PEMERIKSAAN FISIK SENSORI PERSEPSI
I. PEMERIKSAAN FISIK PADA MATA Kelengkapan dan keluasan pengkajian mata bergantung pada informasi yang diperlukan. Secara umum tujuan pengkajian mata adalah mengetahui bentuk dan fungsi mata. Sebelum melakukan pengkajian, perawat harus meyakinkan tentang tersedianya sumber penerangan/ lampu yang baik dan ruang gelap untuk tujuan tertentu. Pasien harus diberi tahu sebelumnya sehingga ia dapat bekerjasama. Untuk mempermudah pengkajian, perawat dapat berdiri atau duduk dihadapan pasien. Dalam setiap pengkajian, selalu bandingkan antara mata kanan dengan mata kiri dan selalu ingat bahwa normalnya mata berbentuk bulat/sferik. Dalam pengkajian mata, inspeksi merupakan teknik yang paling penting yang dilakukan sebelum palpasi. Peralatan yang perlu dipersiapkan bergantung pada tujuan pengkajian yang dilakukan. Secara umum dapat dipersiapkan oftalmoskop dan penutup mata.
Gambar 1. Anatomi mata
1
Pemeriksaan fisik pada mata meliputi : A. Inspeksi 1. Struktur mata interna dan eksterna Pemeriksaan struktur mata eksternal dan internal mata meliputi: Kelopak mata Pemeriksaan kelopak mata terhadap kemungkinan kelemahan, infeksi, tumor, edema, atau kelainan. Minta pasien membuka dan menutup matanya. Gerakan harus lancer dan simetris. Periksa kelopak mata terhadap adanya xantelasma (plak kekuningan ). Meskipun tidak spesifik untuk hiperkolesterolemia, plak kekuningan ini biasanya berhubungan dengan kelainan lipid. Perhatikan distribusi dari bulu mata. Bila mata terbuka, biasanya kelopak mata atas hanya menutupi tepian atas iris. Bila mata ditutup, kelopak-kelopak mata seharusnya saling menutup sempurna, jarak antara kelopak mata ata dan bawah disebut fisura palpebra. Konjungtiva Konjungtiva hendaknya diamati terhadap adanya tanda radang (yaitu melebarnya pembuluh darah), pigmentasi tidak biasa, nodi, pembengkakan atau pendarahan. Kedua konjungtiva harus diperiksa. Konjungtiva tarsal dapat dilihat dengan membalikkan kelopak mata. Minta pasien tetap membuka matanya dan melihat ke bawah. Anda menahan sejumlah buku mata dari kelopak mata atas. Kelopak mata ituditarik lepas dari bola mata dan ujung sebuah tangkai aplikator ditekan pada tepian atas lempeng tarsal. Lempeng tarsal kemudian dengan cepat meebalikkan tangkai aplikator, menggunakannya sebagai titik tumpu. Ibu jari sekarang dapat digunapakn untuk memegang kelopak mata yang dibalik, tangkai aplikator dapat diangkat. Setelah inspeksi konjungtiva tarsalis, mintalah pasien untuk melihat ke atas untuk mengembalikan kelopak mata ke posisi normal. Konjungtiva normal seharusnya berwarna merah muda. Perhatikan jumlah pembuluh darah. Normalnya hanya terlihat sedikit pembuluh darah. Mintalah pasien untuk melihat ke atas, dan tariklah kelopak mata bawah ke bawah. Bandingkan vaskularisasinya. Sklera Inspeksi sclera bertujuan untuk melihat adanya nodul, hyperemia, dan perubahan warna. Sclera normal seharusnya berwarna putih. Pada individu berkulit galap, sclera mungkin berwarna sedikit agak seperti lumpur. Kornea Kornea harus jernih dan tanpa keruhan atau kabut. Cincin keputihan pada perimeter kornea mungkin adalah arkus senilis. Pada pasien yang berusia di atas 40 tahun, penemuan ini biasanya merupakan fenomena penuaan yang normal. Apabila 2
ditemukan
pada
pasien
hiperkolesterolemia.
Cincin
di
bawah
usia
kuning-kehijauan
40
tahun,
yang
mungkin
abnormal
menderita
dekat
limbus,
kebanyakan ditemukan si superior dan inferior, adalah cincin Kayser-Fliescher. Cincin ini sangat spesifik dan merupakan tanda yang sangat sensitoif dari penyakit Wilson, yang merupakan degenerasi hepatolentikular akibat kelainan yang diturunkan dari metabolisme tembaga. Cincin Kayser- Fleischer disebabkan oleh penimbunan tembaga pada kornea. Pupil Kedua pupil ukurannya harus sama (isokor), dan bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.
Pada
sekitar
5%
individu
(anisokoria).anisokoria mungkin merupakan
normal, indikasi
ukuran
pupil
dari
penyakit
tidak
sama
neurulogik.
Pembesaran pupil atau midriasis, berhubungan dengan obat-obatan simpatomimetik, glaucoma, atau obat tetes mata yag menyebabkan dilatasi. Konstriksi pupil, atau miosis, terlihat dengan obat-obatan parasimpatomimetik, peradangan iris, dan terapi obat untuk glaucoma. Banyak pengobatan yang dpat menyebabkan anisokoria. Oleh karena itu sangat penting untuk memastikan apakah pasien menggunakan tetes mata atau dalam pengobatan. Abnormalitas pupil seringkali merupakan tanda dari peyakit neurologic. Kondisi yang dikenal sebagai Pupil Miotonik Adie adalah dilatasi pupil 3-6 mm, yang hanya sedikit berkontraksi terhadap cahaya dan akomodasi. Pupil ini sering berhubungan dengan berkurang sampai tidakadnya reflex tendo pada ekstremitas. Lebih sering terjadi pada waita usia 25-45 tahun, dan penyebabnya tidak diketahui. Pupil Argyll Robertson adalah pupil yang mengecil 1-2 mm, yang bereaksi terhadap akomodasi, tetapi tidak bereaksi terhadap cahaya. Tampaknya berhubungan dengan neurisifilis. Sindrom Horner adalah paralisis simpatik dari mata yang disebabkan oleh pemutusan pada rantai simpatik servikal. Iris Iris diperiksa untuk warnanya, apakah ada nodul, dan vaskularitas. Normalnya, pembuluh darah iris tidak dapat terlihat dengan mata telanjang. Kamera oculi anterior Dengan memberikan sinar secara oblik menembus mata, perkiraan kasar kedalaman kamera okuli anterior dapat dibuat. Jika terlihat bayangan berbentuk bulan sabit pada bagian iris yang jauh, kamera okuli anterior mungkin dangkal. Pendangkalan kamera okuli anterior mungkin akibat penyempitan ruangan antara iris dan kornea. Adanya kamar yang dangkal membawa seseorang pada kondisi yang disebut Glaukoma sudut tertutup. Istilah glaucoma merujuk pada kompleks gejala yang terjadi dalam tingkat penyakit yang berbeda. Penemuan klinis pada semua jenis 3
