Penataan Ruang Berbasis Pembangunan Berkelanjutan1 Oswar Mungkasa
Sesuai Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah ditegaskan tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, serta menciptakan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada intinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari penataan ruang. Walaupun dalam kenyataannya, kondisi lingkungan masih banyak yang terabaikan. Tulisan ini merupakan sebuah pengantar untuk memahami penataan ruang dan keterkaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, dilengkapi dengan upaya penerapan di Indonesia dan praktek unggulan manca Negara. Bagian Pertama Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan 1.1
Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Pada awalnya, istilah yang dikenal adalah keberlanjutan (sustainability) yang secara umum berarti kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan proses atau kondisi suatu sistem, yang terkait dengan sistem hayati dan binaan. Dalam konteks ekologi, keberlanjutan dipahami sebagai kemampuan ekosistem menjaga dan mempertahankan proses, fungsi, produktivitas, dan keanekaragaman ekologis pada masa mendatang (Wardhono, 2012). Dalam perkembangannya seiring dengan kebutuhan menjaga keberlanjutan kehidupan manusia di bumi, masyarakat dunia diperkenalkan pada pemahaman mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Istilah tersebut menjadi terkenal pada tahun 1987 ketika World Commision on Environment and Development atau dikenal sebagai Brundtland Commision menerbitkan buku berjudul Our Common Future (Fauzi, 2004), yang dalam salah satu bagiannya berisikan Brundtland Report (Wardhono, 2012). Beberapa hal prinsip yang dikemukakan dalam Brundtland Report 1 Materi pendukung mata kuliah Manajemen Perkotaan, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta Tahun 2014
diantaranya adalah (i) keberlanjutan didefinisikan sebagai “memenuhi kebutuhan pada masa kini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi pada masa mendatang” (to meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Prinsip penting lainnya dari definisi Brundtland Commission adalah kepentingan mengintegrasikan tiga pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam mencapai tujuan keberlanjutan. Lihat Gambar 1 (Wardhono, 2012).
Gambar 1 : Skema Interaksi Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Pada tahun 1992 menjadi tonggak penting pembangunan berkelanjutan karena dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia (Keraf, 2002). Konsep berkelanjutan merupakan konsep sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-‐dimensi dan multi-‐ interpretasi. Namun pengertian pembangunan berkelanjutan yang selama ini menjadi acuan adalah sebagaimana telah disepakati Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004). Dapat juga diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan upaya terus-‐menerus yang merupakan bagian dari proses menuju kualitas kehidupan generasi kini dan mendatang yang lebih baik secara ekonomi dan sosial dalam batas daya-‐ dukung suportif sumberdaya alam dan daya-‐tampung asimilatif lingkungan (Wardhono, 2012). Pemenuhan kebutuhan sebagaimana disebutkan di atas berkaitan erat dengan 3 (tiga) jenis sumber daya, yaitu sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia (Barbier, 1993) Menurut Perman et al., (1996) dalam Fauzi (2004), setidaknya ada tiga
alasan utama mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, alasan moral. Generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan layanan sumberdaya alam tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban moral tersebut mencakup tidak mengkestraksi sumberdaya alam yang merusak lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati layanan yang sama. Kedua, alasan ekologi. Keanekaragaman hayati, misalnya, memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada hal yang mengancam fungsi ekologi tersebut. Ketiga, alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria berkelanjutan. Dimensi ekonomi keberlanjutan sendiri cukup kompleks, sehingga sering aspek keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada pengukuran kesejahteraan antargenerasi (intergenerational welfare maximization).. Selain definisi di atas, Haris (2000) dalam Fauzi (2004) melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu: • Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. • Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-‐sumber ekonomi. • Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan social termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Campbell dan Hack (1999) yang memandang jawaban pembangunan berkelanjutan pada kelayakan ekonomi, kebutuhan sosial, dan keberlanjutan ekologi. Ketiga hal ini adalah aspek penting dalam mencapai jawaban berkelanjutan. Ketiganya perlu dipertimbangkan sebagai keseluruhan mekanisme yang harus berimbang dan simultan, dan kegagalan memenuhinya berdampak pada keberhasilan keberlanjutan.
Gambar 2 Tiga Kunci Utama Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Campbell, 1997.
