1.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat
Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik pengenaan PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan (3) pajak tidak langsung. Menurut pakar PPN, Untung Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang atau jasa tersebut. Subjek pajak dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut diwajibkan membayar pajak yang sama. Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan (PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah. 1.
PPN Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri Di samping sebagai pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam kategori pajak atas konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir. Selama barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi, pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dibebankan kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan. Dalam penjelasan atas Undang-undang
1
PPN, ditegaskan bahwa PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. 2. PPN Sebagai Pajak Tidak Langsung Selanjutnya, selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN juga termasuk Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun penanggung jawab atas penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada penjual. Dengan kata lain dalam mekanisme pemungutan PPN, pemikul beban pembayaran PPN dan penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara adalah pihak yang berbeda. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh penjual, digunakan sebagai bukti pungutan atas PPN terutang, ketika menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima BKP atau JKP. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar PPN terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti pembayaran pajak. Hal ini beda dengan mekanisme penarikan Pajak Langsung seperti PPh, dimana orang pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran pajak juga dibebani tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara. Saat ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam porsi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada tahun 2010 adalah sebesar Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441 triliun pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di tahun 2012 ini, atau 34% dari total target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah terus berupaya mencegah kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya dengan menerbitkan aturan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya oleh PKP yang tidak bertanggungjawab. Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah mencabut status pengukuhan PKP terhadap 202.132 perusahaan.
1.2
Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari Pajak Pertambahan Nilai 2. Bagaimana perhitungan tarif PPN 1% 3. Jenis transaksi apa saja yang dikenakan PPN 1%
2
2.
Pembahasan
2.1
Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi
jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah Konsumen Akhir. PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak 2.1.1 Pelaporan Usaha Untuk Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pengusaha yang melakukan:
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
pengusaha kecil yang memilih dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan usahanya pada Kantor Pelayanan Pajak setempat untuk dikukuhkan 3
sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang. 2.1.2 Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 2.1.3 Pengusaha Kecil Pengusaha kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak perlu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Undangundang PPN & PPnBM berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 2.1.4 Cara Menghitung PPN PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). TARIF PPN 1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen). 2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas: •
ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
•
ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
•
ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). 4.
Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).
4
2.2
Tarif PPN 1% Tarif PPN 1% merupakan besaran tarif pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang
disematkan kepada beberapa jenis transaksi yang menggunakan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Penggunaan nilai lain sebagai DPP sehingga menghasilkan besaran tarif 1% bertujuan untuk mengindentikasi DPP yang bisa dikenakan pada beberapa transaksi tertentu, khususnya yang berada di luar klasifikasi DPP PPN pada umumnya. Pengaturan perihal besaran tarif 1% ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.03/2010 tentang perhitungan nilai PPN. Dalam PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tertera macam-macam kategori transaksi yang menggunakan nilai lain sebagai DPP PPN. 2.2.1 Jenis Transaksi Dengan Tarif PPN 1% Dalam PMK Nomor 75/PMK.03/2010 tercatat ada 11 kategori transaksi yang menggunakan nilai lain sebagai DPP PPN. Dari 11 transaksi tersebut yang menggunakan tarif PPN 1% ada 3, antara lain: 1. Penyerahan jasa biro perjalanan dan/atau agen perjalanan wisata 2. Jasa pengiriman paket. 3. Jasa pengurusan transportasi Penghitungan pungutan PPN untuk tiga transaksi di atas sebenarnya sama, ditetapkan sebesar 10%. Namun, pungutan PPN-nya berbeda dengan transaksi lain. Transaksi pada umumnya mengenakan PPN sebesar 10% x harga jual Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Sementara, untuk tiga transaksi di atas, yang menggunakan nilai lain sebagai DPP, perhitungannya menjadi 10% x DPP x harga jual BKP/JKP. Penulisan pengenaan PPN untuk tiga transaksi di atas kemudian dituliskan menjadi 10% x 10% x harga jual BKP/JKP, yang berarti 1% x harga jual BKP/JKP.
5
1.
