Pemikiran Politik - Essay Sukarno.docx

  • Uploaded by: P Lintang Mulia
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemikiran Politik - Essay Sukarno.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,205
  • Pages: 20
PERJALANAN PEMIKIRAN POLITIK SUKARNO DALAM MENCAPAI INDONESIA MERDEKA Purwa Lintang Mulia (1706980715) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia / [email protected]

ABSTRAK Sukarno merupakan presiden pertama Republik Indonesia, yang lahir pada 6 Juni 1901. Karir politiknya tidak terlepas dari pengaruh gurunya, Tjokroaminoto, yang membuat dirinya terlarut dengan dunia politik. Dengan melihat berbagai situasi yang ada pada masa mudanya, ia berusaha menciptakan suatu pemikiran politik berupa Nasionalisme, yang bertumpu dari kesadaran rakyat untuk melawan pemerintah Kolonial Belanda. Orasinya yang bernada agitatif dan membakar semangat tak jarang membuat pemerintah kolonial resah, sehingga ia sempat dipenjara, bahkan diasingkan dari pulau Jawa. Ketika masa Jepang, Sukarno sangat yakin bahwa kemerdekaan akan segera tercapai, meskipun ia memilih untuk bekerjasama dengan jepang, nyatanya kerjasama tersebut ia manfaatkan untuk menggalang dukungan demi semangat kemerdekaan yang kian dekat. Akhirnya, Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan kemerdekaan tersebut terus diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia ketika Belanda ingin berkuasa kembali. Dan perjuangan tersebut berakhir dengan pengakuan kedaulatan pada tahun 1949.

1. Pendahuluan Perjalanan bangsa Indonesia selama lebih dari 73 tahun tidak lepas dari kontribusi para pendiri bangsa, yang telah menyumbangkan gagasan politik mereka demi keberlangsungan pemerintahan, hingga sekarang. Hal ini bermula dengan adanya perbaikan pendidikan pada era kolonial Belanda, yang membuat rakyat pribumi bisa mengenyam pendidikan Barat secara terbuka. Adanya pendidikan Barat tersebut membuat banyak rakyat, termasuk didalamnya para tokoh bangsa Indonesia mendapatkan berbagai pemikiran untuk membangun bangsa, atau nation building. Proses nation building yang telah berlangsung sejak awal Pergerakan Nasional, dilakukan oleh berbagai tokoh-tokoh bangsa Indonesia. Dari sekian tokoh-tokoh bangsa kita, Sukarno merupakan salah satu tokoh yang memberikan banyak gagasan politik bagi bangsa ini.

Pemikirannya yang didapat dari orang tuanya, maupun dari H.O.S Tjokroaminoto pada masa awal kehidupannya, membuatnya berpikir bagaimana cara membangun bangsa, dan memunculkan gairah untuk merdeka dari belenggu kolonial Belanda, sehingga muncul sifat nasionalisme yang ada dalam dirinya. Nasionalisme yang ia bawa sendiri merupakan gabungan dari hasil Pendidikan Barat, serta nilai-nilai tradisional yang berakar kuat dari masyarakat Indonesia. Ideologi nasionalisme yang ia bawa diimplementasikan dengan berbagai macam bentuk, diantaranya seperti Nasionalisme, Islamisme, Marxisme pada tahun 1926, dan Pancasila pada tahun 1945. Nasionalisme yang ia bawa juga merupakan alat pemersatu bangsa, dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia 2. Pembahasan 2.1. Kehidupan Awal Sukarno Lahir dengan nama Kusno Sosrodihardjo, pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya, Sukarno adalah anak dari Sukemi Sosrodiharjo, dan Ida Ayu Nyoman Rai. Dalam otobiografinya, ia menjelaskan bahwa kepribadiannya merupakan campuran dari berbagai perasaan, ia bisa saja menjadi puitis, ataupun keras seperti besi (Adams, 1965:17). Pada usia enam tahun, Sukarno pindah ke Mojokerto. Dijelaskan dalam otobiografinya, saat itu keluarganya sangat melarat, sehingga tidak bisa makan untuk sekali sehari. Jika dilihat kembali, kemiskinan yang ia sebutkan merupakan kondisi rakyat Jawa pada umumnya, padahal ia sendiri bukanlah anak rakyat jelata, karena dirinya adalah anak seorang guru kepala dan keturunan bangsawan Bali. Sukarno juga merupakan anak dari perkawinan dua etnis yang berbeda, ia merasa bangga bahwa ia memiliki akar terhadap kebudayaan tradisional Jawa yang dalam, ia memiliki citra rasa seni dari sisi ibunya, yang lebih bergairah daripada yang dijumpai di Jawa. Sementara dari ayahnya ia memiliki naluri tradisi mistik Jawa, dan kesadaran akan penataan alam yang tidak teratur (Legge, 1991:31). Rasa kebanggaannya akan hal tersebut mendorongnya untuk mencetuskan doktrin Bhinneka Tunggal Ika, di kemudian hari. Dari Mojokerto, Sukarno pindah ke Tulungagung, dan tinggal bersama kakek dan neneknya. Kemudian pada tahun 1907, ia kembali ke Mojokerto

