DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. ORYZA DR. REZA | DR. RESTHIE | DR. CEMARA | DR. RYNALDO
OFFICE ADDRESS: Jl padang no 5, manggarai, setiabudi, jakarta selatan (belakang pasaraya manggarai) phone number : 021 8317064 pin BB D3506D3E / 5F35C3C2 WA 081380385694 / 081314412212
Medan : Jl. Setiabudi no. 65 G, medan Phone number : 061 8229229 Pin BB : 24BF7CD2 WA 082122727364
I L MU P E N YA K I T DALAM
1. Syok • Syok adalah suatu kondisi hipoksia sel dan jaringan akibat penurunan pengantaran oksigen (oxygen delivery) dan/atau peningkatan konsumsi oksigen atau utilisasi oksigen kurang adekuat. • Terjadi saat adanya kegagalan sirkulasi yang bermanifestasi sebagai hipotensi (penurunan perfusi jaringan). • Syok biasanya reversible namun harus dapat dikenali dan ditatalaksana secepatnya untuk mencegah progresifitas menjadi disfungsi organ ireversibel. • Terdapat 4 tipe syok yaitu distributive, kardiogenik, hipovolemik, dan obstruktif.
1. Syok
Harrison Principles of Internal Medicine
Syok hipovolemik
Tatalaksana Syok Hipovolemik • Tanda dan gejala syok: pucat/dingin/peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah. • Non-hemorragik: 20 mL/kg normal saline atau ringer laktat bolus, dapat diulang jika diperlukan. Pertimbangkan koloid setelah 3 kali bolus NS/RL. • Hemorragik: Kontrol perdarahan, 20 mL/kg NS/RL bolus diulang 2-3 kali, dan transfuse PRC jika diindikasikan.
2. Hipotiroid • Deficiency of thyroid hormone. • Autoimmune thyroid disease (Hashimoto disease) is the most common cause of hypothyroidism.
2. Penyakit Endokrin
2. Penyakit Endokrin Limfosit tersensitisasi oleh antigen tiroid
Sekresi autoantibodi TgAb, TPOAb, TSHRab[block/inhibisi] Infiltrasi limfosit folikel limfoid & germinal center
Destruksi parenkim tiroid tiroksin
TSH hipertrofi parenkim, destruksi tetap ada struma/tanpa struma end stage: atrofi
Eutiroid hipotiroid subklinis hipotiroid
2. Gambaran Histopatologi Tiroiditis Hashimoto • Extensive lymphocytic infiltrate with germinal center formation • Lymphocytes are predominantly T cells and plasma cells (polyclonal) • Atrophic follicles with abundant Hürthle cells / oncocytes but no / reduced colloid • Fibrosis may be increased but does not extend beyond capsule • May see giant cells • Epithelium may have enlarged or overlapping nuclei with partial nuclear clearing, large squamous nests, hyperplastic follicles, ductal metaplasia (Am J Surg Pathol 2006;30:774)
Grave’s disease
3. Pneumonia • Diagnosis pneumonia komunitas: Infiltrat baru/infiltrat progresif + ≥2 gejala: 1. Batuk progresif 2. Perubahan karakter dahak/purulen 3. Suhu aksila ≥38 oC/riw. Demam 4. Fisis: tanda konsolidasi, napas bronkial, ronkhi 5. Lab: Leukositosis ≥10.000/leukopenia ≤4.500 • Gambaran radiologis: – Infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”, penyebaran bronkogenik & interstisial serta gambaran kaviti. – Air bronchogram: gambaran lusen pada bronkiolus yang tampak karena alveoli di sekitarnya menjadi opak akibat inflamasi.
Pneumonia komuniti, pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indoneisa. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003.
Pneumonia
3. Pneumonia • Community acquired pneumonia: – Pneumonia yang didapat di masyarakat
• Hospital acquired pneumonia (HAP) – Pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.
• Ventilator associated pneumonia (VAP) – Pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal.
• Healthcare associated pneumonia (HCAP), meliputi pasien: – Pernah dirawat di RS selama 2 hari/lebih dalam waktu 90 hari sebelum awitan pneumonia, – Tinggal di panti atau fasilitas rawat jangka panjang , – Mendapat antibiotik IV, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari dari sebelum awitan pneumonia, – Pasien hemodialisis.
3. Lobar Pneumonia • Konsolidasi pada seluruh lobus. • 95% disebabkan oleh Streptococcus pneumonia. • Terdapat 4 stadium.
4. Hidropneumothorax • Hydropneumothorax is a term given to the concurrent presence of a pneumothorax as well as a hydrothorax (i.e. air and fluid) in the pleural space. • It may arise in various situations which include – – – –
thoracentesis thoracic trauma bronchopleural fistula oesophagopleural fistula
• The treatment will be determined according to the etiology found.
5. Tumor mediastinum • Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga antara paru kanan dan kiri. • Tumor mediastinum dapat dipikirkan pada keadaan klinis lain, misalnya: – Miastenia gravis, mungkin menandakan timoma – Limfadenopati, mungkin menandakan limfoma
5. Tumor Mediastinum • Gejala dan tanda tergantung organ yang terlibat – Batuk, sesak, atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea dan/atau bronkus utama – Disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus – Sindrom vena kava superior lebih sering terjadi pada tumor mediastinum ganas – Suara serak dan batuk kering muncul bila nervis laryngeal terlibat – Nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenic atau penekanan system saraf
Sindrom Vena Kava Superior • Superior vena cava syndrome (SVCS) is obstruction of blood flow through the superior vena cava (SVC). • It is a medical emergency • Often manifests in patients with a malignant disease process within the thorax. • More than 80% of cases of SVCS are caused by malignant mediastinal tumors.
Superior Vena Cava Syndrome
SVCS Clinical Presentation • • • • • • • • • • •
Dyspnea Facial swelling Cyanosis Plethora(Flushing) Mental changes Head fullness Arm swelling Chest pain Dysphagia Orthopnea Hoarseness
Sindrom Vena Kava Superior
6. HEMOSTASIS Hemostasis („hemo”=blood;; ta=„remain”) is the stoppage of bleeding, which is vitally important when blood vessels are damaged. Following an injury to blood vessels several actions may help prevent blood loss, including:
Formation of a clot
Hemostasis 1. Fase vaskular: vasokonstriksi 2. Fase platelet: agregasi dan adhesi trombosit 3. Fase koagulasi: ada jalur ekstrinsik, jalur intrinsik dan bersatu di common pathway 4. Fase retraksi 5. Fase destruksi / fibrinolisis
http://www.bangkokhealth.com/index.php/health/healthgeneral/first-aid/451-ขบวนการห้ามเลือด-hemostasis.html
Coagulation factors Components of coagulation factor: ~ fibrinogen ~ prothrombin ~ tissue factor (thromboplastin) ~ Ca-ion (Ca++) ~ pro-accelerin (labile factor) ~ pro-convertin (stable factor) ~ anti-hemophilic factor ~ Christmas-factor ~ Stuart-Prower factor ~ plasma tromboplastin antecedent ~ Hageman factor ~ fibrin stabilizing factor(Laki-Roland)
factor I factor II factor III factor IV factor V factor VII factor VIII factor IX factor X factor XI
factor XII factor XIII
Kuliah Hemostasis FKUI.
Bleeding Time • It indicates how well platelets interact with blood vessel walls to form blood clots. • BT is the interval between the moment when bleeding starts and the moment when bleeding stops. • Used most often to detect qualitative defects of platelets. • BT is prolonged in purpuras, but normal in coagulation disorders like haemophilia. • Purpuras can be due to – Platelet defects - Thrombocytopenic purpura (ITP & TTP) – Vascular defects - Senile purpura, Henoch Schonlein purpura
• Platelets are important in preventing small vessel bleeding by causing vasoconstriction and platelet plug formation.
http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
Clotting Time • CT the interval between the moment when bleeding starts and the moment when the fibrin thread is first seen. • BT depends on the integrity of platelets and vessel walls, whereas CT depends on the availability of coagulation factors. • In coagulation disorders like haemophilia, CT is prolonged but BT remains normal. • CT is also prolonged in conditions like vitamin K deficiency, liver diseases, disseminated intravascular coagulation, overdosage of anticoagulants etc. http://www.indianmedicinalplants.info/articles/BLEEDING-TIME.html
PT & APTT • activated partial thromboplastin time (aPTT) untuk mengevaluasi jalur intrinsik kaskade koagulasi • prothrombin time (PT) untuk mengevaluasi jalur ekstrinsik kaskade koagulasi
http://practical-haemostasis.com/Screening%20Tests/aptt.html
Bleeding
Severe
Mild
intervention
stopped continues prolonged Platelet disorder
delayed Coagulation disorder Kuliah Hemostasis FKUI.
Spontaneous bleeding (without injury)
deep, solitary
superficial, multiple petechiae, purpura, ecchymoses
platelet disorder
hematoma, hemarthrosis
coagulation disorder Kuliah Hemostasis FKUI.
Simple schematic diagram to diagnose hemostasic disorders
Kuliah Hemostasis FKUI.
Kelainan Pembekuan Darah
http://periobasics.com/wp-content/uploads/2013/01/Evaluation-of-bleeding-disorders.jpg
Bleeding Disorder
6. Hemofilia •
•
Hemophilia is an inherited bleeding disorder in which the blood does not clot properly. Sign and symptom – Unexplained and excessive bleeding from cuts or injuries, or after surgery or dental work – Many large or deep bruises – Unusual bleeding after vaccinations – Pain, swelling or tightness in the joints – Blood in urine or stool – Nosebleeds without a known cause – In infants, unexplained irritability
6. Hemofilia
6. Hemofilia • Hemophilia A, the most common type, is caused by insufficient clotting factor VIII. • Hemophilia B, the second most common type, is caused by insufficient clotting factor IX. • Hemophilia C, in which signs and symptoms are often mild, is caused by insufficient clotting factor XI.
7. Penyakit katup Jantung
7. Penyakit Katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.
7. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
7. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Mitral Regurgitation
Algoritme Tatalaksana MR AHA 2017
8. Demam rematik • Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat GABHS (Streptococcus pyogenes) • Usia rerata penderita: 10 tahun • Komplikasi: penyakit jantung reumatik • Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis GABHS setelah 1-5 minggu • Pengobatan: – Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/ ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I – Dalam kasus demam rematik: • Antibiotik: penisilin/eritromisin • Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid • Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
8. Penyakit Jantung Rematik • Sekuelae demam reumatik akut yang tidak di-tx adekuat • Manifestasi 10-30 th pasca DRA • Penyakit jantung katup – MS: fusi komisura fish mouth – AI + MS – AS + AI + MS Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007. Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Pemeriksaan Penunjang • •
Pemeriksaan laboratorium menentukan ada tidaknya reuma aktif/reaktivasi. EKG – Pada insufisiensi mitral yang ringan: Hanya terlihat gambaran P mitral dengan aksis dan kompleks QRS yang masih normal. Pada tahap lanjut terlihat aksis yang bergeser ke kiri dan disertai hipertrofi ventrikel kiri.
•
Foto toraks – Kasus ringan tanpa gangguan hemodinamik yang nyata, besar jantung biasanya normal. – Keadaan lebih berat: Terlihat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri, serta mungkin tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat perkapuran pada anulus mitral.
•
Fonokardiografi: Mencatat konfirmasi bising dan mencatat adanya bunyi jantung ketiga pada insufisiensi mitral sedang sampai berat.
•
Ekokardiografi – Mengevaluasi gerakan katup, ketebalan, serta adanya perkapuran pada mitral. – Ekokardiografi Doppler dapat menilai derajat regurgitasi.
9. Proctitis • Proctitis is an inflammation of the lining of the rectum. • Proctitis involves an inflammatory change of the rectum (within 15 cm of the dentate line).
9. Proctitis Causes • It may be a side effect of medical treatments like radiation therapy or antibiotics. • Proctitis caused by sexually transmitted diseases (STDs) is transmitted through receptive anal intercourse and is most commonly due to gonorrhea and chlamydia. • Autoimmune disease of the colon, such as Crohn disease and ulcerative colitis, celiac disease, chemicals, rectal instrumentation, and trauma to the anorectal area.
9. Proctitis Inflammatory bowel disease • eg. Ulcerative colitis, Crohn’s disease Infectious causes • Clostridium dificcile, Salmonella species, gonorrhea
Non-infectious causes • eg. diversion, ischemia, and radiation
Diagnosis Banding Diagnosis
Crohn disease Colitis ulcerative
Karakteristik
Diare tidak berdarah; nyeri perut tumpul pada kuadran kanan bawah, dipicu atau diperparah seteah makan, penurunan BB Diare dengan atau tanpa darah di feses. Bila inflamasi mengenai rektum, darah terlihat melapisi feses, tnesmus, urgensi, nyeri rektal, BAB lendir
Fauci et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2012.
