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Zeolit dalam hal ini dapat berfungsi sebagai pembenah tanah (soil conditioner), pembawa unsur pupuk, pengontrol pelepasan ion NH4+ (slow release fertilizer) dan menjaga kelembaban tanah (Sastiono 2004). Penggunaan bahan mineral zeolit dapat berpengaruh lebih baik terhadap sifat-sifat tanah jika diberikan dengan bahan organik (Dariah 2007). Pengikatan ion amonium oleh zeolit sifatnya sementara, dan akan dilepas kembali ke dalam tanah pada saat ion amonium dalam tanah telah berubah menjadi nitrat (Suwardi dan Darmawan 2009). Penambahan zeolit juga dapat memperbaiki agregasi tanah sehingga meningkatkan pori udara tanah yang berakibat merangsang pertumbuhan akar tanaman. Luas permukaan partikel tanah menjadi bertambah yang berakibat
meningkatnya jumlah unsur hara yang dapat diserap oleh akar tanaman (Putra 2009) Secara kasar petani di ekskeresidenan Surakarta menghitung apabila menggunakan zeolit maka akan menghemat pupuk sekitar 30 % dari dosis yang diberikan. Hal ini tanpa mengurangi produksi tanaman padi. Bahkan untuk tanah dengan kandungan P sedang sampai cukup selama tiga musim tanam berturutturut petani tidak menggunakan pupuk P (TSP atau SP 36) hanya dengan menambahkan zeolit pada pupuk mereka (Suara Merdeka, 2004). Kemudian hasil kerja Tim Agronomi dengan BPTP pada tahun 1996 dalam uji coba penggunaan zeolit pada tanaman padi membuahkan sukses. Hasil panen baik, bahkan mampu menaikkan produksi sampai 15 – 30 % (Agromania, 2001). Namun pemanfaatannya di Indonesia masih terbatas, karena belum semua masyarakat tani Indonesia menyadari manfaatnya. Pembibitan merupakan tahap awal pengelolaan tanaman yang hendak diusahakan. Pertumbuhan bibit yang baik merupakan faktor utama untuk memperoleh tanaman yang baik di lapangan. Berdasarkan hal itu, maka pembibitan perlu ditangani secara optimal. Salah satu faktor yang menentukan perkembangan bibit adalah media pembibitan. Bibit kakao membutuhkan media tanam yang mempunyai sifat fisik dan kimia baik. Media pembibitan kakao pada umumnya terdiri atas tanah lapisan atas (topsoil) yang dicampur dengan pasir maupun bahan organik sehingga diharapkan diperoleh media denga kesuburan yang baik.
Pengembangan bibit kakao di lahan marginal membawa akibat sulitnya memperoleh tanah lapisan atas (topsoil) yang baik bagi bibit. Dengan sering dan berkembangnya penggunaan areal untuk pembibitan maka. kebutuhan tanah lapisan atas untuk media semakin sulit diperoleh. Oleh sebab itu perlu dicari media lain yang tersedia dalam jumlah banyak tetapi tetap dapat menunjang pertumbuhan bibit secara baik. Salah satu media tersebut adalah tanah lapisan bawah/subsoil dengan campuran pupuk kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dan Zeolit. Menurut Buckman and Brady (1982) sub soil adalah tanah bagian bawah dari lapisan top soil yang mengalami cukup pelapukan, mengandung lebih sedikit bahan organik. Namun dibalik sifatnya yang kurang baik, sebenarnya sub soil dapat menjadi alternatif untuk menggantikan peran top soil sebagai media tanam bibit kelapa sawit. Tanah sub soil relatif lebih banyak tersedia dan dijumpai dalam jumlah yang cukup besar serta tidak terbatas di lapangan, dibandingkan dengan top soil yang berangsur-angsur semakin menipis dan sulit didapatkan karena terkikis akibat erosi atau penggunaannya yang terus menerus sebagai media pembibitan (Hidayat, dkk, 2007). Penggunaan subsoil diperkirakan akan menghasilkan pertumbuhan bibit kakao yang baik bila dalam aplikasinya dicampur dengan pupuk organik seperti kompos. Pupuk organik atau bahan organik seperti kompos Tandan Kosong Sawit (TKKS) dapat digunakan dalam pembibitan kakao. Kompos TKKS adalah salah satu pupuk hasil olahan limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan pabrik kelapa sawit. TKKS, merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara
utama N, P, K dan Mg. Selain diperkirakan mampu memperbaiki sifat fisik tanah, kompos tandan kosong sawit diperkirakan mampu meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga pupuk yang digunakan untuk pembibitan kakao dapat dikurangi (Buana dkk., 2005). Berdasarkan latar belakang dan masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Upaya Perbanyakan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) di Polybag dengan Pemberian Pupuk Kompos TKKS dan Zeolit pada Campuran Media Tanam Lapisan Tanah Subsoil”.
1.2
Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, dapat dirumuskan permasalahannya adalah : 1.
Apakah terjadi interaksi antara pemberian kompos TKKS dan Zeolit terhadap pertumbuhan biibit kakao di polybag.
2.
Apakah kompos TKKS memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan biibit kakao di polybag.
3.
Apakah
Zeolit memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan biibit
kakao di polybag.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Untuk mengetahui pengaruh Interaksi limbah kompos TKKS dan Zeolit terhadap pertumbuhan bibit kakao di polybag.
2.
Untuk
mengetahui
pengaruh
limbah
kompos
TKKS
terhadap
pertumbuhan biibit kakao di polybag 3.
Untuk mengetahui pengaruh Zeolit terhadap pertumbuhan biibit kakao di polybag
Manfaat yang akan didapat dari hasil penelitian ini adalah: 1.
Rekomendasi teknologi pemberian limbah kompos TKKS dan Zeolit kepada para penangkar bibit tanaman kakao di pembibitan dan peneliti.
2.
Informasi pemberian limbah kompos TKKS untuk dikembangkan para peneliti dan petani.
3.
Agar dalam pemakaian pupuk lebih efisien, efektif, produktif dan menguntungkan secara agronomis dan ekonomis.
1.4
Hipotesis
Ho : Tidak ada pengaruh pemberian kompos
TKKS dan zeolit terhadap
pertumbuhan bibit kakao baik secara intraksi maupun secara tunggal. Hi : Ada pengaruh pemberian kompos TKKS dan zeolit terhadap pertumbuhan bibit kakao baik secara intraksi maupun secara tunggal.