bersamaan dengan pemindahan tugas ayahnya. Saat dirinya berada di bangku kelas lima, tahun 1914, Sukarno didaftarkan ke Europesche Lagere School (ELS) Mojokerto, meskipun ia kesulitan dalam memahami bahasa Belanda di ELS akhirnya Sukarno berhasil menguasai bahasa Belanda. Selepas ELS, Sukarno melanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya tahun 1916, dari sinilah pemikiran politik Sukarno mulai terasah. Hal ini tentu saja tidak lepas dari peran teman ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto, yang mengurus pendaftaran sekolahnya, dan mengurus pemondokan bagi Sukarno. Tjokroaminoto sendiri yang merupakan Ketua Sarekat Islam, juga merupakan tokoh nasionalis dalam masa-masa awal Pergerakan Nasional. Tjokroaminoto berusaha menanamkan gairah berpolitik yang ia dapat kepada Sukarno, sehingga dirinya dapat mempersiapkan perlawanan yang terorganisir terhadap pemerintahan kolonial, di kemudian hari. Meski terpisah jauh dari keluarganya, Sukarno bangga bisa bersekolah di HBS, dan mendapatkan nilai yang baik dari guru-gurunya. Tetapi bersekolah di HBS membawa tantangan tersendiri, Sukarno mengalami diskriminasi dari teman-temannya, ia kerap kali ditindas karena perbedaan warna kulit semata. Hal tersebut justru mendorong dirinya untuk membaca dan belajar lebih banyak, berbagai pemikiran politik ia gali dari bacaan-bacaan yang didapat, mulai dari demokrasi Jefferson, Marxisme, filsafat Hegel, dan lain-lain. Sehingga kesadarannya akan kekuasaan kolonial di Indonesia, mendorong dirinya untuk menciptakan suatu konsep kemerdekaan yang bersifat emansipasi nasional daripada kebebasan individu (Legge, 2001:68). Lingkungan rumah Tjokroaminoto, yang dilukiskan sebagai “mata air dari semua ideologi”, membuat Sukarno berkenalan dengan berbagai tokoh pergerakan lainnya, seperti Agus Salim, Soewardi Soerjaningrat -dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, dan Sneevliet. Di lain hal, Tjokroaminoto yang merupakan seorang intelek mulai terlibat dalam dunia perpolitikan, sebagai ujung tombak Nasionalisme. Gaya pidato dan kepemimpinan yang dibawakan olehnya segera dipelajari oleh Sukarno, sehingga di kemudian hari Sukarno dikenal sebagai orator ulung. Bahkan ketika Tjokroaminoto bersama rekanrekannya berdebat mengenai berbagai hal seperti nasib rakyat Hindia-Belanda,

dan gerakan-gerakan menuju kemerdekaan, Sukarno tidak tinggal diam. Ia juga terlibat dalam perdebatan mereka. 2.2. Membangun Pemikiran Politik Pasca lulus dari HBS tahun 1921, Sukarno melanjutkan sekolah di Technische Hogeschool (THS) di Bandung, dan ia tinggal bersama Haji Sanusi, kawan dari Tjokroaminoto. Tetapi setelah beberapa bulan, tersiar kabar bahwa Tjokroaminoto ditahan karena munculnya peristiwa Afdeeling Affair, sebuah gerakan revolusioner yang meresahkan pemerintah kolonial. Peristiwa ini tentu saja berefek kepada Sukarno, karena pihak pemerintah yakin gerakan tersebut didalangi oleh Sarekat Islam. Kesetiannya terhadap Tjokroaminoto akhirnya mendorong dirinya kembali ke Surabaya, bersama dengan istri pertamanya, Utari. Ketika di Surabaya, Sukarno bekerja di perusahaan kereta api untuk menghidupi kehidupan keluarganya. (Adams, 1965: 54-55) Setelah tujuh bulan, Tjokroaminoto akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan pada bulan Juni 1922, dan Sukarno kembali meneruskan studinya di THS. Pada masa ini, Sukarno menceraikan istrinya, Utari atas kemauan sendiri, dan menikahi Inggit Garnasih pada tahun 1923, yang sebelumnya juga bercerai dengan Haji Sanusi. Perceraiannya dengan Utari ini menandakan melemahnya hubungan Sukarno dengan sang guru, Tjokroaminoto (Legge, 2001:83), karena Tjokroaminoto sendiri sudah tidak menjadi tokoh sentral dalam pergerakan yang sedang berlangsung. Sukarno pun mulai melaju kedepan, dengan mempersiapkan berbagai pidato dan beberapa karangan politik. Pada rapat “Konsentrasi Radikal” tahun 1923, ia sempat berpidato secara frontal dan militan, sehingga ia diminta berhenti berpidato oleh aparat setempat. Pada kesempatan lain ia juga berpidato membela Tjokroaminoto dalam Kongres PKI, terhadap kritikan Haji Misbach. Melalui gerakan ini, Sukarno mulai memperluas relasi dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya, seperti dengan pendiri Indische Partij, seperti Tjipto Mangunkusumo, Ernest Douwes Dekker, dan mempererat hubungannya dengan Soewardi Soerjaningrat, dan juga dengan Tan Malaka.

Dalam periode tersebut, ada kemungkinan bahwa Sukarno menemukan suatu gagasan yang ia sebut sebagai “Marhaenisme”. Istilah tersebut merupakan gambaran kemiskinan rakyat Indonesia, yang berasal dari nama petani yang ia temui di Bandung Selatan. Meskipun gagasan ini mencoba menyesuaikan pemikiran Marxisme tentang proletariat ke dalam masyarakat agraris, nyatanya konsep tersebut kurang relevan. Jika dilihat dari dialognya dengan petani tersebut, disimpulkan bahwa petani ini berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri, tetapi ia masih hidup dalam kemiskinan, sehingga tidak tergolong sebagai kaum proletar. Karena proletariat sendiri merupakan kaum buruh, yang menjual tenaga kerjanya kepada orang lain, dan kebanyakan rakyat Indonesia umumnya bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi mereka masih hidup dalam kemiskinan. Itulah gagasan Marhaenisme yang Sukarno cetuskan. Selain gagasan Marhaenisme itu sendiri, Sukarno juga mengungkapkan bahwa penemuan identitas nasional dibawah gagasan tersebut merupakan sebuah simbol, yang sama halnya dengan nama negara yang menjadi sebuah simbol. Menurutnya, nama negara ini berasal dari etnolog Jerman, yang berasal dari kata “Kepulauan Hindia”, dan Nesos yang berarti pulau dalam bahasa Yunani, sehingga menjadi Indusnesos, atau yang dikenal sebagai Indonesia (Adams: 1965, 63). Pendeknya, gagasan politik Sukarno mulai matang selama ia menjadi mahasiswa di THS. Tetapi tiga tahun sebelum lulus, ia sempat diperingatkan oleh Dekan THS, Profesor Klopper mengenai pidatonya dalam rapat Konsentrasi Radikal. Menurut Klopper, ia harus berjanji fokus dengan melanjutkan studinya, dan menjauhkan diri dari urusan politik, dan janji tersebut akhirnya ditepati. Pada akhirnya, Sukarno berhasil lulus dari THS pada tahun 1926.