Kolitis ulseratif
Crohn’s disease
Inflamasi
Mukosa
Transmural
Luas area
Rectum proksimal Continuous 50% proctosigmoiditis, 30% left-sided colitis, 20% pancolitis
Mulut – anus Skip lesion
Patologi
Mukosa rapuh Ulkus difus Pseudopolip
Mukosa tidak rapuh Ulkus aphthous Cobblestone, fisura
Barium enema
Tepi kabur (granularitas mukosa halus) Haustra kolon hilang “lead pipe”
Lesi tajam, cobblestone, ulkus dan fisura panjang, “string sign”
Mikroskopik
Inflamasi superfisial PMN Abses kripti
Inflamasi transmural Limfosit Granuloma non-kaseosa Fibrosis, ulkus, fisura
IBD • Manifestasi sistemik IBD: • Eritema nodosum • Artritis perifer, asimetrik, poliartikular, sendi besar, ankylosing spondylitis • Uveitis/iritis, episkleritis • Steatosis hepatik • Nefrolitiasis • Low bone mass • Tromboembolik
Proctitis Treatment IBD
Infectious proctitis
5-ASA topical and oral
Salmonella,Yersinia, Self-limited Campylobacter
Infliximab is effective in refractory ulcerative proctitis
Shigella
Usually self-limited, antibiotic include cotrimoxazole (preffered), ampicillin, tetracycline, ciprofloxacin can be given
E. Histolytica
Metronidazole and iodoquinol
STD
GO: ceftriaxone or cefixime, Chlamydia: doxycycline
C. difficile
Metronidazole or vancomycin
http://emedicine.medscape.com/article/192910-treatment#d9
Non-infectious Supportive medical management (hydration, antidiarrhea, steroid or 5-ASA)
10. HIV/AIDS
10. HIV/AIDS
10. Tuberkulosis Gejala Klinis
Gejala respiratori: batuk ≥2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Gejala sistemik: demam, malaise, keringat malam, turun berat badan
PF
Kelainan paru di lobus superior (apeks & segmen posterior), apeks lobus inferior: suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum
Roentgen
Lesi aktif: Bayangan berawan/nodular di apeks & posterior lobus superior, segmen superior lobus inferior, Kavitas, Bayangan bercak milier, efusi pleura. Lesi inaktif: fibrotik, kalsifikasi, schwarte/penebalan pleura.
Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI: 2006.
Alur Diagnosis TBDan TBResistan Obat Di Indonesia Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya
Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)
Tidak memiliki akses untuk TCM TB
Memiliki akses untuk TCM TB
Pemeriksaan Mikroskopis BTA
Pemeriksaan TCM TB
(+ +) (+ -)
(- -)
MTB Pos, Rif Sensitive
Tidak bisa dirujuk
Foto Toraks
Terapi Antibiotika Non OAT
TB Terkonfirmasi Bakteriologis
Pengobatan
MTB Pos, Rif Indeterminate
Ulangi pemeriksaan TCM
MTB Pos, Rif Resistance
MTB Neg
Pemeriksaan pasien TB Toraks TB RRtambahan pada semuaFoto (Mengikuti alur yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis yangdan sama maupun klinis adalah pemeriksaan HIV dengan alur gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai pada hasil indikasi misalnya fungsi hati, fungsi pemeriksaan ginjal, dll)
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
mikrokopis BTA
(+ +) (+ -)
(- -)
MTB Pos, Rif Sensitive
Tidak bisa dirujuk
Foto Toraks
Gambaran Mendukung TB
Terapi Antibiotika Non OAT
Tidak Mendukung TB; Bukan TB; Cari kemungkinan penyebab penyakit lain
TB Terkonfirmasi Klinis
TB Terkonfirmasi Bakteriologis
Pengobatan TB Lini 1
Ada Perbaikan Klinis
Bukan TB; Cari kemungkinan penyebab penyakit lain
Pengobatan TB Lini 1
Tidak Ada Perbaikan Klinis, ada faktor risiko TB, dan atas pertimbangan dokter
MTB Pos, Rif Indeterminate
Ulangi pemeriksaan TCM
MTB Neg
MTB Pos, Rif Resistance
Foto Toraks
TB RR
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan OAT Lini 1 dan Lini 2
TB RR; TB MDR
TB Pre XDR
Lanjutkan Pengobatan TB RO
(Mengikuti alur yang sama dengan alur pada hasil pemeriksaan mikrokopis BTA negatif (- -) )
TB XDR
Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru
TB Terkonfirmasi Klinis
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis maupun klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
Interaksi TB-HIV • TB mempercepat perjalanan infeksi HIV
• Pasien dgn koinfeksi TB-HIV mempunyai viral load sekitar 1 log lebih besar daripada pasien tanpa TB • Angka mortalitas pada ko-infeksi TB-HIV k.l. 4 x lebih besar daripada pasien dengan hanya TB sendiri
Interaksi TB-HIV HIV merupakan faktor risiko utama menyebabkan TB aktif Jumlah progresi menjadi TB aktif: > 40 % pada pasien dengan HIV 5 % pada pasien tanpa HIV
Risiko reaktifasi infeksi TB: 2.5-15 % setiap tahun pada pasien dgn HIV < 0.1 % setiap tahun pada pasien tanpa HIV
TB increased HIV viral replication
Patogenesis ko-infeksi TB HIV M. tuberculosisis Relative risk for TB: HIV neg. = < 10% per lifetime First Infection
HIV positive
HIV pos. ~ 3-7 % per year
Re-infection (exogenous)
Primary TB Latent TB Reactivation (endogenous)
Progressive Primary TB
Post-primary TB
Diagnosis TB pada orang terinfeksi HIV • Gejala klinis tidak berbeda dengan pada non HIV selama immunitas seluler (CD4) memadai. – Gejala respiratorik (batuk, sesak) – Gejala sistemik (demam, malaise, BB↓)
• Pada stadium HIV lanjut, sering dijumpai TB ekstraparu (pleuritis, limfadenopati, meningitis, TB milier) • Lebih sulit karena: – – – – –
Hasil BTA sputum sering negatif Gambaran radiologi tidak khas Lebih sering TB ekstrapulmonal Mirip dengan infeksi oportunistik paru lainnya Uji mantoux umumnya negatif
Gambaran Radiologis • Radiologis dapat tampak normal 7-14% pasien HIV • Kelainan radiologis tergantung derajat imunosupresi • Fase Awal HIV – mirip TB pada non HIV infiltrat lobus atas dengan atau tanpa kavitas.
• Fase lanjut HIV – TB ekstra paru, limfadenopati intra thoracic/ mediastinal, infiltrat di lobus bawah dan TB milier
Limfadenopati hilar
Manifestasi Klinis TB pada HIV
• • • • • • •
Klinis PPD Foto dada Gamb Paru TB ekstra paru Mikobakteremi Adenopati hilus/ mediastinum • Efusi pleura
Dini (CD4 > 200)
Lanjut (CD4< 200)
Tipikal Biasanya (+) Tipikal Lobus Atas Jarang Tidak ada Tidak ada
Atipikal Biasanya (-) Atipikal Lob. bawah/tengah Sering/banyak Ada Ada
Jarang
Sering
11. HIV
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
Pemeriksaan HIV Pedoman 2011 • Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. • Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
• Pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).
CD4 and CD8 • There are two main types of T-cells. – CD4 cells, also called T4 cells, are “helper” cells • They lead the attack against infections.
– CD8 cells, (T8 cells), are “suppressor” cells that complete the immune response • CD8+ cells can also be “killer” cells that kill cancer cells and other cells that are infected by a virus.
• Normal CD4 range for an HIV negative person is between 500 and 1600. • A normal CD8 range is from 150 to 1000 – This test is not really used so much for monitoring HIV.
• CD4/CD8 ratio normal range is between 1 and 2. – Can evaluate HIV infection – In study in Zimbabwe, patient with HIV-positive, 99.6% have CD4/CD8 ratio <1
CD4 and CD8
Monitoring HIV
12. Hepatitis •
Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis C from 15– 160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
•
The prodromal symptoms – Constitutional symptoms of anorexia, nausea and vomiting, fatigue, malaise, arthralgias, myalgias, headache, photophobia, pharyngitis, cough, and coryza may precede the onset of jaundice by 1–2 weeks. – Dark urine and clay-colored stools may be noticed by the patient from 1–5 days before the onset of clinical jaundice.
•
The clinical jaundice – The constitutional prodromal symptoms usually diminish. – The liver becomes enlarged and tender and may be associated with right upper quadrant pain and discomfort. Spleen may enlarge.
•
During the recovery phase, constitutional symptoms disappear, but usually some liver enlargement and abnormalities in liver biochemical tests are still evident.
12. Hepatitis
12. Hepatitis A • Hepatitis A IgM antibodies are usually detectable 3 to 4 weeks after an initial exposure and return to normal after about 8 weeks. • Hepatitis A IgG antibodies may begin to develop 2 weeks after the IgM antibodies increase to a high level.
13. Pellagra/Vitamin B3 Deficiency • Pellagra is a systemic nutritional wasting disease caused by a deficiency of vitamin B3 (niacin), an essential component of several coenzymes. • Poverty and dietary consumption of corn were the most frequently observed risk factors. • Diets based on unfortified maize (corn) are pellagragenic for the following two reasons
• (1) These diets are low in tryptophan, the amino acid precursor of niacin. • (2) any endogenous niacin in untreated corn is bound in a nonbioavailable form.
http://emedicine.medscape.com/article/985427-overview
13. Pellagra/Vitamin B3 Deficiency • 4D • • • •
Diarrhea Dementia Dermatitis Death
• Prevented by eating red meat, enriched and whole-grain cereals.
13. Pellagra/Vitamin B3 Deficiency • Treatment • Nicotinamide or niacin orally is usually effective. • L-tryptophan (L-trp) is effective in preventing pellagra in rat model, but its safety for this use in humans is yet to be established.
• Diet • Diet high in protein and adequate in calories. • The addition of meats, milk, peanuts, green leafy vegetables, whole or enriched grains, and brewers' dry yeast can enhance the niacin intake.
http://emedicine.medscape.com/article/985427-treatment#d8
Defisiensi Vitamin B Vitamin B1 (Thiamine)
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss, body weakness and pain, brain damage, irregular heart rate, heart failure, and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other Vitamin B2 (Riboflavin) symptoms are cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes, and low red blood cell count Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia, Vitamin B3 (Niacin) and finally death (4D) Vitamin B5 Acne and Chronic paresthesia (Pantothenic Acid) Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood Vitamin B6 pressure (hypertension), water retention, and elevated levels (Pyridoxine) of homocysteine Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions Vitamin B7 (Biotin) including hallucinations, drowsiness, and depression Causes gradual deterioration of the spinal cord and very Vitamin B12 gradual brain deterioration, resulting in sensory or motor (Cobalamin) deficiencies
14. DKA and HHS Diabetic Ketoacidosis (DKA)
Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)
Plasma glucose >250 mg/dL
Plasma glucose >600 mg/dL
Arterial pH <7.3
Arterial pH >7.3
Bicarbonate <15 mEq/L
Bicarbonate >15 mEq/L
Moderate ketonuria or ketonemia
Minimal ketonuria and ketonemia
Anion gap >12 mEq/L
Serum osmolality >320 mosm/L
88
14. Characteristics of DKA and HHS Diabetic Ketoacidosis (DKA)
Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)
Absolute (or near-absolute) insulin deficiency, resulting in • Severe hyperglycemia • Ketone body production • Systemic acidosis
Severe relative insulin deficiency, resulting in • Profound hyperglycemia and hyperosmolality (from urinary free water losses) • No significant ketone production or acidosis
Develops over hours to 1-2 days
Develops over days to weeks
Most common in type 1 diabetes, but increasingly seen in type 2 diabetes
Typically presents in type 2 or previously unrecognized diabetes Higher mortality rate 89
14. Diabetic Ketoacidosis: Pathophysiology Unchecked gluconeogenesis
Hyperglycemia
Osmotic diuresis
Dehydration
Unchecked ketogenesis
Ketosis
Dissociation of ketone bodies into hydrogen ion and anions
Anion-gap metabolic acidosis
Often a precipitating event is identified (infection, lack of insulin administration) 90
Pathogenesis of Hyperglycemic Crises DKA
HHS
Hyperglycemia osmotic diuresis
Dehydration
LipolysisIncreased FFA
Increased glucose production
Increased ketogenesis
Insulin Deficiency
Counterregulatory Hormones
Decreased glucose uptake
Metabolic acidosis Electrolyte abnormalities
Umpierrez G, Korytkowski M. Nat Rev Endocrinol. 2016;12:222-232.
