PENDAHULUAN Latar Belakang Kelinci adalah ternak yang dapat memanfaatkan hijauan secara efisien melalui sifat herbivora. Kelinci dapat mengkonsumsi dan memanfaatkan protein yang berasal dari hijauan atau limbah pertanian dengan lebih efisien dibandingkan dengan ternak lainnya. Kelinci mempunyai potensi sangat besar untuk dikembangkan sebagai ternak penghasil daging seperti halnya ternak potong lain (domba, kambing, babi dan sapi). Modal yang dibutubkan dan pemeliharaan kelinci relatif lebih murah dan sederhana dibandingkan dengan komoditi ternak potong lainnya, sehingga sangat potensial untuk mendukung percepatan swasembada daging nasional. Hingga saat ini pemeliharaan kelinci lebih banyak digunakan sebagai hewan kesayangan atau hewan percobaan di laboratorium daripada sebagai ternak penghasil daging. Manajemen pemberian pakan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan pada budidaya ternak karena berakibat pada perkembangan ternak. Pemberian pakan dilakukan sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak per harinya. Pemberian pakan setiap harinya dapat dibagi menjadi beberapa kali pemberian per harinya. Apabila kurang atau melebihi kebutuhan nutrisi ternak, maka akan berpengaruh
terhadap
performa
pertumbuhan
ternak.
Sehingga
diperlukan
manajemen yang tepat pada pemberian pakan agar dihasilkan pertumbuhan yang optimal pada ternak, terutama pada fase penggemukan. Laju pertumbuhan, status nutrisi, jenis kelamin dan bobot tubuh merupakan faktor yang berhubungan erat satu sama lain, secara sendiri atau kombinasi dapat mempengaruhi komposisi tubuh atau karkas yang dihasilkan (Soeparno, 1998). Perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini dilihat pengaruhnya terhadap performa kelinci. Kajian ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam manajemen pemberian pakan kelinci yang efektif, sehingga dihasilkan pertumbuhan bobot badan kelinci yang optimal.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mencari pola pemberian pakan yang paling efisien untuk pertambahan bobot badan harian yang paling optimal pada kelinci lokal jantan peranakan New Zealand White.
TINJAUAN PUSTAKA Kelinci New Zealand White Kartadisastra (2001) menyatakan sistem binomial bangsa – bangsa kelinci diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Lagomorpha Famili : Leporidae Genus : Orictolagus Spesies : Cuniculus Ada beberapa jenis kelinci New Zealand, yakni New Zealand White, Red, dan Black. New Zealand White banyak dipelihara sebagai penghasil daging karena pertumbuhannya relatif cepat. Pada umur 58 hari bobotnya dapat mencapai 1,8 kg dan pada saat dewasa mencapai 3,6 kg (Putra dan Budiana, 2006). Jenis kelinci New Zealand White mempunyai bulu warna putih, mempunyai sifat jinak, serta pertumbuhannya cepat. Kelinci New Zealand White merupakan kelinci albino, mempunyai bulu yang tidak mengandung pigmen. Bulunya putih mulus, padat, tebal dan agak kasar kalau diraba, mata tampak merah, dewasa kelamin dicapai rata-rata pada umur 7-8 bulan, jumlah anak yang dilahirkan per induk 50 ekor per tahun.
Kelinci memiliki keunggulan sebagai penghasil daging dibandingkan sapi/kambing, karena sifatnya yang prolifik atau beranak banyak (Sarwono, 2001). Peternakan kelinci untuk produksi daging, sebaiknya dipilih bangsa kelinci yang sedang dan besar, sehingga hasil anaknya sudah bisa mencapai kurang lebih 2 kg pada umur sapih dan sudah bisa dipasarkan. Sebagai hasil sampingnya, kulit yang masih berbulu untuk bahan kerajinan rumah tangga (Sumoprastowo, 1989). Pakan dan Pencernaan Kelinci Kelinci termasuk jenis trenak pseudo-ruminant , yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat-serat kasar secara baik. Kelinci memfermentasi pakan di cecum, yang besarnya 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya. Walaupun memiliki cecum yang cukup besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahanbahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia murni. Cecum pada kelinci berkembang sangat baik dan berfungsi untuk memfermentasi serat kasar yang tidak mampu terserap dalam usus halus (Sarwono, 2001). Menurut de Blass dan Wiseman (1998), umlah pemberian ransum adalah 8% dari bobot badan kelinci. Kelinci kurang efisien dalam mencerna serat kasar hijauan karena gerak laju pakan yang cepat pada caecum sehingga tidak mengalami penyerapan nutrien yang sempurna dan akan terus menuju anus dan keluar dalam bentuk lunak. Kotoran yang lunak ini akan dimakan dan dimanfaatkan kembali (coprophagy). Hay dari leguminosa yang baik dapat menyediakan lebih banyak karbohidrat, protein, kalsium, karoten, dapat digunakan sebagai pengganti hijauan segar, mengandung Ca yang lebih banyak dibanding hay dari rumput (Parakasi, 1993). Legum mengandung protein berkadar tinggi dan sangat disukai oleh semua ternak, termasuk
ternak
kelinci
(Kartadisastra,
1994).