2.3. Menyatukan Tiga Ideologi

Sebelum lulus tahun 1926, Sukarno sempat membentuk Algemeene Studie Club (Kelompok Studi Umum), yang dimana hal ini menjadi batu loncatan bagi dirinya. Dalam kelompok tersebut, ia merupakan sekretaris sekaligus penggerak utamanya (Legge, 1991:96). Model kelompok ini mengikuti pola Indonesische Studie Club yang didirikan oleh dr. Soetomo pada tahun 1924, yang dimana bertujuan untuk meningkatkan kesadaran untuk memahami masalah-masalah sosial politik yang ada, bukan sebagai perkumpulan politik. Berbeda dengan Indonesische Studie Club, Sukarno lebih menekankan aspek politik dalam studi klub ini. Upaya kemerdekaan secara berangsur-angsur dan bersama-sama, tanpa bantuan Belanda sangat ditekankan, sehingga kebanyakan anggota kelompok ini bercorak radikal. Menurut Sukarno, perjuangan menuju kemerdekaan tidak bisa dilakukan jika masih berjuang terpisah-pisah, sehingga suatu konsep nasionalisme yang telah dipertajam pun diperlukan. Menurut Sukarno, konsep nasionalisme yang dipakai di Indonesia merupakan merupakan suatu gagasan yang mempersatukan, seperti halnya konsep nasionalisme bangsa Asia-Afrika. Konsep nasionalisme yang ia bawakan juga memiliki landasan cinta kasih seluruh umat manusia, bukan seperti nasionalisme Eropa yang dimana setiap individu menemukan kolektivitas nasionalnya. (Legge, 1991:98). Dalam teori Ernest Renan, dijelaskan bahwa “bangsa tidak ditentukan oleh ras atau bahasa atau agama ataupun berbatasan wilayah. Ia adalah ‘jiwa, suatu pandangan yang fundamental, yang lahir dari kesamaan sejarah dan dari suatu ‘kemauan, suatu keinginan hidup menjadi satu” Berkaca dari perjuangan yang dilakukan secara terpisah-pisah, dalam hal ini antara Sarekat Islam dan PKI, dan juga beberapa organisasi kedaerahan lainnya, membuat Sukarno untuk menyatukan berbagai haluan tersebut dibawah cita-cita masyarakat Indonesia yang luhur. Sehingga dalam majalah Indonesia Muda yang diterbitkan Algemeene Studie Club, Sukarno memaparkan gagasannya kedalam karangan bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, pada tahun 1926. Artikel ini merupakan ungkapan mengenai posisinya sendiri sebagai tokoh nasionalis, dan mengungkapkan gagasannya mengenai nasionalisme sekuler.

Satu persatu dari ketiga ideologi tersebut dijelaskan satu persatu, kaum Nasionalis kerap kali menolak bekerjasama dengan kaum Marxis, padahal mereka keliru bahwa asal usul kedua ideologi tersebut berasal dari perlawanan terhadap penindasan kaum kolonial. Kaum Muslim pun juga tidak perlu takut dengan kaum Marxis, sehingga wajar jika mereka dikatakan bersekutu, karena juga sama-sama berjuang melawan penindasan. Pendeknya, gabungan dari ketiga ideologi tersebut bertujuan untuk menyatukan mereka, karena isi dari nasionalisme dalam Islam dan Marxisme yang memungkinkan adanya persatuan tersebut. (Legge, 1991: 100-101). Jika dilihat kembali, Nasionalisme dilihat sebagai suatu program minimum diatas landasan unsur-unsur yang berbeda, yang dapat bekerjasama. Sukarno sendiri belum melangkah kedepan dalam upaya sintesanya untuk membangun sebuah ideologi yang mampu merangkul berbagai pandangan di Indonesia. Betapa pun, karangannya merupakan upaya sintesa pertama, dan besarnya pemikiran yang dipilih olehnya pada tahun 1926, menggambarkan pemikirannya di masa depan nanti. 2.4. Sukarno dan PNI Tidak hanya di Indonesia, semangat nasionalisme sekuler yang dibawakan oleh Sukarno juga muncul di negeri Belanda. Disana, sekelompok pelajar yang tergabung dalam Indische Vereeniging, yang diisi oleh beberapa pelajar diantaranya

Sartono,

Ali

Sastroamidjojo,

Sutan

Syahrir,

dan

Iwa

Kusumasumantri, dan Mohammad Hatta. Peranan mereka dalam pembentukan nasionalisme sekuler yang baru itu, dapat kita lihat dari tindakan mereka untuk merubah nama Indische Vereeniging, menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1922, sehingga adanya kata “Indonesia” meningkatkan kesadaran semangat nasional mereka. (Legge, 1991:108-109) Para pelajar tersebut kembali ke Indonesia tahun 1920, dan segera membuka relasi dengan tokoh-tokoh politik di Indonesia. Mereka sadar akan pancaran kekuatan dari seorang tokoh Bandung, yaitu Sukarno, meski ada perbedaan pandangan lingkup nasionalisme antara pelajar-pelajar tersebut dengan Sukarno, gabungan keduanya melengkapi lingkungan umum bagi kreativitas politik Sukarno. Nasionalisme baru tersebut juga memerlukan suatu wadah untuk