Hypertonicity
Insulin Deficiency
Hyperglycemia
Hyperosmolality
Glycosuria
Δ MS
Lipolysis
FFAs Ketones
Dehydration Renal Failure Shock
Electrolyte Losses
Acidosis
CV Collapse
92
Hyperosmolar Hyperglycemic State: Pathophysiology Unchecked gluconeogenesis
Hyperglycemia
Osmotic diuresis
Dehydration
• Presents commonly with renal failure • Insufficient insulin for prevention of hyperglycemia but sufficient insulin for suppression of lipolysis and ketogenesis • Absence of significant acidosis • Often identifiable precipitating event (infection, MI)
93
Diabetic Hyperglycemic Crises Diabetic Ketoacidosis (DKA)
Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS)
Younger, type 1 diabetes
Older, type 2 diabetes
No hyperosmolality
Hyperosmolality
Volume depletion
Volume depletion
Electrolyte disturbances
Electrolyte disturbances
Acidosis
No acidosis
94
ADA Diagnostic Criteria for DKA and HHS DKA Parameter
Mild
Moderate
Severe
HHS
Plasma glucose, mg/dL
>250
>250
>250
>600
7.25-7.3
7.0-7.24
<7.0
>7.30
15-18
10 to <15
<10
>15
Serum ketones†
Positive
Positive
Positive
Small
Urine ketones†
Positive
Positive
Positive
Small
Effective serum osmolality,* mOsm/kg
Variable
Variable
Variable
>320
Alert
Alert/drowsy
Stupor/coma
Stupor/coma
Arterial pH Serum bicarbonate, mmol/L
Alteration in sensoria or mental obtundation
*Calculation: 2[measured Na+ (mEq/L)] + glucose (mg/dL)/18. † Nitroprusside reaction method.
ADA. Diabetes Care. 2003;26:S109-S117.
95
Formulas for Estimating Serum Osmolality and Effective Osmolality
Osmolality 2 x [Na+ mEq/L]
+ [glucose mg/dL] / 18
Effective Osmolality 2 x [Na+ mEq/L]
+ [glucose mg/dL] / 18
+ [BUN mg/dL] / 2.8 = Sosm (mosm/Kg H2O)
AACE Inpatients Glycemic Control Resource Center96
= Sosm (mosm/Kg H2O)
15. Leptospirosis Infection through the mucosa or wounded skin
Proliferate in the bloodstream or extracellularly within organ
Disseminate hematogenously to all organs Multiplication can cause: • Hepatitis, jaundice, & hemorrhage in the liver • Uremia & bacteriuria in the kidney • Aseptic meningitis in CSF & conjunctival or scleral hemorrhage in the aqueous humor • Muscle tenderness in the muscles Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
15. Leptospirosis • Anicteric leptospirosis (90%), follows a biphasic course: – Initial phase (4–7 days): • sudden onset of fever, • severe general malaise, • muscular pain (esp calves), conjunctival congestion, • leptospires can be isolated from most tissues.
– Two days without fever follow. – Second phase (up to 30 days): • leptospires are still detectable in the urine. • Circulating antibodies emerge, meningeal inflammation, uveitis & rash develop.
– Therapy is given for 7 days: • Doxycycline 2x100 mg (DOC) • Amoxicillin 3x500 mg • Ampicillin 3x500 mg
• Icteric leptospirosis or Weil's disease (10%), monophasic course: – Prominent features are renal and liver malfunction, hemorrhage and impaired consciousness, – The combination of a direct bilirubin < 20 mg/dL, a marked in CK, & ALT & AST <200 units is suggestive of the diagnosis. – Hepatomegaly is found in 25% of cases.
– Therapy is given for 7 days : • Penicillin (1.5 million units IV or IM q6h) or • Ceftriaxone (1 g/d IV) or • Cefotaxime (1 g IV q6h)
16. KESEIMBANGAN ASAM BASA
102
ASIDOSIS DAN ALKALOSIS
Respiratory Acidosis
Respiratory Alkalosis
Metabolic Acidosis
Metabolic Alkalosis
PENYEBAB ASIDOSIS DAN ALKALOSIS
17. HIPERTIROIDISME
Kumar and Clark Clinical Medicine
Human Physiology. Guyton and Hall textbook of medical physiology.
Hipertiroid Primer & Sekunder
Human Physiology.
Diagnosis Banding Hipertiroidisme
Merupakan penyebab hipertiroid terbanyak setelah graves disease.
20. Radioactive Iodine
Tatalaksana Hipertiroidisme • Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism (2012), PTU adalah obat pilihan pada: – – – –
kehamilan trimester pertama, krisis tiroid, riwayat alergi atau intoleransi obat antitiroid & menolak terapi iodin radioaktif atau pembedahan.
• American Thyroid Association & American Association of Clinical Endocrinologists (2011): – methimazole should be used in virtually every patient who chooses antithyroid drug therapy for graves’ disease, EXCEPT during the first trimester of pregnancy when PTU is preferred, in the treatment of thyroid storm, and in patients with minor reactions to methimazole who refuse radioactive iodine therapy or surgery. The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism Hyperthyroidism Management Guidelines, Endocr Pract. 2011;17(No. 3) e3
Dosis Obat Anti Tiroid • PTU – Dosis awal PTU 100-200 mg, tiga kali/hari, lalu setelah tes fungsi tiroid normal dosis diturunkan ke dosis pemeliharaan 50 mg 2-3 kali/hari atau 1 kali/hari
• Methimazole – Dosis awal metimazol 10-20 mg/hari, setelah tes fungsi tiroid normal dosis diturunkan menjadi 5-10 mg/hari. – Waktu paruhnya panjang, dapat diberikan satu kali/hari & insidens efek samping lebih rendah
• Beta bloker – Propranolol, 10-40 mg tiap 4-6 jam, – Atenolol 25-50 mg/hari. The Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid Diseases. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism
Methimazole 1. Menurunkan ambilan & kadar iodine inorganik di kelenjar tiroid 2. Setelah dikonversi ke metimazol (bentuk aktif) mencegah enzim peroksidase melakukan dan iodinasi gugus tirosil tiroglobulin dan kopling iodotirosin menjadi T4/tiroksin & T3. Color atlas of pharmacology. 2nd ed. 2000. http://www.drugbank.ca/drugs/DB00389
https://www.medicines.org.uk/emc/medicine/26934
18. ABSES HEPAR AMOEBA • Riwayat disentri sebelumnya • Demam • Nyeri abdomen kanan atas, dapat menjalar ke bahu atau lengan kanan • Mual muntah • Hepatomegali • Ludwig sign (+): menekan sela iga ke-6 setentang linea axilaris anterior, terdapat nyeri tekan
Patofisiologi Abses Hepar Amoeba
TATALAKSANA ABSES HEPAR AMOEBA • Metronidazole 3x750 mg selama 10 hari • Pertimbangkan aspirasi abses bila: – Kavitas >5 cm – Abses hepar lobus kiri (mortalitas tinggi) – Tidak respons terhadap terapi selama 5-7 hari – Klinis sulit dibedakan dengan abses hepar piogenik
http://emedicine.medscape.com/article/183920-treatment#d9
19. RHEUMATOID ARTHRITIS Rheumatoid arthritis (RA) • Chronic inflammatory disease of unknown etiology marked by a symmetric, peripheral polyarthritis. • RA is a systemic disease extraarticular manifestations. • 10% of RA have secondary Sjögren's syndrome (keratoconjunctivitis sicca or xerostomia). • a score of 6: definite RA.
Boutonnoere deformity caused by flexion of the PIP joint with hyperextension of the DIP joint.
Swan neck deformity caused by Hyperextension of the PIP joint with flexion of the DIP joint .
Rheumatoid Arthritis Rheumatoid nodules & olecranon bursitis.
Ulnar deviation of the fingers with wasting of the small muscles of the hands and synovial swelling at the wrists, the extensor tendon sheaths, MCP & PIP.
• Synovial inflammation • Hyperplasia (“swelling”), • autoantibody production (rheumatoid factor and anti–citrullinated protein antibody [ACPA]), • cartilage and bone destruction (“deformity”), • Systemic features, including cardiovascular, pulmonary, psychological, and skeletal disorders.
McInnes IB, et al. N Engl J Med. 2011;365(23):2205-19
PATOFISIOLOGI RHEUMATOID ARTRITIS
http://www.nature.com/nrrheum/journal/vaop/ncurrent/fig_tab/nrrheum.2015.34_F1.html
Kelainan Tulang Pada RA
Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ciri
OA
RA
Gout
Spondilitis Ankilosa
Female>male, >50 tahun, obesitas
Female>male 40-70 tahun
Male>female, >30 thn, hiperurisemia
Male>female, dekade 2-3
gradual
gradual
akut
Variabel
Inflamasi
-
+
+
+
Patologi
Degenerasi
Pannus
Mikrotophi
Enthesitis
Poli
Poli
Mono-poli
Oligo/poli
Tipe Sendi
Kecil/besar
Kecil
Kecil-besar
Besar
Predileksi
Pinggul, lutut, punggung, 1st CMC, DIP, PIP
MCP, PIP, pergelangan tangan/kaki, kaki
MTP, kaki, pergelangan kaki & tangan
Sacroiliac Spine Perifer besar
Bouchard’s nodes Heberden’s nodes
Ulnar dev, Swan neck, Boutonniere
Kristal urat
En bloc spine enthesopathy
Osteofit
Osteopenia erosi
erosi
Erosi ankilosis
-
Nodul subkutan, pulmonari cardiac splenomegaly
Tophi, olecranon bursitis, batu ginjal
Uveitis, IBD, konjungtivitis, insuf aorta, psoriasis
Normal
RF +, anti CCP
Asam urat
Prevalens Awitan
Jumlah Sendi
Temuan Sendi Perubahan tulang Temuan Extraartikular Lab
20. PENDEKATAN DIAGNOSIS ANEMIA
https://online.epocrates.com/diseases/9321/Evaluation-of-anemia/Diagnostic-Approach
Pendekatan Diagnosis Anemia Berdasarkan Retikulosit
Wintrobe Clinical Hematology. 13 ed.
Anemia Mikrositik Hipokrom
Hoffbrand essential hematology.
Anemia MCV & MCH ↓ GDT Besi serum
Besi serum ↑ Besi sumsum tulang
Anemia sideroblastik
Besi serum N/↑
Besi serum ↓
Pemeriksaan Hb F/A2
Talasemia, Kelainan Hb
Kadar ferritin
Ferritin↓
Ferritin N/↑
Defisiensi besi
penyakit kronik
Anemia
Profil Besi
Harrison’s principles of internal medicine.
Faktor Risiko Anemia Defisiensi Besi
21. Atresia Duodenum
GIT Congenital Malformation Disorder
Clinical Presentation
Hirschprung
Congenital aganglionic megacolon (Auerbach's Plexus) Fails to pass meconium within 24-48 hours after birth,chronic constipation since birth, bowel obstruction with bilious vomiting, abdominal distention, poor feeding, and failure to thrive, Chronic Enterocolitis. RT:Explosive stools . Criterion standardfull-thickness rectal biopsy. Treatment remove the poorly functioning aganglionic bowel and create an anastomosis to the distal rectum with the healthy innervated bowel (with or without an initial diversion)
Anal Atresia
Anal opening (-), The anal opening in the wrong place,abdominal distention, failed to pass meconium,meconium excretion from the fistula (perineum, rectovagina, rectovesica, rectovestibuler). Low lesionthe colon remains close to the skin stenosis anus, or the rectum ending in a blind pouch. High lesionthe colon is higher up in the pelvis fistula
Hypertrophic Pyloric Stenosis
Hypertrophy and hyperplasia of the muscular layers of the pylorus functional gastric outlet obstruction Projectile vomiting, visible peristalsis, and a palpable pyloric tumor(Olive
Disorder
Clinical Presentation
Oesophagus Atresia
Congenitally interrupted esophagus Drools and has substantial mucus, with excessive oral secretions,. Bluish coloration to the skin (cyanosis) with attempted feedings Coughing, gagging, and choking, respiratory distressPoor feeding
Intestine Atresia
Malformation where there is a narrowing or absence of a portion of the intestine Abdominal distension (inflation), fails to pass stools, Bilious vomiting
http://en.wikipedia.org/wiki/
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth
Congenital Malformation
Atresia anii
Duodenal atresia
Intussusception
Hirschprung
http://emedicine.medscape.com/
Learningradiology.om
Duodenal atresia. Doble buble sign
Ileal atresia. Upright radiograph of the abdomen demonstrates many dilated loops of bowel and air-fluid levels
Jejunal atresia: The “triple bubble” sign on the erect plain abdominal radiograph.
