GAGASAN & INOVASI
Oleh : Dewi Utama Faizah
PEMBELAJARAN DIALOGIS DAN BERFIKIR KRITIS
”Seseorang lebih memerlukan dialog daripada sepiring makanan untuk dapat hidup”
Kisah klasik kehidupan dialogis manusia dan hewan... ◘
Kisah pada abad pertengahan, penelitian seorang biarawan, yang mengisolasi para bayi dari ibunya dan manusia lainnya. Bayi-bayi tersebut diberi makan dan minum tanpa adanya sentuhan dan dialog dengan manusia dan alam sekitarnya. Dengan mata dan telinga tertutup, akhirnya bayi tersebut meninggal satu-persatu berurutan dalam jangka waktu yang pendek. (Santrock dalam Children)
◘
Kisah seekor monyet, yang diasingkan dari ibunya. Kemudian diberikan selimut sebagai pengganti kehangatan ibunya. Setiap saat sang bayi monyet lebih memilih berada dalam kehangatan selimut daripada memakan makan yang selalu tersedia di kaleng. (Penelitian Harry Harlow dan Robert Zimmerman tahun 1959)
Fasilitator Edisi 2 Tahun 2008
25
Kita hidup di tengah keberagaman. Ada laki-laki, perempuan, anak, remaja, manusia dewasa, manusia normal/difable, beragam latar sosial, etnis, budaya, nilai-nilai, keyakinan, kepercayaan, dan agama. Sesungguhnya itulah sumber inspirasi dalam pembelajaran dialogis ini. Memandang keberagaman (multikultural) sebagai kekuatan, yang merupakan modal sosial (social capital) yang akan memicu SDM yang berakhlak dan cerdas. Namun hal ini seringkali terabaikan dalam dunia pendidikan dan dalam hidup keseharian kita. Pembelajaran dialogis terkait dengan pengembangan mental tinggi atau sering diistilah dengan ”META KOGNITIF” yang mesti dibangun semenjak dari ayunan hingga liang lahat. Melalui pembelajaran dialogis yang melibatkan hati nurani, sebagai sumber kekuatan yang ada dalam diri masing-masing individu, maka inilah api yang akan menyalakan kehidupan manusia sebagai manusia. Akan tumbuh nilai-nilai dasar kebajikan (virtue), demokratisasi, sebagai nilainilai kemanusiaan yang esensial. Berbagai etnis yang ada di Indonesia juga memiliki kearifan-kearifan untuk membangun dialog dalam kehidupan masyarakatnya. Sebutlah masyarakat Minangkabau dengan filosofi ”Alam Terkembang Jadi Guru.” Alam dengan segenap unsurnya mereka lihat sebagai unsur yang saling berdialog, ada matahari, ada bumi, ada bulan, ada bintang, ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang, ada timur, ada barat, ada utara dan ada selatan, juga ada api, ada air, ada tanah, dan ada angin. Semua unsur itu saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berdialog dengan kedalamannya masing-masing penuh kepatutan. Kemudian kita lihat bagaimana bangsa Jepang dapat meraih kemajuan dan kesuksesan dalam membangun kehidupan
26
Fasilitator Edisi 2 Tahun 2008
berbangsa, juga diawali dengan dialog-dialog interpersonal/intrapersonal manusia dan alam semesta. Negeri yang tidak memiliki sumber daya alam yang berlimpah itu mampu mempertahankan lingkungannya karena mampu membangun dialog-dialog dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebutlah salah satunya, bagaimana SD mewajibkan murid-muridnya membaca serangkaian buku cerita yang bertajukkan dialog dengan lingkungan. Buku yang sangat populer untuk dapat membangun dialog antarmurid dengan alam berjudul ”Mori wa Umi no Koibito”--Hutan adalah kekasihnya laut. Begitu juga dengan perilaku hidup sehat mereka ajarkan sejak dini di sekolah TK dan SD untuk mengkomsumsi makanan laut dan makanan gunung dengan seimbang sebagai makanan penuh gizi yang menyehatkan manusia. Dialog itu dilanjutkan dengan pembelajaran mencintai lingkungan sambil belajar berbuat melalui praktik-praktik mengajak anak menyemai bibit ikan dan udang ke sungai, menanam pohon di gunung dan di desa dekat mereka tinggal, serta mengajak anak turun ke sawah dan merasakan bagaimana menjadi petani-petani kecil yang ceria dan cekatan. Ilustrasi di atas hanyalah contoh bagaimana kita mampu memahami apa yang dimaksud dengan dialog dan berfikir dalam serta kritis, yang secara konsekuen mesti dilatihkan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran dialogis akan
bergerak dari artikulasi-artikulasi yang prinsip sebagai pengetahuan (knowing the good), dan perasaan untuk berbuat (feeling the good) menuju pada praktik-praktik sederhana yang terjadi dalam situasi kegiatan pengajaran dan pembelajaran. Dari sinilah kelak akan muncul pembiasaan (habits) yang senantiasa membutuhkan lahan berlatih (acting the good) sehingga terbentuk otot karakter sebagai kompetensi individu pemelajar yang selalu ingin belajar tanpa henti (lifelong learners).
inner selves) dan belajar untuk berbagi hidup dengan apa pun yang ada di luar diri kita (our shared lives).