1.2
Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan
Secara umum disepakati terdapat 3 (tiga) prinsip dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu (i) kesetaraan lintas generasi (inter-‐generational equity). Keseluruhan kegiatan masa kini seharusnyalah mempertimbangkan dampaknya terhadap kemampuan generasi masa depan memenuhi kebutuhannya. Hal ini seringkali disebut sebagai prinsip masa depan. Prinsip ini mendorong agar nilai aset sumber daya alam saat ini setidaknya dipertahankan sama nilainya di masa depan, yang sering disebut juga sebagai hukum aset sumber daya alam tetap (constant natural assets rule). (ii) Keadilan sosial. Prinsip ini mengacu pada kondisi generasi sekarang, ketika kemiskinan dipandang sebagai penyebab utama degradasi. (kemunduran). Keberlanjutan membutuhan kendali terhadap distribusi sumberdaya agar terdistribusi merata dengan mempertimbangkan kebutuhan dasar. Partisipasi luas dalam kebijakan dan strategi lingkungan merupakan elemen terpadu dalam upaya mencapai prinsip keadilan sosial. Prinsip ini sering juga disebut sebagai kesetaraan intragenerasi (intra-‐generational equity). (iii) Tanggungjawab lintas batas (transfrontier responsibility). Pada dasarnya prinsip ini menyatakan bahwa kegiatan di suatu lokasi tidak berdampak pada lokasi lain (Haughton, 1994). Prinsip ini menjamin pergeseran geografis dampak lingkungan yang minimal dengan upaya-‐ upaya kompensasi. Dalam konteks perkotaan diharapkan tidak terjadi
pemanfaatan sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan pada wilayah di luar perkotaan bersangkutan secara berlebihan yang berdampak terhadap laju pertumbuhannya (Haughton, dan Hunter, 1994). Bagian Kedua Internalisasi Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Tata Ruang 2.1 Prinsip Umum Perencanaan tata ruang konvensional terfokus pada pertumbuhan. Diasumsikan bahwa perkembangan kegiatan ekonomi, penduduk, infrastruktur akan bermanfaat dan setiap dampak negatif dapat diminimalkan melalui penyesuaian seadanya. Terkait pembangunan berkelanjutan, diterapkan suatu pendekatan ekosistem dalam perencanaan tata ruang khususnya perkotaan. Pendekatan ekosistem sangat berbeda. Perencanaan ekosistem merupakan sebuah penolakan terhadap fenomena ‘business as usual’, dengan mengikutsertakan aspek ekologi dan partisipasi masyarakat sebagai dasar proses perencanaan dan sasaran perencanaan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bukan merupakan sesuatu yang alamiah dan selalu menguntungkan, tetapi dipandang sebagai hal yang dibutuhkan hanya ketika membantu perkembangan dan arahnya memenuhi kepentingan masyarakat yang bergantung pada aspek ekologi. Perbedaan perencanaan konvensional dan perencanaan ekosistem mempunyai implikasi tertentu terhadap perencanaan guna lahan. Implikasi ini dapat disebut sebagai prinsip perencanaan yang mengacu pada pendekatan ekosistem dan berbeda dari praktek perencanaan konvensional, sebagai berikut. i. Prinsip pertama: unit perencanaan berdasar batasan alam. Pendekatan ekosistem menggantikan hirarki unit perencanaan berorientasi politis dengan unit yang didasarkan pada fungsi ekologi dan mengikuti batasan alam. ii. Prinsip kedua: desain mengikuti alam. Kegiatan manusia merupakan bagian dari lingkungan dan keterbatasan ketersediaan sumberdaya dan ketahanan ekosistem seharusnya menjadi pertimbangan. iii. Prinsip ketiga: mempertimbangkan dampak global dan kumulatif. Perencanaan ekosistem mengadopsi perspektif yang lebih luas dan lebih lama yang memasukkan perhatian terhadap lintas-‐batas, lintas-‐generasi, dampak kumulatif. iv. Prinsip keempat: mendorong pengambilan keputusan lintas kewenangan. Perencanaan konvensional dihasilkan dari beragam kewenangan (pusat-‐ daerah; pusat-‐pusat; daerah-‐daerah) yang tidak saling berhubungan.
Pendekatan ekosistem berusaha mengatasi ini melalui pembentukan unit perencanaan, institusi dan metode yang mendorong pengambilan keputusan terpadu, dan lintas kewenangan. v. Memastikan konsultasi dan fasilitasi kerjasama dan kemitraan. Pendekatan ekosistem secara aktif melibatkan beragam pemangku kepentingan secara efektif dan proses perencanaan yang terbuka (Gibson, 1997 dalam Mungkasa, 1997). 2.2 Keterkaitan Penataan Ruang dan Pembangunan Berkelanjutan Berdasar pertimbangan keberlanjutan fungsi ekologis, penataan ruang seharusnya dilakukan melalui pendekatan (Mukaryanti dkk, 2007): • Memahami peran dan fungsi kota dan wilayah dalam konteks ekosistem. • Konservasi ruang alami yang berfungsi ekologis. Penataan ruang dilakukan dengan seoptimal mungkin mempertahankan ruang yang berfungsi ekologis sebagai komponen pembentuk struktur ruang serta mengendalikan pemanfaatan ruang yang dapat menurunkan kapasitas fungsi ekologis. Selain itu, untuk meminimalkan kerentanan wilayah terhadap bencana alam. • Penyediaan ruang buatan penunjang fungsi ekologis. Ruang buatan yang dimaksud diantaranya adalah waduk, drainase, dan polder. • Penyediaan ruang pengolah limbah untuk melindungi kelangsungan fungsi ekologis. • Optimalisasi pemanfaatan ruang terbangun. Misalnya melalui pengembangan kota kompak (compact city) berupa penggunaan lahan campuran, pembangunan vertikal dan penyisipan bangunan yang didukung pengembangan sistem transportasi masal dan jalur pedestrian yang terpadu dengan guna lahan. Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi di Indonesia adalah konflik antarpelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat. Konflik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konflik yang sangat tajam; proyek “urban renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”; fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi.
Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-‐kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang. Terkait dengan berbagai konfl ik tersebut, maka beberapa usulan yang diajukan Budihardjo (2005) untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang, antara lain: • Orientasi jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangkapendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan pada pelaksanaan atau action oriented plan. • Penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagi berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan. • Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-‐model advocacy, participatory planning dan over-‐the-‐board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuendan konsisten. • Perlu peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai forum pertemuan/diskusi/ceramah/publikasi, baik secara formal maupun informal. • Perlu adanya perhatian yang lebih terhadap kekayaan khasanah lingkungan alam dalam memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efi sien. • Keunikan setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social workof art dapat terejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki jati diri. Fenomena globalization withlocal flavour harus dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang. Disamping enam usulan tersebut tentunya implementasi indikator-‐indikator pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalam sedikitnya 3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi dasar pertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang kota/wilayah. Bagian Ketiga Penerapan Penataan Ruang Berkelanjutan 3.1
Pembangunan Kota Berkelanjutan
3.1.1 Pengertian Kota Berkelanjutan Istilah kota berkelanjutan mengandung 2 (dua) istilah yang penting yaitu kota dan berkelanjutan. Dimulai dengan istilah kota yang beragam pengertiannya, dapat dirangkum berbagai karakteristik sebuah kota yaitu (i)
merupakan konsentrasi penduduk, dalam arti jumlah, kepadatan, dan pertambahan penduduk yang lebih tinggi; (ii) merupakan kawasan terbangun yang lebih massif; (iii) merupakan pusat produksi dan produktivitas barang dan jasa; (iv) bukan merupakan kawasan pertanian dalam arti luas; (v) didominasi oleh permukiman kota, bangunan komersial, bangunan industri, bangunan pemerintahan, dan bangunan social; (vi) dilengkapi oleh prasarana dan sarana transportasi, ekonomi, dan sosial perkotaan; (vii) dilengkapi oleh utilitas air bersih, drainase, air kotor, persampahan, telepon, dan listrik; (viii) penduduk kota cenderung berlatarbelakang heterogen, berpendidikan relatif lebih tinggi, berstatus ekonomi dan sosial lebih baik, bersifat rasional dan individualistik, dan memiliki inovasi dan kreativitas lebih maju (Wardhono, 2012). Sementara pembangunan kota berkelanjutan, dengan fokus ruang pada daerah perkotaan, diartikan sebagai upaya meningkatkan kualitas kehidupan kota dan warganya tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang akibat berkurangnya sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan (Urban21 Conference, Berlin, Juli 2000). Dalam konteks yang lebih spesifik, kota yang berkelanjutan (sustainable city) diartikan sebagai kota yang direncanakan dengan mempertimbangkan dampak lingkungan yang didukung oleh warga kota yang memiliki kepedulian dan tanggung-‐jawab dalam penghematan sumberdaya pangan, air, dan energi; mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan; dan mengurangi pencemaran terhadap lingkungan (Wikipedia, 2014). 3.1.2 Sejarah Ringkas Kota Berkelanjutan Pemikiran tentang kota yang memberi tempat yang lebih nyaman bagi manusia telah digagas lebih seratus tahun yang lalu pada abad ke 19 oleh seorang ahli tata kota Ebenezer Howard dalam bukunya Garden City of Tomorrow (1898) dengan konsep Three Magnet. Howard memaparkan bahwa manusia dan lingkungannya sudah ditakdirkan untuk berdampingan. Sementara kota merupakan simbol kemasyarakatan yang merupakan kerjasama saling menguntungkan diantara manusia mencakup ilmu pengetahuan, seni, budaya, dan agama (Wheeler, 2004). Pemikiran Howard kemudian memberikan inspirasi bagi banyak perencana kota sesudahnya dan menghasilkan berbagai konsep kota dengan berbagai terminologi: green city, eco-‐city, sustainable city, new urbanism, dan sebagainya. Konsep perencanaan ini kemudian diperkuat dengan gagasan-‐ gagasan pembangunan berkelanjutan dari berbagai sudut pandang. Keseluruhan konsep tersebut berdasar pada sustainable development yang menerapkan keseimbangan Three Es—environment, equity, economy. 3.1.3 Komponen Perencanaan Lingkungan Pada umumnya perencanaan kota berkelanjutan—dengan berbagai variasi terminologi—didasarkan pada perencanaan lingkungan (environmental
planning). Tujuan utama perencanaan lingkungan adalah meningkatkan dan melestarikan kualitas lingkungan bagi kesejahteraan warga kota (Miller and Groot, 1997). Harashima (1996) mengemukakan tiga komponen dalam perenca-‐ naan lingkungan yang terdiri dari (1) Hardware, yaitu struktur kota dan guna lahan yang merupakan komponen buatan manusia dalam lingkungan; (2) Software, yang terdiri dari sistem sosial, regulasi, dan hukum; dan (3) Hardware, yang terdiri dari etika dan kesadaran lingkungan (Zahrah, 2005). 3.1.4 Pilar Pembangunan Kota Berkelanjutan Terkait dengan pilar pembangunan berkelanjutan, konsepsi pembangunan kota berkelanjutan juga berlandaskan pada empat pilar utama, yakni dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang didukung oleh pilar governance.
Gambar 3 : Pilar Pembangunan Kota Berkelanjutan Sumber : Forum Sustainable Urban Development (SUD) Pilar governance sebagai perangkat pengaturan, pelaksanaan, dan pengendalian dielaborasi sebagai prinsip analisis 5R, meliputi (i) kewajiban dan tanggungjawab (responsibility) untuk melaksanakan dan mengimplementasi-‐ kan pembangunan kota berkelanjutan; (ii) hak (right) untuk menjalankan kebijakan dan program pembangunan kota keberlanjutan yang menjadi kepentingan publik secara luas; (iii) risiko (risk), sebagai pertimbangan pengambilan keputusan pembangunan kota berkelanjutan kini dan pada masa mendatang; (iv) manfaat (revenue) penyelenggaraan kebijakan dan program pembangunan kota berkelanjutan bagi publik kini dan pada masa mendatang; (v) hubungan (relation), sebagai manifestasi koordinasi para pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan perwujudan pembangunan kota berkelanjutan. Munasinghe mengelaborasi elemen pokok ketiga pilar, yakni pilar ekonomi oleh elemen pertumbuhan, efisiensi, dan stabilitas; pilar sosial oleh
elemen pemberdayaan, peranserta, dan kelembagaan; dan pilar lingkungan oleh elemen keanekaragaman, sumberdaya alam, dan pencemaran.
Gambar 4 : Diagram Elemen Pokok Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : Sumber: Munasinghe, M., Sustainable Development Triangle, ‘Sustainable Development’, edited by Cleveland, C. J. (2007)
3.1.5 Prinsip Ekologi Pembangunan Kota Berkelanjutan Secara umum terdapat 6 (enam) prinsip ekolohgi pembangunan kota berkelanjutan (Haughton dan Hunter, 1994), yaitu A. Mencegah lebih baik dari memperbaiki (prevention is better than cure) Secara implisit prinsip ini merupakan bukti peran dari pendekatan pencegahan dalam pembangunan. Secara sederhana, ini diartikan sebagai masyarakat perlu memastikan tidak adanya dampak negatif terhadap lingkungan dari kegiatannya. Masyarakat sebaiknya menahan diri agar tidak terlibat dalam kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan. B. Tidak ada satu apa pun yang berdiri sendiri (nothing stands alone) Prinsip ini mengetengahkan konsep bahwa sebuah tindakan selalu terkait dengan hal lain yang mungkin berdampak negatif. Jadi kata kuncinya adalah saling ketergantungan, baik antarkegiatan, maupun antardaerah. Prinsip ini tidak hanya sekedar isu ekologi tetapi juga terkait isu sosial ekonomi. Ilustrasi prinsip ini adalah penggunaan angin sebagai sumber energi. Untuk itu dibutuhkan kebun angin (wind farm) di daerah perdesaan. Kegiatan kebun angin ternyata mempunyai dampak negatif diantaranya berupa suara bising, dan gangguan pada kehidupan binatang liar. C. Kurangi sampah, perbanyak penggunaan bahan daur ulang dan dapat diperbaharui Kota telah dikenali sebagai penyumbang sampah signifikan dan masalah pengelolaannya, baik total sampah maupun jumlah sampah per kapita.
