Pembuatan Kitosan Dari Kulit Udang Windu (penaeus Monodon)

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembuatan Kitosan Dari Kulit Udang Windu (penaeus Monodon) as PDF for free.

More details

  • Words: 2,921
  • Pages: 18
PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG WINDU (Penaeus monodon) (Laporan Kerja Praktek)

Oleh Gusti Putu Agung Wijaya 0317011045

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2007

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG (Penaeus monodon)

Gusti Putu Agung W. ABSTRAK

Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa dan mempunyai rumus kimia poli(2-asetamida-2-dioksi- β -D-Glukosa) dengan ikatan β glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Kitin tidak mudah larut dalam air, sehingga penggunaanya terbatas. Namun dengan modifikasi struktur kimiawinya maka akan diperoleh senyawa turunan kitin yang memiliki sifat kimia yang lebih baik. Salah satu turunan kitin adalah kitosan, suatu senyawa biopolimer yang memiliki banyak manfaat. Kitosan mempunyai rumus kimia poli(2-amino-2-dioksi- β -D-Glukosa) dan dapat dihasilkan dengan proses deasetilasi kitin menggunakan basa kuat. Proses produksi kitin dan kitosan dapat dilakukan secara kimiawi ataupun enzimatis. Proses produksi secara kimiawi relatif lebih cepat dalam proses produksinya yang melalui beberapa tahap yaitu : (1) tahap preparasi kulit udang, (2) tahap deproteinasi menggunakan NaOH, (3) tahap demineralisasi menggunakan HCl, (4) tahap depigmentasi menggunakan aseton, dan (5) tahap deasetilasi kitin menggunakan NaOH 50 % dimana kitin dirubah menjadi turunannya yaitu kitosan. Hasil akhir diperoleh berat kitosan sebanyak 3,72 gram dari berat awal kitin 5 gram.

1. PENDAHULUAN Udang merupakan komoditi ekspor yang menarik minat banyak pihak untuk mengolahnya. Adapun hal yang mendorong pembudidayaan udang antara lain harga yang cukup tinggi dan peluang pasar yang cukup baik, terutama diluar negeri (Anna dan Semeru, 1992). Udang di Indonesia diekspor dalam bentuk bekuan dan telah mengalami proses pemisahan kepala dan kulit. Proses pemisahan ini akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu berupa limbah padat yang lama-kelamaan jumlahnya akan semakin besar sehingga akan mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa bau yang tidak sedap dan merusak

estetika lingkungan. Pada perkembangan lebih lanjut kulit dan kepala udang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitin dan kitosan. Jenis udang yang sering dibudidayakan adalah jenis udang windu (Penaeus monodon). Menurut Widodo (2006), kulit udang mengandung protein 25% - 40%, kitin 15% - 20% dan kalsium karbonat 45% - 50%. Menurut (Anna dan Semeru, 1992), udang windu (Panaeus monodon), termasuk dalam klasifikasi : Phylum

: Arthopoda

Kelas

: Crustaceae

Sub-kelas

: Malacostraca

Ordo

: Decapoda

Sub-ordo

: Natantia

Famili

: Penaeidae

Sub-famili : Penainae Genus

: Panaeus

Spesies

: Penaeus monodon

Secara garis besar, tubuh udang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Mudjiman, 1995) : 1. Chepalotorax, adalah gabungan dari kepala dan dada. 2. Perut (abdomen), pada bagian ini terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda) yang terletak pada masing-masing ruas. 3. Ekor, merupakan kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas atau sirip ekor.

Seluruh tubuh udang windu tertutup oleh kerangka luar yang terbuat dari zat kitin. Kerangka luar tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara ruas, sehingga memudahkan untuk bergerak. Pemanfaatan kulit dan kepala udang windu (Penaeus monodon) sebagai bahan baku kitin dan kitosan yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dasar industri seperti kosmetik, makanan kesehatan, pertanian, koagulasi untuk pengolahan limbah industri, kultur sel, imobilisasi enzim, dan pembuatan membran dan bioplastik (John Hendri, 2001). Kata ”kitin” berasal dari bahasa Yunani, yaitu ”chiton”, yang berarti baju rantai besi. Kata ini menggambarkan fungsi dari material kitin sebagai jaket pelindung pada invertebrata. Kitin pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan ”fugine”. Pada tahun 1823, Odier mengisolasi suatu zat dari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama ”Chitin” (Marganof, 2006, dalam Wulandari, 2007). Pada umumnya kitin dialam tidak berada dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Walaupun kitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (Crustaceae) yang dipanen secara komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan kitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah hasil dari pengolahan udang.

Kitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, tersusun dari 2000-3000 monomer (2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa) yang terangkai dengan ikatan 1,4- β gliksida. Kitin memiliki rumus molekul [C8H13NO5]n dengan berat molekul 1,2x10-6 Dalton ini tersedia berlebihan di alam dan banyak ditemukan pada hewan tingkat rendah, jamur, insekta dan golongan Crustaceae seperti udang, kepiting dan kerang (Damajanti, 1999). Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan, memiliki sifat tidak beracun dan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Kitin tidak larut dalam air, larutan basa encer dan pekat, larutan asam encer dan pelarut organik. Tetapi senyawa ini larut dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam pospat. Namun asam sulfat, asam nitrat dan asam fospat dapat merusak kitin yang menyebabkan kitin terdegradasi menjadi monomer-monomer sederhana yang lebih kecil (Bastaman, 1989). Sistem pelarut yang efektif dalam melarutkan kitin adalah campuran N,N-dimetil asetamida dan LiCl 5% terlarut (Austin, 1988).

Gambar 1. Struktur Kitin Sebagai material pandukung Crustaceae, kitin terdapat sebagai mukopolisakarida yang berdisosiasi dengan CaCO3 dan berikatan secara kovalen dengan protein. Pemisahan CaCO3 dari protein lebih mudah dilakukan karena garam anorganik ini terikat secara fisik (Bough, 1975). Menurut Knorr (1984), HCl dengan konsentrasi lebih dari 10 % dapat secara efektif melarutkan Ca menghasilkan CaCl2.

Kitosan adalah produk deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), memiliki rumus molekul [C6H11NO4]n dengan bobot molekul 2,5x10-5 Dalton. Kitosan berbentuk serpihan putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam asam sulfat, dalam pelarut-pelarut organik seperti dalam alkohol, dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam dimetilsulfoksida. Sedikit larut dalam asam klorida dan dalam asam nitrat, larut dalam asam asetat 1%-2%, dan mudah larut dalam asam format 0,2%-1,0% (Oktaviana, 2002).

Gambar 2. Struktur Kitosan Kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi (Kartini, 1997). Menurut Hinarno (1980), kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradable dan polielektrolit kationik karena mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino. Selain gugus amino, terdapat juga gugus hidroksil primer dan sekunder. Adanya gugus fungsi tersebut mengakibatkan kitosan mempunyai kereaktifitasan kimia yang tinggi (Tokura, 1995). Gugus fungsi yang terdapat pada kitosan memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam termasuk reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat

memungkinkannya kitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik, yaitu plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan. Jika sebagian besar gugus asetil pada kitin disubsitusikan oleh hidrogen menjadi gugus amino dengan penambahan basa konsentrasi tinggi, maka hasilnya dinamakan kitosan atau kitin terdeasetilasi. Kitosan sendiri bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang terdeasetilasi sebagian dengan derajat deasetilasi beragam. Kitin adalah N-asetil glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin, tetapi tidak cukup untuk dinamakan poliglukosamin (Bastaman, 1989). Kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri kesehatan dan terapan karena kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Kitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi kitin, sedangkan kitin sendiri dapat diperoleh dari kulit udang. Produksi kitin biasanya dilakukan dalam tiga tahap yaitu : (1) tahap deproteinasi, penghilangan protein; (2) tahap demineralisasi, penghilangan mineral; dan (3) tahap depigmentasi, pemutihan. Sedangkan kitosan diperoleh dengan deasetilasi kitin yang didapat dengan larutan basa konsentrasi tinggi. Purwatiningsih (1992) melaporkan bahwa NaOH 50% dapat digunakan untuk deasetilasi kitin dari limbah kulit udang. Deproteinasi menggunakan natriun hidroksida lebih sering digunakan, karena lebih mudah dan efektif (Knorr, 1984 dan Austin, 1981). Pada pemisahan protein menggunakan natrium hidroksida, protein diekstraksi sebagai natrium proteinat yang larut (Knorr, 1984).