glaucoma adalah peningkatan tekanan intraocular. Tekanan ini dapat diukur dengan tonometer Schiotz. Aparatus lakrimal Pada umumnya, hanya sedikit yang dapat terlihat pada apparatus lakrimalis, kecuali pungtum. Jika ada epifora, mungkin ada obstruksi aliran keluar melalui pungtum. Jika terdapat kelembaban yang berlebihan, periksalah apakah ada sumbatan duktus nasolakrimalis dengan menekan sakus lakrimalis secara lembut, berlawanan dengan cincin orbita interna. Jika ada sumbatan, dapat dikeluarkan materi-materi melalui pungtum. (H.Swartz, 1995:101-103) Cara inspeksi mata a) Amati bola mata terhadap adanya protrusi, gerakan mata, lapang pandang, dan visus. b) Amati kelopak mata, perhatikan bentuk dan setiap kelainan dengan cara sebagai berikut : Anjurkan pasien melihat ke depan. Bandingkan mata kanan dan kiri. Anjurkan pasien menutup kedua mata. Amati bentuk dan keadaan kulit pada kelopak mata, serta pada bagian piggir kelopak mata, catat setiap ada kelainan, mis: kemerahan. Amati pertumbuhan rambut pada kelopak mata terkait dengan ada tidaknya bulu mata, sertaamati posisi bulu mata. Perhatikan keluasan mata dalam membuka dan catat ila ada dropping kelopak mata atas atau sewaktu mata membuka (ptosis). c) Amati konjungtiva dan sclera dengan cara sebagai berikut : Anjurkan pasien untuk melihat lurus ke depan. Amati konjungtiva untuk mengetahui ada atau tidaknya kemerahan, keadaan vaskularisasi, serta lokasinya. Tarik kelopak mata bagian bawah ke bawah dengan menggunakan ibu jari. Amati keadaan konjungtiva dan kantong konjungtiva bagian bawah, catat bila didapatkan infeksi atau pus atau bila warnanya tidak normal, misalnya anemic. Bila diperlukan, amati konjungtiva bagian atas, yaitu dengan cara membuka atau membalik kelopak mata atas dengan prawat berdiri di belakang pasien. Amati warna sclera saat memeriksa konjungtiva yang paa keadaan tertentu warnanya dapat menjadi ikterik. d) Amati warna iris serta ukuran dan bentuk pupil. Kemudian lanjutkan dengan mengevaluasi reaksi pupil terhadap cahaya. Normalnya bentuk pupil adalah sama
4
besar (isokor). Pupil yang mengecil disebut pinpoint, sedangkan pupil yang melebar atau dilatasi isebut midriasis. (Priharjo,Robert, 2006:52-53) Cara inspeksi gerakan mata a) Anjurkan pasien untuk melihat lurus ke depan b) Amati apakah kedua mata tetap diam atau bergerak secara spontan (nistagmus) yaitu gerakan ritmis bola mata, mula – mula lambat bergerak ke satu arah, kemudian dengan cepat kembali ke posisi semula. c) Bila ditemukan adanya nistagmus, amati bentuk, frekuensi (cepat atau lambat), amplitudo (luas/sempit), dan durasinya (hari/minggu). d) Amati apakah kedua mata memandang lurus ke depan atau salah satu mengalami deviasi. e) Luruskan jari telunjuk Anda dan dekatkan dengan jarak sekitar 15 – 30 cm. f) Beri tahu pasien utnuk mengikuti gerakan jari Anda dan pertahankan posisi kepala pasien. Gerakkan jari Anda ke delapan arah untuk mengetahui fungsi 6 otot mata. (Priharjo,Robert, 2006:53-55)
Gambar 2. Inspeksi gerakan mata
2. Tajam penglihatan (visus) Tajam penglihatan diungkapkan dalam suatu rasio, seperti 20/20. Angka pertama adalah jarak baca pasien terhadap peraga. Angka kedua adalah jarak terbacanya peraga oleh mata normal. Istilah OD (Oculus Dexter) berarti mata kanan: OS (Oculus Sinister) berarti mata kiri. OU (Oculi Unitas) berarti kedua mata. Memakai Kartu Snellen Standar Jika tersedia kartu Snellen standar, pasien harus berdiri sejauh 6 meter dari kartu tersebut. Jika pasien memakai kaca mata, biarkan dipakai terus selama pemeriksaan. Pasien diminta untuk menutum mata dengan telapak tangan dan membaca baris terkecil yang mungkin. Jika yang dapat terbaca ialah baris 6/60, maka visus mata pasien adalah 6/60. Ini berarti bahwa pada jarak 6 meter pasien dpat membaca apa yag dapat dibaca orang normal pada jarak 60 meter. Jika pada jarak 6 m pasie tidak dapatmembaca baris 6/60, maka ia didekatkan pada kartu sampai baris itu terbaca.
5
Jika pasien baru dapat membaca pada jarak 1 m, maka tajam penglihatan pasien adalah 1/60.
Gambar 3. Kartu Snellen untuk pemeriksaan visus. Memakai Kartu Tajam Penglihatan Saku Jika kartu Snellen standar tidak tersedia, maka kartu tajam penglihatan ukuran saku dapat dipakai. Kartu ini dilihat pada jarak 35 cm. pasien diminta membaca baris terkecil yang masih dapat dibaca. Jika kedua jenis kartu ini tidak tersedia, maka dapat dipakai materi cetak apa saja. Pemeriksa harus ingat bahwa kebanyakan pasien berusia di atas 40 tahun memerlukan kaca baca. Meskipun pemeriksa tidak dapat memastikan tajam penglihatan, ia pasti dapat menetapkan apakah pasien masih dapat melihat. Dalam hal ini pasien diminta untuk menutup satu mata dan membaca baris terkecil yang terbaca pada halaman cetak tertentu. Menilai Pasien dengan Penglihatan Buruk Pasien dengan penglihatan buruk sekali dan tidak dapat membaca salah satu baris cetak, harus diuji dengan kemampuan membaca jari-jari tangan. Pengukuran tajam penglihatan ini dilakukan dengan menunjukkan jari-jari tangan di depan mata pasien, sedangkan salah satu mata ditutup. Pasien ditanyakan jumlah jari yang terlihat. Jika pasien tetap belum dapat melihat, maka penting untuk dinilai apakah memang masih ada persepsi terhadap cahaya. Hal ini dilakukan dengan menutup satu mata dan menyoroti mata yang terbuka dengan cahaya. Pemeriksa menanyakan apakah pasien dapat melihat lampu menyala atau dimatikan. NLP (No Light Perception) adalah istilah yang dipakai apabila seseorang tidak dapat menangkap cahaya. Memeriksa Pasien yang Tidak Dapat Membaca Bagi mereka yang tidak dapat membaca, seperti anak kecil atau buta huruf, pemakaian huruf “E” dalam macam-macam ukuran dan arah akan sangat bermanfaat. Pemeriksa meminta pasien menunjukkan arah huruf itu : ke atas, ke bawah, ke kanan, ke kiri. (H.Swartz, 1995:96-97) 6
Gambar 4. Kartu Snellen Visus 1/300
: Pada jarak 1 m mata masih dapat melihat grakan tangan pemeriksa yang pada mata normal masih dapat dilihat dari jarak 300 m.
Visus 1/∞
: Mata hanya dapat membedakan gelap dan terang.
Visus 0
: Mata tidak dapat membedakan gelap dan terang.
