Penda Hulu An

  • Uploaded by: anisa
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penda Hulu An as PDF for free.

More details

  • Words: 2,524
  • Pages: 7
PENDAHULUAN Tiap tahun, penggunaan anestesi pada populasi global telah meningkat. Prosedur anastesi termasuk pemberian neuromuscular blocking agent saat intraoperative berguna untuk muscle paralysis. Walaupun NMBA dapat memperbaiki kondisi bedah dan mengurangi kejadian yang merugikan saat intraoperative, namun diperkirakan penggunaan NMBA dapat memberikan outcome yang buruk terhadap system respirasi. Berg and colleagues mengatakan bahwa recovery yang tidak sempurna dari paralisis otot berperan dalam menyebabkan komplikasi pulmonary postoperative. Oleh karena itu, beberapa tindakan telah diusulkan untuk mencegah residual neuromuscular block postoperative, termasuk monitoring dari neuromuscular, penggunaan reversal agent untuk melawan residual neuromuscular block (contoh: neostigmine), dan bahkan menghindari penggunaan NMBA itu sendiri. Tindakan-tindakan ini jika dilakukan secara individu atau dikombinasi, telah dibuktikan dapat menurunkan insiden dari residual neuromuscular block segera setelah operasi. Meskipun demikian, tidak didapatkan bukti bahwa tindakan-tindakan tersebut dapat memperbaiki outcome system respirasi postoperative Oleh karena itu, kami ingin menilai hipotesis bahwa penggunaan NMBA, neuromuscular monitoring, atau reversal agents, dapat memodifikasi resiko komplikasi pulmoner postoperative. Dikarenakan komplikasi pulmoner postoperative dipengaruhi oleh berbagai faktor pembedahan dan kondisi pasien preoperative, kami berusaha mengendalikan pengaruh perancu mereka pada komplikasi pulmoner pasca operasi dengan memasukkan informasi ini dalam analisis kami. Research in context Evidence before this study Komplikasi pulmoner pasca operasi adalah resiko yang penting dari pembedahan dan anastesia, yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas saat perioperative, menyebabkan pasien tinggal di RS lebih lama, dan meningkatkan biaya kesehatan. Penelitian retrospektif di USA menemukan bahwa NMBA yang diberikan saat tindakan anastesi berkontribusi dalam resiko terjadinya komplikasi pulmoner pasca operasi. Faktor resiko yang telah diketahui menyebabkan komplikasi pulmoner pasca operasi adalah adanya residual neuromuscular block setelah periode akhir anastesi. Oleh karena itu, penggunaan monitoring neuromuscular dan reversal agents direkomendasikan untuk mencegah residual neuromuscular block. Added value of this study POPULAR adalah penelitian cohort multicentre pertama yang menyediakan data komplikasi pulmoner pasca operasi serta penggunaan dan manajemen dari NMBA di eropa. Kami menyertakan faktor resiko yang telah diketahui dari komplikasi pulmoner pasca bedah sebagai variabel perancu dalam model statistic, dan dengan dengan bantuan analisis sensitivitas lebih lanjut POPULAR menambah perdebatan tentang penggunaan dan pengelolaan agen penghambat neuromuskuler. Penemuan ini meningkatkan resiko komplikasi pulmoner pasca bedah, yang nantinya dapat berpengaruh terhadap pasien yang tidak memiliki/hanya memiliki beberapa faktor resiko komplikasi pulmoner pasca bedah; monitoring neuromuscular dan penggunaan reversal agents tidak menurunkan resiko komplikasi pulmoner pasca bedah; penggunaan NMBA memiliki efek yang lebih kecil pada faktor resiko komplikasi