Atresia Intestin Atresia Jejunum merupakan atresia tersering 1 per 2,000 live births Atresia terjadi karena adanya oklusi pembuluh darah sebagian atau seluruhnya yang memperdarahi usus, terjadi in utero Classification--Types I-IV Gejala Klinis: Muntah hijau Distensi Abdomen Tidak dapat mengeluarkan meconium (70%)
http://radiopaedia.org/articles/annular-pancreas
Annular pancreas
• Ventral bud fails to rotate normally, creating a ring of pancreas which encircles the duodenum • Rare: 1 in 20,000 births • Clinical presentation varies • Duodenal obstruction in neonate (vomiting) • Asymptomatic until adulthood: pancreatitis of annulus
• Abdominal X-ray: “double bubble” (stomach and dilated duodenum)difficult to distinguish from atresia duodenum • Radiologic exam: MRI/MRCP or CT scan – Pancreatic tissue is seen to completely or incompletely surround the 2nd part of duodenum
• Rx: surgery if symptomatic duodenal obstruction
Annular pancreas: pathology
Cross-section above: annular pancreas surrounding duodenum
https://www.med-ed.virginia.edu/courses/rad/peds/abd_webpages/abdominal15b.html
Hipertrofi Pilorik Stenosis
• Foto Polos Abdomen:
– Dapat ditemukan gambaran “single bubble” • Dilatasi dari gaster akibat udara usus yang tidak dapat melewati pilorus
– Gambaran “Caterpillar sign” • Terjadi akibat hiperparistaltik pada gaster
• Barium Meal: – Mushroom sign – String sign – Double tract sign
22. Hernia
Tipe Hernia
Definisi
Reponible
Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible
Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum
Inkarserata
Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong hernia
Strangulata
Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong hernia tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah, demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Test
Keterangan
Finger test
Untuk palpasi menggunakan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak dapat teraba isi dari kantong hernia, misalnya usus atau omentum (seperti karet). Dari skrotum maka jari telunjuk ke arah lateral dari tuberkulum pubicum, mengikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Dapat dicoba mendorong isi hernia dengan menonjolkan kulit skrotum melalui anulus eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau tidak. Pada keadaan normal jari tidak bisa masuk. Dalam hal hernia dapat direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus eksternus, pasien diminta mengedan. Bila hernia menyentuh ujung jari berarti hernia inguinalis lateralis, dan bila hernia menyentuh samping ujung jari berarti hernia inguinalis medialis.
Siemen test
Dilakukan dengan meletakkan 3 jari di tengah-tengah SIAS dengan tuberculum pubicum dan palpasi dilakukan di garis tengah, sedang untuk bagian medialis dilakukan dengan jari telunjuk melalui skrotum. Kemudian pasien diminta mengejan dan dilihat benjolan timbal di annulus inguinalis lateralis atau annulus inguinalis medialis dan annulus inguinalis femoralis.
Thumb test
Sama seperti siemen test, hanya saja yang diletakkan di annulus inguinalis lateralis, annulus inguinalis medialis, dan annulus inguinalis femoralis adalah ibu jari.
Valsava test
Pasien dapat diperiksa dalam posisi berdiri. Pada saat itu benjolan bisa saja sudah ada, atau dapat dicetuskan dengan meminta pasien batuk atau melakukan manuver valsava.
23. Trauma Buli • 86% trauma buli berkaitan dg trauma abdomen (KLL, jatuh dr ketinggian) • 90% berhubungan dg fraktur pelvis. • Sebaliknya hanya 9 – 16 % fraktur pelvis yg disertai ruptur buli. • 60% mrpk ruptur buli extraperitoneal, 30% intraperitoneal
MEKANISME CEDERA • Ruptur intraperitoneal terjadi akibat trauma pada abdomen bagian bawah atau jg trauma pelvis pada saat buli2 penuh. • Ruptur extraperitoneal lbh sering berkaitan dg fraktur pelvis
Tanda dan gejala • Hematuria – dapat merupakan gejala tunggal – 95% ruptur buli
• Nyeri perut bawah. • Kesulitan berkemih • Pruduksi urin menurun
Pemeriksaan radiologis • Cystography – Kontras > 300 cc – Foto pengosongan (drainase)
• CT scan cystography
Trauma buli • Kontusio buli – Cedera mukosa tanpa extravasasi urin
• Ruptur interstisial – Robekan sebagian dinding buli tanpa extravasasi
• Ruptur intraperitoneal – Tampak kontras mengisi rongga intraperitoneal
• Ruptur extraperitoneal – Kontras mengisi ruang perivesika dibawah garis asetabulum
• Hematoma perivesika : tear drop appearance
Sistogram Ruptur intraperitoneal
Ruptur Ekstraperitoneal
Penatalaksanaan • Pada luka tembus buli2 explorasi + repair • Ruptur intraperitoneal explorasi + repair • Pada trauma tumpul yg hanya menimbulkan trauma dinding buli yg tidak disertai extravasasi urin tidak memerlukan tindakan pembedahan.
Fraktur Penis • Definisi: fraktur satu atau dua corpus cavernosum penis dengan atau tanpa corpus spongiosum akibat trauma tumpul. • Gambaran klinis: deformitas pada penis (bengkok), dapat timbul hematom ataupun nyeri. • Diagnosis: pemeriksaan carvenosografi untuk melihat letak ruptur.
24. Spondilitis TB
25. Trauma Dada Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Hemotoraks
Laserasi pembuluh darah di kavum toraks
• Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok, takikardia, Frothy/ bloody sputum. • Suara napas menghilang pada tempat yang terkena, vena leher mendatar, perkusi dada pekak.
Simple pneumotoraks
Trauma tumpul spontan
• Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan udara bocor ke dalam rongga dada. • Nyeri dada, dispneu, takipneu. • Suara napas menurun/ menghilang, perkusi dada hipersonor
Open pneumotoraks
Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar area toraks masuk ke rongga pleura. • Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis. • Suara napas menurun/menghilang • Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi • Sucking chest wound
Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Tension pneumotoraks
Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah, di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea. (mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas menghilang, perkusi hipersonor.
Flail chest
Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas tulang iga, • Pernapasan paradoksal melibatkan minimal 3 tulang iga.
Efusi pleura
CHF, pneumonia, keganasan, TB paru, emboli paru
• Sesak, batuk, nyeri dada, yang disebabkan oleh iritasi pleura. • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun, pergerakan dinding dada tertinggal pada area yang terkena.
Pneumonia
Infeksi, inflamasi
• Demam, dispneu, batuk, ronki
http://emedicine.medscape.com/article/433779
FLAIL CHEST
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding dada yang bergerak secara independen
Flail chest: • Beberapa tulang iga • Beberapa garis fraktur pada satu tulang iga
The first rib is often fractured posteriorly (black arrows). If multiple rib fractures occur along the midlateral (red arrows) or anterior chest wall (blue arrows), a flail chest (dotted black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/
Treatment ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi Analgesik kuat intercostal blocks Hindari analgesik narkotik Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah meningkat Ventilasi tekanan positif Hindari barotrauma Chest tubes bila dibutuhkan Perbaiki posisi pasien Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena Aggressive pulmonary toilet Surgical fixation rarely needed Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade Gejala • Takipnea dan DOE, rest air hunger • Weakness • Presyncope • Dysphagia • Batu • Anorexia • (Chest pain)
Pemeriksaan Fisik • Takikardi • Hypotension shock • Elevated JVP with blunted y descent • Muffled heart sounds • Pulsus paradoxus – Bunyi jantung masih terdengar namun nadi radialis tidak teraba saat inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html
“Water bottle configuration" bayangan pembesaran jantung yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung: – Echocardiography – Pericardiocentesis • Dilakukan segera untuk diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis – Sering kali merupakan pilihan terbaik saat terdapat kecurigaan adanya tamponade jantung atau terdapat penyebab yang diketahui untuk timbulnya tamponade jantung
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
26. Nefrolithiasis
Nyeri Alih
27. Kista Ganglion • Degenerasi kistik jaringan periartikuler, kapsul sendi, atau pembungkus tendo • Tumor jaringan lunak tersering pada tangan dan Pergelangan Tangan 60 % • Prediposisi dorsal manus • Menempel pada Kapsul, tendon, atau tendon sheath • Wanita > Pria • 70% terjadi pada dekade 2 - 4 • Terbentuk tunggal dan pada tempat yang amat spesifik Informasisehat.files.wordpress.com/2010/05/ganglion-cyst
Tanda dan Gejala
Anatomi
• Ada Riwayat Trauma (10%) • Bisa muncul tiba-tiba atau berkembang dalam hitungan bulan/tahun • Mengecil dalam keadaan istirahat • Membesar dengan aktifitas • Kadangkala bisa menghilang secara spontan • Rekurensi sangat jarang (complete exicion) • > 50% eksisi tidak komplit • Biasanya tidak nyeri, kecuali ada penekanan pada saraf.
• Kista utama bisa tunggal atau multilokul • Tampak halus, putih, dan translusen
Penanganan Non-Operatif • Merupakan Metode terapi insial pada ganglion • Penekanan jari • Injeksi hialuronidase • Disseksi Tonotome subkutan • Fiksasi silang dengan jahitan besar • Pada pediatrik observasi
• Aspirasi Ganglion efektif pada 20-30% • Puncture dinding kista • Instillasi lidokain dan bethamethasone pada kapsul dan perlekatan tendon sheath • Yakinkan pasien bahwa ganglion adalah Tumor jinak • Ganglion simptomatik persisten Operasi
Penanganan Operatif • • • •
eksisi ganglion prosedur terbuka Minimalisasi pembentukan jaringan parut Minimalisasi hilangnya ROM Arthroscopic approach efektif, dengan resiko rekurensi lokal lebih tinggi
28. Peritonitis
• Peritonitis Sekunder – Bakteri, enzim, atau cairan empedu mencapai peritoneum dari suatu robekan yang berasal dari traltus bilier atau GIT • Peritonitis TB
– Robekan tersebut dapat disebabkan oleh” • • • • • •
Pankreatitis Perforasi appendiks Ulkus gaster Crohn’s disease Diverticulitis Komplikasi tifoid
Gambaran radiologis pada peritonitis: a) adanya kekaburan pada cavum abdomen b) preperitonial fat dan psoas line menghilang c) adanya udara bebas subdiafragma atau d) adanya udara bebas intra peritoneal
Pembahasan Soal • Jawaban A (Peritonitis generalisata): nyeri perut memberat ke seuluruh lapang abdomen disertai rigiditas dan BU menurun. • Jawaban B (Ulkus gaster): nyeri bersifat regional pada epigastrium. • Jawaban C (Abses hepar): biasanya tanpa gejala kecuali abses pecah dan menyebabkan peritonitis umum. • Jawaban D (Kolesistitis Akut): dapat menyebabkan peritonitis lokal di kuadran kanan atas. • Jawaban E (Appendisitis Akut): nyeri lokal pada kuadran kanan bawah.
29. Fraktur Terbuka • Dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit. • Terjadi kontaminasi bakteri komplikasi infeksi • Luka pada kulit : – Tusukan tulang tajam keluar menembus kulit (from within) – Dari luar misal oleh peluru atau trauma langsung (from without)
Tahap –Tahap Pengobatan Fraktur Terbuka 1. 2.
3. 4.
Pembersihan luka irigasi dengan NaCl fisiologis secara mekanis mengeluarkan benda asing yg melekat. Eksisi jaringan mati dan tersangka mati (debrideman) pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia otot dan fragmen tulang yg lepas. Pengobatan fraktur itu sendirifiksasi interna atau eksterna Penutupan kulit – Jika diobati dalam periode emas (6 – 7 jam) sebaiknya kulit ditutup – kulit tegang tidak dilakukan
5.
Pemberian antibakteri – Antibiotik diberikan sebelum, pada saat dan sesudah operasi
6.
Tetanus
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd Edition
Choice of fixation • several options to stabilize an open fracture – – – – – –
splinting, casting, and traction external fixation, plating, and intramedullary nailing
• No consensus of what method to use • Surgeons must make judgment of which method is appropriate
Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D. Handbook of Fractures, 3rd Edition
30. Fraktur Klavikula Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3 tengah klavikula) • Fraktur pada bagian tengah clavicula • Lokasi yang paling sering terjadi fraktur, paling banyak ditemui Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula Fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, yang dapat dibagi: – type 1: undisplaced jika ligament intak – type 2: displaced jika ligamen korakokiavikula ruptur. – type 3: fraktur yang mengenai sendi akromioklavikularis.
Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal clavicula. Fraktur yang paling jarang terjadi
Penatalaksanaan Konservatif • Undisplaced fraktur dan minimal displaced fraktur diterapi dengan menggunakan sling, yang dapat mengurangi nyeri. • Displaced fraktur fraktur dengan gangguan kosmetik diterapi dengan menggunakan commersial strap yang berbentuk angka 8, untuk menarik bahu sehingga dapat mempertahankan alignment dan fraktur.
Operatif Indikasi Operasi • Fraktur terbuka. • Fraktur dengan gangguan vaskularisasi • Fraktur dengan “scapulothorcic dissociation” (floating shoulder) • Fraktur dengan displaced glenoid neck fraktur.
• Surgical – Plate Fixation – Screw or Pin Fixation – Titanium elastic nails (usually inserted medial to lateral)
Komplikasi Komplikasi dini • Nyeri dan bengkak • Pneumotoraks/ hemotoraks • kerusakan pada pembuluh darah atau saraf ( jarang terjadi) Komplikasi lanjut • non-union : jarang terjadi dapat diterapi dengan fiksasi interna dan pencangkokan tulang yang aman. • mal-union : – meninggalkan suatu benjolan, yang biasanya hilang pada waktunya. – untuk memperoleh basil kosmetik yang baik dan cepat dapat menjalani terapi yang lebih drastis yaitu fraktur direduksi dibawah anastesi dan dipertahankan reduksinya dengan menggunakan gips yang mengelilingi dada ( wirass)
• •
• •
kekakuan bahu sering ditemukan, hanya sementara, akibat rasa takut untuk menggerakkan fraktur. Jari juga akan kaku dan membutuhkan waktu berbulanbulan untuk memperoleh kembali gerakan, kecuali kalau dilatih. Brachial plexopathy. Nyeri, penurunan ROM, atau penurunan sensai di lengan dan bahu akibat adanya gangguan neurologis pleksus brakialis. Dapat terjadi pada kasus fraktur klavikula malunion sehingga terjadi penekanan pada serabut saraf brakialis, namun sangat jarang terjadi. Osteoporosis Atrofi otot-otot gelang bahu akibat kerusakan kronis jaras saraf LMN
31. DVT
Virchow Triads: (1) venous stasis (2) activation of blood coagulation (3) vein damage
Crurales Vein is a common and incorrect terminology
Superficial vein systems
• Signs and symptoms of DVT include : – Pain in the leg – Tenderness in the calf (this is one of the most improtant signs ) – Leg tenderness – Swelling of the leg – Increased warmth of the leg – Redness in the leg – Bluish skin discoloration – Discomfort when the foot is pulled upward (Homan’s) http://www.medical-explorer.com/blood.php?022
American College of Emergency Physicians (ACEP)
Trombosis Vena Dalam •
•
Skoring Wells – Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan atau paliatif) (skor 1) – Paralisis, paresis, imobilisasi (skor 1) – Terbaring selama > 3 hari (skor 1) – Nyeri tekan terlokalisir sepanjang vena dalam (skor 1) – Seluruh kaki bengkak (skor 1) – Bengkak betis unilateral 3 cm lebih dari sisi asimtomatik (skor 1) – Pitting edema unilateral (skor 1) – Vena superfisial kolateral (skor 1) – Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT (skor -2) Interpretasi: – >3: risiko tinggi (75%) – 1-2: risiko sedang (17%) – < 0: risiko rendah (3%)
Sudoyo A dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. 2015
Patient with suspect symptomatic Acute lower extremity DVT
Venous duplex scan
negative
Low clinical probability
observe
High clinical probability
positive
negative
Evaluate coagulogram /thrombophilia/ malignancy
Repeat scan / Venography Anticoagulant therapy contraindication
IVC filter
yes
No
pregnancy OPD hospitalisation
LMWH LMWH UFH
+
warfarin
Compression treatment
Color duplex scan of DVT
Venogram shows DVT
Diagnosis
Etiologi
Tanda & Gejala
Deep vein thrombosis
Multipel
Nyeri dan edema tungkai, nyeri paha saat dorsofleksi kaki (Homans sign), phlegmasia cerule dolens, phlegmasia alba dolens
Penyakit berger
Merokok
Nyeri iskemik/ ulserasi tungkai distal, tromboplebitis superfisial, parestesia
Acute limb ischemia
Emboli/ aterosklerosis
Klaudikasio intermiten, pulsus defisit, bruit arteri femoral, CRT melambat, akral dingin, dan warna kulit abnormal
Chronic limb ischemia
Aterosklerosis
Nyeri saat istirahat, luka yang tidak kunjung sembuh, gangrene
Compartment syndrome
Luka bakar, fraktur
Pain, palor, pulselessness, paresthesia, dan paralisis. Nyeri merupakan gejala awal.
Chronic exertional compartment syndrome
Repetitive loading/ exertional activities
Terjadi pada atlet. Lebih sering mengenai tungkai bawah. Karakteristik: nyeri saat melakukan gerakan/ aktivitas, berkurang saat istirahat. Dapat disertai kelemahan dan paresthesia dari tungkai yang terlibat.
Insufisiensi Vena Kronik • Penyakit vena kronik atau chronic venous disease (CVD) • abnormalitas fungsi sistem vena akibat inkompetensi katup vena dengan atau tanpa disertai obstruksi aliran vena, yang mempengaruhi sistem vena superfisial, sistem vena profunda, atau keduanya.
• Bisa juga diartikan sebagai kondisi medis yang ditandai dengan nyeri dan pembengkakan pada tungkai akibat kerusakan pada katup vena dan gumpalan darah yang menyebabkan darah terakumulasi di dalam vena
Etiologi • Kerusakan pada katup dalam pembuluh darah • Pembentukan gumpalan darah di salah satu pembuluh darah dalam utama kaki • Sindrom post-flebitis yang terjadi akibat komplikasi DVT, suatu kondisi yang ditandai dengan terbentuknya gumpalan darah pada vena-vena dalam
Faktor Risiko • Keadaan yang meningkatkan resiko terkena insufisiensi vena kronis: • Perempuan > laki-laki • Perokok • Berdiri untuk waktu yang lama • Bertambah tua • Berusia lebih dari 50 tahun • Duduk untuk waktu yang lama • Pernah melakukan operasi besar pada kaki atau tungkai • Sedang hamil
Patofisiologi • Pada vena terdapat katup-katup yang mencegah aliran balik dari darah • Ketika katup-katup tersebut rusak, darah mulai mengalir ke belakang akibat gravitasi dan terakumulasi di dalam vena, terutama vena-vena tungkai • Kelebihan cairan merembes keluar dari pembuluh venapembengkakan tungkai – Kapiler-kapiler pada tungkai pecahpewarnaan coklat kemerahan pada kulit
• Timbul gejala seperti rasa gatal dan perubahan warna pada kulit tungkai • Fase lanjut terbentuk ulkus yang sukar disembuhkan
Gejala Klinik • • • • • •
Kulit bersisik pada tungkai dan kaki Kulit berwarna kecoklatan di dekat mata kaki Kulit yang terasa gatal Pembengkakan pada mata kaki Pembengkakan pada tungkai kaki Nyeri
Insufisiensi vena kronis • Atrophie blanche • a particular type of scar arising on the lower leg • It occurs after a skin injury when the blood supply is poor.
• Submalleolar Venous Flare • Incompetence in perforating vein valve which results in venous hypertension • Causes dilation of the venules • Venule sometimes forms tiny bleb that will rupture with +++bleeding
32. Torsio Testis
33. Initial Assessment Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ). Penilaian awal meliputi: 1. Persiapan 2. Triase 3. Primary survey (ABCDE) 4. Resusitasi 5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi 6. Secondary survey 7. Tambahan terhadap secondary survey 8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan 9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey A. Airway dengan kontrol servikal 1. Penilaian a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi) b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher 4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula. 5. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-lin immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi 1. Penilaian a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya. d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit) b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask c) Menghilangkan tension pneumothorax d) Menutup open pneumothorax e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan 1. Penilaian 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal Mengetahui sumber perdarahan internal Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan 1. 2. 3.
4. 5. 6.
Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah. Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA). Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat. Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa. Cegah hipotermia
3. Evaluasi
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
D. Disability 1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS 2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi 3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment 1.Buka pakaian penderita, periksa jejas 2.Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat. ATLS Coursed 9th Edition
34. Hemoroid
35. BPH BPH adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak diakibatkan sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun yang menyumbat saluran kemih.
NORMAL
TIDAK NORMAL
PREVALENSI Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti. Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH. Prevalensi BPH yang bergejala pada pria berusia 40-49 tahun mencapai hampir 15%, usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%.
ETIOLOGI Umur Pria berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%.
Faktor Hormonal Testosteron –> hormon pada pria. Beberapa penelitian menyebutkan karena adanya peningkatan kadar testosteron pada pria (namun belum dibuktikan secara ilmiah) .
Hipotesis penyebab timbulnya hiperplasia prostat
Teori dihidrotest osteron
Ketidaksei mbangan antara estrogentestosteron
Interaksi stromaepitel
Berkurangnya kematian sel prostat
Teori sel stem
PATOFISIOLOGI
Kelenjar Prostat terdiri dari atas 3 jaringan : • Epitel atau glandular, stromal atau otot polos, dan kapsul. • Jaringan stromal dan kapsul ditempeli dengan reseptor adrenergik α1.
Mekanisme patofisiologi penyebab BPH secara jelas belum diketahui dengan pasti. Namun diduga intaprostatik dihidrosteron (DHT) dan 5α- reduktase tipe II ikut terlibat.
BPH secara umum hasil dari faktor statik (pelebaran prostat secara berangsurangsur) dan faktor dinamik (pemaparan terhadap agen atau kondisi yang menyebabkan konstriksi otot polos kelenjar.)
TANDA DAN GEJALA
Sering kencing Sulit kencing Nyeri saat berkemih Urin berdarah Nyeri saat ejakulasi Cairan ejakulasi berdarah Gangguan ereksi Nyeri pinggul atau punggung
Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran konsistensi kenyal, pool atas tidak teraba pada pemeriksaan colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.
Manifestasi Klinis Dapat dibagi ke dalam dua kategori : Obstruktif : terjadi ketika faktor dinamik dan atau faktor statik mengurangi pengosongan kandung kemih.
Iritatif : hasil dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih.
Diagnosis of BPH • Symptom assessment – –
the International Prostate Symptom Score (IPSS) is recommended as it is used worldwide IPSS is based on a survey and questionnaire developed by the American Urological Association (AUA). It contains: • seven questions about the severity of symptoms; total score 0–7 (mild), 8–19 (moderate), 20–35 (severe) • eighth standalone question on QoL
• Digital rectal examination(DRE) –
inaccurate for size but can detect shape and consistency
• Prostat Volume determination- ultrasonography • Urodynamic analysis –
Qmax >15mL/second is usual in asymptomatic men from 25 to more than 60 years of age
• Measurement of prostate-specific antigen (PSA) – – – –
high correlation between PSA and Prostat Volume, specifically Trantitional Zone Volume men with larger prostates have higher PSA levels PSA is a predictor of disease progression and screening tool for CaP as PSA values tend to increase with increasing PV and increasing age, PSA may be used as a prognostic marker for BPH 1
Gambaran BNO IVP Pada BNO IVP dapat ditemukan: • Indentasi caudal buli-buli • Elevasi pada intraureter menghasilkan bentuk J-ureter (fish-hook appearance) • Divertikulasi dan trabekulasi vesika urinaria
“Fish Hook appearance”(di tandai dengan anak panah) Indentasi caudal buli-buli
Pada USG (TRUS, Transrectal Ultrasound) • Pembesaran kelenjar pada zona sentral • Nodul hipoechoid atau campuran echogenic • Kalsifikasi antara zona sentral • Volume prostat > 30 ml 8
CT Scan: • Tampak ukuran prostat membesar di atas ramus superior simfisis pubis.
Derajat BPH, Dibedakan menjadi 4 Stadium : Stadium 1 : Obstruktif tetapi kandung mengeluarkan urin sampai habis.
kemih
masih
Stadium 2 : masih tersisa urin 60-150 cc. Stadium 3 : setiap BAK urin tersisa kira-kira 150 cc.
Stadium 4 : retensi urin total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan urin menetes secara periodik.