Penyerahan jasa biro perjalanan dan/atau agen perjalanan wisata DPP untuk penjualan paket wisata, baik wisata dalam maupun luar negeri, serta
penjualan produk pihak lain seperti jasa angkutan udara/laut dan darat ditetapkan sebesar 10% dari nilai peredaran atau omzet tidak termasuk omzet dari penjualan tiket angkutan udara dalam negeri. Dasar Pengenaan Pajak untuk kegiatan lainnya seperti misalnya pengurusan dokumen perjalanan, adalah seluruh nilai peredaran atau omzet dikurangi dengan pungutan yang dibayar kepada pemerintah yang besarnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perhitungan DPP sudah memperhitungkan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Dengan demikian maka pajak masukan dari biro perjalanan umum maupun agen perjalanan tidak dapat dikreditkan lagi. Perhitungan PPN yang terutang dan harus disetor adalah sebagai berikut: Atas kegiatan penjualan Paket Wisata = 10% x 10% (nilai invoice - tiket angkutan udara dalam negeri) = Rp. X Atas kegiatan lainnya = 10% x (nilai invoice - Pungutan yang dibayar kepada Instansi Pemerintah) = Rp. Y PPN yang harus disetor = Rp. X + Y Usaha biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, agen penjualan tiket, atas penyerahan jasanya terutang PPN. Namun DPPnya sbg dasar penentuan tarif PPNnya harus dipisahkan terlebih dahulu berdasarkan type penyerahan jasa yang ada di perusahaan tersebut. pemilahan dapat dibuat sebagai berikut: Jasa penjualan Paket Wisata (di dalam invoice tagihan terdapat rincian sebagai berikut: komisi+tiket+hotel+akomodasi); DPP= 10% dari {(komisi+tiket+hotel+akomodasi)-TIKET} TARIF PPN= 10%
6
a.
Jadi atas jasa penjualan Paket Wisata terutang PPN sebesar: 1% dari (komisi+tiket+hotel+akomodasi)-TIKET (SE-DJP Nomor SE-18/PJ.3/1989)
b.
Jasa penjualan Voucher Hotel DPP=10% dari penjualan voucher hotel Tarif PPN= 10% Jadi atas jasa penjualan Voucher hotel terutang PPN sebesar : 1% dari penjualan voucher hotel (SE-DJP Nomor S-1081/PJ.53/2002)
c.
Jasa Keagenan Penjualan Tiket DPP=Komisi Agen Tarif PPN= 10% Jadi atas jasa keagenan penjualan tiket terutang PPN sebesar: 10% dari komisi yang diterima dari airline (SE-DJP Nomor S-135/PJ./2005)
2.
PPN 1% pada Jasa Pengiriman Paket Berbeda dari jenis jasa lainnya yang menggunakan DPP yang berlaku umum, yakni
100% dari nilai tagihan, DPP jasa pengiriman paket menggunakan nilai lain, yang diatur dalam PMK Nomor 75/PMK.03/2010. Berdasarkan PMK No. 75/PMK.03/2010 Pasal 2(j) disebutkan bahwa penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih dan dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pajak masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa oleh pengusaha jasa pengiriman paket tidak dapat dikreditkan.
7
Pengenaan PPN untuk jasa pengiriman paket adalah sebagai berikut:
10% x 10% x nilai yang ditagih
2.2.2
Contoh Kasus
Contoh Kasus PPN Atas Jasa Pengiriman Barang Sebuah perusahaan bergerak dalam bidang pengiriman barang. Ada permintaan pengiriman mesin genset diesel seharga Rp 2.3 Miliar dari Surabaya menuju Makassar dengan biaya pengiriman Rp 25.500.000. Pihak pemilik genset meminta harga ditambahan PPN 10% dan PPh 2% sehingga harga yang diberikan oleh perusahaan pengiriman barang setelah dikurangin PPh dan ditambah PPN menjadi Rp 27.540.000 Atas contoh kasus diatas, apakah pengiriman genset ini dikenakan PPN dan PPh? Bagaimanakah sistem perhitungannya hingga didapatkan angka 27.540.000 ? Apakah jumlah tersebut sudah sesuai dengan ketentuan? Atas jasa pengiriman barang ( ekspedisi/cargo) dikenakan PPN sebesar 1% dari nilai kontrak, seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya) yang diatur dalam Kepmenkeu No. 251/KMK.03/2002. Pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahan jasa pengiriman genset tidak dapat dikreditkan karena pajak masukan atas perolehan BKP/JKP telah masuk dalam perhitungan nilai lain. Perhitungan PPN dengan tarif efektif 1% untuk pengiriman genset ini adalah: 1% x Rp 25.500.000 = Rp 255.000. Harga setelah PPN = 25.500.000 + 255.000 = Rp 25.755.000 Harga setelah dikurangi PPh = Rp 25.755.000 - 510.000 ( PPh 2%) = Rp 25.245 Jadi Kesimpulannya, jumlah yang harus dibayar tidak senilai Rp 27.540.000. Sebab PPN yang dikenakan hanya sebesar 1% dan bukan 10%.
