Pencegahan Anemia Defisiensi Besi.docx

  • Uploaded by: Felicia Chendra
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pencegahan Anemia Defisiensi Besi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,964
  • Pages: 15
BAB I

PENDAHULUAN Setiap keping sel darah merah dalam tubuh mengandung zat besi dalam hemoglobinnya. Hemoglobin merupakan protein yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.Protein ini digunakan zat besi sebagai pengikat oksigen dalam darah, sehingga oksigen dapat dialirkan secara normal. Zat besi membantu sel darah merah membawa oksigen ke tubuh dan berperan penting untuk menjaga fungsi otak dan otot. Orang-orang yang kekurangan zat besi biasanya tidak mendapatkan cukup asupan zat besi dalam makanan sehari-hari. Akibatnya, tubuh tidak dapat membuat hemoglobin, sehingga jumlah sel-sel darah merah yang dihasilkan akan menurun. Kondisi inilah yang disebut dengan anemia. Ketika seseorang terkena anemia, sel dan jaringan tubuh akan kekurangan asupan oksigen sehingga memengaruhi kinerja tubuh. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau akibat gangguan fungsi tubuh. Anemia merupakan salah satu jenis kelainan darah, umumnya terjadi ketika tingkat sel darah merah yang sehat di dalam tubuh terlalu rendah. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlahmassa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinyauntuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) atau hitung eritrosit (red cell count).1 Sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Defisiensi zat besi merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan sekitar 30 % penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari 1

setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Anemia bentuk ini merupakan bentuk anemia yang sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. 2

BAB II 2

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. DEFINISI ANEMIA DEFISIENSI BESI Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.2 Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam penyimpanan dan penangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian, kekurangan besi mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar dan mengurangi aktivitas kerja serta meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas bagi janin dan ibu.2,3

2. 2. EPIDEMIOLOGI ANEMIA DEFISIENSI BESI Prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2007 menunjukkan angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. SKRT tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.4

2. 3. METABOLISME ZAT BESI Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan 3

yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan zat besi akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat,kardiovaskuler, imunitas dan perubahan tingkat seluler. Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus.Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin (protein darah yang terbentuk ketika sel-sel darah merah rusak) dan 3% dalam bentuk mioglobin, hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5gram.3 Pengeluaran besi dari tubuh yang normal ialah: bayi 0,3-0,4 mg/hari, anak 4-12 tahun 0,4-2,5 mg/hari, laki-laki dewasa 1,0-1,5 mg/hari, wanita dewasa 1,0-2,5 mg/hari, wanita hamil 2,7 mg/hari. Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauhlebih besar dari pengeluarannya, karena dipergunakan untuk pertumbuhan. Kebutuhan rata-rata seorang anak 5 mg/hari, tetapi bila terdapat infeksi dapatmeningkat sampai 10 mg/hari.5 2. 4. FISIOLOGI PRODUKSI HEMOGLOBIN Eritropoitin adalah pengatur hormon primer dan merupakan produksi sel darah merah. Pada fetus, eritropoitin dihasilkan dari monosit/makrofag dihati. Setelah lahir, eritropoitin diproduksi oleh sel-sel peritubular ginjal.Dalam differensiasi sel darah merah, kondensasi material inti sel merah, menghasilkan hemoglobin sehingga jumlahnya mencapai 90% dari masa sel darah merah. Normalnya sel darah merah dapat bertahan sekitar 120hari,

sementara abnormalnya sel darah merah dapat

bertahan hanya selama 15 hari.2

4

Gambar 1. Skema proses metabolisme zat besi sebagai unsur utama pembentuk sel darah merah.

Setelah eritrosit berumur ± 120 hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan

di

dalam

sel

retikuloendotelial.