Kebutuhan mengurangi sampah menjadi sangat penting mempertimbangkan semakin sulitnya menyediakan lahan untuk Tempat Pengolahan Sampah. Selain itu, sampah juga dapat berdampak pada tercemarnya air tanah D. Mempertahankan dan memperkuat keanekaragaman Prinsip ini dikenal sebagai kebutuhan akan keanekaragaman. Masyarakat membutuhkan keberagaman dalam kesehariannya, tidak hanya menyangkut dalam konteks lingkungan alamiah tetapi juga budaya. E. Mengenali, dan menghargai toleransi lingkungan skala lokal, regional dan global Prinsip ini terkait dengan ‘nothing stands alone’. Prinsip ini mengetengahkan ide pentingnya keberagaman kapasitas dalam menghadapi berbagai gangguan lingkungan. Sebagai contoh, iklim mikro dapat mempengaruhi kapasitas lingkungan mulai dari fenomena lorong angin pada kawasan gedung tinggi, sampai kecepatan penguapan air. F. Memperkuat pemahaman lingkungan melalui riset Prinsip ini mengarahkan pentingnya memahami proses lingkungan termasuk penyebab secara sosial dan ekonomi dan konsekuensinya. Riset dasar dibutuhkan untuk dapat memahaminya. Diseminasi hasil riset merupakan bagian penting dalam memperbaiki pola pengambilan keputusan individu, perusahaan, dan pemerintah. 3.1.6 Prinsip Sosial Ekonomi Pembangunan Kota Berkelanjutan Terkait prinsip sosial ekonomi dikemukakan, terdapat 6 (enam) prinsip yang menyertai, yaitu (Haughton dan Hunter, 1994), yaitu: A. Pemanfaatan desain, bahan, dan teknologi yang tepat Pendekatan ini bermanfaat ketika solusi murah dan tepat guna lebih diutamakan. Dengan demikian, masyarakat mudah memahami dan dapat meme-‐ liharanya sendiri. B. Menciptakan indikator baru kesejahteraan Terdapat kebutuhan menggunakan indikator selain aspek ekonomi. Sebagai contoh Produk Domestik Bruto sebaiknya juga mempertimbangkan jumlah dan status sumberdaya alam.. dengan demikian, eksploitasi sumberdaya alam dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dihindarkan. C. Mengembangkan standar minimum yang dapat diterima melalui kendali regulasi Prinsip ini mengetengahkan pentingnya penerapan standar minimum dilengkapi dengan regulasi yang memadai. Keberadaan regulasi yang dilengkapi dengan mekanisme pemantauan, evaluasi dan sanksi akan memberikan pemerintah kekuatan bagi pemerintah untuk memastikan semua pihak mematuhi standar yang ditetapkan.
D. Melanjutkan upaya internalisasi biaya lingkungan ke pasar Esensi dari prinsip ini adalah adanya kebutuhan membuat aspek lingkungan dipertimbangkan dalam pasar, melalui pencegahan para penyumbang polusi (polluter) mencemari lingkungan. Sebagai jalan keluarnya, kebijakan ekonomi diarahkan untuk mendorong penyumbang polusi dan pengguna sumberdaya alam membayar biaya lingkungan dari kegiatannya. Ini merupakan gabungan prinsip pengguna membayar dan penyumbang polusi membayar (user-‐pays and polluter-‐pays principles). E. Menjamin penerimaan secara social dari kebijaksanaan lingkungan Penambahan komponen biaya lingkungan dalam biaya produksi barang akan berdampak pada beban keuangan bagi sebagian masyarakat khususnya yang miskin. Untuk itu, perlu dipertimbangkan untuk memberi pengecualian bagi kelompok masyarakat tersebut. F. Partisipasi masyarakat secara luas Prinsip ini mendorong keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan. Dengan demikian, diharapkan tercipta rasa memiliki, dan tentunya diharapkan kualitas dari kebijaksanaan lingkungan menjadi lebih baik. 3.1.7 Panduan Manajemen Pembangunan Kota Berkelanjutan Menurut Haughton dan Hunter (1994), pengelolaan kota berkelanjutan mengikuti setidak nya prinsip berikut: A. Subsidiarity Dipahami bersama bahwa dalam sebuah organisasi skala besar seperti pemerintah, unit organisasi dengan hirarki yang lebih tinggi tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh unit dengan tingkat yang lebih rendah. Loyalitas tumbuh dari bawah ke atas dan bukan sebaliknya. Prinsip ini mempunyai implikasi kewenangan dan tanggungjawab didesentralisasikan. B. Keluwesan dalam pengembangan dan pelaksanaan kebijaksanaan lingkungan Masalah lingkungan sangat kompleks sehingga dibutuhkan seperangkat kebijaksanaan yang luwes. Dibutuhkan upaya penelitian yang terus menerus untuk memperoleh solusi terhadap suatu masalah yang diyakini berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya, dan berubah dari waktu ke waktu. C. Strategi jangka panjang dibutuhkan bagi manajemen lingkungan yang efektif Salah satu prinsip utama pembangunan berkelanjutan adalah kesetaraan antargenerasi (intergenerational equity) yang mensyaratkan perspektif jangka panjang dalam pelaksanaanya. Pembangunan kota berkelanjutan yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan tentunya juga membutuhkan sasaran pembangunan yang bersifat jangka panjang.