8
3.
PPN 1% Jasa Pengurusan Transportasi (Freight forwarding) Jasa pengurusan transportasi, yang juga biasa disebut freight forwading, merupakan
jasa yang menjadi objek PPN. Tapi, perlakuan pengenanaan PPN-nya berbeda dari jasa lain pada umumnya. Pengenaan PPN jasa freight forwarding termasuk yang menggunakan dasar nilai lain, yang diatur dalam PMK Nomor 121/PMK.03/2015. Dalam PMK Nomor 121/PMK.03/2015 disebutkan bahwa atas penyerahan jasa pengurusan transportasi atau freight forwarding yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi, dikenakan PPN sebesar 10% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih. Berdasarkan ketentuan PMK Nomor 121/PMK.03/2015, maka 10% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih diasumsikan sebagai biaya freight forwarding. Sedangkan, nilai sisa sebesar 90% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih diasumsikan sebagai biaya yang dibayarkan kepada pihak ketiga, yang nantinya ditagihkan kepada pengguna jasa perusahaan freight forwarding. Oleh karena itu, maka tarif efektif PPN atas jasa freight forwarding adalah sebesar 1%. Angka 1% tersebut diperoleh dari pengalian Nilai Lain (10%) sebagaimana diatur pada PMK No.121/PMK.03/2015 dengan tarif PPN 10%, yakni 10% x 10% = 1%. PPN atas jasa freight forwarding menggunakan nilai lain. Tarif efektif PPN atas jasa freight forwarding sebesar 1%. Karena menggunakan nilai lain, maka forwarder tidak boleh mengkreditkan pajak masukkan jika ada. Pajak masukan yang mungkin dibayarkan terkait "mata rantai" forwarding mungkin sangat banyak. Berikut daftar nilai lain DPP PPN sejak 1 Juli 2015 menurut
Peraturan Menteri
Keuangan nomor 121/PMK.03/2015: a. untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; b. untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor; c. dihapus; d. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film; e. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran; 9
f. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/a tau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar; g. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antat cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan; h. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli; i. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui JUru lelang adalah harga lelang; j. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau k. untuk penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan/ atau Jasa agen perjalanan wisata berupa paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi, yang penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagiham atau jumlah yang seharusnya ditagih; l. dihapus; m. untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih. Contoh transaksi Jasa Pengurusan Transportasi (Freight forwarding) Contoh 1: PT ABC sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF berupa biaya transportasi menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut, dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT Z. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges).
10
PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp50.000.000,00) = Rp500.000,00. Contoh 2: PT DEF sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang
yang akan diekspor
dengan
nilai
sebesar
Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00, sehingga nilai total penyerahan JPT/FF adalah sebesar Rp100.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT Y. PT DEF melakukan penagihan kepada PT Y dengan menerbitkan satu dokumen tagihan. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = Rp1.000.000,00. Contoh 3: PT GHI sebagai pengusaha JPT/FF melakukan penyerahan JPT/FF yang terdiri dari kegiatan penyimpanan sementara atas barang
yang akan diekspor
dengan
nilai
sebesar
Rp30.000.000,00, pengurusan penyelesaian dokumen dengan nilai sebesar Rp20.000.000,00, dan biaya transportasi menggunakan moda angkutan (freight) kapal laut dengan nilai sebesar Rp50.000.000,00,
sehingga
nilai
total
JPT/FF
yang
diserahkan
adalah
sebesar
Rp100.000.000,00 (belum termasuk PPN), kepada PT X. PT GHI melakukan penagihan kepada PT X dengan menerbitkan tiga dokumen tagihan untuk menagih masing-masing kegiatan dari penyerahan JPT/FF tersebut. Walaupun atas penyerahan JPT/FF tersebut PT GHI menerbitkan tiga dokumen tagihan, penyerahan JPT/FF tersebut merupakan satu kesatuan penyerahan JPT/FF. Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah Nilai Lain sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang
11
ditagih atau seharusnya ditagih, karena di dalam tagihan atas penyerahan JPT/FF tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges). PPN yang terutang atas penyerahan JPT/FF tersebut adalah sebesar 10% x Dasar Pengenaan Pajak = 10% x (10% x Rp100.000.000,00) = Rp1.000.000,00.
Referensi: https://www.online-pajak.com/ppn-1-persen https://pajakku.com/ Peraturan Menteri Keuangan nomor 121/PMK.03/2015
12