pulmonary pasca bedah daripada jenis dan durasi pembedahan, fungsi pulmoner pasien preopreatif, dan kategorisasi ASA pasien. Implications of all the available evidence Hasil dari POPULAR memungkinkan kami untuk merekomendasikan bahwa pasien dengan risiko komplikasi paru pasca operasi yang rendah harus dianastesi tanpa menggunakan muscle paralysis bila memungkinkan. Penemuan kami mengenai monitoring neuromuskuler dan reversal agent menarik karena mereka bertentangan dengan harapan bahwa penggunaannya dapat mengurangi risiko komplikasi paru pasca operasi. METODE Desain Study dan Partisipan Penelitian ini bersifat multicentre, prospektif observational cohort. Partisipan didapatkan dari 221 rumah sakit pada 28 negara di eropa. Rumah sakit yang berpartisipasi memilih periode rekrutmen selama 14 hari berturut-turut. Rumah sakit dengan >50 pasien yang menjalani anestesi tiap minggu diperbolehkan untuk mengurangi jumlah sampel mereka dengan proses seleksi acak. Rumah sakit membutuhkan persetujuan dari komite etika lokal mereka atau dewan peninjau kelembagaan untuk mengambil bagian dalam penelitian ini. 123 dari 211 rumah sakit tidak perlu mendapatkan informed consent tertulis berdasarkan rekomendasi komite etik lokal, dan 88 rumah sakit lain harus mendapatkan informed consent dari setiap pasien yang berpartisipasi. Pasien (usia >18 tahun) yang menerima anestesi umum untuk prosedur rawat inap kecuali operasi jantung dimasukkan. Kriteria eksklusi primer (yaitu, sebelum rekrutmen) adalah operasi di lokasi kecil (misalnya, di luar ruang operasi), jadwal keluar rumah sakit dalam waktu 12 jam setelah operasi, intubasi trakea sebelum operasi, pasien yang sebelum operasi telah direncanakan rawat inap ke unit perawatan intensif pasca operasi, dan operasi atau anestesi (atau keduanya) dalam 7 hari terakhir atau dijadwalkan dalam 7 hari berikutnya. Kriteria eksklusi sekunder (yaitu, setelah rekrutmen dan pendaftaran) adalah ekstubasi trakea >6 jam setelah akhir operasi dan keluar rumah sakit yang tidak direncanakan dalam waktu 12 jam setelah operasi. Prosedur Ketika NMBA digunakan untuk intubasi trakea, dosis dipilih berdasarkan dosis efektif menghasilkan 95% penghambatan neuromuskuler (ED95). Biasanya diberikan 2-3x dosis ini untuk memastikan kondisi intubasi yang optimal pada semua pasien. Kedalaman blok neuromuskuler yang dibutuhkan untuk menyebabkan kondisi ini dapat dinilai dengan pemantauan neuromuskuler. The trainof-four twitch response biasanya digunakan, yang melibatkan pengaplikasian 4 rangsangan 2 Hz masingmasing dengan interval 10 detik antara trains ke saraf perifer dan merekam respon pada otot yang dipersarafi. Pemulihan dari 4 kedutan ini digunakan untuk menilai kecukupan pemulihan sebelum ekstubasi trakea. Rasio kedutan yang ke-4 terhadap yang ke-1 — yaitu, rasio train-of four harus >0,9 sebelum ekstubasi trakea dan sebelum pasien bangun dari anestesi. Rasio train-of four disebut sebagai pemantauan kualitatif jika hanya dinilai oleh dokter dengan perasaan atau penglihatan. Sedangkan disebut pemantauan kuantitatif jika rasio train-of-four direkam.

Untuk analisis manajemen neuromuskuler, kami menetapkan tujuh faktor utama: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

penggunaan NMBA durasi yang diharapkan dari NMBA penggunaan pemantauan neuromuskuler teknik pemantauan neuromuskuler (kuantitatif atau kualitatif) kepatuhan terhadap rasio train-of four yang direkomendasikan yaitu ≥9 saat ekstubasi, penggunaan reversal agent, jenis reversal agent (neostigmine dan sugammadex).

Karena tujuh faktor utama ini tidak dilakukan untuk setiap pasien, kami membuat 5 sub-kohort: 1. 2. 3. 4. 5.

pasien yang menerima anestesi umum pasien yang menerima NMBA pasien dengan pemantauan neuromuskuler pasien dengan pemantauan neuromuskuler kuantitatif pasien yang menerima agen pembalikan

Karakteristik pasien, riwayat medis, pembedahan dan anestesi (termasuk manajemen fungsi neuromuskuler), pemeriksaan fisik pasca operasi, dan tinjauan grafik pada saat pulang dikumpulkan pada formulir laporan kasus paperbased (lampiran). Data yang dianonimkan dimasukkan ke dalam sistem penangkapan data elektronik online yang aman (OpenClinica, versi 3.1). Koordinator nasional penelitian ini (satu koordinator nasional per negara) membantu koordinator lokal untuk memastikan bahwa studi ini dilakukan sesuai dengan International Conference on Harmonisation Good Clinical Practice guidelines. Sebelum dimulainya penelitian, semua koordinator nasional berpartisipasi dalam dua konferensi telepon untuk mengklarifikasi pertanyaan tentang pengumpulan data yang telah diajukan oleh staf studi lokal selama peninjauan protokol. Sepanjang penelitian, para peneliti menerima pertanyaan tentang penelitian dari staf penelitian melalui email atau melalui telepon studi pusat dan EK menanggapi. Bentuk laporan kasus elektronik hanya memungkinkan input data dalam rentang yang diberikan. Selama tiga putaran pembersihan data, kami menyaring data yang salah, outlier, atau informasi yang hilang dan menghubungi pusat untuk mengoreksi nilai yang tidak valid. Outcomes Hasil penelitian ini adalah kejadian komplikasi paru pasca operasi dari akhir operasi hingga 28 hari pasca operasi. Komplikasi paru pasca operasi diasumsikan jika setidaknya satu kejadian paru pasca operasi diamati dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pasca operasi atau pada ulasan grafik pasien setelah mereka keluar dari rumah sakit, menurut studi PERISCOPE. Statistical Analysis Besar sampel diestimasi menggunakan rule of ten.