Protein
dibutuhkan
untuk
pertumbuhan, penggantian sel baru, dan reproduksi (Putra dan Budiana, 2006). Untuk memperoleh ternak kelinci yang sehat, gemuk, pertumbuhan bulu baik, dan pertumbuhan tubuhnya cepat, harus diberi ransum yang berkualitas baik dan disukai. Penggemukan hanya dengan hijauan, pertumbuhan lebih lambat dan dibutuhkan waktu penggemukan yang lebih lama (Sumoprastowo, 1989).
Konsentrat dalam peternakan kelinci berfungi untuk meningkatkan nilai gizi pakan dan mempermudah penyediaan pakan. Konsentrat sebagai ransum diberikan sebagai pakan tambahan atau pakan penguat, kalau pakan pokoknya hijauan. Pada peternakan kelinci secara intensif, pemberian hijauan 60-80 persen (Sarwono, 2001). Pakan konsentrat mempunyai nilai palatabilitas dan aseptabilitas yang lebih tinggi, dengan demikian dapat diberikan kepada ternak dengan tujuan untuk meningkatkan nutrien, konsumsi, dan daya cerna pakan (Mulyono, 1998). Pemberian pakan pada kelinci diatur sebaik mungkin dengan tidak melupakan sifat alami kelinci sebagai binatang malam. Pada malam hari kelinci lebih aktif (bergerak, makan, kawin dan lain-lain) dibandingkan dengan pada waktu siang di mana kelinci lebih banyak bermalasan dan bertiduran. Karena itulah pemberian pakan lebih diperhatikan pada waktu sore dan malam hari. Pemberian pakan dalam volume atau frekuensi besar belum tentu tepat bila hanya diberikan pada waktu siang hari, sedangkan pada waktu malam harinya tidak diperoleh pakan yang cukup (Whendrato dan Madyana, 1983). Konsumsi Pakan Konsumsi pakan atau jumlah pakan yang dihabiskan oleh seekor ternak dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan penampilan seekor ternak. Tinggi rendahnya kandungan energi pakan akan dapat mempengaruhi banyak sedikitnya konsumsi pakan, disamping itu konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (1) Macam pakan, konsumsi pakan hasil samping akan berlainan dengan konsumsi pakan yang bukan hasil samping. (2) Palatabilitas pakan, (3) Faktor toksik dan (4) Pakan yang voluminous/bulky, pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi akan menurunkan jumlah konsumsi pakan (Kamal, 1997). Kartadisastra (1997) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya konsumsi pakan diantaranya adalah temperatur lingkungan, palatabilitas, selera, status fisiologi (umur dan jenis kelamin) konsentrasi nutrisi, bentuk pakan dan bobot tubuh serta produksi. Konsumsi pakan keras menurut Herman (2000) menjadi tetap sampai umur kelinci 12 minggu (3 bulan), kemudian setelah itu berkurang sedikit. Parakkasi
(1986) menambahkan bahwa pada umumnya air dianggap bukan sebagai zat makanan, akan tetapi sesungguhnya air merupakan zat yang esensial untuk berbagai proses fisiologis dalam tubuh. Oleh karena itu air minum sebaiknya diberikan tidak terbatas atau ad libitum (Whendrato dan Madyana, 1983). Kecernaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecernaan
(digestibility)
adalah
bagian
nutrien
pakan
yang
tidak
diekskresikan dalam feses. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut koefisien cerna. Pengukuran daya cerna konvensional terdiri dari dua periode, yaitu periode pendahuluan dan periode koleksi. Selama periode pendahuluan yang berlangsung 7 sampai 10 hari, suatu ransum dicampur dengan baik lalu diberikan dengan jumlah tetap paling sedikit 2 x sehari. Tujuan dari periode ini adalah untuk membiasakan hewan kepada ransum dan keadaan sekitarnya, dan untuk menghilangkan sisa makanan dari waktu sebelumnya. Periode pendahuluan ini diikuti antara 5 sampai 15 hari periode koleksi dan selama periode ini feses dikumpulkan, ditimbang dan dicatat. Hewan-hewan ini diberi makan dengan jumlah yang sama tiap hari selama kedua periode tersebut (Tillman et al., 1991). Tidak semua bahan pakan yang masuk ke dalam alat pencernaan dapat dimanfaatkan. Hanya sebagian dari setiap zat pakan yang diserap. Presentase yang dapat diserap ini dianggap sebagai koefisien kecernaan. Untuk memperoleh presentase ini