(Priharjo,Robert, 2006:55)
3. Lapang pandang Uji lapang pandang berguna untuk menetapakan ada tau tidaknya lesi pada jalur penglihatan. Terdapat banyak teknik dalam melakukan pemeriksaan lapang pandang. Salah satunya adalah uji lapang pandang konfrontasi. Pada teknik ini pemeriksa membandingkan penglihatan perifernya dengan penglihatan perifer pasien. Menilai Lapang Pandang dengan Uji Konfrontasi Pemeriksa brdiri atau duduk1 m di depan dan setinggi tatap mata pasien. Pasien diminta menutup mata kanannya sedangkan pemeriksa menutup mata kirinya, masing-masing melihat hidung yang dihadapinya. Pemeriksa menjulurkan satu atau dua jari pada masing-masing tangan secara serentak dan menanyakan pasien berapa jari tangan yang dilihatnya. Tangan digerakkan dari kuadran atas ke kuadran bawah dan pemeriksaan diulang kembali. Pemeriksaan diulang dengan mata sebelah. Jarijari harus terlihat oleh pasien dan pemeriksa secara
bersamaan. Agar lebih
menguntungkan si pasien dan pemeriksa, tangan diangkat sedikit lebih dekat pada pemeriksa. Hal ini member pasien lapangan pandangan yang lebih luas. Jika pemeriksa dapat melihat jari-jari itu, maka pasien pasti juga melihatnya, kecuali ada gangguan pengliatan berupa kurang luasnya lapangan pandangan. Karena lesi sepanjang jalur visual berkembang secara berangsur maka pasien mungkin tidak sadar adanya perubahan lapangan pandangan sampai penyakitnya telah lanjut. Lapangan .konfrontasi yang dilakukan oleh ahli penyakit dalam, mungkin merupakan bukti objektif pertama bahwa si pasien mempunyai lesi yang mengenai jalur pengliatan. Daerah tampa pengliatan disebut skotoma. Pengliatan sentral normal meluas lebih kurang 30 ke segala arah pada fiksasi sentral. Bintik buta (blind spot) 7
adalah skotoma fisiologik yang terletak lebih kurang 15-20 temporal terhadap fiksasi sentral, yang sesuai dengan papilla nervus optikus. Tidak terdapat unsure sensorik seperti sel batang dan kerucut pada papilla nervis optisi Kelainan Lapang Pandang Terdapat skotoma patologik yang dapat ditentukan pada uji lapangan. Skotoma dapat berasal dari penyakit mata primer seperti glaucoma, atau dari lesi dalam susunan saraf pusat seperti tumor. Hilangnya pengliatan total pada satu mata di sebut mata buta, akibat penyakit mata, lesi pada nervus optikusnya, atau akibat lesi dari konteks oksipital yang terkait. Hemianopsia merujuk pada tiadanya pengliatan pada setengah lapangan. Kerusakan lapangan yang bilateral ada kedua lapangan temporal disebut hemianopsia itemporal. Terjadi akibat lesi pada nervus optikus setinggi kiasma optikum. Tumor hipofisis adalah penyebab umum . Hemianopsia homonim terjadi akibat kerusakan pada traktus optikus, radiasi optic, atau korteks oksipital. Istilah “hormonim” menunjukkan hilangnya pengliatan padsa lapangan sama. Seorang pasien dengan hermianopsia homonym kiri tidak dapatmelihat belahan kiri lapangan dapa kedua mata. Keadaan ini terjadi oleh kerusakan pada traktus optikus kanan. Hermianopsia hormonom adalah bentuk hilangnya lapangan pandangan yang paling sering pada pasien dengan “stoke”. Kuadrananopsia adalah hilangnya pengliatan pada satu kuadran. Seorang pasien dengan kuadrantanopsia homonym atas kiri mempunyai kerusakan pada radiasi optic bawah kanan atau daerah oksipital bawah kanan. Pasien dengan penglihatan terowongan memiliki pandangan lapangan yang menetap pada semua jarak suatu fenomen fisiologik yang tidak muginkn. Kelainan lapang padangan jenis in adalah khas pada histeri Pemeriksaan Nistagmus Optokinetik Kadang-kadang seorang pasien dengan masalah psikiatrik merasa dirinya buta. Suatu cara uji yang ampuh untuk meniadakan kemungkinan ini ialah nistagmus optokinetik (OKN). Nistagmus optokinetik adalah gerakan mata yang cepat dank e kiri dan kanan yang terjadi bila mata berusaha berfiksasi pada sasaran yang bergerak. Adanya nistagmus optokinetik menunjukkan utuhnya jalur optic fsiologik dari retina ke korteks oksipital. Nistagmus optokinetik dapat ditimbulkan ke mata pasien dengan meminta pasien berfiksasi pada angka-angka pita pengukur yang anda tarik dengan cepat. Karena nistagmus optokinetik bersifat involunte, suatu respon positif merupakan bukti bagus bahwa pasien pura-pura buta. (H.Swartz, 1995:97-99)
Cara inspeksi lapang pandang a. Berdiri di depan pasien. 8
b. Kaji kedua mata secara terpisah yaitu dengan cara menutup mata yang tidak diperiksa. c. Beri tahu pasien untuk melihat lurus ke depan dan memfokuskan pada satu titik pandang, misalnya hidung anda. d. Gerakkan jari Anda pada suatu garis vertikal / dari samping dekatan ke mata pasien secara perlahan – lahan. e. Anjurkan pasien untuk memberi tahu sewaktu mulai melihat jari anda. f. Kaji mata sebelahnya (Priharjo,Robert, 2006:54)
Gambar 5. Inspeksi lapang pandang
4. Gerakan mata Gerak mata dipengaruhi oleh kontraksi dan relaksasi otot-otot ekstraokular. Hal ini berakibat bergeraknya mata ke atas atau ke bawah, atau dari sisi ke sisi dan juga konvergensi. Pemeriksaan Kesesuaian Mata Kesesuaian mata dengan mudah diketahui dengan mengevaluasi lokasi cahaya yang dipantulkan oleh kornea. Lampu senter diarahkan tepat dari depan pasien. Jika pasien memandang lurus jauh ke depan, pantulan cahaya akan tampak tepat di pusat masing-masing kornea. Jika cahaya jatuh pada pusat satu kornea dan menyimpang dari pusat pada kornea lain, maka terdapat mata berdeviasi. Keadaan mata yang berdeviasi atau mata juling, disebut strabismus, atau tropia. Strabismus adalah ketidakseimbangan mata sehingga objek yang diamati tidak diproyeksikan secara bersamaan pada fovea masing-masing mata. Esotropia adalah deviasi mata kearah nasal, eksotropia adalah deviasi mata kearah temporal, heterotropia adalah deviasi mata ke atas. Tropia alternans adalah istilah yang dipakai untuk memeriksa keadaan dimana masing-masing mata berdeviasi. Melakukan Uji Tutup Uji tutup berguna untuk menetapkan apakah mata lurus (normal) atau ada mata berdeviasi. Pasien diminta untuk melihat pada sasaran jauh. Satu matanya ditutup 9