Kami menggunakan data dari penelitian sebelumnya untuk menginformasikan perhitungan ukuran sampel kami. Dalam PERISCOPE, insiden komplikasi paru pasca operasi adalah 5%; McAlister dan rekan melaporkan insiden 2-8% . Oleh karena itu kami memperkirakan ukuran sampel 21.000 pasien akan diperlukan dalam penelitian kami. Variabel kontinu ditampilkan sebagai mean dan SD, dan variabel kategori sebagai angka dan persentase absolut. Data dianalisis dengan regresi logistik, yang menyediakan estimasi rasio odds (ORadj) yang disesuaikan dengan perancu dan pengurangan risiko absolut (ARRadj) dengan 95% CI mereka. Setiap faktor kunci dimasukkan dalam model, terlepas dari signifikansinya. Kofaktor dimasukkan jika mereka mempengaruhi variabel hasil secara univariat (p <0 05). Istilah interaksi antara faktor kunci dan enam kofaktor yang paling berpengaruh dimasukkan termasuk jika mereka mempengaruhi variabel hasil (p <0,05). Kalau dua faktor berkorelasi (r²≥0,5), salah satu faktor dikeluarkan berdasarkan pertimbangan fisiologis. Faktor kontinu diubah menjadi variabel nominal karena asumsi linearitas tidak terpenuhi di sebagian besar faktor kami. Jika tersedia, kami menggunakan kategori yang diterbitkan atau diterima secara umum (misalnya, indeks massa-tubuh [BMI]). Faktor kunci (yaitu, durasi yang diharapkan dari agen penghambat neuromuskuler) dan kofaktor (yaitu, durasi yang diharapkan dari dosis agen penghambat neuromuskuler terakhir) dikategorikan menggunakan kuintil. Untuk lebih mengurangi jumlah parameter dalam model statistik, kami mendikotomasi semua faktor dengan lebih dari dua kategori dengan x2-optimization optimasi berdasarkan hasil. Karena informasi tentang komplikasi paru pasca operasi yang hilang dan faktor kunci <5%, masing-masing pasien dikeluarkan dari analisis penelitian. Informasi yang hilang tentang kofaktor dikategorikan hilang, dan dikombinasikan dengan kategori lain menggunakan x2-optimization. Analisis sensitivitas yang ditentukan sebelumnya juga dilakukan. Waktu yang telah berlalu sebelum diagnosis komplikasi paru pasca operasi dicatat dan diatasi menggunakan model regresi Cox. Hasil disajikan sebagai rasio hazard yang disesuaikan dan diilustrasikan oleh kurva Kaplan-Meier. Skor kecenderungan dihitung untuk setiap faktor kunci berdasarkan semua faktor lain untuk membentuk 10 desil pasien dengan peningkatan skor kecenderungan untuk faktor kunci masing-masing. Di setiap desil, masing-masing faktor diuji terhadap komplikasi paru pasca operasi. Hasil ini dikumpulkan dengan random effects meta-analysis dan disajikan sebagai forest plots. Selain itu, one-to-one matching ratio untuk skor kecenderungan digunakan untuk membentuk dua kelompok berukuran identik. Kualitas pendekatan pencocokan ini ditandai oleh calliper, yang merupakan perbedaan maksimum yang dapat ditoleransi antara skor kecenderungan pasangan yang cocok (tetangga terdekat). Pencocokan pada kaliper 0,001 menghasilkan distribusi kovariat seimbang — yaitu, tidak ada faktor yang berbeda secara signifikan pada kelompok yang dihasilkan (p> 0,1). Pohon klasifikasi dilakukan sebagai alat penggalian data untuk menggambarkan himpunan bagian pasien dengan outcome pulmonary yang homogen. Dimulai dengan semua pasien di masingmasing sub-cohort, 1 set pasien dibagi menjadi dua subsets langkah demi langkah. Semua kofaktor dapat berfungsi sebagai variabel pemisah. Variabel pemisahan yang optimal diidentifikasi menggunakan Gini impurity. Pemisahan disebut optimal jika masing-masing subset pasien yang dihasilkan adalah homogen untuk kejadian komplikasi paru pasca operasi. Untuk mencapai subsets pasien yang bermakna, kami menghentikan pemisahan maksimum lima langkah atau lebih awal jika pemisahan menghasilkan subset kurang dari 500 kasus. Dalam subset terminal yang dihasilkan (terminal node), efek dari setiap faktor kunci yang tersedia pada kejadian komplikasi paru pasca operasi dianalisis secara univariat. Untuk mengatasi interaksi yang relevan dalam subkohort, kami menggabungkan OR dari semua terminal node dengan random effects meta-analysis.