D. Koordinasi yang lebih baik diantara kebijaksanaan terkait lingkungan Kebijaksanaan lingkungan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi seharusnya bersinergi dengan kegiatan lainnya. Demikian pula halnya dalam pelaksanaan kebijaksanaan lingkungan. dibutuhkan sinergi diantara pelaku, baik antarinstansi pemerintah maupun instansi pemerintah dengan swasta dan masyarakat. E. Kesamaan hak dan non diskriminasi berpendapat Pembangunan kota berkelanjutan telah disepakati melibatkan semua pihak, dengan demikian hak berpendapat perlu dijamin tanpa pandang bulu. Hal ini juga untuk memastikan bahwa hak berpendapat tidak dibatasi oleh batas negara, provinsi, kota/kabupaten terutama ketika menyangkut isu lingkungan lintas batas. F. Kebutuhan terhadap ketersediaan dan pemahaman terhadap informasi lingkungan yang lebih baik Tingkat kesadaran terhadap isu lingkungan seyogyanya selalu dipertahankan untuk memastikan terciptanya lingkungan yang berkualitas. Hal ini hanya dapat terjadi ketika akses terhadap informasi tidak dibatasi. 3.1.8 Kebijaksanaan Utama Pembangunan Kota Berkelanjutan Mempertimbangkan prinsip ekologi, sosial ekonomi dan panduan manajemen dalam pembangunan kota berkelanjutan pada bagian terdahulu, kebijaksanaan pembangunan kota berkelanjutan setidaknya mencakup hal berikut (Haughton dan Hunter, 1994). • Kendali legislatif dipandang penting dalam menerapkan standar lingkungan minimum, seperti emisi buangan limbah industri, pembatasan penggunaan air dan lainnya. • Kebijaksanaan dan strategi perencanaan guna lahan dibutuhkan dalam upaya koordinasi dan keterpaduan kegiatan utama. Perencanaan guna lahan penting khususnya dalam memperkuat keberlanjutan, misalnya kepadatan kota, zonasi, lokasi fasilitas umum, dan penyediaan ruang terbuka. • Pendekatan teknologi dapat diadopsi seperti peningkatan efisiensi penggunaan air, pemanfaatan kembali air hujan, dan pengolahan air limbah • Kebijakan ekonomi menjadi acuan bagi penetapan solusi lingkungan berbasis pasar, seperti penerapan biaya eksternalitas (meter air), pembedaan harga (bensin timbal dan non timbal), subsidi terbatas • Kebijaksanaan yang mendorong terjadinya keterbukaan informasi dan pengetahuan terkait isu lingkungan dibutuhkan agar pengambil keputusan dapat menghasilkan keputusan yang rasional.
3.1.9 Agenda Pembangunan Kota Berkelanjutan Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam perkotaan dimulai pada awal tahun 1990-‐an, menyertai the United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) tahun 1992 dan The United Nations Commission on Human Settlement ke 15 pada tahun 1995, yang berhasil mengidentifikasi ukuran kunci untuk menjadikan pembangunan berkelanjutan diterapkan dalam permukiman (UN Habitat, 2009). Pembangunan berkelanjutan tidak hanya cara sederhana yang baru untuk menjaga lingkungan, tetapi sebuah konsep baru pertumbuhan ekonomi yang menyediakan kesempatan bagi semua orang tanpa merusak sumber daya alam dan tanpa kompromi terhadap daya dukung alam. Tahun 1996, United Nations Centre for Human Settlements (UNHCS), sekarang dikenal sebagai UN Habitat, mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan lebih jauh ke perencanaan perkotaan, dengan menyatakan bahwa perencanaan permukiman penting untuk memastikan bahwa pembangunan dan pengelolaan perkotaan memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan. 3.2
Kota Berkelanjutan: Konteks Indonesia
3.2.1 Prinsip Dasar Dalam Lokakarya Penguatan Aksi bagi Pembangunan Perkotaan secara Berkelanjutan di Indonesia yang dilaksanakan oleh Indonesia Decentralized Environmental and Natural Resources Management Project (IDEN) dan Urban and Regional Development Institute (URDI) mengemuka beberapa prinsip pembangunan kota berkelanjutan di Indonesia yang diantaranya selaras dengan yang diutarakan oleh Graham Haughton dkk., yaitu (i) memiliki visi, misi dan strategi jangka panjang yang diwujudkan secara konsisten dan kontinyu melalui rencana, program, dan anggaran disertai mekanisme insentif-‐disinsentif secara partisipatif; (ii) mengintegrasikan upaya pertumbuhan ekonomi dengan perwujudan keadilan sosial, kelestarian lingkungan, partisipasi masyarakat serta keragaman budaya; (iii) mengembangkan dan mempererat kerjasama dan kemitraan antar pemangku kepentingan, antar-‐sektor, dan antar-‐daerah; (iv) memelihara, mengembangkan, dan menggunakan secara bijak sumberdaya lokal serta mengurangi secara bertahap ketergantungan terhadap sumberdaya dari luar (global) dan sumberdaya tidak terbarukan; (v) meminimalkan tapak ekologis (ecological footprint) suatu kota dan memelihara dan bahkan meningkatkan daya dukung ekologis setempat; (vi) menerapkan keadilan sosial dan pengembangan kesadaran masyarakat akan pola konsumsi dan gaya hidup yang ramah lingkungan demi kepentingan generasi mendatang; (vii) memberikan rasa aman dan melindungi hak-‐hak publik; (viii) penaatan hukum yang berkeadilan; (ix) menciptakan iklim yang kondusif yang mendorong masyarakat yang belajar terhadap perbaikan kualitas kehidupan secara terus-‐ menerus.