dengan karton 7,5 x 12,5 cm. pemeriksa harus mengqamati mata yang tidak tertutupi. Jika mata yang tidak ditutupi itu bergerak sewaktu berfiksasi pada titik dikejauhan itu, maka mata itu tidak lurus sebelum mata sebelahnya ditutupi. Jika mata itu tidak bergerak, maka ia lurus. Uji ini kemudiandilanjutkan dengan mata sebelahnya. Menilai Posisi Utama Pandangan Mata Penyebab penting timbulnya mata berdeviasi adalah otot ekstraokular yang paresis (lemah), atau paralisis. Paralisiss otot-otot ini ditentikan dengan memeriksa enam posisi utama pandangan mata. Pegang dagu pasien dengan tangan kanan dan memintanya mengikuti tangan kiri anda sewaktu menulis huruf “H” besar di udara. Jari telunjuk kiri anda diletakkan lebih kurang 25 cm di depan hidung pasien. Dari garis tengah, gerakkan jari itu 30 cm ke kanan pasien dan berhenti, kemudian 20 cm ke atas dan berhenti, ke bawah sejauh 40 cm dan berhenti, dan kemudian secara perlahan kembali ke garistengan. Lintasi garis tengah dan ulangi gerakan serupa pada sisi yang sebelah. Inilah keenam posisi utama pandangan mata. Anda perhatikan gerakan kedua mata, yang harus mengikuti jari itu secara mulus. Perlu pula diperhatikan gerakan paralel kedua mata ke segala arah. Kadang-kadang bila menatap kesisi ekstrim, mata akan bergerak ritmik yang disebut nistagmus titik akhir. Terjadi gerak cepat ke arah tatapan, yang diikuti gerak baling yang lambat. Uji ini membedakan nistagmus titik akhir dari nistagmus patologik, yang menghasilkan gerakan cepat selalu kea rah yang sama, tidak tergantung arah pandangan. Bayangan yang jatuh pada retina akan diinterpretasikan oleh otak dengan cara fusi, diplopia atau supresi. Pada anak-anak, strabismus menghasilkan diplopia yang berakibat kekacauan, kemudian supresi dari bayangan dan akhirnya ambliopia. Ambliopia adalah hilangnya tajam penglihatan, sekunder terhadap supresi. Ambliopia masih reversible sampai retina telah berkembang sempurna, pada usia lebih dari 7 tahun. Ambliopia adalah fenomena yang hanya timbul pada anak-anak. Seorang dewasa yang mendapat strabismus sekunder terhadap apapun penyebabnya tidak dapat mensupresi bayangan mata yang berdeviasi dan akan berakibat diplopia. Menilai Refleks Cahaya Pupil Pemeriksa meminta pasien melihat jauh, sementara ia menyinari mata pasien dengan baerkas cahaya terang. Sumber cahaya harus dating dari sisi, memanfaatkan hidung sebagai penghalang mata mengenai mata sebelah. Pemriksa harus mengamati respon pupil langsung dan konsensual. Pemeriksa kemudian melakukan uji pada mata yang sebelah. Uji cahaya berayun merupakan modifikasi untuk menguji reflex cahaya pupil. Tes ini berfungsi untuk mengungkapkan perbedaan dalam respon terhadap stimulus aferen di antara mata. Dalam tes ini pasien berfiksasi pada sasaran jauh sementara pemeriksa dengan cepat mengayun lampu dari satu mata ke matalain, mengamati adanya konstriksi dari pupil. Dalam keadaan tertentu terjadi dilatasi 10
parodoksikal dari pupil yang terkena cahaya. Keadaan ini dikenal sebagai pupil Marcus Gunn, berhubungan dengan kerusakan cabang aferen pada mata yang disinari. Contoh paling ekstrim mata dengan fenomena Marcus Gunn adalah mata buta. Bila berkas cahaya jatuh pada mata buta, tidak terjadi respon langsung maupun respon konsensual. Bila bahaya dipindahkan pada mata lain yang normal, akan terjadi respon langsung maupun konsensual karena jalur aferen maupun eferen adalah normal. Bila cahaya kembali diarahkan pada mata yang buta, tidak ada impulsyang diterima retina (aferen) dan pupil matabuta tidak akan berkonstriksi, ia akan berdilatasi. Terdapat berbagai derajat kerusakan pupil Marcus Gunn, bergantung pada keterlibatan nervus opticus. Menilai Refleks Dekat Reflex dekat diuji dengan meminta pasien berturut-turut melihat sasaran jauh kemudian sasaran yang diletakkan kurang lebih 12,5 cm dari hidung. Bila memandangi sasara dekat, mata akan berkonvergensi dan pupil akan mengecil. (H.Swartz, 1995:99-101) 5. Pengenalan Warna Pemeriksaan menggunakan kartu tes ishihara/ benang wol berwarna. Pasien membaca angka berwarna dalam kartu ishihara. Atau mengambil benang wol sesuai perintah. Interpretasi dari pemeriksaan pengenalan warna adalah normal dan buta warna. Cara pemeriksaan buta warna : Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan Ishihara Color Test merupakan test untuk mendeteksi defisiensi warna. Buku ini diciptakan oleh, Dr. Shinobu Ishihara, professor dari Universitas Tokyo, dan telah dipublikasikan sejak 1917 hingga kini menjadi alat test buta warna yang berlaku secara internasional. Test ini terdiri dari gambar yang membentuk angka, disebut dengan gambar isihara. Setiap gambar tersusun secara acak yang memuat lingkaran dari kumpulan titik yang membentuk angka dan ukuran tertentu. Dalam setiap pola titik yang membentuk angka akan dengan mudah ditebak bila klien tiidak mengidap buta warna dan akan sulit dibedakan bila seseorang tersebut mengalami buta warna terutama untuk defisiensi warna merah dan hijau. Tes secara keseluruhan terdiri atas 38 gambar, namun kita akan segera menyadari seseorang dengan buta warna hanya dengamemperlihatkan beberapa gambar saja. Pada pengetesan pertama, 24 gambar akan memberi diagnosis yang lebih tepat mengenai derajat cacat buta warna. Syarat Pelaksanaan : 1. Pemeriksa tidak mengalami buta warna. 2. pasien yang hendak diperiksa. 11
3. Pencahayaan yang cukup (hal ini karena sel batang lebih sensitive terhadap cahaya juka dibandingkan dengan sel kerucut sehingga warna tidak dapat dibedakan dengan baik pada keadaan gelap). 4. Alat test berupa bukku ishihara. Kelainan yang paling sering mucul adalah cacat warna merah dan hijau namun terkadang cacat biru dan kuning juga kerap terjadi.
Interpretasi : 12 Interpretasi : 2
Interpretasi : 5 Gambar 6. cuplikan gambar pada buku ishihara
B. Palpasi Palpasi pada mata dikerjakan dengan tujuan untuk mengetahui tekanan bola mata dan mengetahui adanya nyeri tekan. Untuk mengukur tekanan bola mata secara lebih teliti diperlukan alat Tonometri yang memerlukan keahlian khusus. Cara palpasi untuk mengetahui tekanan bola mata 12
Beri tahu pasien untuk duduk. Anjurkan pasien untuk memejamkan mata. Lakukan palpasi pada kedua bola mata. Bila tekanan bola mata meninggi, mata terasa keras (Priharjo,Robert, 2006:56)
C. Pengkajian Tingkat Mahir (Pengkajian Funduskopi) Pengkajian mata tingkat mahir (funduskopi) dilakukan paling akhir. Pengkajian ini dikerjakan untuk mengetahui susunan retina dengan menggunakan alat oftalmoskop. Untuk dapat melakukan hal ini, diperlukan pengetahuan anatomi dan fisiologi mata yang memadai serta keterampilan khusus dalam menggunakan alat oftalmoskop. (Priharjo,Robert, 2006:56) Oftalmoskop adalah alat dengan sistem cermin optik untuk melihat anatomi interna dari mata. Ada dua cakram pada oftalmoskop : satu untuk mengatur lubang cahaya (dan filter), dan satu lagi untuk merubah lensa untuk mengoreksi kesalahan refraktif baik dari pemeriksa maupun pasien. Lubang-lubang dan filter-filter yang paling penting adalah lubang kecil, lubang besar, dan filter bebas-merah. Lubang kecil adalah untuk pupil yang tidak berdilatasi, lubang besar untuk pupil yang berdilatasi, dan filter bebas merah menyingkirkan sinar merah dan dirancang untuk melihat pembuluh darah serta perdarahan.
Gambar 7. Oftalmoskop Cara kerja pengkajian funduskopi 1. Atur posisi pasien duduk di kursi. 2. Beri tahu pasien tentang tindakan yang dikerjakan. 3. Teteskan 1-2 tetes obat yang dapat melebarkan pupil dalam jangka pendek, misalnya tropikamid (bila tidak ada kontraindikasi) 4.
Atur cahaya ruangan agak redup.
