2.x Resusitasi Pada Kehamilan Perbedaan Anatomi dan Fisiologi Pada Kehamilan Tahap stabilisasi sirkulasi dalam kondisi hamil pada kasus henti jantung memerlukan beberapa pertimbangan khusus. Salah satunya adalah perbedaan fisiologi dan anatomi jika dibandingkan dengan yang tidak hamil. Pada kondisi hamil terjadi peningkatan cardiac output sebesar 30-50% akibat peningkatan stroke volume dan laju denyut jantung sebanyak 15-20 kali per menit (San-Frutos dkk., 2011; Tan dan Tan, 2013). Selain itu terjadi penurunan resistensi pembuluh darah sistemik akibat berbagai vasodilator endogen seperti progesteron, estrogen, dan nitric oxide (Carbillon dkk., 2000). Hormon progesteron memiliki efek relaksasi sfingter gastroesofagus dan peningkatan waktu transit isi saluran cerna yang meningkatkan risiko ibu hamil mengalami aspirasi isi lambung (Lawson dkk., 1985; Chiloiro dkk., 2001). Metabolisme obat juga berubah pada kondisi hamil akibat perubahan fisiologi ginjal (Chiloiro dkk., 2001). Secara anatomi pembesaran uterus dapat menyebabkan peningkatan afterload jantung akibat penekanan pada aorta, dan penurunan venous return akibat penekanan pada vena cava inferior (Jeejeebhoy dkk., 2015). Kompresi pada kedua aorta dan vena cava tersebut diistilahkan dengan aortocaval compression. Oleh karena penekanan tersebut, ibu hamil yang berada pada posisi supinasi (telentang) cenderung dapat mengalami hipotensi. Hipotensi sistemik ini dapat mengganggu berbagai mekanisme kompensasi tubuh yang berusaha menjaga aliran darah ke uterus, sehingga berdampak bagi janin yang dikandung (Jeejeebhoy dkk., 2015). Penekanan aortocaval dapat dihindari dengan melakukan teknik left uterine displacement (LUD) manual seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Teknik manual LUD pada kondisi hamil dengan satu tangan (kiri) dan dua tangan (kanan) (Jeejeebhoy dkk., 2015) Teknik manual LUD dapat dilakukan dengan satu tangan atau dua tangan. Manual LUD dua tangan dilakukan dengan menangkupkan uterus dan diangkat serta dibawa ke kiri dari pembuluh darah maternal, dilakukan dari sebelah kiri pasien. Manual LUD satu tangan dilakukan dengan mendorong uterus ke arah atas dan ke kiri dari pembuluh darah maternal, dilakukan dari kanan pasien. Namun perlu diperhatikan agar penolong tidak melakukan dorongan ke arah bawah secara tidak sengaja, karena hal ini justru meningkatkan penekanan pada vena cava inferior dan sangat berdampak pada hemodinamik ibu hamil (Jeejeebhoy dkk., 2015). Manual LUD membuat akses untuk manajemen saluran nafas dan defibrilasi menjadi lebih mudah. Ketika manual LUD dilakukan, pasien masih dapat berbaring dalam posisi supinasi dan mendapatkan upaya resusitasi yang maksimal, termasuk kompresi dada dengan kualitas tinggi (high-quality chest compression) (Jeejeebhoy dkk., 2015). Oleh karena itu teknik ini harus dilakukan secara kontinu selama proses resusitasi berlangsung. 2.x.1 Bantuan Hidup Dasar Henti Jantung Pada Kehamilan Algoritma bantuan hidup dasar (BHD) pada kehamilan dijelaskan berdasarkan panduan dari American Heart Association (AHA) tahun 2015 yang ditampilkan pada Gambar 2.2 (Jeejeebhoy dkk., 2015). Seluruh tahap BHD harus diinisiasi segera dan simultan (bukan sekuensial) begitu henti jantung teridentifikasi pada ibu hamil. Anggota tim BHD yang disarankan minimal berjumlah empat orang agar seluruh langkah dapat dilakukan dengan efektif (Jeejeebhoy dkk., 2015).
