Pemimpin Dalam Islam

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemimpin Dalam Islam as PDF for free.

More details

  • Words: 1,695
  • Pages: 5
KAJIAN ONLINE KSC Pemimpin Dalam Islam

Glossary : 1. 2. 3. 4. 5.

Pengertian pemimpin dalam Islam Syarat menjadi pemimpin Cara memilih pemimpin Keharusan memilih pemimpin Kesimpulan

Assalamualaikum WrWb Alhamdulillah puji syukur kepada Allah atas semua nikmat yang masih sempat kita nikmati hingga saat ini, Terutama nikmat kesempatan untuk saling mengingatkan pada kajian kali ini. Sholawat tak henti-hentinya terucap kepada Rasulullah Muhammad, beserta keluarga, sahabat serta pengikut sunnahnya hingga akhir nanti. Pengertian Pemimpin Dalam Islam Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara kepemimpinan maka ia akan berbicara mengenai perihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme pemilihan pemimpin, dan lain sebagainya. Suatu masyarakat tidaklah mungkin dipisahakan dari sebuah kepemimpinan. Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi. Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih. Wacana kepemimpinan dalam Islam memiliki banyak pandangan dan pendapat. Hal ini diawali pasca kepergian Rasulullah Muhammad wafat. Masyarakat Islam telah terbagiRedha Herdianto disampaikan pada Kajian Online KSC 26 Juni 2009

bagi kedalam banyak kelompok atau golongan. Kiranya inilah yang menyebabkan banyak perbedaan pendapat meskipun sumber rujukan mereka sama, yakni Al Quran dan Al Hadits. Sejarah telah mencatat setelah kepergian Rasulullah, kemudian tampuk kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah, mulai dari Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah dan Bani Abbasiyah. Setelah kepemimpinan Abbasiyah runtuh, kepemimpinan Islam mulai terpecah-pecah kedalam kesultanankesultanan kecil. Itulah sepenggal singkat tentang kepemimpinan dalam Islam. Meskipun begitu dalam banyak ayat dan hadits diterangkan bahwa setiap diri pribadi juga merupakan pemimpin baik bagi dirinya maupun bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu ayat yang menerangkan hal tersebut adalah : Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu. Sesungguhnya Rabbmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 6:165) Sahabat Ibnu Umar ra berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam rumah tangga, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinanya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Pembantu rumah tangga adalah pemimpin dalam menjaga harta kekayaan tuannya, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya. Dan setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungan jawab atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim). Syarat-Syarat Menjadi Pemimpin Dalam konteks kepemimpinan, Nabi Muhammad hanya meminta syarat agar seorang pemimpin bisa berlaku adil. Hal ini misalnya diceritakan oleh As Syaikhani yang meriwayatkan hadis tentang tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari pembalasan (akhirat). Dari tujuh golongan itu, pemimpin yang adil ditempatkan atau disebut pertama kali oleh Nabi. Mungkin saja penempatan itu hanya sekedar redaksi perkataan dari Nabi. Artinya posisi dari ketujuh golongan itu tak ada yang lebih istimewa satu sama lain— ketika kelak akan menempatkan pertolongan Allah. Namun bisa jadi juga, diletakkannya pemimpin yang adil pada urutan pertama dari tujuh golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah, mengandung maksud untuk mengistimewakan kedudukan seorang pemimpin yang adil dibanding enam kelompok manusia lainnya. Jika diperhatikan dengan baik dari tujuh golongan manusia yang dijamin oleh Nabi akan memperoleh ampunan Allah itu, semuanya menyangkut urusan pribadi dengan Allah kecuali pemimpin yang juga berurusan dengan banyak orang (yang dipimpin). Redha Herdianto disampaikan pada Kajian Online KSC 26 Juni 2009

Hadist yang lain, yang mengatakan bahwa setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya, harus diterjemahkan pula sebagai sebuah ancaman serius dari Allah dan Rasul terhadap pemimpin yang tidak berlaku adil. Sampai pada titik ini dapat dimengerti mengapa kedudukan pemimpin lalu menjadi istimewa. Dia dijanjikan akan masuk surga pertama kali, sekaligus diancam akan menjadi penghuni neraka juga dalam rombongan awal. Adil sebagai pemimpin tak harus dipahami hanya dalam soal memutus sebuah perkara. Namun adil yang diminta kepada pemimpin adalah juga mencakup aspek kesanggupan untuk selalu menjaga amanah (jujur), tidak khianat, mampu melindungi yang dipimpin (tidak otoriter) dan perilakunya bisa menjadi contoh (memberi inspirasi). Termasuk adil, jika seorang pemimpin mengakui dirinya tak bisa memimpin lagi dan memberi kesempatan kepada yang ahli untuk menggantikkannya. Bukankah imam shalat yang kentut harus membatalkan shalatnya dengan mundur selangkah agar diganti makmun yang berdiri di belakangnya? Syarat-syarat itu niscaya tak akan bisa dipenuhi oleh pemimpin manapun melainkan mereka yang berpegang teguh kepada ajaran Allah dan Rasulnya. Bercermin pada akhlaq Nabi, seorang pemimpin akan bisa berbuat adil jika paling tidak, mewarisi empat sifat Nabi. Empat sifat Nabi itu adalah Amanah (tidak korup), Fathanah (cerdas), Tabligh (mampu berdiplomasi), dan Siddiq (bnar, dipercaya atau jujur). Dalam literatur lain malah ditambahkan beberapa syarat sebagai berikut : 1. Beriman dan beramal saleh. Ini sudah pasti tentunya. Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh. 2. Berilmu, Para pemimpin harus mempunyai ilmu baik ilmu dunia maupun ilmu akherat. Karena dengan ilmu ini maka akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun spiritual, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan manusianya itu sendiri. 3. Jujur. Ya, seorang pemimpin tentunya harus jujur. Apa yang disampaikan kepada masyarakat tentunya harus dilaksanakan, dan apa yang dikatakannya hendaknya harus sesuai hendakyan dengan perbuatannya. 4. Tegas. Merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya. 5. Amanah, bertanggung jawab. Maksudnya adalah melaksanakan aturan-turan yang ada dengan sebaik-baiknya dan bertanggungjawab terhadap peraturan yang telah dibuat. Dan tentunya peraturan yang dibuat itu yang berpihak kepada rakyat.

