Pembangunan Dan Ekslusi Sosial

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembangunan Dan Ekslusi Sosial as PDF for free.

More details

  • Words: 1,911
  • Pages: 5
PEMBANGUNAN DAN EKSLUSI SOSIAL Oleh: Aldilla Ramadhan

Kilasan Mengenai Trickle Down Effect Karya W.W. Rostow, The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto mengenai wacana pertumbuhan ekonomi telah menjadi mazhab utama pembangunan nasional pada setiap negara berkembang, khususnya Indonesia. Adanya janji berupa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang relatif lebih cepat dicapai dengan pola pertumbuhan ekonomi menjadikan pandangan ini menjadi mainstream. Kekhawatiran akan adanya ketimpangan akibat konsentrasi dan sentralisasi pembangunan yang menjadi ciri khas pertumbuhan ekonomi dijawab dengan asumsi trickle down effect atau efek tetes ke bawah selama proses pertumbuhan ekonomi. 1. 2. 3.

4.

Klaim trickle down effects ini didasarkan pada asumsi yang dibangun berupa: Pertumbuhan ekonomi meningkatkan produksi barang dan jasa di masyarakat. Peningkatan produksi barang dan jasa akan diikuti dengan peningkatan akan permintaan faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal, dan skill/kemampuan sebagai input utama proses produksi. Masyarakat yang ada di wilayah produksi tersebut atau dalam literatur ilmu ekonomi, sering dikenal dengan sektor rumah tangga, yang menjadi penyedia faktor-faktor produksi akan meningkat pendapatannya sebagai dampak dari transaksi pertukaran faktor produksi yang dimilikinya dengan sektor usaha/perusahaan. Kesejahteraan ekonomi masyarakat meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan mereka.

Strategi Pembagunan Politik Orde Baru Klaim yang dibangun pada asumsi trickle down effect telah menjadi patokan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan pada orde baru. Pada awal Orde Baru pemerintah berupaya untuk memperbaiki perekonomian bangsanya. Titik berat hubungan bangsa telah beralih dari bidang politik ke bidang ekonomi. Perhatiannya dapat lebih besar ditujukan kepada upaya membangun tatanan perekonomian yang lebih baik dan lebih adil. Melalui perdagangan dunia yang bebas hambatan, perkembangan ini membawa keuntungan dan sekaligus tantangan. Prioritas pembangunan memang pada bidang ekonomi, namun tanpa dukungan politik pembangunan ekonomi tidak akan mungkin berhasil. Dukungan politik mensyaratkan dua hal; pertama, terciptanya stabilitas politik. Kedua, partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan dalam pengawasannya. Dilihat dari sejarah Indonesia maupun pengalaman-pengalaman bangsa lain, disadari