5. Duduk di kursi di hadapan pasien. 6. Beri tahu pasien untuk melihat secara tetap pada titik tertentu dan anjurkan untuk tetap mempertahankan sudut pandangnya tanpa berkedip. 7. Bila pasien atau pemeriksa memakai kacamata hendaknya dilepas dulu. 13
8. Pegang oftalmoskop, atau lensa pada angka nol, nylakan dan arahkan pada pupil mata pada jarak sekitar 30 cm sampai pemeriksa menemukan red reflex yang merupakan pancaran dari cahaya retina. Bila letak oftalmoskop tidak tepat, red reflex tidak akan muncul. Red reflex juga tidak muncul pada berbagai gangguan misalnya katarak 9. Bila red reflex sudah ditemukan, dekatkan oftalmoskop secara perlahan ke mata pasien. Bila pasien myopia, atur control kea rah negative (merah). Bila pasien hiperopia atur control kea rah positif (hitam). 10. Amati fundus secara sistematis yang diawali dengan mengamati pembuluh darah besar. Catat bila ditemukan kelainan. Lanjutkan pengamatan dengan membandingkan ukuran arteri dan vena 4:5. Kemudian amati warna macula yang normalnya tampak lebih terang daripada retina. Berikutnya amati warna, batas, dan pigmentasi diskus optikus. Normalnya diskus optikus berbentuk melingkar berwarna merah muda agak kuning, batasan terang dan tetap dengan jumlah pigmen yang bervariasi. Lalu amati warna retina, kemungkinan ada darah, dan setiap ada kelainan. 11. Bandingkan mata kanan dan kiri. 12. Catat hasil pengkajian dengan jelas. 13. Setelah pengkajian selesai, teteskan pilokarpin 2% untuk menetralisasi dilatasi pada mata yang diamati (pada pasien yang ditetesi tropikamid). 14. Tunggu/pastikan pasien dapat melihat seperti semula. (Priharjo,Robert, 2006:57)
II. PEMERIKSAAN FISIK PADA TELINGA Getaran suara ditangkap oleh telinga yang dialirkan ke telinga dan mengenai memberan timpani, sehingga memberan timpani bergetar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Selanjutnya stapes menggerakkan perilimfe 14
dalam skala vestibui kemudian getaran diteruskan melalui Rissener yang mendorong endolimfe dan memberan basal ke arah bawah, perilimfe dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap bundar (foramen rotundum) terdorong kearah luar. Rangsangan fisik tadi diubah oleh adanya perbedaan ion kalium dan ion Na menjadi aliran listrik yang diteruskan ke cabang N.VIII yang kemudian neneruskan ransangan ke pusat sensori pendengaran di otak melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Koesora,2009).
Gambar 8. Anatomi telinga
Adapun pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui kelainan pada telinga/fungsi pada telinga yaitu terdiri dari 4 tes: 1. Tes Bisik Cara pemeriksaan pendengaran dengan bisikan 1. Atur posisi pasien berdiri membelakangi Anda pada jarak sekitar 4,5-6 meter. 2. Anjurkan pasien untuk menutup salah satu telinga yang tidak diperiksa. 3. Bisikkan suatu bilangan (misalnya., tujuh enam). 4. Beri tahu pasien untuk mengulangi bilangan yang didengar. 5. Periksa telinga sebelahnya dengan cara yang sama. 6. Bandingkan kemampuan mendengar pada telingan kanan dan kiri pasien.
15
Gambar 9. Pemeriksaan pendengaran dengan bisikan
Pemeriksaan
pendengaran
dengan
bisikan
dapat
juga
dikerjakan
dengan
menggunakan arloji. Cara pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan arloji 1. Pegang sebuah arloji disamping telinga pasien 2. Minta pasien menyatakan apakah mendengar detak arloji. 3. Pindah posisi arloji perlahan-lahan menjauhi telinga dan minta pasien menyatakan bila tidak dapat mendengar lagi detak arloji tersebut. Normalnya detak arloji masih dapat didengar sampai jarak sekitar 30 cm dari telinga. 4. Bandingkan telinga kanan dan kiri.
2. Tes Bisik Modifikasi Tes bisik modifikasi merupakan hasil perubahan tertentu dari tes bisik. Tes bisik modifikasi digunakan sebagai skrining pendengaran dari kelompok orang berpendengaran normal dengan kelompok orang berpendengaran abnormal dari sejumlah besar populasi. Misalnya tes kesehatan pada penerimaan CPNS. Cara melakukan tes bisik modifikasi, yaitu : 1. Lakukan dalam ruangan kedap suara. 2. Bisikkan 10 kata dengan intensitas suara lebih kecil dari tes bisik konvensional karena jaraknya juga lebih dekat dari jarak pada tes bisik konvensional. 3. Perlebar jarak dengan penderita yaitu dengan menolehkan kepala kita atau pemeriksa berada di belakang penderita sambil melakukan masking (menutup telinga penderita yang tidak diperiksa dengan menekan tragus penderita ke arah meatus akustikus eksternus). 4. Pendengaran penderita normal bilamana penderita masih bisa mendengar 80% dari semua kata yang kita bisikkan.
3. Tes Garputala
16
Gambar 10. Garputala
Tes garputala yaitu tes fungsi pendengaran
dengan menggunakan garputala. Tes
garputala ini terdiri dari tes: A. Tes Rinne Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 macam tes rinne , yaitu : a. Garputala 512 Hz dibunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garputala dipindahkan ke depan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya b. Garputala 512 Hz di bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang. Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne : 1. Normal : tes rinne positif 2. Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama) 3. Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan : a. Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala. b. Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-) c. Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul. Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal. Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus. 17
(Koesora,2009)
GgGambar 11. Tes Rinne
B. Tes Weber Tujuan melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Cara melakukan tes weber yaitu membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya di letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi. Pada keadaan patologis pada MAE atau cavum timpani misal otitis media purulenta pada telinga kanan serta adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani, bila ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan. Interpretasi: a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya. b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya: 1. Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan. 2. Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan lebih hebat. 3. Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan. 4. Tuli persepsi pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan. 5. Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kanan jarang terdapat. (Koesora,2009)
18
Gambar 12. Tes Weber C. Tes Swabach Tujuan melakukuan tes ini adalah membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus. Dasar pemeriksaan : Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh: getaran yang datang melalui udara dan getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo temporale Cara Kerja : Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat tidak mendengar suara garputala, maka penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi pembanding dua kemungkinan dapat terjadi: akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara. (Koesora,2009) 3. Tes Audiometri Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur (uji pendengaran).
Audiometri
tidak
saja
dipergunakan
untuk
mengukur
ketajaman
pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran. Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang dapat dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan pendengaran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang memerlukan ketajaman pendengaran Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah : a. Audiometri nada murni
19
Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi yaitu antara 250-500, 10002000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk mengukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada muri. Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekwuensi 2020.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan sehari-hari. Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran Kehilangan
Klasifikasi
dalam Desibel 0-15
Pendengaran normal
>15-25
Kehilangan pendengaran kecil
>25-40
Kehilangan pendengaran ringan
>40-55
Kehilangan pendengaran sedang
>55-70
Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat
>70-90
Kehilangan pendengaran berat
>90
Kehilangan pendengaran berat sekali
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL.