Kami menganalisis semua data dengan SPSS (versi 23), yang mencakup R rutin yang tertanam untuk pengujian skor kecenderungan.20,21 Penelitian ini terdaftar dengan ClinicalTrials.gov, nomor NCT01865513. Rule of funding source Pendana penelitian tidak memiliki peran dalam desain penelitian, pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, atau penulisan laporan. Penulis yang sesuai memiliki akses penuh ke semua data dalam penelitian ini dan memiliki tanggung jawab akhir atas keputusan untuk mengajukan publikasi.

Result Antara 16 Juni 2014, dan 29 April 2015, data dari 22.803 pasien dikumpulkan. Gambar 1 menunjukkan alasan eksklusi dari penelitian setelah rekrutmen dan lima subkohort. Tabel 1 menyajikan frekuensi hasil dan semua faktor untuk lima sub-kohort. Penjelasan dari gejala pernapasan dan diagnosis komplikasi paru pasca operasi ditampilkan pada tabel 2. Insiden komplikasi paru pasca operasi pada pasien yang telah menjalani anestesi umum adalah 7,6% (1658 dari 21.694; tabel 1), dengan peningkatan risiko ketika NMBA digunakan (tabel 3; ARRadj – 4,4%, 95% CI –5,5 hingga –3,2). Faktor risiko utama untuk komplikasi paru pasca operasi adalah operasi intratoraks atau operasi terbuka abdomen atas (ORADJ 3,53, 95% CI 3,09 hingga 4,03), durasi operasi berlangsung lebih dari 2 jam (2,34; 2,09 hingga 2,63), saturasi oksigen darah perifer pra operasi (SpO2) 94% atau kurang (2,35; 2,05 hingga 2,70), operasi darurat (2,24; 1,96 hingga 2,56), American Society of Anesthesiology (ASA) 3 atau lebih (2,06; 1,81 hingga 2,35), dan usia >60 tahun (1,69; 1,48 hingga 1,94; lampiran). Peningkatan risiko komplikasi paru pasca operasi dengan penggunaan NMBA dikonfirmasi oleh semua analisis sensitivitas, termasuk metode skor kecenderungan (lampiran). Dosis tunggal NMBA untuk intubasi trakea (n = 9043) berhubungan dengan peningkatan risiko komplikasi paru pasca operasi dibandingkan dengan tanpa NMBA (OR 1,53, 95% CI 1,20 hingga 1,90).