bahwa betapa pentingnya stabilitas nasional sebagai landasan bagi pembangunan yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan menghasilkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Itulah makna Trilogi Pembangunan, yang menjadi strategi pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Sejak semula juga telah disadari bahwa pembangunan memerlukan ikut sertanya semua lapisan masyarakat. Tanpa partisipasi yang penuh dari rakyat, kemajuan tidak dapat tercapai secara optimal. Stabilitas politik dan demokrasi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Demokrasi terwujud melalui perwakilan yang bermusyawarah untuk mencapai mufakat yang dibimbing oleh kebijaksanaan. Stabilitas politik diharapkan tidak terjadi karena paksaan, atau karena tidak ada pilihan. Stabilitas politik merupakan hasil pelaksanaan demokrasi dan bersifat dinamis. Pembaharuan ini telah diawali sejak lahimya Orde Baru. Dari tahun ke tahun suasana keterbukaan semakin terasa. Gagasan-gagasan dan nilai-nilai baru telah bermunculan di antara masyarakat dan telah dibahas secara terbuka dan mendalam. Keterbukaan yang diperlukan adalah keterbukaan yang bertanggung jawab. Keterbukaan tersebut memiliki keterbatasan karena tanpa adanya aturan maka yang terjadi adalah anarki bukan demokrasi. Stabilitas nasional jelas memerlukan suasana aman dan tertib. Peranan ABRI di dalam hal ini cukup besar, baik sebagai kekuatan pertahanan keamanan maupun kekuatan sosial politik. ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator dalam pembangunan telah menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan tidak pernah melepaskan hakikatnya sebagai prajurit pejuang yang lahir dari rakyat dan berjuang untuk rakyat, bersama rakyat. Selama lima REPELITA dana untuk pembangunan ABRI memang sangat terbatas. Namun, dalam keadaan demikian tugas mempertahankan dan mengamankan kedaulatan negara, integritas bangsa, keutuhan wilayah Nusantara, keselamatan rakyat dan upaya pembangunan telah dilakukan dengan baik. ABRI telah melalui proses integrasi dan konsolidasi dan sekarang telah menjadi kekuatan yang modem, andal dan efektif. Sejalan dengan stabilitas politik yang dinamis, pembangunan memerlukan stabilitas ekonomi. Hasilnya dapat dirasakan antara lain dalam laju inflasi yang selalu terkendali kemudian stabilitas ekonomi tercermin pula dalam kondisi neraca pembayaran yang sehat. Dengan ekonomi yang stabil itu berkembanglah kegiatan di semua sektor dan di seluruh wilayah. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama 25 tahun. Sebagai hasilnya, maka tingkat kesejahteraan penduduk terus membaik. Produksi nasional berhasil ditumbuhkan, khususnya selama REPELITA V pertumbuhannya cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 6,9% setiap tahun. Angka ini jauh di atas sasaran REPELITA V sebesar 5% setiap tahun yang juga di atas rata-rata pertumbuhan selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama. Sektor industri telah berkembang menjadi penggerak utama pembangunan. Pertumbuhan sektor industri selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama mencapai rata-rata 12,4% setiap tahun. Sasaran pertumbuhan sektor industri dalam REPELITA V adalah 8,5% setiap tahun. Dan telah berhasil mencapai pertumbuhan dengan rata-rata 10,2% setiap tahun. Kemudian dapat dilihat dari sumbangan yang amat besar dari pembangunan sektor pertanian adalah tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Swasembada ini secara dinamis dapat dipertahankan hingga sekarang dan menjadi landasan yang bagi