Hemoglobin

mengalamiproses

degradasimenjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akandireduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma danmengikuti siklus seperti diatas atau tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.2

2. 5. ETILOGI ANEMIA DEFISIENSI BESI Terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diet yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang. Kekurangan besi dapat disebabkan:6 1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis seperti pertumbuhan dan menstruasi. 2. Kurangnya besi yang diserap seperti masuknya zat besi dari makanan yang tidak adekuat dan terjadi malabsorpsi besi. 3. Perdarahan 4. Transfusi feto-maternal 5. Hemoglobinuria. 6. Iatrogenic blood loss 7. Idiopatthic pulmonary hemosiderosis 8. Latihan yang berlebihan

2. 6. PATOFISIOLOGI Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan besi yang 5

berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetapakan menyebabkan cadangan besi yang berkurang. Ada tiga tahap dari anemia defisiensi besi, yaitu: 7 1. Tahap petama: iron depletion atau iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. 2. Tahap kedua: iron deficient erythropoietin atau iron limited erytropoiesis didapatkan

suplai besi yang tidak cukup untukmenunjang eritropoiesis.

3. Tahap ketiga: iron deficiency anemia, terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.

2. 7. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis anemia adalah lemah dan mudah capai atau lelah, berdebar-debar, cepatmarah, nafsu makan berkurang, sesak nafas, bentuk kuku sendok (koilonychia), glossitis, atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin mengkilat, merah daging, dan meradang, sakit kepala pada bagian frontal, tidak panas, kulit pucat merupakan tanda yang penting pada defisiensi besi, kulit pucat berlangsung kronis, sklera berwarna biru juga sering, meskipun ini juga ditemukan pada bayi normal.1

Gambar 2. Kuku sendok (koilonychia) pada jari tangan seorang pasien anemia defisiensi besi.

Pada defisiensi ringan sampai sedang (Hb 6-10 g/dl) mekanisme kompensasi, seperti kenaikan 2, 3-difosfogliserat (2,3-DPG) dan pergeseran kurvadisosiasi oksigen, mungkin demikian efektif sehingga sedikit saja keluhan anemia timbul, meskipun mungkin ada kenaikan iritabilitas. Bila Hb menurun sampai dibawah 5 gr/dl, iritabilitas dan anoreksia mencolok. Takikardia dan dilatasi jantung terjadi, dan bising 6

sistolik sering ada. Limpa teraba

membesar pada 10-15% penderita. Pada kasus

menahun, dapat terjadi pelebaran diploe tulang tengkorak yang mirip dengan yang telihat pada anemia hemolitik kongenital.1 Defisiensi besi dapat mempengaruhi fungsi neurologis dan intelektual. Monoamin oksidase (MAO), merupakan suatu enzim yang tergantung pada besi dan hormon dan berperan penting dalam reaksi neurokimia di susunan saraf pusat. Defisiensi besi menyebabkan penurunan aktivitas enzim seperti katalase dan sitokrom. Katalase dan peroksidase mengandung besi, tetapi kepentingan biologiknya belum dikatahui benar.1

2. 8. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit, ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, total iron binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEP, feritin), dan apus sumsum tulang.8,9 Menentukan adanya anemia dengan pemeriksaan kadar Hb dan atau PCV merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH dan MCHC menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukaan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikolisitiosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target,

ovalosit, mikrosit dan sel

fragmen).8,10,11

Gambar 3.Hapusan darah tepi pasien anemia defisiensi besi,

7

Menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis. Tampak beberapasel Pencil (P), sel Target (P), Mikrosit, (M)

2. 9. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: 1. Kriteria diagnosis ADB menurut WHO: a. Kadar HB kurang dari normal sesuai usia b. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-35%) c. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N:80-180ug/dl) d. Saturasi Transferin <15% (N:20-50%) Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi.Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjad ipeningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.2,13

2. 10. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokromik mikrositer lain. Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Keadaanlainnya adalah leadpoisong / keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. Tabel 1 Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB

8

2. 11. PENATALAKSANAAN Pengobatan anemia defisiensi besi terdiri atas: 13 1. Terapi zat besi oral Pada bayi dan anak terapi besi elemental diberikan dibagi dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari diberikan dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan malam. Terapi zat besi diberikan selama 1 sampai 3 bulan dengan lama maksimal 5 bulan. Enam bulan setelah pengobatan selesai harus dilakukan kembali pemeriksaan kadar Hb untuk memantau keberhasilan terapi. 2. Terapi zat besi intramuscular atau intravena Terapi ini dapat dipertimbangkan bila respon pengobatan oral tidak berjalan baik, efek samping dapat berupa demam, mual, urtikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas, artragia, bronkospasme sampai relaksi anafilaktik. Oleh karena itu, besi parenteral diberikan hanya bila dianggap perlu, misalnya: pada kehamilan tua, malabsorpsi berat, radang pada lambung. Kemampuan untuk menaikan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dapat dihitung berdasarkan: Dosis besi (mg) = BB (kg) xkadar Hb yang diinginkan (g/dl ) x 2,5 3. Transfusi darah 9

Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respons terapi. 4. Pemantauan Terapi a. Periksa kadar hemoglobin setiap 2 minggu b. Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat c. Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastrointestinal d. Tumbuh Kembang 

Penimbangan berat badan setiap bulan



Perubahan tingkah laku



Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke ahlipsikologi



Aktifitas motorik

2. 12. PENCEGAHAN Menurut kebiasaan, pencegahan anemia defisiensi besi lebih difokuskan pada 12 bulan pertama kehidupan. Tapi, seharusnya balita berhak mendapat tingkat perhatian yang sama karena risiko efek perkembangan dari anemia defisiensi besi dan karena prevalensi anemia defisiensi besi antara satu dan tiga tahun mungkin lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. 1. Pencegahan Primer Pencegahan utama anemia defisiensi besi pada bayi dan balita bergantung pada praktik pemberian makanan sehat. Pada bayi, pengenalan susu sapi pada tahun pertama kehidupan adalah faktor risiko diet terbesar untuk pengembangan kekurangan zat besi dan anemia defisiensi besi. Susu sapi merupakan susu rendah zat besi, dan zat besinya kurang diserap. Selain itu, susu sapi dapat menurunkan penyerapan zat besi dari sumber makanan lainnya. Oleh karena itu, penghindaran susu sapi dalam 12 bulan pertama kehidupan sangat penting dalam mencegah anemia defisiensi besi.14 10

Menyusui adalah praktik pemberian makan yang ideal untuk banyak alasan, termasuk menurunkan risiko anemia defisiensi besi. Meskipun, kandungan besi dalam ASI lebih rendah tetapi penyerapan/bioavailabilitasnya lebih tinggi (50%). Namun, pemberian ASI eksklusif setelah empat sampai enam bulan membuat bayi berisiko kekurangan zat besi. Oleh karena itu, beberapa bentuk suplemen zat gizi diet yang memberi 1 mg unsur besi per kg per hari dianjurkan untuk bayi yang berumur mulai dari usia empat sampai enam bulan.15 Untuk mencegah kekurangan zat besi, pilihan lain adalah suplemen zat besi oral setiap hari, dengan menggunakan tetes sulfat besi atau tetes vitamin bayi dengan zat besi. Tetes vitamin mengandung 10 mg unsur besi per tetes, yang merupakan RDA untuk anak-anak berusia enam bulan sampai enam tahun. Suplementasi zat besi melalui tetesan atau sereal yang diperkaya zat besi harus dilanjutkan selama periode menyusui.16 Bayi dengan berat lahir prematur dan bayi dengan berat lahir rendah memerlukan suplementasi pada dosis 2 mg zat besi oral per kg per hari, dimulai pada usia dua sampai empat minggu. Bayi dengan berat kurang dari 1.500 g membutuhkan dosis yang lebih tinggi (3 mg per kg per hari untuk 1.000 g sampai 1.500 g dan 4 mg per kg per hari kurang dari 1.000 g).16 Bayi diawali dengan susu formula saat lahir dan mereka yang beralih dari ASI ke formula harus diberi formula yang diperkaya zat besi. Bayi matur dan prematur (beratnya lebih dari 1.000 g) yang diberi susu formula yang diperkaya zat besi mampu mempertahankan kecukupan zat besi tanpa tambahan suplementasi zat besi.16 Pada tahun kedua kehidupan, susu sapi terus menyebabkan masalah dalam menjaga simpanan besi, dan konsumsinya harus dibatasi kurang dari 24 oz per hari, dengan beberapa dokter meminta batas yang lebih ketat 16 oz per hari. Ibu yang ingin terus menyusui setelah usia 12 bulan harus didorong untuk melakukannya, dan suplementasi zat besi harus dijaga dalam beberapa bentuk. Jika menyusui dihentikan sebelum 24 bulan, saran terbaru adalah untuk mengganti dengan susu formula yang diperkaya besi karena efek negatif susu sapi terhadap status zat besi anak.16 11