3.2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Salah satu kelemahan proses pembangunan selama ini adalah bahwa pertimbangan aspek lingkungan berada di luar proses pembangunan. Aspek lingkungan hanya dipandang sebagai bagian dari proses pemberian ijin, yang dianggap terwakili oleh keberadaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kondisi ini telah disadari oleh pemerintah, sehingga sebagai upaya menjamin keberlanjutan pembangunan dilakukan langkah menginternalisasikan prinsip keberlanjutan dalam proses pembangunan melalui skema Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA). Berbeda dengan AMDAL, KLHS lebih bersifat strategis sehingga keberadaannya hanya pada tingkatan kebijakan, rencana, dan program (KRP). Pada tingkatan kegiatan, AMDAL yang berperan. A.
Definisi KLHS
KLHS didefinisikan sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program (pasal 1, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Namun demikian terdapat juga definisi KLHS yang menyerupai AMDAL atau KLHS berbasis pendekatan AMDAL. Namun definisi yang umum dipergunakan lebih menunjukkan peran KLHS dalam memasilitasi lahirnya KRP yang berorientasi keberlanjutan. Dengan demikian, prinsip dan tujuan berkelanjutan dapat dintegrasikan dalam pengambilan keputusan sejak dini. Sehingga terbentuk kerangka kerja berkelanjutan sebagai pemandu penyusunan kebijakan-‐rencana-‐ program atau menelaah KRP yang sedang berjalan. KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan dalam KRP tata ruang. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang tidak selalu mudah, sehingga manfaat KLHS bersifat unik bagi setiap jenis RTRW. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrument metodologi pelengkap atau tambahan dari penjabaran RTRW, atau kombinasi. KLHS bersifat kontekstual sehingga bersifat memberi arahan memilih alternative pemanfaatan ruang (Sukaryono, 2009) Kaidah terpenting KLHS dalam penataan ruang adalah sifatnya yang partisipatif dan sedapat mungkin didasari keinginan sendiri memperbaiki kualitas KRP tata ruang. Asas penjabaran prinsip berkelanjutan yang mendasari KLHS bagi penataan ruang adalah (i) keterkaitan, antarkomponen, antarunsur, antarvariabel, antarsektor,antardaerah dan seterusnya; (ii) keseimbangan, yang menekankan keseimbangan antaraspek, antarkepentingan dan seterusnya; (iii)
keadilan, yang menakankan hasil kebijakan, rencana, program tidak mengakibatkan pembatasan akses dan kendali terhadap sumber alam, modal, infgrastruktur, pengetahuan, dan informasi bagi kelompok tertentu (Sukaryono, 2009). B.
Kerangka Kerja KLHS
Tahapan utama KLHS terdiri dari penapisan, pelingkupan, telaah dan anlisis teknis, pengembangan alternatif, pengambilan keputusan, pemantauan dan tindak lanjut, serta konsultasi masyarakat (Setyabudi, 2009). Selengkapnya pada Gambar berikut.
Sumber: Setyabudi, 2009
•
Penapisan Sesuai dengan namanya, kegiatan ini menentukan dilakukannya KLHS terhadap KRP RTR. Langkah ini diperlukan untuk (i) memokuskan telaahan pada KRP bernilai stratejik; (ii) memokuskan telaah pada KRP terindikasi berdampak penting; (iii) memberikan gambaran umum
•
•
•
•
• •
C.
metodologi pendekatan yang digunakan. Mempertimbangkan RTRW yang bersifat wajib, penapisan tidak perlu dilakukan terkecuali pada rencana rinci tata ruang. Pelingkupan Pelingkupan merupakan proses sistematis dan terbuka untuk mengidentifikasi isu penting atau konsekuensi lingkungan yang akan timbul berkenaan dengan KRP RTR. Dengan demikian, pokok bahasan KLHS lebih pada isu atau konsekuensi lingkungan Telaah dan Analisis Teknis Tahapan ini berupa proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi konsekuensi dan efek lingkungan diterapkannya RTRW, serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip berkelanjutan. Jenis kerangka telaah antara lain: (i) telaah daya dukung dan daya tampung ingkungan; (ii) telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan ekosistem; (iii) telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan; (iv) telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Pengembangan Alternatif Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup (i) sunbstansi pokok/dasar RTRW; (ii) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW (missal pilihan intensitas pemanfaatan ruang); (iii) kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup (misal penerapan kode bangunan hemat energi). Pengambilan Keputusan Pada tahapan ini dilaksanakan pemilihan alternatif rencana/program yang dapat dilaksanakan. Pemantauan dan Tindak Lanjut Kegiatan ini disesuaikan dengan pengaturan RTRW Partisipasi dan Konsultasi Masyarakat Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Namun tingkat keterlibatan masyarakat beragam sesuai dengan tingkatan RTR, dan peraturan yang diacu. Keterlibatan masyarakat bukan formalitas sehingga masyarakat diberi waktu yang cukup untuk menelaah, memberi masukan, dan mendapatkan tanggapan. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
Efektivitas KLHS sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup (LH) menuju pembangunan berkelanjutan cukup baik karena kajian lingkungan tersebut dilaksanakan pada tahap awal proses pengambilan keputusan perencanaan pembangunan. Pada tahap awal ini terdapat berbagai alternatif yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. Dengan demikian, sebuah studi dampak lingkungan atas KRP memberi kesempatan untuk memasukkan aspek LH dalam proses perencanaan pada tahap sangat awal sehingga dapat
sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global (Lee dan Walsh, 1992; Partidario, 1996; Annandale dan Bailey, 1999; Therivel, 2004). Dengan kata lain, KLHS bergerak di bagian hulu dari suatu proses pengambilan keputusan, yaitu KRP. Definisi serupa, tapi berbeda perspektif dan penekanannya dapat dilihat sebagai berikut: “SEA is a systematic process for evaluating the environmental consequences of proposed policy, plan, or program initiatives in order to ensure they are fully included and appropriately addressed at the earliest appropriate stage of decision-‐ making on par with the economic and social considerations” (Sadler dan Verheem, 1996). Definisi tersebut menunjukkan bahwa skala sasaran kajian KLHS lebih luas daripada instrumen pengelolaan LH lain, misalnya AMDAL karena analisis dampak KRP mempunyai implikasi dampak lebih luas/makro. Selain itu, KLHS fokusnya adalah pada tataran konsep dan bukan pada tataran disain teknis yang bersifat fisik. Yang terakhir ini menjadi tekanan/fokus studi AMDAL. Kata “stratejik” dalam KLHS menjadi kata kunci yang membedakan antara instrumen-‐instrumen pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan dan instrumen KLHS. Istilah “stratejik” dalam konteks KLHS secara umum dapat diartikan secara konseptual berkaitan dengan “akar” permasalahan yang harus menjadi fokus kajian lingkungan yang dilakukan, yaitu proses dan hasil pengambilan keputusan. Pengertian “stratejik” dalam KLHS pada umumnya berasosiasi dengan tiga hal berikut (Partidario, 1994) (i) strategis dalam konteks pengambilan keputusan; (ii) keberlanjutan proses pengambilan keputusan, yaitu proses penyempurnaan KRP secara terus menerus; (iii) fokus pada manfaat hasil keputusan, merujuk pada beragamnya alternatif pilihan KRP dalam proses perencanaan pembangunan yang bersifat “strategis”. D.