Secara umum, langkah resusitasi yang disarankan tidak jauh berbeda dengan langkah pada orang dewasa. Setelah sistem gawat darurat diaktifkan, selanjutnya adalah melakukan identifikasi nafas dan nadi karotis dalam waktu sepuluh detik. Jika nafas dan nadi tidak ditemukan, maka catat waktu kejadian dan mulai kompresi dada kualitas tinggi. Tiga anggota tim lain membagi tugas menyiapkan automated external defibrillator (AED), melakukan manajemen saluran nafas, dan melakukan manual LUD secara kontinu (Jeejeebhoy dkk., 2015).
Gambar 2.2 Algoritma BHD pada ibu hamil (Jeejeebhoy dkk., 2015) Manajemen Saluran Nafas dan Pernafasan (Airway and Breathing)
Ibu hamil memiliki cadangan oksigen yang sangat terbatas dan kebutuhan metabolisme yang meningkat, sehingga memerlukan bantuan ventilasi segera. Manuver yang disarankan untuk membebaskan saluran nafas adalah head tilt-chin lift pada kasus non trauma (Jeejeebhoy dkk., 2015). Kemudian lakukan pemberian 100% oksigen dengan bag-mask ventilation dengan laju ≥ 15 L/menit (Vanden Hoek dkk., 2010; Jeejeebhoy dkk., 2015). Masker harus dipasang tanpa kebocoran di sekitar masker dan disarankan menggunakan teknik dua tangan. Nafas bantuan diberikan setiap satu detik. Setiap tiga puluh kompresi dada disertai dengan dua bantuan nafas. Berikan volume tidal yang cukup, dibuktikan dengan terangkatnya dada dan kabut di sekitar masker wajah. Jika belum tampak maka perlu dilakukan perbaikan pemasangan masker (Jeejeebhoy dkk., 2015). Perlu diperhatikan bahwa hiperventilasi ditemukan dapat menurunkan kemungkinan selamat pada pasien, terlebih jika hiperventilasi ini mengganggu efektivitas kompresi dada (Berg dkk., 2001). Manajemen Sirkulasi (Circulation) Saat melakukan kompresi dada untuk membantu sirkulasi pasien, disarankan menggunakan papan punggung yang kokoh. Hal ini dilakukan karena tempat tidur di rumah sakit tidak kokoh dan kompresi dada biasanya justru menyebabkan perubahan posisi matras, sehingga kompresi dada menjadi tidak efektif. Namun dalam menyiapkan papan punggung ini harus diperhatikan agar tidak menunda dilakukannya kompresi dada (Perkins dkk., 2003; Perkins dkk., 2006; Andersen dkk., 2007; Perkins dkk., 2009; Noordergraaf dkk., 2009). Pasien diposisikan dengan posisi supinasi dan manual LUD harus dilakukan secara kontinu. Kompresi dada dilakukan di posisi yang sama dengan kompresi pada orang dewasa secara umum. Saat melakukan kompresi, dada harus dibiarkan kembali secara penuh (complete chest recoil). Laju kompresi yang disarankan adalah 100 kali per menit dengan kedalaman 5 cm. Rasio kompresi dan ventilasi yang disarankan adalah 30:2 (Jeejeebhoy dkk., 2015).