Grade Pembesaran Prostat Rectal Grading Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : • Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum. • Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum. • Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum. • Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum. • Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
Kategori Keparahan Penyakit BPH Berdasarkan Gejala dan Tanda (WHO) Keparahan penyakit
Skor gejala AUA (Asosiasi Urologis Amerika)
Ringan
≤7
• Asimtomatik (tanpa gejala) • Kecepatan urinari puncak < 10 mL/s • Volume urine residual setelah pengosongan 25-50 mL • Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang
8-19
Semua tanda di atas ditambah obstruktif penghilangan gejala dan iritatif penghilangan gejala (tanda dari detrusor yang tidak stabil)
Parah
≥ 20
Semua hal di atas ditambah satu atau lebih komplikasi BPH
Gejala khas dan tanda-tanda
Terapi Farmakologi Jika gejala ringan maka pasien cukup dilakukan watchful waiting (perubahan gaya hidup). Jika gejala sedang maka pasien diberikan obat tunggal antagonis α adrenergik atau inhibitor 5αreductase. Jika keparahan berlanjut maka obat yang diberikan bisa dalam bentuk kombinasi keduanya. Jika gejala parah dan komplikasi BPH, dilakukan pembedahan.
Algoritma manajemen terapi BPH BPH
Menghilangkan gejala ringan
Menghilangkan gejala sedang
Menghilangkan gejala parah dan komplikasi BPH Operasi
Watchful waiting α-adrenergik antagonis atau 5-α Reductace inhibitor
Jika respon berlanjut
Jika respon tidak berlanjut, operasi
α-adrenergik antagonis dan 5-α Reductace inhibitor
Jika respon berlanjut
Jika respon tidak berlanjut, operasi
antagonis α adrenergik • Mekanisme kerja : memblok reseptor adrenergik α 1 sehingga mengurangi faktor dinamis pada BPH dan akhirnya berefek relaksasi pada otot polos prostat.
inhibitor 5α- reductase • Mekanisme kerja dari obat ini adalah mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon testosteron. • 5α-reduktase inhibitor digunakan jika pasien tidak dapat mentolerir efek samping dari alfa blocker.
Terapi Non Farmakologi Pembatasan Minuman Berkafein Tidak mengkonsumsi alkohol Pemantauan beberapa obat seperti diuretik, dekongestan, antihistamin, antidepresan Diet rendah lemak Meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran Latihan fisik secara teratur Tidak merokok
36. ASTIGMATISME - DEFINISI • Ketika cahaya yang masuk ke dalam mata secara paralel tiudak membentuk satu titik fokus di retina.
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/images//astig matism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg
ASTIGMATISME •
•
• • •
Kornea seharusnya berbentuk hampir sferis sempurna (bulat) pada astigmat kornea berbentuk seperti bola rugby. Bagian lengkung yang paling landai dan yang paling curam mengakibatkan cahaya direfraksikan secara berbeda dari kedua meridian mengakibatkan distorsi bayangan Kekuatan refraksi pada horizontal plane memproyeksikan gambar/ garis vertikal. Kekuatan refraksi pada vertical plane memproyeksikan gambar/ garis horizontal. The amount of astigmatism is equal to the difference in refracting power of the two principal meridians
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
KLASIFIKASI : ETIOLOGI • Astigmatisme korneal: When the cornea has unequal curvature on the anterior surface – 90% penyebab astigmatisme bisa dites dgn tes Placido (keratoscope) • Astigmatisme lentikular: When the crystalline lens has an unequal on the surface or in its layers • Astigmatigma total: The sum of corneal astigmatism and lenticular astigmatism Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
PLACIDO
Astigmatisme korneal akibat trauma pada kornea. Perhatikan iregularitas bayangan placido http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornhautabrasion/
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN
ASTIGMATISME REGULER • Kedua bidang meridian utamanya saling tegak lurus. (meredian di mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata). • Cth: – jika daya bias terkuat berada pada meredian 90°, maka daya bias terlemahnya berada pada meredian 180° – Jika daya bias terkuat berada pada meredian 45°, maka daya bias terlemah berada pada meredian 135°.
• Kebanyakan kasus astigmatisme adalah astigmatisme reguler • 3 tipe: – are with-the-rule – against-the-rule – oblique astigmatism
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN ASTIGMATISME IREGULER • When the two principal meridians are not perpendicular to each other • Curvature of any one meridian is not uniform • Associated with trauma, disease, or degeneration • VA is often not correctable to 20/20
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA • SIMPLE ASTIGMATISM – When one of the principal meridians is focused on the retina and the other is not focused on the retina (with accommodation relaxed) – Terdiri dari • astigmatisme miopikus simpleks • astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM – When both principal meridians are focused either in front or behind the retina (with accommodation relaxed) – Terdiri dari • astigmatisme miopikus kompositus • astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM – When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed)
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 1. Simple Myopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada tepat pada retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 2. Simple Hyperopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused behind the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di belakang retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA
3. Compound Myopic Astigmatism • When both principal meridians are focused in front of the retina (with accommodation relaxed)
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 4. Compound Hyperopic Astigmatism
• When both principal meridians are focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 5. MIXED ASTIGMATISM
• When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES
SYMMETRICAL ASTIGMATISM
• The principal meridians or axes of the two eyes are symmetrical (e.g., both eyes are WTR or ATR) • Ciri yang mudah dikenali adalah axis cylindris mata kanan dan kiri yang bila dijumlahkan akan bernilai 180° (toleransi sampai 1015°).
• Example – OD: pl -1.00 x 175 – OS: pl -1.00 x 005 • Both eyes are WTR astigmatism, and the sum of the two axes equal approximately 180
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES
ASYMMETRICAL ASTIGMATISM
• The principal meridians or axes of the two eyes are not symmetrical (e.g., one eye is WTR while the other eye is ATR) • The sum of the two axes of the two eyes does not equal approximately 180
• Example: – OD: pl -1.00 x 180 – OS: pl -1.00 x 090 – One eye is WTR astigmatism, and the other eye is ATR astigmatism, and the sum of the two axes do not equal approximately 180
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
Toric/Spherocylinder lens pada koreksi Astigmatisme
They have a different focal power in different meridians. http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg
TIPS & TRIK • Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberikan rumus astigmatnya sbb 1. sferis (-) silinder (-) pasti miop kompositus 2. Sferis (+); silinder (+) pasti hipermetrop kompositus 3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks 4. Sferis (tidak ada); silinder (+) pasti hipermetrop simpleks • Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb: 1. Sferis (-) silinder (+) 2. Sferis (+) silinder (-) BELUM TENTU astigmatisme mikstus!! Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)
• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah
SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z • Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada, nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi C (silinder) ± .… x …..° atau menjadi pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI • Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau plus • Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama. Cara transposisi: • To convert plus cyl to minus cyl: – Add the cylinder power to the sphere power – Change the sign of the cyl from + to – – Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is greater than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl: – add the cylinder power to the sphere – Change the sign of the cylinder to from - to + – Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90
• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder notation)
KETIGA, CARA MEMBACA • OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900 artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D • OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-6,00 C+1,00 X 1800 artinya kekuatan lensa pada 180 adalah -6,00 D
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens&cataract.pdf E-mail:
[email protected]
37. Cataract • Any opacity of the lens or loss of transparency of the lens that causes diminution or impairment of vision • Classification : based on etiological, morphological, stage of maturity • Etiological classification : Senile Traumatic (penetrating, concussion, infrared irradiation, electrocution) Metabolic (diabetes, hypoglicemia, galactosemia, galactokinase deficiency, hypocalcemia) Toxic (corticosteroids, chlorpromazine, miotics, gold, amiodarone) Complicated (anterior uveitis, hereditary retinal and vitreoretinal disorder, high myopia, intraocular neoplasia Maternal infections (rubella, toxoplasmosis, CMV) Maternal drug ingestion (thalidomide, corticosteroids) Presenile cataract (myotonic dystrophy, atopic dermatitis) Syndromes with cataract (down’s syndrome, werner’s syndrome, lowe’s syndrome) Hereditary Secondary cataract
• Morphological classification : Capsular Subcapsular Nuclear Cortical Lamellar Sutural • Chronological classification: Congenital (since birth) Infantile ( first year of life) Juvenile (1-13years) Presenile (13-35 years) Senile
• Sign & symptoms: – Near-sightedness (myopia shift) Early in the development of age-related cataract, the power of the lens may be increased – Reduce the perception of blue colorsgradual yellowing and opacification of the lens – Gradual vision loss – Almost always one eye is affected earlier than the other – Shadow test +
Klasifikasi morfologi katarak
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Oxford American Handbook of Ophthalmology 2011
Ilmu Penyakit Mata Ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
KATARAK-SENILIS •
• •
Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun Epidemiologi : 90% dari semua jenis katarak Etiologi :belum diketahui secara pasti multifaktorial: Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat mempunyai efek buruk terhadap serabu-serabut lensa. Faktor imunologik Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi, gangguan permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari. Gangguan metabolisme umum
•
• • •
4 stadium: insipien, imatur (In some patients, at this stage, lens may become swollen due to continued hydration ‘intumescent cataract’), matur, hipermatur Gejala : distorsi penglihatan, penglihatan kabur/seperti berkabut/berasap, mata tenang Penyulit : Glaukoma, uveitis Tatalaksana : operasi (ICCE/ECCE)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan Lokasi Katarak nuklear • •
•
•
kekeruhan terutama pada nukleus dibagian sentral lensa. Terjadi akibat sklerosis nuklear; nukleus cenderung menjadi gelap dan keras (sklerosis), berubah dari jernih menjadi kuning sampai coklat. Biasanya mulai timbul sekitar usia 6070 tahun dan progresivitasnya lambat. Pengerasan yang progresif dari nukleus lensa peningkatan indeks refraksi lensa terjadi perpindahan miopik (myopic shift), dikenal sbg miopia lentikularis.
•
•
• •
Akibat myiopic shift,individu dengan presbiopia dapat membaca tanpa kacamata (disebut penglihatan kedua/second sight). Menyebabkan gangguan yang lebih besar pada penglihatan jauh daripada penglihatan dekat Bisa terjadi pada pasien diabetes melitus dan miopia tinggi Bisa timbul diplopia monokular (akbibat perubahan mendadak indeks refraksi antara korteks dan nuklear) dan gangguan diskriminasi warna (terutama biru dan ungu, akibat kuningnya lensa)
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan Lokasi Katarak kortikal •
• • •
•
Kekeruhan pada korteks lensa ( bisa di daerah anterior, posterior dan equatorial korteks) Muncul pada usia 40-60 tahun dan progresivitasnya lambat. Terdapat wedge-shape opacities/cortical spokes atau gambaran seperti ruji. Efeknya terhadap fungsi penglihatan bervariasi, tergantung dari jarak kekeruhan terhadap aksial penglihatan Katarak kortikal umumnya tidak memberi gejala sampai tingkat progresifitas lanjut ketika jari-jari korteks membahayakan axis penglihatan (penglihatan dirasakan lebih baik pada cahaya terang ketika pupil miosis.)
• Gejala katarak kortikal adalah fotofobia dari sumber cahaya fokal yang terus-menerus dan diplopia monokular • Kekeruhan dimulai dari celah dan vakoula antara serabut lensa oleh karena hidrasi oleh korteks. • Disebabkan oleh berkurangnya protein total, asam amnio, dan kalium yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi natrium dan hidrasi lensa, diikuti oleh koagulasi protein.
Klasifikasi Katarak Senilis Berdasarkan Lokasi Katarak subkapsular posterior (katarak cupuliformis) •
• •
•
•
•
Terdapat pada korteks di dekat kapsul posterior bagian sentral dan biasanya di aksial. Biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60 tahun dan progresivitasnya cepat. Sejak awal, menimbulkan gangguan penglihatan karena adanya keterlibatan sumbu penglihatan. Gejala yang timbul adalah fotofobia dan penurunan visus dibawah kondisi cahaya terang, akomodasi, atau miotikum. Penglihatan dirasakan lebih baik ketika pupil midriasis pada malam hari dengan cahaya yang suram (day blindness) Ketajaman penglihatan dekat menjadi lebih berkurang daripada penglihatan jauh.
• Kadang mengalami diplopia monokular. • Sering terlihat pada pasien yang lebih muda dibandingkan dengan pasien katarak nuklear / kortikal. • Sering ditemukan pada pasien DM, miopia tinggi dan retinitis pigmentosa, akibat trauma, penggunaan kortikosteroid sistemik atau topikal, inflamasi, dan paparan radiasi ion.
BEDAH KATARAK Lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau ekstrakapsular: •Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) : Mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsulnya Tidak boleh dilakukan pada pasien usia <40thn, yang masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular
•Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK): Dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dapat keluar melalui robekan tersebut Dilakukan pada pasien muda, dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intraokuler posterior, perencanaan implastasi sekunder lensa intraokuler, kemungkinan akan dilakukan bedah glaukoma, mata dengan predisposisi terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya pasien mengalami ablasio retina, mata dengan makular edema, pasca bedah ablasi.