mewujudkan kekuatannya, sehingga jalan untuk membentuk suatu partai nasional mulai terlihat. Di bulan April 1927, sekelompok orang yang terdiri dari Sukarno, Budiarto, Sunarjo, dan Tjipto Mangunkusumo bertemu untuk membentuk suatu panitia persiapan untuk mempertimbangkan pendirian organisasi politik. Meski pada awalnya Tjipto merasa ragu organisasi ini dapat berjalan, dibawah tingginya tekanan pemerintah kolonial terhadap gerakan politik Indonesia, akhirnya pada 4 Juli Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) mulai terbentuk. PNI memiliki suatu gagasan bahwa bangsa Indonesia akan dipersatukan melalui perjuangan bersama dalam mencapai kemerdekaannya, adanya gagasan tersebut membuat PNI menanamkan prinsip nonkooperatif dengan pemerintah kolonial. Bagi Sukarno, terbentuknya PNI sebagai suatu wadah merupakan tempat, dimana kepemimpinannya diuji dan dikembangkan. Kedudukannya sebagai ketua PNI membuat dirinya senang, dan mampu melihat situasi perjuangan nasional, sekaligus menatanya kembali sesuai pemikirannya. Dirinya yang memiliki kemampuan berorasi, juga membakar semangat pendengarnya untuk menuju kemerdekaan. Dalam rapat-rapat umum di Bandung selama tahun 1927, ia muncul untuk berpidato sekaligus mengukuhkan kedudukannya sebagai ketua PNI, pidatonya yang membakar semangat dan secara frontal menentang penjajahan Belanda membuatnya dikenal sebagai “Singa Podium” (Legge, 1991:110). Puncak kegiatan politik Sukarno di dekade 1920an, muncul ketika ia memprakarsai pembentukan Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, sebagai front persatuan dari beberapa organisasi, seperti PNI, Sarekat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Jong Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok studi dr. Soetomo. Front ini mendapatkan dukungan dari beberapa anggota PI pada 1928, dan adanya dukungan terhadap front tersebut, PNI segera mengadakan kongres pertama mereka di Surabaya, dengan menghasilkan tujuan-tujuan yang meliputi aspek politik, sosial, dan ekonomi. Pasca kongres tersebut, nama organisasi ini berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Setelah itu, Sukarno mulai aktif berkeleliling pulau Jawa untuk berorasi, dengan ditemani rekannya Sartono, yang bekerja keras untuk

menjalankan roda organisasi. Dengan tujuan-tujuan yang dihasilkan dalam kongres, PNI juga mengeluarkan surat kabar Persatuan Indonesia pada Juli 1928. Dengan pidato-pidato Sukarno yang semakin meningkat, tekanan pemerintah kolonial, dibawah Gubernur-Jenderal De Graeff juga semakin tinggi. Pada akhirnya Sukarno, beserta Gatot Mangkupraja ditangkap pada akhir Desember 1929, dan mereka dijebloskan ke penjara setelah itu. Adanya penahanan massal anggota PNI pada bulan yang sama, juga mengguncang kondisi partai, sehingga dengan lumpuhnya PNI cita-cita perjuangan bangsa mulai terputus. Dan melalui putusan Mahkamah Agung Hindia Belanda pada 17 April 1931, PNI akhirnya dibubarkan. 2.5. Dipenjara, Lalu Dibuang Ketika Sukarno ditahan di Penjara Banceuy, ia diajukan ke pengadilan bersama teman-temannya. Dirinya sendiri sudah menyiapkan pidato pembelaan yang penuh semangat dan retorika, yang dikenal dengan nama “Indonesia Menggugat”. Pidato pembelaan tersebut disampaikan dalam pengadilan, pada tanggal 18 Agustus 1930, hingga 20 Agustus. Dalam pembelaannya, ia berdalih bahwa tujuan pidatonya adalah menunjukkan tujuan dan sifat PNI, dan menentang penggunaan hukum sebagai senjata politik. Sehingga dari titik tersebut kapitalisme dan imperialisme ia bahas secara tuntas. Menurutnya, imperialisme modern merupakan awal dari kapitalisme, yang seiring berjalannya waktu berusaha untuk mengeksploitasi rakyat jajahan, dengan tujuan dasar untuk mendapat keuntungan. Secara khusus, ia juga membahas imperialisme yang dilakukan oleh VOC, dengan berbagai cara, ia juga memaparkan serangkaian kebijakan pemerintah kolonial Belanda dalam mengeruk kekayaan sekaligus mengeksploitasi wilayah jajahannya. Sehingga ia bertanya kepada hakim, “apakah aneh jika muncul suatu pergerakan nasional?” Gerakan yang berasal dari kebangkitan rakyat tersebut tidak hanya muncul di Indonesia saja, tetapi di India, Cina, dan Filipina gerakan tersebut juga tumbuh. Ia juga mulai untuk mengaitkan kemunculan organisasi nasionalis, dengan kerinduan rakyat akan seorang “ratu adil” untuk menyelamatkan mereka dari kesengsaraan, dan ia berkata “Kami hanya menunjukkan jalannya” (Legge, 1991:139).