2.x.2 Bantuan Hidup Lanjut Henti Jantung Pada Kehamilan Algoritma bantuan hidup lanjut (BHL) pada kehamilan dijelaskan berdasarkan panduan dari American Heart Association (AHA) tahun 2015 yang ditampilkan pada Gambar 2.3. Mengaktifkan tim henti jantung maternal adalah tugas paling mendasar yang harus dilakukan ketika terjadi henti jantung pada ibu hamil. Setiap rumah sakit harus memiliki metode khusus dalam mengaktifkan tim henti jantung maternal, sebagai contoh, ”maternal code blue”. Tim BHL henti jantung ibu hamil akan melanjutkan tugas BHD dan melakukan manajemen jalan napas lanjutan, memasukkan akses intravena di atas diafragma, dan memberikan obat BHL bila diperlukan (Jeejeebhoy dkk., 2015). Manajemen Saluran Nafas dan Pernafasan (Airway and Breathing) Intubasi
endotrakeal
harus
dilakukan
oleh
seorang
laryngoscopist
berpengalaman. Dimulai dengan endotracheal tube (ETT) dengan diameter dalam 6,0 hingga 7,0 mm. Apabila upaya intubasi endotrakeal pertama gagal, maka dapat dilakukan intubasi endotrakeal kedua kalinya. Jika masih gagal, dapat dilanjutkan dengan strategi penempatan jalan nafas supraglotis. Jika oksigenasi dan ventilasi tidak berhasil dengan perangkat supraglotik atau ETT dan mask ventilasi tidak mungkin, maka akses jalan nafas invasif darurat harus dilakukan (krikotirotomi). Upaya intubasi yang berkepanjangan harus dihindari untuk mencegah trauma saluran napas dan perdarahan. Kapnografi
harus digunakan jika tersedia untuk menilai
penempatan ETT yang benar, kualitas kompresi dada, dan kembalinya sirkulasi spontan (ROSC). Interupsi kompresi dada harus diminimalkan selama melakukan pembukaan jalan napas lanjutan (Jeejeebhoy dkk., 2015). Pengobatan Aritmia Selama Henti Jantung Terapi medis selama henti jantung pada pasien hamil tidak berbeda dengan pasien tidak hamil. Untuk pasien dengan fibrilasi ventrikel refraktori (shock resistant) dan takikardia, obat pilihannya adalah amiodarone 300 mg dengan injeksi cepat, dosis lanjutan adalah 150 mg jika dibutuhkan (Jeejeebhoy dkk., 2015).
Obat Lainnya yang Dibutuhkan Selama Bantuan Hidup Lanjut Dalam penanganan henti jantung, vasopressor seperti epinefrin dan vasopresin telah digunakan dengan tujuan meningkatkan aliran darah miokard dan otak. Berbagai penelitian yang membandingkan pasien BHL dengan obat dan pasien BHL tanpa obat, menunjukkan hasil berupa peningkatan kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) pada pasien dengan pemberian epinefrin, tetapi tidak ada perbedaan untuk kelangsungan hidup jangka panjangnya. Tidak ada data yang membandingkan penggunaan epinefrin dan vasopresin selama henti jantung pada pasien hamil, tetapi karena vasopressin dapat menginduksi kontraksi uterus dan kedua agen tersebut dianggap setara pada pasien tidak hamil, maka epinefrin adalah agen yang lebih disukai. Pada kasus henti jantung pada kehamilan dapat dipertimbangkan pemberian 1 mg epinefrin IV / IO setiap 3 hingga 5 menit selama henti jantung (Jeejeebhoy dkk., 2015). Penilaian Janin Selama Henti Jantung Penilaian janin tidak harus dilakukan selama resusitasi. Evaluasi terhadap jantung janin tidak akan membantu, melainkan hanya akan menghambat atau menunda resusitasi dan pemantauan ibu. Selama dilakukan resusitasi jantung paru, fokus harus tetap pada resusitasi ibu, pemulihan nadi ibu, dan tekanan darah dengan oksigenasi yang memadai. Jika ibu mencapai ROSC dan kondisinya stabil, maka pengawasan jantung janin dapat dilakukan kapan saja yang dianggap tepat (Jeejeebhoy dkk., 2015). Kelahiran Caesar Perimortem Jika henti jantung pada wanita hamil (dengan ketinggian fundus pada atau di atas umbilikus) belum mencapai ROSC dengan langkah resusitasi biasa dengan teknik LUD manual, maka disarankan untuk dilakukan kelahiran caesar perimortem saat resusitasi berlanjut. Keputusan tentang waktu optimal dilakukannya kelahiran caesar perimortem atau PMCD untuk bayi dan ibu itu membutuhkan pertimbangan beberapa faktor seperti penyebab henti jantung, patologi ibu dan fungsi jantung, usia kehamilan, dan sumber daya (ditunda hingga tenaga medis yang memenuhi syarat
tersedia untuk melakukan prosedur ini). Semakin cepat dilakukan PMCD maka hasil akan lebih baik (Jeejeebhoy dkk., 2015). Beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa tindakan PMCD selama henti jantung pada ibu hamil mengakibatkan kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) atau peningkatan status hemodinamik ibu. Tidak ada kasus yang menyebutkan bahwa status ibu menjadi memburuk setelah persalinan caesar. Hal penting untuk diingat adalah bahwa ibu dan bayi dapat meninggal jika tim medis tidak dapat mengembalikan aliran darah ke jantung ibu (Jeejeebhoy dkk., 2015). PMCD harus sangat dipertimbangkan untuk pasien yang belum mencapai ROSC setelah 4 menit upaya resusitasi. Interval waktu ini dipilih untuk meminimalkan risiko kerusakan neurologis, yang mulai berkembang setelah 4 hingga 6 menit henti jantung. Jika viabilitas ibu tidak memungkinkan (cedera yang fatal atau pulselessness yang berkepanjangan), maka prosedur ini harus segera dimulai (Jeejeebhoy dkk., 2015). Prosedur kelahiran caesar perimortem harus dilakukan di tempat resusitasi, karena waktu tidak boleh terbuang hanya untuk memindahkan pasien. Upaya resusitasi harus tetap dilanjutkan selama proses kelahiran caesar perimortem, termasuk teknik LUD manual (Jeejeebhoy dkk., 2015). Setelah prosedur PMCD, jika resusitasi ibu telah berhasil, pemberian antibiotik dan oksitosin mungkin dipertimbangkan (Jeejeebhoy dkk., 2015).