Kota Hijau: Penerapannya di Indonesia.
Kota hijau pada hakekatnya adalah kota berkelanjutan yang mampu menerapkan dalam praktik nyata prinsip-‐prinsip pembangunan yang berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial budaya dan lingkungan secara terintegrasi. Inisiatif mewujudkan kota hijau ini memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain perkembangan kota yang begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya permasalahan perkotaan seperti banjir dan kemacetan, permukiman kumuh, kesenjangan sosial dan berkurang luas ruang terbuka hijau. Ada tiga aspek minimal yang harus terpenuhi dalam aplikasi suatu kota hijau, yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Ketiga aspek ini harus berimbang dalam suatu kota hijau. Tidak bisa hanya fokus pada pengembangan aspek ekonomi sementara aspek sosial dan lingkungan terabaikan, yang akan berdampak buruk kepada kota dan warganya. Tata ruang adalah alat untuk
menerpadukan berbagai aspek di perkotaan seperti sosial, ekonomi dan lingkungan, agar kota itu menjadi sejahtera berkelanjutan bagi warga yang mendiaminya. Di Indonesia, saat ini melalui Kementerian Pekerjaan Umum telah diinisiasi Program Kota Hijau (P2KH). Maksud P2KH adalah (i) menjabarkan amanat UU Penataan Ruang tentang perwujudan 30 persen dari wilayah kota sebagai Ruang Terbuka Hijau; (ii) menindaklanjuti 10 prakarsa Bali dari forum Sustanaible Urban Development (SUD) khususnya butir 7 yaitu mendorong peran pemangku kepentingan perkotaan dalam mewujudkan kota hijau, berupa inisiatif bersama antara pemerintah kabupaten/kota, masyarakat dan dunia usaha secara nasional. Sementara tujuannP2KH adalah (i) meningkatkan kualitas ruang kota khususnya melalui perwujudan RTH 30% sekaligus implementasi RTRW kabupaten/kota; (ii) meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam implementasi agenda hijau perkotaan. Sebagai sasaran P2KH ditetapkan berupa terinisiasinya aksi nyata sebagai perwujudan kota hijau dalam rangka implementasi RTRW kabupaten/kota secara nasional melalui (i) penyusunan peta hijau; (ii) penyusunan rencana induk RTH; (iii) pelaksanaan kampanye public/sosialisasi; (iv) pelaksanaan peningkatan kapasitas; (v) pelaksanaan percontohan RTH. Sebagai penanda, kota hijau dapat dikenali dari 8 (delapan) atribut yang menyertainya, yaitu ; • Perancangan dan perencanaan kota yang ramah lingkungan • Ketersediaan ruang terbuka hijau yang memadai, minimal 30 persen dari luas kota • Konsumsi energi yang efisien • Pengelolaan air yang efektif • Pengelolaan limbah dan sampah dengan prinsip 3R (reuse, reduce dan recycle) • Bangunan hemat energi (green building) • Penerapan sistem transportasi yang berkelanjutan • Peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau Upaya pemerintah patut dihargai namun memperhatikan desain dari P2KH terlihat bahwa walaupun disebutkan terdapat 8 (delapan) atribut kota hijau tetapi sepertinya hanya 4 (empat) atribut yang tercakup dalam P2KH yaitu perancangan dan perencanaan kota ramah lingkungan, ketersediaan RTH minimal 30 persen dari luas kota, bangunan hemat energi, dan peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau. Sehingga sangat kental nuansa bahwa P2KH bukan sebuah program Kota Hijau tetapi lebih sebagai program Kota Taman. Kota hijau seharusnya dimaknai sebagai kota yang ramah lingkungan berdasarkan penerapan ke delapan atribut tersebut di atas.
