Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com
Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam
Salah satu permasalahan yang timbul dikalangan pengkaji hukum Islam dalam masa modern ini adalah mengenai pencatatan nikah terutama mengenai dimana posisi pencatatan nikah dalam sebuah akad perkawinan. Sebagian pemikir Islam mendukung kewajiban untuk mencatatkan perkawinan, yaitu ulama kontemporer, dan sebagian lainnya terutama para ulama klasik sebaliknya tidak menjadikan pencatatan nikah sebagai aturan yang harus dijalankan. Untuk mencoba menyelesaikan masalah ini pemakalah akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan pencatatan pernikahan.
A.
Tujuan Pencatatan Pernikahan (di Indonesia) Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Selain itu disebutkan dalam UU No.2 tahun 1946 bahwa tujuan dicatatkannya perkawinan adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) UU tersebut dijelaskan bahwa: “ Maksud pasal ini ialah agar nikah. talak dan rujuk menurut agama Islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan , kematian dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan rapat dengan waris-mal-waris sehingga perkaiwnan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan.[1] Selanjutnya tersebut pula dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. dan ditegaskan Perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawa Pencatat Nikah.[2]
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com
B.
Pencatatan Nikah Di Negara Lain Yang dimaksud dengan Negara lain disini adalah Negara dengan penduduk mayoritas Islam atau Negara dengan Hukum Islam. Pada subbab ini hanya akan dijelaskan sekilas mengenai Pencatatan nikah di beberapa negara lain.[3] 1.
Malaysia
Dalam Hukum Perkawinan Malaysia mengharuskan adanya pendaftaran/pencatatan perkawinan. Proses pencatatan dilakukan setelah selesai akad nikah. Contohnya teks UU Pinang 1985 pasal 25; “Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap orang yang bermastautin dalam negeri Pulau Pinang dan perkahwinan tidap-tiap orang yang tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri Pulai Pinang hendaklah didaftarkan mengikuti Enakmen ini”. Bagi orang yang tidak mencatatkan perkawinannya merupakan perbautan pelanggaran dan dapat dihukum dengan hukuman denda atau penjara. 2.
Brunei Darussalam
Sebagaimana Negara sebelumnya, Brunei juga mengharuskan adanya pendaftaran perkawinan, meskipun dilakukan setelah akad nikah dan lewat pendaftaran inilah Pegawai Pendaftar memerikas lengkap atau tidak syarat-syaratnya. Bagi pihak yang tidak mendaftarkan perkawinannya termasuk pelanggaran yang dapat dihukum denda atau penjara.
3.
Mesir
Aturan pertama tentang pencatatan tersebut dalam UU Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Beperkara di pengadilan Tahun 1897, disebutkan dalam UU ini , pemberitahuan satu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). kemudian menurut peraturan tahun 1911, pmbuktian harus dengan catatan resmi pemerintah atau tulisan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal dan dalam peraturan tahun 1931 lebih doertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti resmi ( Akta) dari pemerintah. 4.
Lebanon
Dalam UU lLebanon mengeani Hukum Keluarga tahun 1962 disebut , seharusnya pegawai yang berwenang hadir dan mencatatkan perkawinan. Tetapi tidak ada penjelasan tentang
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com status dan akibat hukum perkawinan yang tidak sesuai prosedur. 5.
Iran
Iran menetapkan bahwa setiap perkawinan dan percerain harus dicatatkan. Perkawinan atau perceraian yang tidak dicatatkan adalah satu pelanggaran. 6.
Pakistan dan Bangladesh
Dalam Muslim Family Law Ordinance tahun 1961, Pakistan dan Bangladesh mengharusan pendaftaran
perkawinan. Ulama Tradisioanl Pakistan juga setuju dengan kaharusan
pencatatan perkawinan, dengan syarat tidak dijadikan syarat syah perkawinan. Bagi yang melanggar peraturan dapat dihukum denda dan atau penjara. 7.
Yordania
Dalam UU Yodania No. 61 Tahun 1976 mengharuskan adanya pencatatan perkawinan dan yang melanggar dapat dihukum baik mempelai maupun pegawai dengan hukuman pidana. Selain Negara-negara tersebut Negara lainya sperti Syria, Maroko, Tunisia, Libya , Yaman diberlakukan peraturan pencatatan nikah.
C.