b. Audiometri tutur Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya pada tes ini alat uji pendengarannya menggunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut 20
dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk menebaknya. Pemeriksa mencatata presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu : a. Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan de-sibel (dB). b. Kemampuan maksimal pendengaran untuk mendiskriminasikan setiap satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suara dapat berapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya. Kriteria orang tuli pada tes ini adalah: Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB Tujuan tes audiometric adalah 1. Mediagnostik penyakit telinga 2. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menagkap percakapan sehari-hari, atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran : untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat pembantu mendengar atau pendidikan khusus, ganti rugi (misalnya dalam bidang kedokteran kehakiman dan asuransi). 3. Skrining anak balita dan SD 4. Memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising (Koesora,2009)
21
Gambar 13. Tes Audiometri
III. PEMERIKSAAN FISIK PADA KULIT Kulit merupakan system tubuh yang paling besar. Pada dasarnya kulit terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian luar (epidermis), bagian tengah (dermis), dan bagian dalam (lapisan lemak subkutan) yang juga disebut hypodermis. Secara umum, kulit berfungsi untuk melindungi jaringan di bawahnya, sebagai persepsi sensori, pengatur suhu tubuh dan tekanan darah, sintesis vitamin, serta sebagai tempat pengeluaran/sekresi keringat. (Priharjo,Robert,2006)
Gambar 14. Anatomi kulit
a. Inspeksi dan Palpasi Agar data yang diperoleh dalam pengkajian benar-benar tepat, pengkajian harus dilakukan dengan pencahayaan yang memadai. Kulit harus dikaji secara menyeluruh dan tidak terbatas pada lokasi abnormal saja. Dalam pelaksanaannya, kulit dapat dikaji bersamasama sewaktu mengkaji bagian tubuh yang lain. Perawat sering kali dapat mendeteksi adanya gangguan kulit karena adanya kesempatan untuk mengadakan kontak dengan pasien. Pengkajian kulit juga dapat dilakukan sewaktu perawat membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan kebersihan diri. Bagi pasien yang harus tirah baring atau yang menglami gangguan mobilitas, perawat secara teratur juga harus mengkaji kondisi kulit untuk mengamati adanya tanda-tanda luka tekan/dekubitus. (Priharjo,Robert,2006) 22
Tampilan umum kulit dikaji dengan mengamati warna, suhu, kelembaban, kekeringan tekstur kulit (kasar atau halus), lesi, vaskularisasi, mobilitas dan kondisi rambut serta kuku. Turgor kulit, edema yang mungkin terjadi dan elastisitas kulit harus dinilai dengan palpasi. Warna kulit bervariasi antara orang yang satu dengan lainnya, berkisar dari warna gading hingga coklat gelap. Kulit bagian tubuh yang terbuka, khususnya dikawasan yang beriklim panas dan banyak cahaya matahari, cenderung lebih berpigmen dari pada bagian tubuh lainnya. Efek vasodilatasi yang ditimbulkan oleh demam, sengatan matahari dan inflamasi akan menimbulkan bercak merah muda atau kemerahan pada kulit. Pucat merupakan keadaan tidak adanya atau berkurangnya tonus serta vaskularitas kulit yang normal dan paling jelas terlihat pada konjungtiva. Warna kebiruan pada sianosis menunjukkan hipoksia seluler dan mudah terlihat pada ekstremitas , dasar kuku, bibir serta membrane mukosa. Ikterus , yaitu kulit yang menguning, berhubungan langsung dengan kenaikan kadar bilirubin serum dan acapkali terlihat pada sclera serta membrane mukosa. Selanjutnya yang di inspeksi pada kulit adalah Hygiene kulit, penilaian atas kebersihan yang merupakan petunjuk umum atas kesehatan seseorang. Dan kelainan-kelainan yang bisa nampak pada inspeksi. Pada palpasi, pertama-tama dirasakan kehangatan kulit, (dinginhangat-demam), kemudian kelembabannya, pasien dehidrasi terasa kering dan pasien hipertyroidisme berkeringat terlalu banyak. Texture kulit dirasakan halus, lunak, lentur, pada kulit normal. Turgor dinilai pada kulit perut dengan cubitan ringan. Bila lambat kembali ke keadaan semula, menunjukkan turgor turun pada pasien dehidrasi. Krepitasi teraba ada gelembung-gelembung udara dibawah kulit akibat fraktura tulang-tulang iga atau trauma leher yang menusuk kulit sehingga udara paru-paru bisa berada dibawah kulit dada. Edema adalah terkumpulnya cairan tubuh dijaringan tubuh lebih daripada jumlah semestinya. Misal, Pitting edema, bila menjadi cekung setelah penekanan pada tempat-tempat pretibial, saklrum, jarijari, kelopak mata. Dan untuk non pitting edema tidak menjadi cekung setelah penekanan, pada mixedema (hipotyroid). (Brunner & Suddarth,2001)
Gambar 15. Pemeriksaan palpasi b. Pemeriksaan Sensitibilitas
23
Pemeriksaan fisik pada kulit juga bisa dilakukan dengan pemeriksaan sensitibilitas, pemeriksaan sensibilitas ini merupakan pemeriksaan yang tidak mudah. Kita bergantung kepada perasaan penderita, jadi bersifat subjektif. Selain itu, reaksi seseorang terhadap rangsangan dapat berbeda-beda, malah pada satu orangpun reaksi tersebut dapat berbeda, tergantung pada keadaannya, apakah ia sedang lelah, atau pikirannya terpusat pada hal yang lain. Agar didapat hasil pemeriksaan yang baik perlu diperhatikan hal berikut: selama pemeriksaan diupayakan agar pasien berada dalam keadaan tenang dan perhatiannya dapat dipusatkan pada pemeriksaan. Pemeriksaan: Sebelum kita melakukan pemeriksaan kita tanyakan dulu apakah ada keluha mengenai sensabilitas. Bila ada suruh ia menunjukkan lokasinya. Dari bentuk daerah yang terganggu dapat diduga apakah ganggguan bersifat sentral, perifer, atau berbentuk dermatom. Dermatom merupakan daerah kulit yang disarafi oleh akar posterior dan ganglionnya. Pada pasien histeri daerah yang terganggu tidak sesuai dengan pola anatomic, umumnya batas gangguan amat tegas, serinng berbentuk kaus dan melibatkan seluruh jenis sensibilitas. Perlu ditanyakan jenis gangguan, intensitasnya, apakah hanya timbul pada waktu-waktu tertentu, misalnya nyeri kalau dingin; dan juga factor-faktor yang dapat mencetuskan kelainan ini. Waktu melakukan pemeriksaan perhatikan daerah-daerah kulit yang kurang merasa, sama sekali tidak merasa atau daerah yang bertambah perasaannya. Bertambahnya perasaan dapat disebabkan oleh iritasi pada reseptor atau serabut saraf atau karena fenomena pelepasan (release). Kata disestesia digunakan untuk menyatakan adanya perasaan yang berlainan dari rangsangan yang diberikan, misalnya bila pasien diraba ia merasa seolah-olah dibakar atau semutan. Kata parestesia merupakan perasaan abnormal yang timbul spontan, biasanya ini berbentuk rasa-dingin, panas, semutan, ditusuk-tusuk, rasa-berat, rasa ditekan atau rasa gatal. Pada pemeriksaan sensabilitas eksteroseptif, perlu diperiksa rasa raba, rasa nyeri, dan rasa suhu. Rasa raba : sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksa seluruh tubuh dan bandingkan bagian-bagian yang simetris. Thigmentesia berarti rasa raba halus. Bila rasa raba hilang disebut thigmanesthrsia. Rasa nyeri : dapat dibagi menjadi: a. rasa-nyeri-tusuk (rasa nyeri cepat): rasa nyeri yang mempunyai sifat yang tajam, seperti bila tertusuk jarum. b. rasa-nyeri-tumpul (rasa nyeri lamban): rasa nyeri yang timbul bila testis dipijat. Reseptor rasa-nyeri tidak mempunyai bentuk tertentu dan terdiri dari serabut-serabut saraf yang tidak berselubung, ia terdapat pada epidermis kulit dan pada selaput lender. 24
Pada beberapa tempat jumlah serabut-serabut ini berdekatan misalnya pada lidah, bibir, kemaluan dan ujung jari. Dalam praktek sehari-hari pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan jarum atau peniti. Tusukan hendaknya cukup keras sehingga betul-betul dirasakan rasa-nyeri dan bukan rasa-disemtuh atau rasa-raba. Kita periksa seluruh tubuh, dan bagian-bagian yang simetris dibandingkan. Bila bagian yang simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat. Rasa suhu : ada dua macam rasa-suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rangsangan rasa-suhu yang berlebihan akan mengakibatkan rasa nyeri. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas. Untuk memeriksa rasa dingin dapat digunakan air yang bersuhu sekitar 10-200C dan untuk panasyang bersuhu 40-500C. Pada pemeriksaan rasa-suhu diperiksa seluruh tubuh dan dibandingkan bagian-bagian yang simetris. Bagian yang simetris ini harus diusahakan agar berada dalam kondisi yang sama. Bila kita memeriksa sensibilitas pada pasien yang gelisah atau yang agak menurun kesadarannya, maka pemeriksaan rasa-tusuk masih dapat dilakukan, sedang yang lainnya (rasa raba dan rasa suhu) perlu ditangguhkan. Pada anak, pemeriksaan ini biasanya dilakukan dan kita nilai dari reaksi atau tangisan si anak (bayi). (Lumbantobing,2008)
IV. PEMERIKSAAN FISIK PADA HIDUNG Hidung dikaji dengan tujuan untuk mengetahui keadaan bentuk dan fungsi hidung. Pengkajian hidung dimulai dari bagian luar , bagian dalam, kemudian sinus-sinus. Pasien dipersiapkan dalam posisi duduk bila memungkinkan. Peralatan yang dipersiapkan antara lain otoskop, speculum hidung, cermin kecil, dan sumber penerangan/ lampu.