Perkataan

tersebut

merupakan

gambaran

Sukarno

mulai

menempatkan PNI dalam pembelaannya, karena PNI sendiri merupakan partai legal yang sudah mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Pidato pembelaan tersebut tidak bisa menyelamatkan dirinya, akhirnya pada 22 Desember Sukarno dinyatakan bersalah, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Akhirnya ia pun dipindahkan ke penjara Sukamiskin setelah itu. Satu tahun berlalu, Sukarno akhirnya keluar dari Sukamiskin pada 31 Desember. Tetapi ia melihat gerakan nasional yang sudah tercipta telah porakporanda, dibubarkannya PNI membuat Sartono untuk menggantikannya dengan Partindo, dan tidak lama setelah itu Sukarno juga ikut bergabung kedalamnya. Menurut Hatta, pembubaran PNI merupakan suatu kegagalan kepemimpinan partai, yang kemungkinan akan berulang sama seperti yang terjadi di tahun 1929. Beberapa organisasi yang kritis terhadap Partindo akhirnya berkumpul, dan mendirikan PNI-Baru. Meski gerakan nasionalisme sudah terpecah, Sukarno tetap berusaha menciptakan persatuan. Dari Bandung, ia berangkat ke Surabaya untuk menghadiri acara penyambutan yang direncanakan dr. Soetomo bagi dirinya. Dalam sambutannya, ia berusaha untuk menyatukan semua elemen yang ada ditengah perpecahan itu, dengan terus mengimbau semangat persatuan & perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, ia berkata “Berilah saya 1000 orang, dan dengan mereka saya akan memindah Gunung Semeru, tetapi, berilah saya 10 orang pemuda yang bersemangat membara dengan cinta terhadap tanah airnya, dan saya akan mengguncangkan dunia” (Legge, 1991:153). Pada masa ini juga, karya Sukarno yang terpenting selain “Indonesia Menggugat” ditulis olehnya, yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka”. Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Sukarno berpendapat bahwa Indonesia tidak bisa merdeka karena adanya feodalisme Barat, dan imperialisme yang ratusan tahun berkembang di negeri ini. Jika kemerdekaan telah dicapai, kaum Marhaen yang harus memegang kekuasaan, bukan kaum borjuis atau ningrat Indonesia (Sukarno, 1964:286). Penyebaran tulisan tersebut sangatlah terbatas, karena pemerintah sudah membredel pamflet itu. Pemerintahan dibawah Gubernur-Jenderal De Jonge tidak memberi hak berorasi atau berpropaganda kepada Sukarno, ataupun

organisasi lainnya. Pada 1 Agustus 1933, Sukarno ditangkap, dan diasingkan ke Ende tahun 1934, disusul dengan diasingkannya Sutan Syahrir dan Hatta ke Digul, Irian. Kemudian, Sukarno dipindah ke Bengkulu tahun 1938, karena terkena malaria. 2.6. Dibawah Kekuasaan Dai Nippon Pada dekade 1920, Sukarno sempat memikirkan Ramalan Jayabaya, bahwa “Jawa akan diduduki bangsa yang berkulit kuning, dan akan menetap seumur jagung lamanya. Jika jagung itu siap untuk dipanen, maka penakluk berkulit kuning akan pergi, dan Jawa menjadi merdeka”. Ramalan tersebut menjadi terbukti setelah ia hidup dalam pengasingan selama delapan tahun, situasi Indonesia sudah berubah. Era Penjajahan Belanda berakhir, seiring dengan datangnya Jepang dalam rangka Perang Asia Timur Raya. Ketika Jepang memasuki Sumatra, Belanda berusaha mengungsikan seluruh penduduknya, termasuk Sukarno yang saat itu menjadi tahanan politik. Ia bersama Inggit pergi dari Bengkulu ke Padang, dengan dikawal beberapa serdadu Belanda. Tetapi setibanya mereka di Padang, Belanda pergi meninggalkan mereka. Sukarno dan Inggit ditinggalkan begitu saja, dan mereka mengungsi di rumah kawannya Sukarno, Waworuntu. Kehadiran Sukarno di Padang segera diketahui oleh Jepang. Beberapa hari kemudian, dirinya diantar untuk menemui Kolonel Fujiyama. Dalam pertemuan dengan Kolonel Fujiyama, Sukarno bertanya “Apakah tujuan Jepang juga membebaskan Indonesia?”, Fujiyama menjawab “Ya, Benar” (Adams, 1965:160). Tetapi Jepang juga menginginkan adanya sikap kooperatif terhadap mereka, untuk mencapai kemerdekaan tersebut. Segera setelah Belanda menyerah di Kalijati pada Maret 1942, kekuasaan Jepang resmi dimulai di Indonesia. Sukarno segera kembali ke Jawa, dan bertemu dengan Hatta. Kedua tokoh ini segera bekerjasama untuk bersikap kooperatif dengan Jepang, meski berbeda pandangan terhadap Jepang. Tidak hanya Soekarno-Hatta, beberapa tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur juga dilibatkan Jepang, dan mereka ditempatkan kedalam organisasi Putera, pengganti gerakan propaganda 3A, pada Maret 1943. Ketika Putera berdiri, Sukarno langsung mengatakan bahwa tujuan organisasi tersebut

adalah meningkatkan semangat masyarakat dalam persiapan perjuangan yang akan datang, sekaligus menghimpun kesatuan rakyat Indonesia. Di masa ini, banyak nasionalis yang diajak bekerjasama oleh Jepang, dan mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Beribu-ribu sayang, kerjasama dengan Jepang ini harus dibayar mahal. Dalam kenyataannya, Putera merupakan alat bagi Jepang dalam menjalankan kekuasaannya, lewat kerjasama dengan kaum nasionalis, seperti pengerahan tenaga kerja paksa atau romusha untuk bekerja membangun infrastruktur peperangan. Dari jutaan romusha yang dikirim ke luar Indonesia, hanya 70.000 yang mampu kembali (Legge, 1991:197). Dijelaskan

juga

dalam

otobiografinya,

Sukarno

menggambarkan

kesengsaraan yang diderita oleh rakyat Indonesia. Banyak kaum marhaen yang memakai baju dari karung goni, bahkan orang kelaparan karena tentara Jepang menyita beras. Untuk mengatasi kelaparan, pemerintah Jepang menyediakan jaringan radio yang luas, agar setiap warga dapat mendengar suara Sukarno. Ia berkata “Para wanita, lakukan seperti yang saya dan ibu Inggit lakukan di waktu senggang. Tanamlah jagung di halaman rumah anda untuk menghidupi kebutuhan pangan keluarga anda” (Adams, 1965:178). Melihat penderitaan itu, Sukarno berusaha untuk tidak membenci Jepang karena adanya kelaparan. Ia berpidato bahwa “Mata-mata musuh membisiki telingamu bahwa Dai Nippon yang membuat kalian sengsara. Ini salah, beberapa bulan lalu saja dunia tahu bahwa India mengalami kelaparan. Negara-negara sekutu juga sama, menderita dan mengantre setiap harinya demi sepotong roti. Sebelumnya, beras-beras kita diimpor dari Thailand atau Burma, tetapi banyak kapal yang telah di torpedo. Salah siapa yang mengimpor makanan? Belanda, bukan Jepang! Mereka mengambil sawah terbaik kita untuk gula, tembakau, atau apapun yang mereka bisa ekspor. Oleh karena itu, sampai hari itu datang, kita akan terbebas dari eksploitasi imperialis kita yang bergantung pada impor beras” (Adams, 1965:178)