Gambar 2.3 Algoritma BHL pada kasus henti jantung pada kehamilan (Jeejeebhoy dkk., 2015)
DAFTAR PUSTAKA Andersen LØ, Isbye DL, Rasmussen LS. (2007). Increasing compression depth during manikin CPR using a simple backboard. Acta Anaesthesiol Scand, 51:747–50. Berg RA, Sanders AB, Kern KB, Hilwig RW, Heidenreich JW, Porter ME, Ewy GA. (2001). Adverse hemodynamic effects of interrupting chest compressions for rescue breathing during cardiopulmonary resuscitation for ventricular fibrillation cardiac arrest. Circulation, 104:2465–70. Carbillon L, Uzan M, Uzan S. (2000). Pregnancy, vascular tone, and maternal hemodynamics: a crucial adaptation. Obstet Gynecol Surv, 55:574–81. Chiloiro M, Darconza G, Piccioli E, De Carne M, Clemente C, Riezzo G. (2001). Gastric emptying and orocecal transit time in pregnancy. J Gastroenterol, 36:538–43. Jeejeebhoy F, Zelop C, Lipman S, Carvalho B, Joglar J, Mhyre J et al. (2015). Cardiac Arrest in Pregnancy. Circulation, 132(18):1747-73. Lawson M, Kern F Jr, Everson GT. (1985). Gastrointestinal transit time in human pregnancy: prolongation in the second and third trimesters followed by postpartum normalization. Gastroenterology, 89:996–9. Noordergraaf GJ, Paulussen IW, Venema A, van Berkom PF, Woerlee PH, Scheffer GJ, Noordergraaf A. (2009). The impact of compliant surfaces on in-hospital chest compressions: effects of common mattresses and a backboard. Resuscitation, 80:546– 52. Perkins GD, Benny R, Giles S, Gao F, Tweed MJ. (2003). Do different mattresses affect the quality of cardiopulmonary resuscitation? Intensive Care Med, 29:2330–5. Perkins GD, Smith CM, Augre C, Allan M, Rogers H, Stephenson B, Thickett DR. (2006). Effects of a backboard, bed height, and operator position on compression depth during simulated resuscitation. Intensive Care Med, 32:1632–5. Perkins GD, Kocierz L, Smith SC, McCulloch RA, Davies RP. (2009). Compression feedback devices over estimate chest compression depth when performed on a bed. Resuscitation, 80:79–82. San-Frutos L, Engels V, Zapardiel I, Perez-Medina T, Almagro-Martinez J, Fernandez R, Bajo-Arenas JM. (2011). Hemodynamic changes during pregnancy and postpartum: a prospective study using thoracic electrical bioimpedance. J Matern Fetal Neonatal Med, 24:1333–40. Tan EK, Tan EL. (2013). Alterations in physiology and anatomy during pregnancy. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol, 27:791–802.
Vanden Hoek TL, Morrison LJ, Shuster M, Donnino M, Sinz E, Lavonas EJ, Jeejeebhoy FM, Gabrielli A. (2010). Part 12: cardiac arrest in special situations: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care [published correction appears in Circulation. 2011;123:e239 and Circulation. 2011;124:e405]. Circulation, 122(suppl 3):S829– S861.