Apa Itu Berfikir Kritis ? • • •
KUNCINYA ADA PADA BERDIALOG DAN BERFIKIR KRITIS
•
Pembelajaran dialogis memberdayakan semua metode, antara lain; pembelajaran bermitra, dan berkolaborasi, sebagai fondasi tumbuhnya nilainilai demokrasi dan etika dari dalam diri sendiri (intrinsik).
•
•
• •
Apa Itu Dialogis ? •
•
•
• • • • • •
Dialog bukan hanya seni bercakap atau sekedar ”conversation”---percakapan antara dua orang atau lebih. Berdialog dan berfikir merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Jika seseorang memulai untuk berdialog maka ia akan mengembangkan kemampuan berfikir secara lebih teliti dan jelas. Berdialog secara dalam (deep dialogue) merupakan upaya melihat ke dalam diri sendiri /merefleksi diri /berdialog/intrapersonal power untuk dapat meraih kebenaran dan kebajikan. Melalui dialog akan membuka diri kepada orang lain, ”Kita belajar menemukan dan meraih kebenaran dan kebajikan bersama”. Merupakan siklus pembelajaran timbal balik (berkarena maka berkejadian). Mengenali bahwa dialog adalah cara dua arah, saling belajar dan berbagi kebajikan. Belajar memahami bahwa ada dunia lain di luar diri kita sendiri. Belajar memahami nilai-nilai yang dianut bersama dan perbedaan yang ada. Belajar untuk berubah dalam meraih nilai-nilai kebajikan bersama. Belajar untuk dapat melakukan transformasi secara perlahan dari dalam diri sendiri (our
Secara etimologi, kritis berasal dari bahasa Yunani---critical, krinein, to choose, to judge. Meningkatkan ketidaksadaran ke arah kesadaran. Melakukan analisis untuk dapat membuat keputusan. Mengenali bahwa cara pandang kita adalah sebuah kenyataan yang dibentuk oleh pengalaman. Menjadi peduli dengan keberagaman yang ada. Memahami sebab akibat (berkarena maka berkejadian). Memandang dunia sebagai suatu sistem jaringan kerja yang bermakna. Berfikir dengan ”PATUT” untuk dapat mempertimbangan dan memutuskan berbagai kenyataan yang ada dalam kehidupan seharihari dengan ”BIJAKSANA”.
Keterkaitan Dialog dengan Berfikir Kritis • •
• •
Bagaikan dua sisi mata uang dalam satu keping kehidupan manusia. Sumber energi untuk menyalakan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan manusia secara terus-menerus. Merupakan dasar tumbuhnya berfikir ”Refleksi”. Membentuk kebiasaan berfikir (Habits of Mind) dan menyalakan semangat, yang diistilahkan dengan ”VIRTUE”--- nilai-nilai kebajikan dasar yang mesti dapat diraih manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia.
Tugas : Cobalah berdialog dan mengkritisi diri Anda sendiri secara terus-menerus, dengan segala kekuatan dan kelemahan. Kemudian tuliskan. Mungkin saja hal tersebut berupa penyesalan atau pengakuan dosa. Namun sesungguhnya, itulah langkah awal bagi Anda untuk dapat berlari meraih kemenangan sejati sebagai manusia.
Fasilitator Edisi 2 Tahun 2008
27
REFERENSI Deep Dialogue/Critical Thinking in Education, Global Dialogue Institute, 2001. Brubacher, John. S. Modern Philosophies of Education. New York, McGraw Hill. 1978. Durkheim, Emile. Moral education. London: Collier MacMillan Publisher.1973. Elias, Maurice J. Academic and Social–Emotional Learning, (www.ibe.unesco.org). Elkind, David. Miseducation. New York : Alfred A. Knopf. 1987. Goodman, Joan. F., Balamore, Usha. Teaching Goodness. USA: Pearson Education. 2003. Huntington, Samuel P. Culture Count, in Culture Matters. USA: Basic Books. 2000. John Mc Fadden, et al. Multicultural & Global/International Education. Washington: AACTE. 1997. Kohn, Alfie. The Schools Our Children Deserve. USA: First Houghton Mifflin. 2000. Lawton, Denis,. Cowen, Robert. Values, Cultures and Education: An Overview. London: Kogan Page. 2001. Lickona, Thomas. Educating Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. USA: Bantam Books. 1992. Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. Draft Akhir: Jakarta. 1984. Waldman, Nomi, J. Multiple Intelligences Teaching Kids The Way They Learn. California: Frank Schaffer. 1999. Woolfolk, Anita E. Educational Psychology. USA: Allyn & Bacon. 1993.
28
Fasilitator Edisi 2 Tahun 2008