Dampak Negatif tidak Dicatatkannya Perkawinan Beberapa akibat negatif disebabkan tidak dicatatkannya suatu akad pernikahan adalah: 1. Sebagaiman penjelasan sebelumnya, bahwa tujuan pencatatan nikah adalah untuk kepastian hukum. Sehingga jika terjadi sengketa dalam perkawinan maka akan kesulitan dalam pemecahan permasalahan di pengadilan. 2. Terkait nikah siri (nikah yang tidak tercatat Negara), akibat tidak memiliki Akta Nikah, dalam banyak kasus yang banyak dirugikan adalah pihak Istri. Siti Lestari dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan atau LBH APIK yang dalam kegiatannya memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat khususnya perempuan, mengatakan bahwa pernikahan siri ternyata banyak memberikan kerugian terhadap perempuan. Menurutnya, apa-apa yang berdampak dari perkawinan siri secara hukum tidak diakui. Maka apabila pasangan siri tersebut menginginkan perceraian, maka cerainya pun hanya dengan kesepakatan, tetapi pihak perempuan tidak dapat menuntut, misalnya atas hak nafkahnya, hak perwalian anak, dan sebagainya apabila sang suami tidak mau memberi.[4]
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com 3.
Kesulitan mendapatkan akta kelahiran anak. Padahal dewasa ini akta kelahiran
menjadi alat yang sangat penting terutama sebagai syarat masuk sekolah. Sehingga masa depan anak ikut terkena dampak buruknya.
D. Dampak Negatif Adanya Pencatatan Nikah “Hal negatif” yang mungkin saja bisa timbul akibat pencatatan nikah (Akta nikah). 1.
Surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan
tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. [5]
E.
Pentingnya Pencatatan Nikah Beberapa hal mengenai pentingnya suatu akad nikah dicatatkan: 1.
Sebagaimana tersebut dalam tujuan Pencatatan nikah, dengan adanya akta nikah maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut Negara sehingga jika terjadi suatu masalah, Negara dengan kekuasaannya dapat mengadili.
2. Dalam Syari’ah Islam ketetapan seorang anak Syah hanya dapat dilakukan dengan ikrar atau pembuktian dengan adanya dua orang saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi maka penacatatan nikah menjadi hal yang representative untuk mencapai tujuan maslahah.[6] 3. Begitu pentingnya alat bukti dalam satu perkawinan sehingga Rasulullah pernah menyatakan bahwa nikah tanpa saksi identik dengan perbuatan zina. Bahkan Nabi SAW mensunahkan untuk mengadaan walimah. [7]
F.
Pencatatan Nikah Dalam Hukum Islam Pembahasan mengenai pencatatan nikah dalam kitab-kitab fikih konvensional tidak ditemukan hanya ada pembahasan tentang fungsi saksi dalam perkawinan. [8] Di dalam kitab-kitab Fikih Klasik biasanya diterangkan bahwa secara filosofis keberadaan saksi bertujuan untuk memelihara
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com kehormatan wanita dengan adanya kehati-hatian dalam masalah farji serta menjaga pernikahan dari tindakan yang tidak bertanggung jawab sebab adanya tindakan curang yang dilakukan oleh salah satu pihak serta menjaga status nasab.[9]Kebanyakan Ulama menyatakan bahwa pernikahan tidak syah tanpa adanya bayinah (bukti) yaitu dengan kehadiran dua orang saksi ketika akad.[10] Yang Perlu menjadi perhatian adalah bahwa dulu persaksian adalah alat yang paling utama untuk menentukan hak seseorang, Karena persaksian adalah alat bukti yang paling terpercaya pada masa itu. Karena masih banyak orang yang adil dan kredibel yang bisa dipertanggung jawabkan. [11] Mengenai saksi ini, beberapa pendapat Ulama Klasik sebagai berikut:[12] a. Imam malik. Imam Malik menekankan fungsi saksi, yakni pengumuman. Imam Malik membedakan antara pernikahan sirri dengan pernikahan tanpa bukti. Niah sirri adalah nikah yang secara sengaja dirahasiakan oleh para pihak yang terlibat dalam pernikahan, hukum pernikahan seperti ini adalah tiadak sah. Sebaliknya hukum pernikahan yang tidak ada bukti tetapi diumumkan kepada khalayak ramai (masyarakat) adalah sah. b. Imam Syafi’ie Imam Syafi’ie mengharuskan saksi dalam pernikahan. saksi harus dua orang pria yang adil. Khorudin nasution menulis dalam bukunya bahwa pada prinsipnya semua ulama tersebut mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah. Sehingga dari penjelasan tersebut, bukanlah suatu kesimpulan yang radikal dan ekstrim jika dikatakan Pencatatan Nikah berkedudukan penting sebagaimana halnya kedudukan dan fungsi saksi dalam akad pernikahan,yaitu sebagai bukti telah dilangsungkannya akad pernikahan dengan sah.