2.7. Menggapai Kemerdekaan Ketika Jepang mulai terdesak oleh Sekutu di tahun 1944, Perdana Menteri Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, janji ini kemudian diberitakan dalam surat kabar Indonesia Raya. Dalam rilis pers, Sukarno berkata bahwa kemerdekaan abadi hanya bisa dicapai lewat pengorbanan, dan ia masih menghimbau agar rakyat Indonesia untuk terus membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Janji Koiso ini segera diimplementasikan, melalui pembentukan BPUPKI pada 28 April 1945. Organisasi ini juga beranggotakan sebanyak 60 orang Indonesia yang berasal dari berbagai aliran pemikiran nasionalisme, dan juga terdapat beberapa golongan Islam. Ketika sidang BPUPKI tanggal 28 Mei 1943 dilaksanakan, para panitia kehilangan arah oleh retorika kosong, karena mereka kesulitan dalam pembahasan langsung yang serius. (Legge, 1991: 214) Sehingga, pada 1 Juni Sukarno mengambil kesempatan untuk mencegah hal ini, yang dimana dirinya berpidato mengungkapkan gagasan politiknya selama 20 tahun lamanya. Hal ini merupakan salah satu puncak pemikiran politiknya yang terdiri dari lima dasar, atau yang disebut sebagai Pancasila (Legge, 1991:214). Pancasila ini terdiri atas lima dasar diantaranya; Nasionalisme, Internasionalisme, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa (Adams, 1965:197). Lima dasar tersebut merupakan gabungan antara pemikiran Barat, dengan nilai-nilai tradisi dalam masyarakat Indonesia. Sukarno berpendapat bahwa masa depan Indonesia harus berawal dari Nasionalisme, yang mampu menjangkau lebuh luas dari berbagai macam suku yang ada, dan juga terdiri dari seluruh masyarakat yang tinggal dari Sumatra sampai Irian secara geopolitik. Prinsip nasionalisme tersebut harus mampu dipahami bersamaan dengan prinsip kedua yaitu internasionalisme, yang dimana rasa nasionalisme tersebut harus diimbangi dengan menghormati negara-negara lain. Begitu juga dengan demokrasi dan keadilan sosial, adanya demokrasi akan membawa keadilan bagi berbagai kekuatan, sehingga muncul persaingan sehat dalam rangka jalannya pemerintahan. Terakhir adalah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, yang

dilandasi dengan rasa toleransi, dan percaya akan adanya Tuhan bagi setiap umat beragama di Indonesia. (Legge, 1991:214-215) Tanggal 6 Agustus, pasca jatuhnya bom Atom di Hiroshima, Jepang segera bekerjasama untuk menciptakan Indonesia merdeka, sehingga mereka mendirikan PPKI. Sukarno menyambut badan baru tersebut, pada 8 Agustus melalui pidato di radio. Ia gembira dengan terwujudnya kemerdekaan Indonesia yang terwujud dalam waktu cepat, dan dirinya juga mengungkapkan kembali Ramalan Jayabaya. Pada hari tersebut, Sukarno, ditemani dengan Hatta dan Dr. Radjiman pergi ke Dalat, Vietnam, untuk menemui Marsekal Terauchi. Tetapi, kaum pemuda, termasuk Sutan Syahrir menentang PPKI, karena badan tersebut dibentuk oleh Jepang, mereka juga menginginkan agar kekuasaan segera direbut tanpa perlu berbalas budi kepada Jepang. Ditambah dengan pengumuman menyerahnya Jepang kepada Sekutu tanggal 15 Agustus, para pemuda semakin sudah siap untuk merebut kekuasaan, sembari menunggu perintah Sukarno. Sikap hati-hati yang diambil Sukarno-Hatta, beserta golongan tua lainnya, mencegah semangat pemuda untuk merdeka, karena mereka tidak ingin terburu-buru menyatakan kemerdekaan, dengan alasan Jepang masih memegang kendali. (Legge, 1991:229). Hal tersebut memicu terjadinya pertikaian antara mereka dengan golongan muda, tetapi akhirnya golongan muda mengalah, tapi tidak ingin diakui kekalahannya. Para pemuda tidak kehabisan akal, kemudian mereka bersepakat untuk membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus, untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang (Poesponegoro, 2010:141). Setelah pembicaraan yang cukup panjang, akhirnya Sukarno-Hatta setuju bahwa kemerdekaan akan dilaksanakan pada esok hari, 17 Agustus 1945. Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta pada malam hari, setelah dijemput oleh Ahmad Subardjo. Mereka awalnya bertemu dengan Mayor Jenderal Nishimura, untuk membahas persoalan proklamasi. Tetapi Nishimura tidak mengizinkannya karena Jepang tidak bisa mengubah status-quo sebelum wilayah pendudukannya diserahkan kepada Sekutu. Dari titik tersebut akhirnya mereka memutuskan untuk tidak lagi berbicara soal kemerdekaan Indonesia, dengan Jepang.