25
Gambar 16. Anatomi Hidung a. Inspeksi dan Palpasi Cara inspeksi dan palpasi hidung bagian luar serta palpasi sinus-sinus : 1. Duduk menghadap pasien. 2. Atur penerangan dan amati hidung bagian luar dari sisi depan, samping, dan sisi atas. Perhatikan bentuk atau tulang hidung dari ketiga sisi ini. 3. Amati warna dan pembengkakan pada kulit hidung. 4. Amati kesimetrisan lubang hidung. 5. Lanjutkan
dengan
melakukan
palpasi
hidung
luar
dan
catat
bila
ditemukan
ketidaknormalan kulit atau tulang hidung. 6. Kaji mobilitas septum nasi. 7. Palpasi sinus maksilaris , frontalis, dan etmoidalis. Perhatikan adanya nyeri tekan. Untuk dapat melakukan inspeksi hidung bagian dalam, ada beberapa peralatan yang diperlukan antara lain otoskop, speculum hidung, cermin kecil dan lampu. Tidak disarankan bagi peserta didik keperawatan untuk melakukan praktik ini kecuali di bawah pengawasan instruktur yang berpengalaman.
Cara inspeksi hidung bagian dalam : 1. Duduk menghadap pasien. 2. Pasang lampu kepala. 3. Atur lampu sehingga tepat menerangi lubang hidung. 4. Elevasikan ujung hidung pasien dengan cara menekan hidung secara lembut dengan ibu jari anda, kemudian amati bagian anterior lubang hidung. 5. Amati posisi septum nasi dan kemungkinan adanya perfusi. 26
6. Amati bagian konka nasalis inferior. 7. Pasang ujung speculum hidung pada lubang hidung sehingga rongga hidung dapat diamati. 8. Untuk memudahkan pengamatan pada dasar hidung, atur posisi kepala sedikit menengadah. 9. Dorong kepala menengadah sehingga bagian atas rongga hidung mudah diamati. 10. Amati bentuk dan posisi septum, kartilago, dan dinding-dinding rongga hidung serta selaput lendir pada rongga hidung (warna , sekresi, dan bengkak). 11. Bila sudah selesai, lepas speculum secara perlahan-lahan. Pengkajian hidung bagian dalam yang dilakukan di bawah bimbingan instruktur ahli, dapat pula menggunakan otoskop. Dianjurkan menggunakan otoskop yang dilengkapi dengan speculum hidung dan kaca pembesar. Pengkajian kepatenan jalan napas dilakukan terutama bila dicurigai adanya sumbatan atau deformitas pada rongga hidung bagian bawah. Cara pengkajian kepatenan jalan napas : 1. Duduk di hadapan pasien 2. Gunakan satu tangan untuk menutup satu lubang hidung pasien, minta pasien menghembuskan udara dari lubang hidung yang tidak ditutup dan rasakan hembusan udara tersebut. Normalnya udara dapat dihembuskan dengan mudah dan dapat dirasakan dengan jelas. 3. Kaji lubang hidung sebelahnya. Kepatenan jalan napas juga dapat dikaji dengan menggunakan sebuah cermin yang diletakkan di bawah hidung, pasien dianjurkan untuk menghembuskan udara dengan mulut tertutup, kemudian kondensasi udara pada cermin diamati. Normalnya sisi kanan dan kiri seimbang.
V. PEMERIKSAAN FISIK PADA LIDAH Lidah adalah bagian dan tubuh yang terletak di rongga mulut. Lidah ini terdiri atas otottetapi tidak ada tulang di dalamnya. Dia mampu bergerak sendiri, tidak seperti lengan atau tungkai yang ada tulangnya. Lidah merupakan salah satu dan panca indera. Berfungsi sebagai alat untuk mengecap, dan juga untuk berbicara. Menurut Ayurveda, lidah ini erat sekali kaitannya dengan organ tubuh bagian dalam. Oleh karena organ bagian dalam sulit dilihat dan diperiksa dan luar, maka dengan memeriksa lidah ataü jihva dapat juga membantu menegakkan diagnosis yang tepat. Hal ini dimungkinkan karena energi vital berada serta bergerak pula di seluruh bagian lidah. Gerakan prima ini sesuai dengan keadaan organ di bagian dalam tubuh. Perubahan warna, penebalan atau penipisan bagian tertentu dan lidah menunjukkan adanya kelainan atau gangguan pada organ tertentu dalam tubuh. Jika dilihat dan segi bentuk, maka ujung lidah merupakan cerminan keadaan di tubuh bagian atas. Bagian tengah dan pangkal 27
lidah sebagai refleksitubuh bagian yang lebih di bawahnya. Oleh sebab itu, perubahan yang terjadi pada ujung lidah pada umumnya menunjukkan adanya gangguan pada organ tubuh bagian atas, terutama di daerah dada. Makin ke belakang, pada pangkal lidah menandakan adanya gangguan pada organ.