•Fakofragmentasi dan Fakoemulsifikasi : teknik ekstrakapsular menggunakan getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi lumbus yang kecil Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata
38. GLAUKOMA KONGENITAL • 0,01% diantara 250.000 penderita glaukoma • 2/3 kasus pada Laki-laki dan 2/3 kasus terjadi bilateral • 50% manifestasi sejak lahir; 70% terdiagnosis dlm 6 bln pertama; 80% terdiagnosis dalam 1 tahun pertama • Klasifikasi menurut Schele: – Glaukoma infantum: tampak waktu lahir/ pd usia 1-3 thn – Glaukoma juvenilis: terjadi pada anak yang lebih besar Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
• Klasifikasi lainnya: – Glaukoma kongenital primer anomali perkembangan yang mempengaruhi trabecular meshwork. – Glaukoma kongenital sekunder: kelainan kongenital mata dan sistemik lainnya, kelainan sekunder akibat trauma, inflamasi, dan tumor.
Etiologi •
Barkan suggested incomplete resorption of mesodermal tissue led to formation of a membrane across the anterior chamber angle Barkan's membrane.
•
– The existence of such a membrane has not been proved by light or electron microscopy.
•
Maumenee & Anderson demonstrated abnormal anterior insertion (high insertion) of ciliary muscle over the scleral spur in eyes with infantile glaucoma. – Longitudinal and circular fibers of the ciliary muscles inserted directly onto the trabecular meshwork rather than the scleral spur and root of the iris inserts directly to trabecular meshwork. – due to a development arrest in the normal migration of anterior uvea across the meshwork in the third trimester of gestation.
•
Primary congenital glaucoma appears to result from developmental anomaly of the anterior segment structures derived from the embryonic neural crest cells causing outflow obstruction to aqueous by several mechanisms. Developmental arrest may result in anterior insertion of iris, direct insertion of the ciliary body onto the trabecular meshwork and poor structural development of the scleral spur.
R Krishnadas, R Ramakrishnan. Congenital Glaucoma-A Brief Review. Journal of Current Glaucoma Practice
Patogenesis Abnormalitas anatomi trabeluar meshwork penumpukan cairan aqueous humor peninggian tekanan intraokuler bisa terkompensasi krn jaringan mata anak masih lembek sehingga seluruh mata membesar (panjang bisa 32 mm, kornea bisa 16 mm buftalmos & megalokornea) kornea menipis sehingga kurvatura kornea berkurang Ketika mata tidak dapat lagi meregang bisa terjadi penggaungan dan atrofi papil saraf optik
Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
Gejala & Diagnosis • Tanda dini: fotofobia, epifora, dan blefarospasme • Terjadi pengeruhan kornea • Penambahan diameter kornea (megalokornea; diameter ≥ 13 mm) • Penambahan diameter bola mata (buphtalmos/ ox eye) • Peningkatan tekanan intraokuler
Buku ilmu penyakit mata Nana Wijaya & Oftalmologi umum Vaugahn & Asbury
• Diagnosis glaukoma kongenital tahap lanjut dengan mendapati: – Megalokornea – Robekan membran descement – Pengeruhan difus kornea
Megalocornea
Glaukoma kongenital, perhatikan adanya pengeruhan kornea dan buftalmos http://www.pediatricsconsultant360.com/content/buphthalmos
http://emedicine.medscape.com/article/1196299-overview
Penatalaksanaan • Penatalaksanaan Congenital glaucoma dititik beratkan pada pembedahan yang harus dilakukan sesegera mungkin. • Goniotomy dan trabeculotomy merupakan pilihan utama pembedahan yang dapat dilakukan pada kasus ini keduanya aman, dan komplikasi sangat rendah • Pembedahan lebih dipilih dibanding terapi medikamentosa karena masalah compliance, kurangnya informasi mengenai efek obat terhadap tubuh anak serta respon terapi yang buruk. • Trabeculoectomy : membuat fistula pada daerah limbus yang menghubungkan kamera okuli anterior dan ruangan subkonjungtiva; menembus trabecular meshwork, canal schlem dan duktus koletikus – Trabeculectomy merupakan pilihan bila goniotomies atau trabeculotomies gagal
• Glaucoma drainage implants, juga dapat menjadi pilihan terapi
Goniotomy • Goniotomi (memotong jaringan yg menutup trabekula atau memotong iris yg berinsersi pada trabekula) • Sangat aman bila dilakukan oleh ahli • Goniotomy dilakukan bila transparansi kornea baik dan sudut bilik mata depan dapat divisualisasi dengan baik
Trabeculotomy • Trabeculotomy adalah pembedahan untuk membuka sinus venosus sklera (canal schlem) mengalirkan aqueous humor • Trabeculotomy dilakukan bila kekeruhan kornea menghambat visualisasi sudut bilik mata depan • Faktor yang menurunkan angka keberhasilan trabeculotomy adalah glaukoma kongenital yang disertai dengan kelainan okular lainnya (Peters, Sturge-Weber, Aniridia, etc.) serta diamter kornea > 14 mm.
Glaukoma kongenital
Trabeculotomy
Trabeculotomy+trabeculectomy
39. UVEITIS •Uveitis : –inflamasi di uvea yaitu iris, badan siliar dan koroid yang dapat menimbulkan kebutaan. –Di negara maju, 10% kebutaan pada populasi usia produktif adalah akibat uveitis
Klasifikasi • The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN) membagi uveitis berdasarkan anatomi, etiologi, dan perjalanan penyakit • Anatomi : – uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis
• Etiologi: – infeksi (bakteri, virus, jamur, dan parasit), non-infeksi, dan idiopatik.
• Perjalanan penyakit – Akut (onset mendadak dan durasi kurang dari empat minggu), – Rekuren (episode uveitis berulang), – Kronik (uveitis persisten atau kambuh sebelum tiga bulan setelah pengobatan dihentikan), dan – Remisi (tidak ada gejala uveitis selama tiga bulan atau lebih)
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis anterior • Inflamasi di iris (iritis) dan badan siliar (siklitis). Bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka disebut iridosiklitis • Etiologi : – kelainan sistemik seperti spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, kolitis ulseratif, penyakit chron, penyakit whipple, tubulointerstitial nephritis and uveitis – Infeksi yang sering menyebabkan uveitis anterior adalah virus herpes simpleks (VHS), virus varisela zoster (VVZ), tuberkulosis, dan sifilis. Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Diagnosis Uveitis Anterior • Gejala Klinis : – mata merah – visus turun akibat kekeruhan cairan akuos dan edema kornea walaupun uveitis tidak selalu menyebabkan edema kornea – Nyeri tumpul berdenyut, dan fotofobia akibat spasme otot siliar dan sfingter pupil – Jika disertai nyeri hebat, perlu dicurigai peningkatan tekanan bola mata. – Spasme sfingter pupil mengakibatkan miosis dan memicu sinekia posterior.
• Tanda – injeksi siliar akibat vasodilatasi arteri siliaris posterior longus dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta badan siliar. – Bilik mata depan : pelepasan sel radang, pengeluaran protein (cells and flare) dan endapan sel radang di endotel kornea (presipitat keratik). – Presipitat keratik halus inflamasi nongranulomatosa; – Presipitat keratik kasar inflamasi granulomatosa
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis Intermediet • Peradangan di pars plana yang sering diikuti vitritis dan uveitis posterior. • Penyakit tersebut biasanya terjadi pada usia dekade ketiga-keempat dan 20% terjadi pada anak. • Etiologi: – Idiopatik (69,1%), sarkoidosis (22,2%), multiple sclerosis (7,4%), dan lyme disease (0,6%). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis, Toxoplasma, Candida, dan sifilis.
• Gejala : – Gejala biasanya ringan yaitu penurunan tajam penglihatan tanpa disertai nyeri dan mata merah, namun jika terjadi edema makula dan agregasi sel di vitreus penurunan tajam penglihatan dapat lebih buruk. – Pars planitis berupa bercak putih akibat agregasi sel inflamasi dan jaringan fibrovaskular (snowbank) yang menunjukkan inflamasi berat dan memerlukan terapi agresif. – Komplikasinya adalah edema makula (12-51%), glaukoma (20%), dan katarak (15-50%)
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Uveitis Posterior • Peradangan lapisan koroid yang sering melibatkan jaringan sekitar seperti vitreus, retina, dan nervus optik. • Etiologi: – Infeksi paling sering disebabkan oleh T.gondii, M.tuberculosis, sifilis, VHS, VVZ, cytomegalovirus (CMV), dan HIV. – Non-infeksi, uveitis posterior disebabkan oleh koroiditis multifokal, birdshot choroidopathy, sarkoidosis, dan neoplasma
• Gejala klinis : – Penglihatan kabur yang tidak disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia. – Komplikasi dapat berupa katarak, glaukoma, kekeruhan vitreus, edema makula, kelainan pembuluh darah retina, parut retina, ablasio retinae, dan atrofi nervus optik. – Prognosis uveitis posterior lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena menurunkan tajam penglihatan dan kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan baik.
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Panuveitis • Peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti retina dan vitreus. • Etiologi: – Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom VKH, oftalmia simpatika, penyakit behcet, dan sarkoidosis. – Diagnosis panuveitis ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
No.
Jenis Pemeriksaan Penunjang pada Uveitis
Keterangan
1
Slit lamp
menilai segmen anterior injeksi siliar dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan jumlah sel di bilik mata, hipopion serta kekeruhan lensa
2
Oftalmoskop
menilai kelainan di segmen posterior seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis dan kelainan papil nervus optik
3
Pemeriksaan laboratorium
bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer lengkap, laju endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody
4
Optical coherence tomography (OCT)
merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperlihatkan edema makula, membran epiretina, dan sindrom traksi vitreomakula
5
USG B –scan
sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada keadaan media keruh misalnya pada katarak dan vitritis
6
Fundus fluoresen angiografi (FFA)
fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa) intravena. FFA memberikan informasi mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan koroid, detail epitel pigmen retina dan sirkulasi retina serta menilai integritas pembuluh darah saat fluoresen bersirkulasi di koroid dan retina.
Penatalaksanaan Uveitis • Prinsip penatalaksanaan uveitis 1. Menekan reaksi inflamasi •
• • •
Kortikosteroid topikal merupakan terapi pilihan untuk mengurangi inflamasi : 1).prednisolon 0,5%,; 2). prednisolon asetat 1%; 3). betametason 1% ; 4). deksametason 0,1%, dan 5). fluorometolon 0,1%. Injeksi kortikosteroid periokular diberikan pada kasus yang membutuhkan depo steroid dan menghindari efek samping kortikosteroid jangka panjang. Kortikosteroid sistemik diberikan untuk mengatasi uveitis berat atau uveitis bilateral Imunosupresan dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada penyakit behcet, granulomatosis wegener, dan skleritis nekrotik karena penyakit tersebut dapat mengancam jiwa. Imunosupresan dibagi menjadi golongan antimetabolit, supresor sel T, dan sitotoksik.
2. Mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur, Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
3. Memperbaiki fungsi penglihatan • Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki penglihatan. • Operasi dilakukan pada kasus uveitis yang telah tenang (teratasi) tetapi mengalami perubahan permanen akibat komplikasi seperti katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio retina. • Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi dan steroid intraokular atau periokular dapat diberikan pasca-operasi • Vitrektomi ditujukan untuk memperbaiki tajam penglihatan bila kekeruhan menetap setelah pengobatan. 4. Menghilangkan nyeri dan fotofobia. •
NSAID digunakan untuk mengurangi nyeri dan inflamasi sedangkan siklopegik diberikan untuk mencegah sinekia posterior. • Obat yang diberikan adalah siklopentolat 0,5-2% dan homatropin
Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah Kebutaan. Jurnal universitas Indonesia. Vol. 4, No. 1, April 2016
Anterior Uveitis – Clinical Pearls • Four major complications exist – – – –
Cataract Secondary glaucoma Band keratopathy Cystoid macular oedema
• Easy to spot acute by signs & symptoms • Check patients with associated systemic conditions for chronic condition, which may be asymptomatic • Acute condition is most commonly caused by blunt trauma. Recurrence in such cases is rare • Any three recurrent acute episodes, with no other explanations, indicates a systemic cause
40. RETINOPATI DIABETIK ANAMNESIS MATA MERAH VISUS NORMAL
MATA MERAH VISUS TURUN
• struktur yang bervaskuler sklera konjungtiva • tidak menghalangi media refraksi • Konjungtivitis murni • Trakoma • mata kering, xeroftalmia • Pterigium • Pinguekula • Episkleritis • skleritis
mengenai media refraksi (kornea, uvea, atau seluruh mata) • • • • • • •
Keratitis Keratokonjungtivitis Ulkus Kornea Uveitis glaukoma akut Endoftalmitis panoftalmitis
MATA TENANG VISUS TURUN MENDADAK • • • • • •
uveitis posterior perdarahan vitreous Ablasio retina oklusi arteri atau vena retinal neuritis optik neuropati optik akut karena obat (misalnya etambutol), migrain, tumor otak
MATA TENANG VISUS TURUN PERLAHAN • Katarak • Glaukoma • retinopati penyakit sistemik • retinitis pigmentosa • kelainan refraksi
RETINOPATI DIABETIK DM ophthalmic complications :
• • • • • •
Corneal abnormalities Glaucoma Iris neovascularization Cataracts Neuropathies Diabetic retinopathy → most common and potentially most blinding
• Diabetic Retinopathy : Retinopathy (damage to the retina) caused by complications of diabetes, which can eventually lead to blindness. • It is an ocular manifestation of systemic disease which affects up to 80% of all patients who have had diabetes for 10 years or more.