Mereka kemudian pergi menuju rumah Laksamana Maeda, dan di tempat tersebutlah teks Proklamasi disusun. Maeda sendiri mengizinkan rumahnya dipakai untuk pertemuan antara golongan tua dan golongan muda. Teks tersebut ditulis tangan oleh Sukarno, dan disempurnakan melalui pemikiran Hatta, dan Ahmad Subardjo, kemudian diketik oleh Sayuti Melik. Keesokan harinya, Proklamasi dibacakan oleh Sukarno di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Dengan proklamasi ini, cita-cita yang didambakan oleh Sukarno beserta seluruh rakyat Indonesia, untuk bebas dari belenggu penjajah telah tercapai. 2.8. Pasca Kemerdekaan Setelah Proklamasi, PPKI mengesahkan UUD 1945 dan mengangkat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pada 18 Agustus 1945, dan di hari-hari setelahnya PPKI juga membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Awalnya KNIP sendiri merupakan badan penasihat presiden, tetapi lambat laun berkembang sehingga menjadi Badan Parlemen, sehingga nantinya sistem pemerintahan Indonesia berubah dari presidensial menjadi parlementer, hingga Dekrit Presiden 1959. Hal yang menguatkan perubahan ke sistem pemerintahan Parlementer sendiri adalah corak, Indonesia yang multi-partai pada saat itu. Ketika awal pemerintahan, diusulkan hanya ada satu partai nasional yaitu PNI, tetapi beberapa partai juga ikut berkembang seperti Masyumi, NU, dan PKI. Melihat hal ini, Sukarno berusaha merangkul semua aliran yang ada seperti tahun 19201930-an Sukarno juga membentuk Kabinet RI yang pertama, yang anggotanya sebagian besar berasal dari golongan tua, dan orang-orang yang cakap, seperti Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pnedidikan), Ahmad Subardjo (Menteri Luar Negeri), dan Sartono (Menteri Tanpa Portofolio) (Legge, 1991:242). Kemudian juga dibentuk Tentara Keamanan Rakyat sebagai satuan militer. Hal-hal tersebut merupakan bentuk kekuasaan Republik secara kasat mata, sehingga masih diperlukan untuk menghimpun wewenang kontrol atas badan-badan yang telah terpisah.

Situasi seperti yang disebutkan diatas, membuat kewibawaan Sukarno mulai diuji. Pada rapat besar tanggal 19 September di Lapangan IKADA, Sukarno berpidato secara singkat meskipun ia merasa was-was terhadap penjagaan yang sangat ketat dari tentara Jepang. Ia berkata “Saudara-saudara, kita akan terus mempertahankan proklamasi. Saya tahu Anda datang untuk melihat dan mendengar perintah presiden Anda. Jika kamu masih percaya dan yakin terhadap presiden Anda, ikuti perintah pertamanya. Pulanglah dengan tertib (Adams, 1965:225). Selain itu, ia juga berkeliling di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana ia disambut secara gegap-gempita oleh masyarakat (Legge, 1991:243). Meski popularitasnya teruji ketika mendapat sambutan yang gegapgempita, Sukarno kurang begitu cakap daman menjalankan roda pemerintahan. Sehingga segala tugas yang menyangkut pemerintahan diserahkan kepada Hatta, sementara keahliannya dalam berpidato dipakai untuk membangkitkan semangat revolusi. Pada bulan yang sama juga, Sekutu mulai datang ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, tetapi mereka juga diboncengi oleh Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda (NICA), hal ini merupakan pertanda bahwa Belanda akan kembali berkuasa di Indonesia. Sukarno dituduh sebagai kolaborator Jepang oleh Sekutu, karena beberapa pidatonya selama pendudukan Jepang juga bernada provokatif, untuk menghancurkan Sekutu dari pesisir Jawa. Ia berpendapat bahwa dirinya hanya menggunakan Jepang sebagai alat perjuangan bangsa, bukan dirinya yang diperalat oleh Jepang (Adams, 1965:229). Kekacauan terjadi di beberapa tempat, sebagai contoh baku tembak antara pasukan NICA dan pemuda Indonesia di jalan kerap kali terjadi. Kekacauan mulai memuncak ketika pecah pertempuran besar di Surabaya pada 10 November. Meski Sukarno telah memprotes apa yang dilakukan sekutu kepada dunia, termasuk PBB, protes tersebut tidak mendapat respon apapun. Sejak saat itulah Indonesia memulai perjuangan mempertahankan kemerdekaannya.

Bahkan, situasi di Jakarta juga memanas, tuduhan pasukan Sekutu bahwa Sukarno sebagai kolaborator Jepang makin meningkat, mereka juga mencoba untuk meledakkan mobilnya, ataupun membunuhnya. Dijelaskan dalam otobiografinya, pasukan NICA berulang kali memasang jebakan untuk membunuhnya. Situasi tersebut akhirnya memaksa Sukarno, beserta jajaran Pemerintahan RI untuk hijrah ke Yogyakarta pada Januari 1946. Meski pemerintah mengusahakan jalan diplomasi untuk berdamai dengan Belanda, hal ini membuat beberapa orang geram, seperti Tan Malaka yang membentuk Persatuan Perjuangan, dengan tujuan merdeka seratus persen tanpa berunding dengan Belanda sebelumnya. Organisasi tersebut juga mendapat dukungan dari Jenderal Sudirman, Tan Malaka sendiri beserta pengikutnya yakin bahwa Belanda tidak dapat dipercaya dalam usaha diplomasi ini. Keyakinan tersebut segera terbukti, meskipun Persatuan Perjuangan gagal menghentikan perjuangan diplomasi Indonesia. Belanda melanggar hasil Perundingan Linggarjati, dengan melancarkan Agresi Militer Pertama. Ditengah kemelut antara perjuangan bersenjata dan perjuangan diplomasi, akhirnya Sukarno berpidato pada 17 Agustus 1947 di Yogyakarta, ia berkata “Pendirian pihak kita tidak menyimpang dari semangat Linggarjati: Kerjasama antara Indonesia dan Belanda itu adalah kerjasama antara dua negara yang sama derajat… Tetapi hal yang demikian sangat ditolaknya oleh Belanda, yang berlainan pandangannya terhadap Republik, walaupun didalam naskah Linggarjati dengan tegas, jelas, dan tandas dinyatakan sederajatnya Belanda dan Republik (Sukarno, 1965:29) Pasca Agresi Militer Pertama, Dewan Keamanan PBB mulai turun tangan menyelesaikan masalah yang dialami Indonesia. Kedudukan Belanda mulai merosot di mata dunia internasional, karena banyaknya dukungan yang mulai mengalir kepada Indonesia. Dalam pidatonya yang sama seperti diatas, juga disebutkan bahwa “Kitapun meminta komisi arbitrase internasional didatangkan. Kita juga membukakan pintu, untuk siapapun yang hendak meninjau keadaan disini. Kita dalam kebenaran, kita tidak khawatir ditinjau oleh siapapun juga. Yang segan meninjau, yang khawatir ditinjau, hanyalah pihak yang bersalah” (Sukarno, 1965:35)