Tidak ada efek signifikan dari modifikasi ukuran yang diamati antara penggunaan NMBA dan enam kofaktor yang paling mempengaruhi (usia, BMI, klasifikasi ASA, SpO2 pra operasi, jenis operasi, dan durasi operasi (lampiran). Subgrup (desil) dengan peningkatan kemungkinan menerima NMBA berdasarkan skor kecenderungan, masing-masing memiliki peningkatan risiko komplikasi paru pasca operasi terlepas dari pengobatan pasien dengan NMBA (gambar 2). Hanya 2,3% dari pasien bedah berisiko tinggi dan mereka dengan profil efek samping pernapasan dibius tanpa NMBA. Sebuah analisis pohon klasifikasi menunjukkan bahwa hampir semua pasien dalam subgrup diketahui beresiko tinggi untuk komplikasi paru pasca operasi - seperti pasien dengan penyakit yang sudah ada sebelumnya atau yang menjalani prosedur bedah berisiko tinggi – menggunakan NMBA selama anestesi (lampiran). Pasien dengan atau tanpa NMBA dalam skor kecenderungan one-to-one ratio berbeda dari semua pasien lainnya yang dibius sehubungan dengan jenis operasi (72,7% vs 38,6% untuk operasi perifer), durasi operasi (51,4 % vs 35,8% untuk jangka waktu ≤1 jam), klasifikasi ASA (84,0% vs 73,5% untuk ASA ≤2), dan saturasi oksigen sebelum operasi (94,6% vs 89,8% dengan SpO2 ≥95% ), dan secara keseluruhan pasien ini memiliki lebih sedikit komorbiditas dan dijadwalkan untuk pembedahan invasif minor dibandingkan dengan pasien lain (tabel 4). Insiden komplikasi paru pasca operasi pada pasien yang menerima NMBA (subkohort 2) adalah 8,4% (1441 dari 17.150), dan kami lebih lanjut membagi kelompok ini menjadi kuintil berdasar durasi yang diharapkan dari pelemas otot (yaitu, <68 menit , 68-91 menit, 91-115 menit, 115-159 menit, dan ≥159 menit). Insiden komplikasi paru pasca operasi meningkat pada kuintil dengan durasi yang diharapkan lebih lama dari NMBA masing-masing (5,3%; 6,2%; 6,8%; 9,0%; dan 14,6%). Namun, analisis multivariat tidak mengkonfirmasi adanya hubungan antara durasi yang diharapkan dari NMBA dan risiko komplikasi paru pasca operasi (kuintil <68 mnt adalah rujukan; ORADJ 0,97 [95% CI 0,77–1,24] untuk 6891 mnt, 0,90 [0,71–1,15] untuk 91-115 mnt, 0,91 [0,71–1,17] untuk 115-159 mnt, dan 0,91 [0,70–1,19] untuk ≥159 mnt; ptrend = 0,9). Durasi anestesi yang lebih lama — yaitu, waktu antara pemberian NMBA pertama dan ekstubasi — dikaitkan dengan peningkatan risiko (≤1 jam adalah rujukan; ORadj 1,27 [95% CI 0,95-1,70] untuk 1-2 jam, 1,84 [1,35–2,51] untuk 2-4 jam, dan 3,22 [2,26–4,60] untuk >4 jam; ptrend = 0,0012). Faktor risiko lain yang relevan adalah sama dengan yang ada di subkohort 1: bedah itrathorax atau open abdomen atas, SpO2 pra operasi 94% atau kurang, operasi darurat, kategorisasi ASA 3 atau lebih, berusia di atas 60 tahun, durasi operasi yang berlangsung 2 jam atau lebih banyak (lampiran). Tidak ada efek untuk durasi yang diharapkan dari NMBA yang diamati, dan temuan ini dikonfirmasi oleh semua analisis sensitivitas (lampiran). Subgrup (desil) dengan peningkatan kemungkinan menerima NMBA dosis tinggi (durasi yang diharapkan ≥159 menit) berdasarkan skor kecenderungan masing-masing memiliki insiden komplikasi paru pasca operasi yang lebih tinggi terlepas dari dosis sebenarnya yang diberikan. Desil pertama dengan proporsi dosis tinggi 0,6% memiliki insiden 4, %, sedangkan desil kesepuluh dengan proporsi dosis tinggi 77,7% memiliki 20,1% kejadian komplikasi paru pasca operasi. Penggunaan pemantauan neuromuskuler tidak dikaitkan dengan penurunan risiko komplikasi paru pasca operasi (tabel 3; ARRadj –2,6%, 95% CI –3,9 hingga –1,4), yang dikonfirmasi oleh analisis sensitivitas (lampiran) . Penggunaan reversal agent juga tidak dikaitkan dengan penurunan risiko komplikasi paru pasca operasi (tabel 3; ARRadj –1,9%, –3,2 hingga –0,7), sebagaimana dikonfirmasi oleh semua analisis sensitivitas (lampiran). Baik penggunaan pemantauan kuantitatif (tabel 3; ARRadj –0,9%, 95% CI –3,1 hingga 1,3) maupun ekstubasi dengan train-of four ratio dari 0,9 atau lebih (–0,4 %, –3,5 hingga 2,2) dikaitkan dengan penurunan risiko komplikasi paru pasca operasi. Kedua hasil dikonfirmasi oleh semua analisis sensitivitas (lampiran). Penggunaan sugammadex sebagai reversal agent tidak dikaitkan dengan hasil paru yang lebih baik daripada penggunaan neostigmin (tabel 3; ARRadj –0,3%, 95% CI –2,4 hingga 1,5]), seperti yang dikonfirmasi oleh semua analisis sensitivitas (lampiran).

Related Documents

Penda Hulu An
May 2020 13
Penda Hulu An
October 2019 28
Penda Hulu An
October 2019 33
Penda Hulu An
June 2020 28
Penda Hulu An
June 2020 12
Penda Hulu An
October 2019 18

More Documents from "alvizickri"