Secara umum larutan NaOH 2-3% dengan suhu 63-65 0C selama waktu ekstraksi 1-2 jam dapat mengurangi kadar protein dalam kulit udang secara efektif (Johnson, 1982 dan Knorr, 1984). Sekalipun demikian proses deproteinasi umum yang optimum tidak ada untuk setiap jenis Crustaceae. Mineral kalsium karbonat pada kulit udang lebih mudah dipisahkan dibandingkan protein, karena garam anorganik ini hanya terikat secara fisika. Menurut Knorr (1984) asam klorida dengan konsentrasi lebih dari 10% dapat secara efektif melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida. Proses demineralisasi dengan menggunakan asam klorida sampai CO2 yang terbentuk hilang kemudian didiamkan 24 jam pada suhu kamar. Dalam beberapa metode, proses depigmentasi sesungguhnya telah berlangsung saat pencucian residu sesuai proses deproteinasi atau demineralisasi yang dilakukan. Menurut Purwatiningsih (1992) aseton dapat mereduksi astaksantin dari kitin limbah udang windu (Penaeus monodon). Agar menghasilkan produk kitin berwarna putih dilakukan pemucatan menggunakan larutan natrium hipoklorit. Pembuatan kitosan dilakukan dengan cara penghilangan gugus asetil (-COCH3) pada gugusan asetil amino kitin menjadi gugus amino bebas kitosan dengan menggunakan larutan basa. Kitin mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga pada proses deasetilasi digunakan larutan natrium hidroksida konsentrasi 40%-50% dan suhu yang tinggi (100o-150oC) untuk mendapatkan kitosan dari kitin.

Menurut Bastaman (1989), proses deasetilasi dapat dilaksanakan dengan cara destilasi balik (refluks) kitin dalam larutan natrium hidroksida 50% dengan perbandingan cairan padatan 20:1 pada suhu 60oC dan lama waktu 8 jam dan pada suhu 100oC dengan waktu 4 jam. Pada kerja praktik ini diperoleh kitin sebanyak 20,5 gram dari berat awal.100 gram kulit udang, sedangkan kitosan yang diperoleh sebanyak 3,45 gram dari berat awal 5 gram kitin.

Tujuan Kerja Praktek 1) Membuat kitosan dari kitin yang diperoleh dari kulit udang windu (Penaeus monodon) secara konvensional.

2. METODE KERJA

2.1 Waktu dan Tempat Kerja Praktek Kerja Praktek ini dilaksanakan pada : Waktu : 01 Agustus 2007-15 September 2007 Tempat : Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia FMIPA UNILA

2.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang dugunakan dalam kerja praktek ini adalah : peralatan kaca/gelas, magnetik stirer, hot plate, oven, termometer, neraca digital, pH meter, alat soklet, dan alat refluks.

Bahan-bahan yang digunakan dalam kerja praktek ini adalah : kulit udang windu (Penaeus monodon), natrium hidroksida, asam klorida pekat, aseton, amonium oksalat, tembaga (II) sulfat, natrium hipoklorit, akuades, dan kertas saring 2.3 Prosedur Kerja 2.3.1 Persiapan sampel Kulit udang windu (Penaeus monodon) dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan di udara terbuka hingga sedikit kering kemudian dimasukkan ke dalam oven. Kulit udang ditimbang sebanyak 100 gram. 2.3.2 Isolasi kitin 2.3.2.1 Tahap deproteinasi Sebanyak 100 gram kulit udang windu ditambahkan dengan 500 ml natrium hidroksida 3,5 %. Cuplikan diaduk di atas pemanas dan dibiarkan selama 2 jam pada suhu 65 0C. Dilakukan pemisahan antara residu dan filtrat dengan penyaringan, filtrat diuji dengan tembaga sulfat. Residu dicuci dengan akuades hingga pH netral, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C selama 4 jam. Diperoleh kitin kasar, 2.3.2.2 Tahap demineralisasi Kitin hasil deproteinasi kemudian ditambahkan asam klorida 2 N dengan perbandingan 1:10 (w/v), didiamkan selama 2 hari pada suhu kamar. Dilakukan pemisahan antara residu da filtrat. Filtrat diuji dengan amonium oksalat sedangkan residu dicuci dengan akuades hingga pH netral, lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 0C.

2.3.2.3 Tahap depigmentasi Kitin kasar hasil demineralisasi diekstraksi dengan aseton 1:10 (w/v) selama 8 jam secara sokletasi, kemudian residu diputihkan dengan narium hipoklorit 0,315 % selama 5 menit pada suhu kamar, kemudian residu dicuci dengan akuades sampai pH netral dan dikeringkan dengan oven pada suhu 60 0C selama 4 jam. 2.3.3 Deasetilasi kitin menjadi kitosan Sebanyak 5 gram kitin direaksikan dengan 50 ml larutan natrium hidroksida 50 %, kitin diaduk diatas pemanas air pada suhu 100 0C selama 5 jam. Residu dicuci hingga pH netral dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 0C selama 4 jam. 2.4 Diagram Alir