Meski Dewan Keamanan PBB sudah meminta agar gencatan senjata diberlakukan, Belanda terus-menerus mencari celah untuk melakukan serangan. Dibawah pengawasan Komisi Tiga Negara, maka Perundingan Renville ditandatangani pada tahun 17 Januari 1948. Tetapi perundingan ini tidak mengubah kondisi Indonesia menjadi lebih baik, wilayah Indonesia semakin terpecah pasca Perundingan Linggarjati dan Renville, dengan adanya pembentukan negara Federal atau BFO bentukan Belanda, yang digagas Hubertus Johannes Van Mook pada Juli 1948. Situasi memburuk ketika Agresi Militer II dilancarkan Belanda pada 19 Desember 1948, Sukarno, Hatta, dan K.H. Agus Salim yang saat itu berada di Yogyakarta ditangkap oleh Belanda, dan diasingkan ke pulau Bangka. Belanda dengan cepat menyimpulkan bahwa Indonesia sudah musnah, tetapi mereka salah. Dengan sigap, pemerintah segera membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Bukittinggi. Ketika di Prapat, Sukarno meyakini bahwa jiwa nasionalisme Indonesia sudah bangkit, dengan cara perjuangan gerilya, yang terus berkobar hingga Juni 1949. Melihat adanya perjuangan gerilya, Sukarno berpendapat “Satu badan satu tubuh, seluruh badan merasa sakit kalau satu anggotanya sakit, seluruh tubuh ikut bergeletar kalau satu anggotanya bergeletar juga” (Sukarno, 1965:102) Agresi Militer Kedua ini mengundang protes dari berbagai pihak. BFO mengeluarkan resolusi 3 Maret yang dengan tegas mendesak pemerintah Belanda untuk menyelesaikan persoalan Indonesia (Sukarno, 1965:93), banyak dari anggota BFO yang ingin tetap bersatu dengan Republik. Selain itu, dukungan internasional semakin meningkat, dalam hal ini termasuk Amerika Serikat yang mendesak Belanda untuk segera menghentikan Agresi Militer. Tuntutan tersebut dipenuhi, sehingga dilaksanakan kembali dua perundingan, yaitu Roem-Roijen, dan Konferensi Meja Bundar. Selain itu, juga dicapai kesepakatan untuk membuat Uni Indonesia-Belanda.

Setelah empat tahun berjuang melawan kembalinya Belanda, akhirnya kedaulatan Indonesia berhasil diakui tanggal 27 Desember 1949, meskipun dikenal sebagai Republik Indonesia Serikat. Bentuk negara serikat ini tidak bertahan lama setelah pengakuan kedaulatan, karena banyaknya anggota negara federal yang menyeberang ke pihak Republik. Setelah peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1950, bentuk negara Indonesia dikembalikan menjadi negara unitaris, yang dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pidato 17 Agustus 1950, Sukarno menyatakan bahwa revolusi belumlah usai. Ia juga menyatakan agar “semangat proklamasi” terus berkobar. Menurutnya, semangat proklamasi adalah “semangat rela berjuang dengan segenap idealisme, dan mengesampingkan ego masing-masing; “semangat proklamasi” juga merupakan semangat persatuan tanpa pengecualian terhadap suatu golongan; “semangat proklamasi” adalah semangat membentuk dan membangun negara dari ketiadaan. Ingatlah saudara-saudara, bahwa dari ketiadaanlah kita dapat membangun negara… Manakala sekarang Nampak tanda-tanda degenerasi, hidupkan kembali “semangat proklamasi”. Hidup Negara Kesatuan! Hidup Proklamasi! Hidup Jiwa Revolusi! Sekali merdeka tetap merdeka! (Sukarno, 1965:120-121) 3.

Kesimpulan Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari buah pemikiran politik Sukarno,

yaitu nasionalisme. Selama dua puluh tahun lamanya, dirinya berusaha merangkul sebagai golongan dengan nasionalisme yang ia bawakan, dengan pidato-pidato yang mampu menarik suara rakyat, dan kata-kaya yang inspiratif dan agitatif. Tak jarang, semangat yang ia bawakan juga mengundang rasa muak pemerintah kolonial. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan Sukarno, untuk berpegang teguh pada nasionalismenya, demi Indonesia merdeka.

DAFTAR PUSTAKA Adams, Cindy (1965). Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. Amerika Serikat: Cindy Adams Legge, John D. (1991). Sukarno: Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosutanto (2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI Edisi Pemutakhiran: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka Sukarno (1964). Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi Sukarno (1965). Dibawah Bendera Revolusi Jilid II. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi

Related Documents


More Documents from ""

Sosiologi Full Print
October 2019 37
Pr.docx
October 2019 41
Untitled Document.pdf
May 2020 31
Brosur.docx
June 2020 28