3.3
Praktek Unggulan
Salah satu contoh praktek unggulan yang banyak dibicarakan adalah People Centered Ecological City yang merupakan terjemahan dari konsep pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Konsep ini diterapkan di kota Curitiba, Brazil. Prinsip dasarnya memadukan perencanaan lingkungan dan perencanaan kota dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan focus utama keberlanjutan lingkungan dan pemeliharaan kualitas kehidupan warga kota. Curtiba merupakan kota berpenduduk Boks 1. Rangkuman Praktek Unggulan Kota 1,6 juta dan luas 432 km persegi, dengan Berkelanjutan segala persoalan kota besar dunia Upaya penerapan pembangunan kota diantaranya tingkat pertumbuhan penduduk berkelanjutan telah berhasil dilakukan pada beberapa kota di dunia, diantaranya: mencapai 5,7 persen per tahun. Ø Pengurangan polusi Curitiba merupakan salah satu contoh Di Mexico City, pada tahun 1989 diperkenalkan program Hoy no Circula (hari perencanaan kota jangka panjang yang tanpa kendaraan bermotor), yang berhasil inovatif dalam menciptakan kota menjadi menurunkan emisi polusi udara sampai 21% tempat tinggal yang nyaman, yang pada tahun pertama. Ø Perencanaan transportasi dan guna lahan dituangkan dalam Master Plan kota tahun terpadu 1965. § Di kota Curitiba, Brasil sistem Salah satu kunci keberhasilan adalah transportasi bus terpadu berupa lintasan khusus bus telah terbangun di sepanjang program peningkatan kesejahteraan terpadu koridor utama kota. Kepadatan tinggi di dengan program lingkungan, semisal sepanjang koridor bus didorong melalui program green exchange dan garbage not pengaturan guna lahan. Kebijakan ini telah mengurangi penggunaan kendaraan garbage pemerintah berhasil melibatkan bermotor dan mengurangi pemakaian masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. bahan bakar sampai sebesar 25%. Warga kota daerah kumuh dapat menukar § Di Los Angeles, program sejenis diperkenalkan untuk mengurangi polusi sampahnya dengan tiket bus dan makanan. udara. Kebijakannya berupa peningkatan Anak-‐anak juga dapat menukar sampah jumlah penumpang per kendaraan, dengan mainan, alat tulis bahkan tiket peningkatan ‘telecommuting’, dan peningkatan kendaraan ramah pertunjukan. lingkungan. Program ini telah berhasil mendaur Ø Daur ulang ulang sampah sampai 70 persen. Selain itu, Operasi pemulihan sumberdaya berskala luas dicanangkan di Provinsi Shanghai pada program ini juga menciptakan lapangan kerja tahun 1957. Sekarang jumlah pekerja bagi para tunawisma di tempat penyortiran mencapai 30 ribu orang, yang mengolah dan sampah. Tak kalah penting adalah menjual produk daur ulang. (Haughton dan Hunter , 1994) mewujudkan tata pemerintahan yang baik, transparansi dan partisipasi masyarakat. Bukti dari keberhailan program berkelanjutan adalah berupa pertumbuhan ekonomi kota mencapai 7,1 persen jauh di atas pertumbuhan nasional. Termasuk pendapatan per kapita yang melonjak jauh di atas rata-‐rata nasional.
Hal yang mendukung keberhasilan program diantaranya adalah adanya political will pemerintah dan kepemimpinan yang kuat. Selain memanfaatkan dengan baik modal sosial, berupa keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam pembangunan. DAFTAR PUSTAKA 1. Barbier, E.B. Economics and Ecology: New Frontiers and Sustainable Development. Chapman & Hall, London, 1993. 2.
Fauzi, A. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
3.
Fleischhauer,M., S. Greiving, dkk. Spatial Planning in the Focus of Hazard and Risk Assessment/Management in Europe. EURO-‐RIOB Conference, Wroclaw, 19-‐21 October 2005.
4.
Gibson, Robert B., Donald. Alexander, dan Ray Tomalty. Putting Cities in Their Place. Ecosystem-‐based Planning for Canadian Urban Regions in Eco-‐ City Dimensions. Healthy Communities, Healthy Planets. Edited by Mark Roseland. New Society Publishers, British Columbia, 1997.
5.
Haughton, Graham dan Hunter, Colin. Sustainable Cities. Jessica Kingsley Publisher, London, 1994.
6.
Hilman, Masnellyarti. Tata Ruang dan Perubahan Iklim. Makalah. Kementerian Lingkugan Hidup, 2008.
7.
Indonesia Decentralized Environmental & Natural Resources Management Project (IDEN) dan Urban and Regional Development Institute (URDI). Lampiran F, Bahan Lokakarya, Penguatan Aksi bagi Pembangunan Perkotaan secara Berkelanjutan di Indonesia, Laporan Akhir Tahap Persiapan., Desember 2004
8.
Keraf, A.S. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002.
9.
Mukaryanti dkk. Keberlanjutan Fungsi Ekologis sebagai Basis Penataan Ruang Kota Berkelanjutan. P3TL-‐BPPT, Jakarta, 2006.
10.
Munasinghe, M., Sustainable Development Triangle, dalam ‘Sustainable Development’, diedit oleh Cleveland, C. J. (2007).
11.
Mungkasa. Oswar. The Sustainable Cities. Makalah Ujian Mata Kuliah Urban and Regional Theory, GSPIA University of Pittsburgh, USA, 1997.
12.
Setyabudi, Bambang. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai Kerangka dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah. Buletin Tata Ruang Edisi Mei-‐Juni 2008, Badan Koordinasi Penataan Ruang (BKPRN).
13.
Sukaryono, Indra. Integrasi Pertimbangan Lingkungan dalam Rencana Tata Ruang. Buletin Tata Ruang Edisi Mei-‐Juni 2009. Badan Koordinasi Penataan Ruang nasional (BKPRN).
14.
Sutanta, Heri, Rajabifard, Abbas, dan Bishop Ian D. Integrating Spatial Planning and Disaster Risk Reduction at the Local Level in the Context of
Spatially Enabled Government. Center for Spatial Data Infrastructures and Land Administration (CSDILA), Department of Geomatics, Univercity of Melbourne, 2010 15.
Tim Redaksi. Indikator Pembangunan Berkelanjutan. Buletin Tata Ruang, Direktorat Jenderal Tata Tuang Kementerian Pekerjaan Umum, Januari-‐ Februari 2009
16.
UN Habitat. Planning Sustainable Cities. Global Report on Human Settlement 2009. Earthscan, USA, 2009
17.
Wardhono, Fitri Indra. Pembangunan Kota Berkelanjutan. 2012.
18.
Wheeler, Stephen M. dan Timothy Beartley ed. The Sustainable Urban Development Reader. New York, Routledge, 2004.
19.
Zahrah, Wahyuni. Model People Centered Ecological City (Suatu Kajian tentang Masalah Sosial Budaya dan Perencanaan Kota dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan). Jurnal Wawasan, Volume 11 Nomor 2, Oktober 2005.
.