deproteinasi

100 g cuplikan + 500 L NaOH 3,5 % dipanaskan, 65 oC, 2 jam disaring residu

filtrat

diuji dengan CuSO4

dicuci hingga pH netral dikeringkan dalam oven 60 oC, 4 jam

kitin kasar

demineralisasi

kitin kasar + 500 ml HCl 2 N didiamkan selama 2 hari disaring residu

dicuci hingga pH netral dikeringkan dalam oven 60 oC, 4 jam

filtrat

diuji dengan amonium oksalat

depigmentasi kitin kasar

diekstraksi dengan aseton disokletasi, 8 jam

residu

diputihkan dengan NaOCl 0,315 %

residu dicuci hingga pH netral dikeringkan dalam oven 60 oC, 4 jam

deasetilasi 5 g kitin + 50 ml NaOH 50% diaduk pada pemanas air 100oC, 6 jam

residu

dicuci hingga pH netral dikeringkan dalam oven 60 oC, 4 jam

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Isolasi kitin Dalam penelitian ini dilakukan proses isolasi kitin dari kulit udang windu (Penaeus monodon) dengan metode No (1989). Metode ini telah digunakan oleh Purwatiningsih (1992). Metode No (1989) untuk mengisolasi kitin dari sampel meliputi tiga tahap, yaitu tahap deproteinasi, tahap demineralisasi dan tahap depigmantasi. 1). Tahap deproteinasi Deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein dari kitin dengan menggunakan larutan NaOH 3,5 % selama dua jam pada suhu 65 0C. Apabila digunakan larutan NaOH dengan konsentrasi dan suhu lebih tinggi akan menyebabkan kitin terdeasetilasi. Protein dari kitin akan terekstrak dalam bentuk Na-proteinat. Ion Na+ dari NaOH akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif dan mengendap. Untuk mengetahui apakah protein telah terpisah dari kitin dilakukan pengujian dengan menambahkan CuSO4 ke dalam

filtrat. Dengan CuSO4 protein akan membentuk senyawa kompleks berwarna ungu. Untuk menghilangkan protein yang telah diikat oleh Na+, residu yang diperoleh dicuci dengan aquades sehingga filtrat bila ditambahkan dengan CuSO4 menunjukan hasil yang negatif dan pH netral yang diukur dengan menggunakan pH meter. Proses pencucian juga bertujuan untuk menghilangkan NaOH yang mungkin masih tersisa dalam residu. Rendemen yang dihasilkan dari proses deproteinasi adalah 47,5 gram dari sampel awal 100 gram kulit udang (47,5 %). 2). Tahap demineralisasi Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral atau senyawa anorganik yang terdapat pada kulit udang windu (Penaeus monodon). Kandungan mineral utamanya adalah CaCO3 dan Ca3(PO4) dalam jumlah kecil dan lebih mudah dipisahkan dibandingkan dengan protein karena hanya terikat secara fisik Proses demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 2 N pada temperatur ruang selama 2 hari dengan perbandingan berat sampel dan volume HCl 1:8 (w/v). Apabila digunakan konsentrasi asam lebih tinggi dan waktu perendaman yang lebih lama, akan menyebabkan kitin terdegradasi. Pada proses ini senyawa kalsium akan bereaksi dengan asam klorida menghasilkan kalsium klorida yang larut dalam air, gas CO2 dan air, dan asam pospat yang larut dalam air. Reaksi garam tersebut dengan HCl sebagai berikut : CaCO3(s) + 2HCl Ca3(PO4)2(s) + 6HCl

CaCl2(s) + H2O + CO2(g) 3CaCl2(s) + 2H3PO4(l)

Untuk menghilangkan asam klorida yang mungkin masih tertinggal, maka pada residu dilakukan pencucian dengan aquades sampai pH netral. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan. Kemudian filtrat diuji dengan (NH4)2C2O4 untuk membuktikan adanya Ca yang dapat dipisahkan selama proses demineralisasi. Ion oksalat akan membentuk endapan putih dengan kalsium. Rendemen yang dihasilkan dari proses demineralisasi adalah 25,2 gram dari berat awal 47,5 gram (53,05 %). Hal ini menunjukan bahwa mineral yang dapat dipisahkan dari sampel sebanyak 46,95 %. 3). Tahap depigmentasi Depigmentasi bertujuan untuk menghilangkan pigmen atau zat warna yang terdapat pada kitin. Pigmen yang terdapat pada kitin adalah dari jenis karetenod antara lain β -karoten dan astaxanthin (Muzarelli, 1978). Pada kulit udang windu (Penaeus monodon) yang paling banyak adalah astaxanthin. Pigmen pada kitin tidak terikat pada mineral ataupun protein, sehingga setelah proses demineralisasi dan deproteinasi kitin masih berwarna kuning kecoklatan, terlihat pada gambar 3.a. Aseton dapat mereduksi astaxanthin dari limbah kulit udang windu (Penaeus monodon) melalui proses sokletasi selama 8 jam (Purwatiningsih, 1992). Aseton yang mula-mula berwarna jernih mengalami perubahan warna menjadi kuning kecoklatan. Hal ini menunjukan bahwa zat warna dari kitin dapat dipisahkan dengan aseton.