pembangunan pada tahap-tahap berikutnya. Berbagai peningkatan di segala bidang industri dapat dirasakan. Pada akhir REPELITA V telah berkembang 400 jenis industri. Sekitar 4.000 jenis komoditi industri telah berhasil menembus pasar dunia, mulai dari hasil kerajinan rakyat sampai produk industri canggih berteknologi tinggi seperti pesawat terbang. Ekspor non migas ternyata juga menjadi kekuatan utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama pada dua REPELITA terakhir Pembangunan Jangka Panjang Pertama, terlebih lagi ekspor hasil-hasil industri pengolahan. Sejak awal sampai dengan akhir Pembangunan Jangka Panjang Pertama nilai ekspor secara keseluruhan meningkat menjadi 42 kali atau rata-rata sebesar 15,9% setiap tahun. Besarnya peranan ekspor tercermin dalam sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Apabila pada REPELITA I sumbangan total ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi rata-rata adalah sekitar 31% setiap tahun, maka dalam REPELITA V telah meningkat menjadi rata-rata sekitar 49% setiap tahun. Kemajuan tersebut berhasil dicapai berkat dukungan prasarana yang telah dibangun. Prasarana ini semakin meningkat kualitas pelayanannya. Pembangunan kelistrikan naik berlipat ganda. Kenaikan ini perlu terus ditingkatkan untuk mengejar pertumbuhan sektor industri yang berkembang dengan amat pesat. Kegiatan pembangunan di berbagai sektor tersebut telah meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nyata dan makin merata. Hasil yang paling nyata adalah peningkatan pendapatan, karena perluasan kesempatan kerja yang dibuka oleh pertumbuhan ekonomi dan berbagai upaya pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia itu dihasilkan terutama oleh peningkatan taraf pendidikan dan derajat kesehatan. Pendidikan telah diselenggarakan secara merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan tidak hanya bersifat fisik, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan yang benar adalah pembangunan manusia yang utuh dan masyarakat yang menyeluruh. Karena itu, pemerintah Orde Baru juga memberi perhatian penuh pada pembangunan bidang agama, sehingga umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya dan semudah-mudahnya. Peningkatan kesempatan dan kualitas menjalankan ibadah bagi umat beragama, telah membangkitkan pula semangat yang lebih besar untuk membangun. Kerukunan hidup antar umat beragama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bertambah baik, sehingga makin memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sisi budaya dari pembangunan tidak pernah diabaikan maka pembangunan juga membutuhkan pengembangan nilai-nilai budaya yang menopang proses pembaharuan dan modemisasi, tanpa kehilangan nilai-nilai dasar yang membentuk kepribadian bangsa Indonesia. Salah satu sisi yang penting dalam pembangunan nasional adalah pembangunan daerah. Melalui pembangunan daerah itulah dibangkitkan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat untuk turut serta membangun dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di daerah. Untuk menyebarluaskan sumber daya pembangunan daerah, sekaligus memperkuat usaha daerah untuk mengembangkan dan memobilisasi sumbersumber pembangunan di daerah masing-masing, melalui APBN telah diberikan berbagai bantuan bagi daerah. Pada pembahasan pembangunan daerah ini ditemukan keterkaitan dengan kendala

kemiskinan yang terjadi. Untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut, pemerintahan Orde Baru melancarkan program pengentasan kemiskinan yang secara khusus ditujukan kepada penduduk miskin. Pada tahun terakhir REPELITA V telah mulai diupayakan untuk mengenali desa-desa yang karena kondisinya amat tertinggal. Kemudian, mulai REPELITA VI pemerintah mengembangkan program Inpres Desa Tertinggal. Tujuannya adalah untuk mengatasi kemiskinan di desa-desa, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat, dan di lain pihak meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap berikutnya. Dampak Pembangunan Politik Orde Baru Salah satu tolak ukur sisi humanistik dari ekonomi adalah keadilan. Tidak adanya diskriminasi bagi setiap warga negara berarti mengakui bahwa dibalik setiap perbedaan warga negara ada sebuah kesamaan, yaitu sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban setara yang diakui undang-undang dan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan. Inilah dimensi humanistik dalam perekonomian. Hal ini ditandai dengan kesamaan peluang dan akses (equal opportunity) bagi setiap warga negara dalam berekonomi dan menikmati pembangunan ekonomi. Dalam Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa tujuan dari negara Indonesia adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial sebagai sila pamungkas Pancasila disini seyogyanya juga menjadi tujuan dari pelaksanaan ekonomi di Indonesia. Berbicara keadilan maka bisa dilihat dari adanya pemerataan hasil pembangunan ekonomi di Indonesia yang mana pembangunan ekonomi merupakan salah satu pilar tumbuhnya rezim Orde Baru. Pemerintah Orde Baru bukannya tidak berusaha mengatasi ketidaksesuaian rencana dan hasil pembangunan ekonomi berupa ketimpangan dan belum meratanya hasil pembangunan. Sejak Pelita III (1979 – 1984) terjadi perubahan pokok. Trilogi Pembangunan yang pada mulanya, urutannya ialah pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Kemudian sejak Pelita tersebut diubah menjadi pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas. Disusul pula dengan pencanangan dua pokok kebijaksanaan pembangunan, yaitu: (1) mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; dan (2) melaksanakan delapan jalur pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan kesempatan memperoleh keadilan. Namun kembali kepada realitas historis, kelemahan fundamental rezim Orde Baru adalah ketidakkonsistenan antara rencana dan implementasi. Kalaupun diimplementasikan, ada kelemahan lagi yaitu minimnya evaluasi dan pengawasan. Hal inilah yang menjadikan betapa bagusnya Orde Baru jika ditinjau dari slogan, konsep, dan perencanaan, namun jika ditinjau dari segi implementasi dan evaluasi, sangatlah buruk terlebih juga masih dilengkapi dengan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang menghambat kesuksesan pembangunan. Klaim yang menjadi asumsi keberhasilan pertumbuhan ekonomi tersebut terbantahkan dengan munculnya fenomena bottleneck atau sumbatan dalam proses tetesan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menjadi faktor penjelas kenapa pertumbuhan ekonomi dalam beberapa kasus negara berkembang menyebabkan negara tersebut mengalami kegagalan dan