G. Kaitanya Dengan Nikah Sirri dan Istinbath Hukum Adapun yang dimaksud dengan nikah sirri disini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan ke Badan Pencatat Pernikahan.
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com Dalam kaidah ulhsul al-Fiqhiyah, terdapat methode atau teknik yang dapat digunakan untuk beristimbath al–Hukm. Dalam permasalahan Nikah Sirri, kita tidak dapat menemukan aturan di dalam nash (al-Quran dan as-Sunnah as-Shohihahaw al-Maqbulah). Artinya dapat digunakan cara lain, yang disebut dengan Ijtihad. Ijtihad dapat dilakukan dalam beberapa hal, antara lain: 1. Nash (al-Quran dan as-Sunnah) yang dzoni 2. Terhadap masalah-masalah yang secara explisit tidak disebutkan di dalam nash Melihat dari dampak-dampak negatif yang banyak menimbulkan ke-mudhorot-an atau mafsadat bagi banyak kalangan wanita dan anaknya. Bisa digunakan salah satu qaidah dalam qowaid al-Fiqhiyah yaitu Sadd-u al-Dzaro'i. dan adzaro'i. ) ( سدSaddu adzaro'i meupakan kata majemuk yang terdiri dari kata sadd-u Sadd berarti menutup dan adzara'i merupakanbentuk jama' dari al-Dzari'ah berasal dari kata dzir'un yang berarti memanjang dan bergerak ke depan. Secara literal al-Dzari'ah mempunyai beberapa makna, diantaranya sebab perantara kepada sesuatu. Sehingga secara literal, makna sadd-u adzaria'i adalah menutup jalan-jalan dan perantara-perantara sehingga tidak menyampaikan kepada tujuan .yang dimaksud Menurut al-Syathibi, dzari'ah ialah perantara yang mendekatkan perkara mashlahat kepada perkara mafsadat. Sedangkan Ibnu Taimiyah mengartikan al-dzari'ah dengan perbuatan yang dhohir-nya mubah, tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian al-dzara'i adalah memotong perantara- perantara kerusakan dengan melarang perbuatan yang dibolehkan karena akan menyampaikan kepada yang dilarang. Firman Allah dalan an-Nur ayat 31: Artinya: "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" (al-Nur: 31) Dalam ayat ini, Allah melarang orang mukminat menghentakan kaki mereka, karena dapat menjadikan sebab para lelaki mendengar bunyi gemerincing yang dapat menimbulkan syahwat tehadap wanita itu. Menghentakan kaki sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Ini merupakan larangan melakukan perbuatan yang diperbolehkan karena mempertimbangkan akibat yang timbul yang kadang-kadang menimbulkan mafsadat. Selanjutnya, pembahasan nikah sirri dilanjutkan dengan menggunakan qiyas, yaitu berdasarkan pada persamaan illat. Maksudnya pada ayat di atas sebenarnya Allah tidak melarang
Disusun Oleh http://Islamwiki.blogspot.com menghentakan kaki mereka, akan tetapi dapat menimbulkan kemafsadatan (misal: menimbulkan syahwat bagi lelaki) sehingga perbuatan itu dilarang. Begitu juga dalam permasalahan nikah sirri sebenarnya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, karena nikah sirri hanya bisa kita dapatkan di Indonesia dan tidak ada larangan langsung dari nash (la-Quran dan as-Sunnah). Akan tetapi dengan melihat kepada mafsadat-nya yang ditimbulkan banyak sekali berdampak negatif terutama bagi kaum wanita dan anaknya. Sehingga menurut hemat penulis[13] perbuatan nikah sirri itu dilarang dengan melihat pada kemafsadatan yang ditimbulkan.
[1] .Nasution,
Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 336. [2] Ibid,
hlm. 338.
[3] Ibid,
hlm. 338-352
[4] Mariana
Amiruddin: Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan dan Redaktur Pelaksana Jurnal Perempuan. Diambil dari Radio Jurnal Perempuan edisi 341 yang diliput oleh Kamilia Manaf, jurnalis Radio Jurnal Perempuan [5] HTI Press. [6] Skripsi: Abdul Basyir,
Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia, hlm 77.
[7] ibid. [8] Nasution,
Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm.323. [9] Skripsi: Abdul Basyir,
Tinjaun Hukum Islam Terhadap Status Nikah Siri di Indonesia, hlm 77, Syari'ah UIN SUKA, Tidak Diterbitkan. [10] Ibid, [11] Ibid, [12] Nasution,
Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indoensia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 327-332 [13] Penjelasan
mengenai Istimbath Hukum ini adalah saduran dari ulisan Cak Kur yang ditulis di blognya dengan judul : Nikah Siri dan Vagina yang Terkoyak (1)