Gambar 17. Anatomi lidah Warna Lidah Warna lidah yang normal adalah merah muda,namun sering kali warna lidah seseorang tidah merah muda,warna patologis yang sering diobsevasi adalah pucat, merah, merah tua, merah keunguan, dan biru. 1. Pucat jika warna lidah pucat, itu menunjukkan adanya sirkulasi atau produksi darah yang tidak baik. Karena terkait dengan sirkulasi udara, kemungkinan terjadi masalah dengan hati, pasalnya salah satu fungsi hati adalah sebagai filter darah. 2. Kekuningan jika warna lidah anda kekuningan, berarti ada infeksi bekteri, baik dari dalam tubuh maupun luar tubuh, jika warna kekuningan menuju kehijauan berarti infeksi bakterinya semakin parah. 3. Merah jika lidah anda berwarna merah, itu menandakan adanya panas dalam, jika warna merah hanya ada pada ujung lidah, itu menandakan adanya panas pada jantung. Jika warna merah hanya ada pada sisi lidah, baik sisi kanan maupun kiri, itu menunjukkan adanya panas dalam hati atau kandung empedu. Jika warna merahnya lebih tua maka penyakitnya sudah parah. 4. Ungu jika warna lidah anda ungu, itu menunjukkan adanya statis darah atau darah tidak lancer, warna ungu disini ada 2 yaitu merah ungu dan biru ungu. Merah ungu adalah kelanjutan lidah merah dan berati adanya panas dan statis darah. Biru ungu adalah kelanjutan lidah pucat, berati adanya dingin dan statis darah pada penderita. 5. Biru jika lidah berwarna biru, berati terjadi keadaan yang sama dengan jika lidah berwarna biru keunguan, yakni adanya dingin dan statis darah namun kondisinya lebih parah. Bentuk Lidah 28
Bentuk lidah memberi indikasi keadaan darah dalam tubuh bentuk lidah yang ideal adalah yang sesuai dengan bentuk rahang,artinya berada dalam lengkung rahang yang sempurna,dan memiliki bentuk yang tidak terlalu tebal namun juga tidak terlalu tipis idealnya sekitar 1 cm. Dibawah ini beberapa bentuk lidah yang tidak normal: 1. Tipis : Jika lidah berbentuk tipis, apalagi disertai warna pucat, itu menunjukkan adanya defiensi (kekurangan) darah. Hal itu berhubungan dengan hati, semakin tipis bentuk lidah, berarti semakin menahun penyakit yang diderita. 2. Tebal : Jika bentuk lidah tebal, itu menunjukkan sirkulasi dalam tubuh tidak normal, sirkulasi ini meliputi, sirkulasi air, nutrisi dan darah. Jadi, jika ketika lidah berbentuk tebal, kemungkinan ada masalah pada ginjal, limpa dan hati. 3. Kaku : Jika lidah kaku, itu menunjukkan adanya angin dalam tubuh. Karena bagian dalam tubuh kemasukan angin, maka itu menyebabkan lidah menjdi kaku. 4. Panjang : Jika lidah panjang, berarti ada kecenderungan panas dalam tubuh, terutama didalam jantung, sebaliknya jika lidah berbentuk pendek dan disertai warna pucat itu menandakan adanya dingin dalam tubuh. 5. Retak : Jika retak-retak transversal menunjukkan defiensi lambung, bila retak-retak terdapat pada sisi lidah didekat pertengahan, berarti adanya defiensi menahun pada limpa. Retak memanjang pada garius tengah yang mendekati ujung lidah, berati adanya gangguan pada jantung. Pemeriksaan pada lidah :
a. Inspeksi Lidah Pemeriksaan fisik lidah didahului dengan pemeriksaan mukosa.
Periksa mukosa apakah ada massa?
Apakah lidahnya lembab?
Apakah ada lesi berbentuk massa pada sisi atau permukaan bawah lidah? Minta pada pasien untuk mengangkat lidahnya ke atap mulut sehingga permukaan
bawah lidah mudah diperiksa. Pada orang-orang yang lebih tua, vena-vena besar pada aspek ventral lidah dapat menjadi berkelok-kelok. Varikosis ini tidak pernah berdarah dan tidak mempunyai arti klinis. Periksa pada lidah pasien apakah ada Candidiasis. Candidiasis yang dikenal pula sebabagi moniliasis atau thrush, adalah suatu infeksi jamur oportunistik yang lazim berkaitan dengan pemakaian antibiotik berspektrum luas. Infeksi sering menyerang rongga mulut, saluran cerna, perineum atau vagina. Lesinya terlihat sebagai membran putih yang melekat secara longgar, dan dibawahnya terdapat mukosa yang merah menyala. Candidiasis oral tidak lazim ditemukan pada rang yang sehat yang tidak mendapat terapi antibiotik. Adanya candidiasis pada orang seperti itu mungkin merupakan manifestasi dini AIDS. Candidiasis merupakan infeksi oral yang paling sering ditemukan pada pasien AIDS.
29
Selain memeriksa lidah pasien apakah ada candidiasis, periksa juga apakah pada lidah pasien terdapat leukoplakia. Leukoplakia bentuk baru yang disebut leukoplakia berambut oral kelihatannya berkaitan dengan perkembangan AIDS selanjutnya. Lesi putih yang menonjol ini kelihatannya berombak-ombak atau “berambut” dan ukurannya berkisar mulai dari beberapa milimeter sampai 2-3 cm. Penyakit ini paling sering ditemukan pada tepi lateral lidah tetapi dapat dijumpai pula pada mukosa pipi. b. Pemeriksaan Saraf Kranialis XII Minta pada pasien untuk menjulurkan lidahnya. Apakah lidah tersebut berdeviasi ke satu sisi? Kelumpuhan nervus hipoglosus atau saraf kranialis kedua belas membuat otot-otot lidah pada sisi yang terkena tidak dapat berkontraksi dengan normal. Oleh karena itu, sisi kontralateral “mendorong” lidah ke sisi lesi. c. Palpasi Lidah Setelah melakukan inspeksi lidah dengan cermat, pemeriksaan dilanjutkan dengan palpasi yang seksama.
Palpapsi lidah dilakukan dengan meminta pasien untuk menjulurkan lidahnya ke dalam sepotong kasa.
Lidah itu kemudian dipegang oleh tangan kiri pemeriksa ketika sisi-sisi lidah diinspeksi dan dipalpasi dengan tangan kanan. Dua pertiga anterior dan tepi lateral lidah dapat diperiksa tanpa menimbulkan refleks
muntah. Sangat penting untuk mempalpasi tepi lateral lidah, karena lebih dari 85% dari semua kanker lidah timbul didaerah ini. Semua lesi putih harus dipalpasi. Apakah ada tanda-tanda indurasi (pengerasan)? Indurasi atau ulserasi sangat mengarah kepada karsinoma. Setelah palpasi lidah, lidah tersebut dikeluarkan dari kasa dan kasanya dibuang. Sewaktu mempalpasi mulut pasien, pemeriksa harus memegang pipi pasien, merupakan tindakan pencegahan kalau-kalau pasien berusaha berbicara atau menggigit jari pemeriksa. d. Palpasi Dasar Mulut Dasar mulut harus diperiksa denga palpasi bimanual. Ini dilakukan dengan meletakkan satu jari di bawah lidah dan jari lain di bawah dagu untuk memeriksa adanya penebalan atau massa. Kelainan pada Lidah Kelainan yang terjadi pada lidah manusia adalah sebagai berikut. Diantaranya adalah : Glositis, atau peradangan lidah. Bisa akut ataupun kronis. Dengan gejala berupa adanya ulkus dan lender yang menutupi lidah. Peradangan ini biasa timbul pada pasien yang mengalami gangguan pencernaan ataupun infeksi pada gigi. Lidah lembek dan pucat, dengan bekas – bekas gigitan pada pinggirnya. Biasanya, glositis kronis menghilang, apabila kesehatan badan membaik dan memelihara higien mulut yang baik.
30
Lekoplakia, ditandai oleh adanya bercak–bercak putih yang tebal pada permukaan lidah (juga pada selaput lender pipi dan gusi). Hal ini biasanya terlihat pada perokok. Cara Memelihara Lidah Cara memelihara agar lidah tetap berfungsi adalah sebagai berikut: 1. Jangan dibiasakan makan dan minim yang masih panas, karena akan berpengaruh pada lidah. 2. Menggosok gigi secara teratur untuk mengatasi terjadinya infeksi pada gigi. 3. Kurangi merokok bagi perokok berat agar tidak terjadi bercak – bercak putih pada lidah.
31
DAFTAR PUSTAKA
Priharjo, Robert. 2006. Pengkajian Fisik Keperawatan. Edisi 2. Jakarta : EGC H.Swartz,Mark. 1995. Diagnostik Fisik. EGC:Jakarta Koesora.2009.Pemeriksaan Tes Pendengaran. http://pemeriksaantespendengaran.blogspot.com/ (akses 29 november 2010) Brunner & Suddarth.2001.Keperawatan Medikal Bedah Volume 3.Jakarta:EGC Lumbantobing.2008.Neurologi Klinik.Jakarta: balai penerbit FKUI http://www.mediacollege.com/lighting/colour/colourblind.html (diakses pada 11 Desember 2010)
32