Redha Herdianto disampaikan pada Kajian Online KSC 26 Juni 2009

Cara Memilih Seorang Pemimpin Islam tidak mengenal istilah "vox populi vox dei", suara rakyat adalah suara Tuhan. Yang biasa disebut dengan demokrasi (demos=rakyat, kratos=kekuasaan). Karena prinsip demokrasi tidaklah sesuai dengan prinsip Islam. Dalam Islam dikenal dengan nama Majelis Syura, yakni majelis yang beranggotakan para ahli ilmu dalam hal pemerintahan. Meski dalam perkembangannya ketiadaan majelis syura karena terbentur sistem pemerintahan yang bukan didasarkan pada sistem Islam menjalankan ke-partai-an dan multi-partai. Bagi sebagian kalangan ini tidak menjadi masalah selama bertujuan untuk kesejahteraan umat dan menyeru kepada amar makruf nahi munkar. Satu hal yang paling penting, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam harus mengacu kepada Alquran dan sunnah Nabi SAW, sebagai undang undang tertulis. Tugas-tugas kepala negara sebagian besar terkait dengan masalah sipil. Untuk masalah yang tidak ditemukan hukumnya dari Allah atau tuntunan Nabi SAW, maka penguasa berhak mencari solusinya sesuai dengan kaidah-kaidah Syura dan kaidah-kaidah umum dalam Alquran dan Hadist. Keharusan Memilih Seorang Pemimpin “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai fitnah (cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. Al-Anfal: 27-28). Kedua ayat ini, zahirnya, berisi larangan kepada orang-orang yang beriman agar tidak mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadanya, dan sejatinya harta dan anak-anak kita adalah bagian dari amanat tersebut yag tak boleh kita sia-siakan, jika kita benar-benar berharap pahala yang besar di sisi Allah swt. Yang sungguh menarik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahuLlah - berargumen dengan ayat ini atas kewajiban setiap orang yang memiliki kewenangan memilih pejabat, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, bahkan pejabat militer dan lainnya, agar tidak gegabah dalam menentukan pilihannya. Orang yang memiliki kewenangan untuk memilih pejabat, hendaknya ia memilih orang yang terbaik dan paling tepat untuk jabatan yang akan diembannya, dari sekian banyak kandidat yang ada. Menurut jumhur (mayoritas) ulama dari berbagai mazhab Islam, bahwa memilih pemimpin atau mengangkat pejabat untuk suatu jabatan tertentu demi kemaslahatan kaum muslimin, hukumnya adalah wajib (al Imamah, al Aamidy: 70-71). Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam pandangan Islam, berfungsi untuk menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati dan mengatur urusan duniawi masyarakat dengan mengacu kepada agama (Muqadimah Ibnu Khaldun: 211).

Redha Herdianto disampaikan pada Kajian Online KSC 26 Juni 2009

Lebih tegas lagi, Imam Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa fungsi jabatan apapun di dalam Islam bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini berlaku untuk jabatan tertinggi dan jabatan tinggi negara, seperti presiden, panglima perang, kepala kepolisian, direktur bank dan lain sebagainya., sampai jabatan terendah seperti pimpinan rombongan dalam sebuah perjalanan. (al Hisbah: 8-14). “Sesungguhnya jabatan ini adalah amanah dan sesungguhnya di akhirat akan menyebabkan kekecewaan dan penyesalan, kecuali bagi yang berhak menerimanya dan mampu menunaikan tugas sebagaimana mestinya” (HR. Muslim, no:1826). Di alam demokrasi, seperti di negeri ini, di mana kedaulatan dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan, baik pada tingkat nasional maupun lokal, berada di tangan setiap individu, kita selaku umat berkewajiban memilih calon wakil dan kandidat pemimpin yang shalih, bersih KKN, memiliki integritas agama, keilmuan dan moralitas yang baik, sesuai dengan petunjuk Alqur’an. Kita wajib memberikan dukungan kepada calon pemimpin yang shaleh yang memiliki visi dan misi dakwah rahmatan lil-‘alamin, agar ia mendapatkan kekuatan secara konstitusional sebagai pemimpin negeri ini. Jika tidak, maka kita bakal diperintah oleh sekelompok orang yang tak segan-segan menyengsarakan umat dan bangsa ini ke depan. Kesimpulan xxx

Ya akhi wa ukhti fillah, tidak ada manusia yang sempurna dan lepas dari kesalahan, tetapi itu semua bukan sebuah alasan untuk kita tidak menjadi baik. Semoga Allah Azza WaJalla me-ridhoi semua proses yang ingin dan sedang kita jalankan ini. Wallahualam Bishowab. Mohon maaf bila ada kekurangan dan kesalahan, tidak lebih karena saya hanyalah mahluk Allah yang dhoif. Kepada Allah saya tunduk dan mohon ampun. Subhanallahumma wabihamdika, Asyhadu ala ila anta, Astagfiruka waatuubuilaik Billahi taufik wal hidayah, Wassalamualaikum WrWb

Redha Herdianto disampaikan pada Kajian Online KSC 26 Juni 2009

Related Documents

Pemimpin
November 2019 47
Pemimpin
June 2020 28
Pemimpin
May 2020 36