Tindakan pencegahan lainnya untuk balita termasuk mendorong diet beragam yang kaya akan sumber zat besi dan vitamin C. Tabel 2. Tabel rekomendasi suplementasi besi dari IDAI

2. Pencegahan Sekunder (Skrining) Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat masih kontroversial. American Academy of Pediatrics (AAP) menganjurkan antara usia 9–12 bulan, 6 bulan kemudian, dan usia 24 bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun. Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin serum, dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja. Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat skrining ADB. Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu zinc erythrocyteprotoporphyrin (ZEP). Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan segera memberi terapi.3 3. Pendidikan Setelah melaksanakan pencegahan primer dan sekunder, perlu juga untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gizi dan jenis makanan yang mengandung kadar besi yang tinggi dan absorpsi yang lebih baik misalnya ikan, hati dan daging. Penyuluhan mengenai kebersihan lingkungan untuk mengurangi kemungkinan 12

terjadinya infeksi bakteri / infestasi parasit sebagai salah satu penyebab defisiensi besi.

2. 13. Prognosis Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan menifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.2 Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut: 1. Diagnosis salah 2. Dosis obat tidak adekuat 3. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa 4. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap. 5. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaiam besi (seperti: infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat) 6. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W., Setyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S., Editor. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2006; hal 632-636. 2. Permono B., Sutaryo., Ugrasena., Anemia Defisiensi Besi, dalam buku ajar hematology – oncology , Badan penerbit IDAI: Jakarta, 2005; hal 30-42. 3. Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSCM, Februari 2005; hal 1-7. 4. Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anema gizi besi. Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono, penyunting. Gizi dalam angka sampai tahun 2003. Jakarta: DEPKES; 2005. h. 41-43. 5. Staf pengajar FKUI, Hematologi, Ilmu kesehatan anak, Penerbit FKUI: Jakarta, 1985. 6. Weiss G, Goodnoug LT. Anemia of Chronic Disease. New England Journal of Medicine 2005; 352:1011-32. 7. Ganz TH. A Key Regular of Iron Metabolism and Mediator of Anemia of Inflammation Blood. The American society of hematology; 2003:783-88. 8. Raspati H, Reniarti L,dkk. 2006. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 9. Abdussalam,M. 2005. Diagnosis, pengobatan pencegahan anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Anemia defisiensi besi. Yogyakarta: MEDIKA Fakultas Kedkteran UGM. 10. Soegijanto, S. 2004. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta: IDI. 11. Behrman Kliegman, Arvin. 2004. Anemia defisiensi besi. Nelson’s Textbook of Pediatrics. Edisi 18 pp 1691-1694. Jakarta. EGC.

14

12. Janet

L, Kwiatkowaki, Haidary N.dkk, “Severe iron deficiency anemia in

young children”, The Journal of Pediatrics by Mosby,Inc.1999; p. 514-516. 13. Goerge N, Ioannou, Specter J.dkk, “Prospective

Evaluation of

ClinicalGuideline for the Diagnosis and Management of Iron Deficiency Anemia”,The American Journal of Medicine by Excerpta Medica. Inc. 2002 ; p.281-287.1 14. Booth IW, Aukett MA. Iron deficiency anaemia in infancy and early childhood. Arch Dis Child. 1997;76:549–54. 15. Oski FA. Iron deficiency in infancy and child-hood. N Engl J Med. 1993; 329:190–3. 16. Earl RO, Woteki CE, Institute of Medicine Committee on the Prevention, Detection, and Management of Iron Deficiency Anemia Among U.S. Children and Women of Childbearing Age. Iron deficiency anemia: recommended guidelines for the prevention, detection, and management among U.S. children and women of childbearing age. Washington, D.C.: National Academy Press, 1993.

15

Related Documents


More Documents from "the day"