ditentukan banyak zat pakan yang terdapat dalam bahan pakan dan zat pakan yang terdapat dalam feses. Perbedaan kedua bagian ini yang dinyatakan dalam persen adalah banyak zat pakan yang tercerna. (Sihombing, 1997) demikian pula diungkapkan oleh Anggorodi (1990) bahwa selisih antara nutrien yang terkandung di dalam pakan yang dimakan dan nutrien dalam feses adalah jumlah dari zat-zat makanan yang dicerna. Jumlah nutrien dalam pakan dapat diketahui dengan jalan analisis kimia, sedangkan jumlah nutrien yang dicerna dapat diketahui apabila pakan telah mengalami proses pencernaan. Nutrien dapat dicerna diketahui melalui analisis secara biologis yang diikuti dengan analisis kimia untuk nutrien yang terdapat dalam
feses. Jumlah nutrien tercerna dari pakan dapat dihitung apabila jumlah nutrien dalam pakan dan jumlah nutrien dalam feses diketahui (Kamal, 1994). Dalam percobaan, hewan percobaan diberi jumlah pakan yang sama setiap harinya. Kemudian feses dikumpulkan, ditimbang dan dianalisis (Anggorodi, 1990). Menurut Kartadisastra (1997), untuk mengetahui bahan organik suatu pakan adalah dengan memanaskan sampel pakan pada temperatur 5500C pada suatu perabuan (tanur) selama 3 jam, maka akan diperoleh bahan berwarna putih yang disebut abu. Bahan yang hilang selama perabuan disebut nutrisi organik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah 1. Komposisi pakan. Daya cerna pakan berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya, dan serat kasar mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap daya cerna ini. 2. Kecernaan semu protein kasar. Ini tergantung pada persentase protein kasar dalam pakan oleh karena nitrogen metabolik konstan jumlahnya, sehingga pengurangan terhadap nitrogen dalam pakan dan protein juga tetap. 3. Lemak. Kebanyakan ransum hewan kadar lemaknya rendah, dan pengaruhnya pada pemberian makan secara praktis sangat kecil. Pola ekskresi dari lemak metabolik sama dengan nitrogen metabolik. 4. Komposisi ransum. Daya cerna campuran bahan pakan tidak selalu sama dengan rata-rata daya cerna komponen bahan-bahan yang menyusunnya apabila ditentukan secara tersendiri. Daya cerna suatu bahan pakan atau ransum tergantung pada keserasian zat-zat pakan yang terkandung di dalamnya. 5. Penyiapan pakan. Beberapa perlakuan terhadap bahan pakan misalnya pemotongan, penggilingan dan pemasakan mempengaruhi daya cernanya. 6. Faktor hewan. Bahan makanan yang rendah serat kasarnya, daya cernanya hampir sama untuk ruminansia dan non-ruminansia. Tetapi bahan pakan yang mengandung serat kasar lebih baik dicerna oleh ruminansia. Oleh karena nitrogen metabolik pada ruminansia lebih tinggi sehingga daya cerna protein pada ruminansia lebih rendah dibanding pada nonruminansia.
7. Jumlah pakan. Penambahan jumlah bahan pakan yang dimakan mempercepat arus pakan dalam usus sehingga mengurangi daya cerna. Penambahan jumlah sampai 2 kali jumlah kebutuhan hidup pokok mengurangi daya cerna sekitar 1-2%. Penambahan konsumsi lebih lanjut menyebabkan penurunan daya cerna (Tillman et al., 1991).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan dari bulan September sampai bulan November 2011. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Kelinci Kelinci yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 15 ekor kelinci jantan lokal peranakan New Zealand White berumur 8-10 minggu. Kelinci-kelinci ini kemudian dipelihara sesuai perlakuan yang diberikan selama 8 minggu. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang bertingkat sistem baterai individual yang terbuat dari bambu dan kayu. Kandang yang dipakai sebanyak 15 buah dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 40 cm. Setiap kandang dengan tempat pakan dan air minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan untuk mengukur bobot badan kelinci dan pakan, alat kebersihan, dan label. Pakan Pakan yang diberikan yaitu 100% pellet ransum komplit untuk kelinci yang dibeli di pabrik pakan dengan kandungan protein 20 %.
Prosedur