ketergantungan. Ada tiga persoalan yang melingkupi munculnya fenomena bottleneck dalam proses pertumbuhan ekonomi. Yaitu: Pertama. Adanya perbedaan tipe faktor produksi yang paling dibutuhkan. Faktor produksi yang paling dibutuhkan adalah faktor yang bisa mempercepat pertumbuhan secara efisien, dan disini adalah modal. Maka tidaklah mengherankan jika dalam kultur ekonomi masyarakat kapitalis yang mengidam-idamkan pertumbuhan ekonomi, kalangan pemilik modal menempati tingkat yang paling tinggi. Lain halnya dengan faktor produksi tenaga kerja yang mana akan semakin tidak efisien jika sebuah perusahaan memiliki banyak tenaga kerja. Hal ini telah ditegaskan oleh David Ricardo dalam teorinya The Law of Diminishing Return. Dari keterangan ini sudah terungkap betapa telah terdapat ketidaksetaraan yang menjadi bibit ketidakadilan pemerataan pembangunan. Kedua. Disparitas kelompok masyarakat dalam mengakses kesempatan atas penambahan faktor produksi. Ketika faktor produksi yang paling dibutuhkan adalah modal maka kelompok masyarakat yang menyediakan modal akan diuntungkan dengan situasi ini. Selanjutnya, kelompok masyarakat yang menyediakan faktor produksi berupa tenaga kerja akan kehilangan bargaining power atau daya tawar sehingga nasib mereka akan tetap terpuruk, lain halnya dengan kalangan pemilik faktor produksi berupa modal yang akan semakin berkesempatan menikmati peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketiga. Perbedaan kompensasi yang diterima masyarakat pemilik faktor produksi berupa tanah, tenaga kerja, dan skill dengan keuntungan yang diraup oleh kalangan pengusaha. Disinilah sering terjadi ketidakseimbangan harga faktor produksi yang dijual oleh masyarakat dengan keuntungan yang diraih pengusaha. Harga yang diterima seringkali tidak setimpal dengan pengorbanan yang dikeluarkan, seperti nasib buruh yang telah menjual faktor produksinya berupa tenaga kerja dan dibayar dengan gaji yang tidak layak, harga jual tanah yang sangat murah dibanding keuntungan yang akan didapat pelaku industri, dan sebagainya. Ketiga faktor di atas menjelaskan alasan kenapa dengan adanya pertumbuhan ekonomi justru menjadikan orang yang kaya makin kaya seiring dengan kebutuhan akan modal yang kian pesat dan sebaliknya, orang yang miskin makin miskin karena faktor produksinya diserap secara tidak seimbang. Hal demikianlah yang bisa menerangkan kenapa setelah 10 tahun pembangunan ekonomi Indonesia di era Orde Baru melalui serangkaian Pelita I dan II (1969 – 1979) telah membukakan mata bahwa kemiskinan di Indonesia sebagai dampak ketimpangan sosial dan ketidakmerataan hasil pembangunan masih terlihat.

Related Documents