Setelah dikeringkan diperoleh kitin berwarna kuning lebih muda, terlihat pada gambar 3.b. Untuk mendapatkan kitin yang berwarna lebih putih maka kitin direndam dalam larutan NaOCl 0,315 % selama 10 menit. Setelah dicuci dan dikeringkan diperoleh kitin seberat 20,5 gram dari berat kulit udang windu (Penaeus Monodon) awal 100 gram (20,5 %). Dengan demikian pigmen yang dapat dipisahkan dari sampel sebanyak 4,7 gram (4,7 %).

(a)

(b)

Gambar 3. (a) Kitin setelah demineralisasi, (b) Kitin setelah depigmentasi

3.2. Isolasi kitosan Deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetil (COCH3) dari kitin menggunakan larutan alkali. Kitin mempunyai struktur kristalin yang panjang dengan ikatan hidrogen yang kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksilat pada rantai bersebelahan. Untuk memutuskan ikatan antara gugus asetilnya dengan gugus nitrogen sehingga berubah menjadi gugus amino (NH2) perlu digunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi tinggi dan waktu deasetilasi yang lama. Pemutusan gugus asetil pada kitin mengakibatkan kitosan bermuatan positif dan dapat larut dalam asam organik.

Proses ini menggunakan larutan NaOH 50 % dan dipanaskan pada suhu 100 0C selama 6 jam. Setelah dicuci hingga pH netral dan dikeringkan diperoleh kitosan (gambar 4) seberat 3,45 gram (69 %) dari berat awal 5 gram.

Gambar 4. Kitosan dari hasil deasetilasi kitin.

4. KESIMPULAN Dari hasil kerja praktek ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain : 1. Isolasi kitin dari kulit udang windu (Penaeus monodon) memberikan nilai maksimum protein, mineral, dan zat warna yang dipisahkan sebesar 52,5 %, 25,2 %, dan 4,7 %. 2. Kitosan yang diperoleh dari deasetilasi kitin yaitu 3,45 gram (69 %) dari berat awal 5 gram.

DAFTAR PUSTAKA

No., H.K., 1989. Isolation and Characterization of Chitin from Craw Fish Shell Waste. Vol. 37 No. 3. Agriculture and Food Chemistry. Austin, P.R, C.J. Brine, J.E. Castle and J.P. Zikakis. 1981. Chitin New Facets of Research. Science 212 : 749 Bough, W.A. Shewfelt, and W.L. Salter. 1975. Use of Chitosan for Rediction and Recovery of Solid in Poultry Process in Waste Eluents Poultry. Science. 54 (992). Knorr, D. 1973. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85 Bastaman, S., 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell. The Queen’s University of Befast. England. Purwatiningsih. 1992. Isolasi Kitin dan Karakterisasi Komposisi Senyawa Kimia dari Limbah Kulit Udang Windu (Penaeus monodon). Jurusan Kimia Program Pasca Sarjana ITB. Bandung. Muzzarelli, RA.A., 1977. Chitin. Faculty of Medicine. University of Ancona. Ancona, Italy. Wulandari, Idayu. 2007. Sifat Kelarutan dan Berat Molekul Relatif Kitosan dari Kitin yang di iradiasi dan tidak di iradiasi. Skripsi sarjana. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Teguh, Devi Oktaviana. 2003. Pembuatan dan Analisis Film Bioplastik dari Kitosan Hasil Iradiasi Kitin yang Berasal dari Kulit Kepiting Bakau (Scylla serata). Skripsi sarjana. Universitas Pancasila. Jakarta. Kusumakanti, Siti Rini. 2003. Deproteinasi Polimer Kitin dari Kulit Udang Windu (Penaeus monodon) Menggunakan Pseudomonas aeruginosa dan Deasetilasi Polimer Kitin. Skripsi sarjana. Universitas Lampung.

Related Documents