RETINOPATI DIABETIK • Riwayat DM yang lama, biasa > 20 tahun • Mata tenang visus turun perlahan • Pemeriksaan Oftalmoskop – Mikroaneurisma (penonjolan dinding kapiler) – Perdarahan dalam bentuk titik, garis, bercak yang letaknya dekat dengan mikroaneurisma di polus posterior (dot blot hemorrhage) – Dilatasi vena yang lumennya ireguler dan berkelok – Hard exudate (infiltrasi lipid ke dalam retina akibat dari peningkatan permeabiitas kapiler), warna kekuningan – Soft exudate (cotton wall patches) adalah iskemia retina tampak sebagai bercak kuning bersifat difus dan warna putih – Neovaskularisasi – Edema retina
Klasifikasi Retinopati Diabetik
Nonproliferative Diabetic Retinopathy • Retinal vascular related abnormalities such as microaneurysms, intraretinal hemorrhages, venous dilatation, and cotton wool spot • Increased retinal vascular permeability result in retinal thickening (edema) and lipid deposits (hard exudate) • Severe NPDR : – Venous abnormalities (dilatation, beading and loops), more severe and extensive vascular leackage (increased retinal hemorrhage and exudation) – This patient should be considered candidates for treatment with panretinal photocoagulation American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014
Dot blot hemorrhage
Flame-shaped hemorrhage
Microaneurysm / dot blot hemorrhage
Proliferative Diabetic retinopathy • Neovascularization at the inner surface of retina induced by more global retinal ischemia. • Neovaskularisasi near the optic disc and elsewhere are prone to bleed vitreous hemorrhage • Neovaskularisasi undergo fibrosis and contraction epiretinal membrane formation, vitroretinal traction band, retinal tears and traction or rhegmatogenosa ablasio retina American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014
Proliferative diabetic retinopathy
Neovascularization
• Clinically significant macular edema (CSME) describe retinal thickening and/or adjacent hard exudates that etiher involve the center of macula or threaten to invole it – Center involving – Non center involving
American Academy of Ophtalmology. Diabetic retinopathy. 2014
Macular edema
Anti-VEGF injection • Initial treatment choice for center involving macular edema with possible subsequent or deffered focal treatment. • The Diabetec Retinopathy Clinical Research Network also showed that anti-VEGF with either prompt or deffered laser photocoagulation was better than either laser alone or laser combined with triamcinolone acetonide. • AntiVEGF theraphy using bevacizumab, ranibizumab, or ablifibercept is an effective treatment for center involving significant macular edema
N EU R OLOGI
41. Neuralgia Trigeminal
42. EPIDURAL HEMATOM Pengumpulan darah diantara tengkorak dg duramater. Biasanya berasal dari arteri yg pecah oleh karena ada fraktur atau robekan langsung. • Gejala (trias klasik) : 1. Interval lusid. 2. Hemiparesis/plegia. 3. Pupil anisokor. Diagnosis akurat dg CT scan kepala : perdarahan bikonveks atau lentikulerdi daerah epidural. •
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
EPIDURAL HEMATOM Epidural
HEMATOM EPIDURAL
HEMATOM SUBDURAL
• Lucid interval • Kesadaran makin menurun • Late hemiparesis kontralateral lesi • Pupil anisokor • Babinsky (+) kontralateral lesi • Fraktur daerah temporal * akibat pecah a. meningea media
• SDH akut : kurang dari 72 jam • SDH subakut : 3-21 hr pasca trauma. • SDH khronis : > 21 hari. • Gejala: sakit kepala disertai /tidak disertai penurunan kesadaran * akibat robekan bridging vein
HEMATOM SUBARAKHNOID • Kaku kuduk • Nyeri kepala • Bisa didapati gangguan kesadaran • Akibat pecah aneurisme berry
43. Meningitis TB • Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. • Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). • Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.
Patologi •
•
•
•
•
Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB.
Gejala klinis meningitis TB dibagi 3 stadium: Stadium I : Stadium awal (2-3 minggu) • Gejala prodromal non spesifik : apatis, iritabilitas, nyeri kepala, malaise, demam, anoreksia Stadium II : Intermediate (transisi 1-3 minggu) • Gejala menjadi lebih jelas: mengantuk, kejang • Defisit neurologik fokal : hemiparesis, paresis saraf kranial(terutama N.III dan N.VII, gerakan involunter • Hidrosefalus, papil edema Stadium III : Advanced (± 3 minggu setelah gejala awal) • Penurunan kesadaran • Disfungsi batang otak, dekortikasi, deserebrasi
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :8 1. Anamnese: ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan penderita TB 2. Lumbal pungsi: • Gambaran LCS pada meningitis TB : Warna jernih / xantokrom, jumlah Sel meningkat MN > PMN, Limfositer, protein meningkat, glukosa menurun <50 % kadar glukosa darah. • Pemeriksaan tambahan lainnya : Tes Tuberkulin, Ziehl-Neelsen ( ZN ), PCR 3. Rontgen thorax: TB apex paru, TB milier 4. CT scan otak • Penyengatan kontras ( enhancement ) di sisterna basalis • Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced • Komplikasi : hidrosefalus 5. MRI Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari penderita
• Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH • Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit neurologist fokal • Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
CSF Finding in Meningitis
Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
44. Migrain
Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
• Migren: nyeri kepala primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi • Penyebab Idiopatik (belum diketahui hingga saat ini) : • Gangguan neurobiologis • Perubahan sensitivitas sistem saraf • Avikasi sistem trigeminalvaskular • Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1.
Faktor Predisposisi • Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/ perubahan hormonal. • Puasa dan terlambat makan • Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buahbuahan. • Cahaya kilat atau berkelip • Banyak tidur atau kurang tidur • Faktor herediter • Faktor kepribadian
Kriteria Diagnosis Migrain
Alur Tatalaksana Migrain Akut
Gilmore B, Michael B. Treatment of Acute Migrain. AAFP Volume 83, Number 3 . 2011
Penatalaksanaan Migrain • Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan. • Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin Pengobatan Abortif : 1. Analgesik spesifik analgesik khusus untuk nyeri kepala. – – –
Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat atau respon buruk dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, Dihydroergotamin, dan golongan Triptan (agonis selektif reseptor serotonin / 5-HT1) Ergotamin dan DHE migren sedang sampai berat apabila analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler serta gagal ginjal.
IDI. Panduan praktik klinis bagia dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ed I.2013
2. Analgesik non-spesifik Yakni: analgesik yang dapat digunakan pada nyeri selain nyeri kepala Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang dalam 2 jam) • Aspirin 600-900 mg + metoclopramide • Asetaminofen 1000 mg • Ibuprofen 200-400 mg Terapi Profilaksis (The U.S. Headache Consortium’s) • Diberikan pada orang yang memiliki KI atau intoleransi terhadap terapiabortif • Nyeri kepala muncul lebih dari 2 hari/minggu • Nyeri kepala yang berat dan mempengaruhi kualitas hidup (walau telah diberi terapi abortif) • Gejala migrain jarang including hemiplegic migraine, basilar migraine, migraine with prolonged aura, or migrainous infarction • Terapi preventif jangka pendek pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual. • Terapi preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respon pasien.
Terapi Profilaksis
Pembahasan Soal • Jawaban C (migrain tanpa aura) dipilih karena gejala sakit kepala sebelah dengan kualitas berdenyut dan tanpa aura yang menyertai. • Jawaban A (Cephalgia) Sakit kepala secara umum tidak spesifik. • Jawaban B (Migrain dengan aura) tidak ada aura yang mendahului sakit kepala. • Jawaban D (Tension headache) sakit kepala dengan kualitas kepala seperti dibebani atau ditarik. • Jawaban E (Cluster headache) tipe sakit kepala berat biasa terjadi secara episodik, dapat disertai mata merah berair dan rinore.
45. Carpal Tunnel Syndrome
ILM U PSIK IATR I
46. JENIS WAHAM Waham
Karakteristik
Bizzare
keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh
Sistematik
keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu tema/kejadian.
Nihilistik
perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada atau menuju kiamat.
Somatik
perasaan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Paranoid (curiga)
termasuk didalamnya waham kebesaran, waham kejaran/presekutorik, waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
Kebesaran/ grandiosity
keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
Kejar/ persekutorik
mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
Rujukan/ delusion of reference
selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan dengan dirinya
Jenis Waham Waham
Karakteristik
Kendali
keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya: thought of withdrawal, thought of broadcasting, thought of insertion.
Thought of withdrawal
waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau kekurangannya.
Thought of insertion
waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan lain.
Thought of broadcasting
waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar diudara.
Cemburu
keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang pasangan yang tidak setia.
Erotomania
keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa seseorang sangat mencintainya.
Pembahasan Soal • Erotomania – keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa seseorang sangat mencintainya – Pasien ini merasa suami kakaknya mencintai dirinya dibandingkan kakaknya
• Pilihan A selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan dengan dirinya • Pilihan B keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar • Pilihan D keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar • Pilihan E kebiasaan mencabuti rambut untuk memperoleh kenyamanan/ kepuasan.
47. GANGGUAN MENTAL ORGANIK • Suatu kelompok gangguan jiwa yang disebabkan oleh adanya gangguan pada jaringan otak atau pada organ lain di luar otak tapi mempengaruhi fungsi otak Klasifikasi : • Dementia • Delirium
• Sindroma amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya • Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik • Gangguan kepribadian dan perilaku akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi otak
DELIRIUM • Delirium: kesadaran fluktuatif, ditandai dengan kesulitan memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian . • Pedoman diagnostik: – Gangguan kesadaran & perhatian – Gangguan kognitif (distorsi persepsi, halusinasi, hendaya daya pikir, daya ingat, disorientasi) – Gangguan psikomotor: hipo/hiperaktivitas – Gangguan siklus tidur-bangun – Gangguan emosional: depresi, ansietas, lekas marah – Onset cepat, hilang timbul, kurang dari 6 bulan
• Penyebab: – – – –
SSP: kejang (postictal) Metabolik: gangguan elektrolit, hipo/hiperglikemia Penyakit sistemik: infeksi, trauma, dehidrasi/ovehidrasi Obat-obatan Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
Diagnosis Delirium (DSM-IV)
Delirium Subtype • Hyperactive subtype May be agitated, disoriented, and delusional, and may experience hallucinations. This presentation can be confused with that of schizophrenia, agitated dementia, or a psychotic disorder. • Hypoactive subtype Subdued, quietly confused, disoriented, & apathetic. Delirium in these patients may go unrecognized or be confused with depression or dementia.
• Mixed subtype Fluctuating between the hyperactive &hypoactive
Delirium. Ondria C, Gleason MD., University of Oklahoma College of Medicine, Tulsa, Oklahoma. Am Fam Physician. 2003 Mar 1;67(5):1027-1034.
Diagnosis Banding Delirium Diagnosis
Karakteristik
Delirium
cognitive changes develop acutely and fluctuate. Speech can be confused or disorganized. Alertness and attention wax and wane
Dementia
insidious onset, chronic memory and executive function disturbance, tends not to fluctuate. Intact alertness and attention but impoverished speech and thinking
Schizofrenia
Onset is rarely after 50. Auditory hallucinations are much more common than visual hallucinations. Memory is grossly intact and disorientation is rare. Speech is not dysarthric. No wide fluctuations over the course of a day
Mood disorder
Manifest persistent rather than labile mood with more gradual onset. In mania the patient can be very agitated however cognitive performance is not usually as impaired. Flight of ideas usually have some thread of coherence unlike simple distractibility. Disorientation is unusual in mania
Pembahasan Soal • Pasien di atas mengalami gangguan kesadaran, disertai dengan adanya uremia dan kreatinin yang tinggi. Kemungkinan penyebab gangguan kesadarannya adalah karena masalah organik yaitu gagal ginjal • PIlihan A dan B tidak dipilih penyebab keduanya bukan masalah organik • Pilihan C dan D tidak dipilih merupakan diagnosis axis 2 (gangguan kepribadian).
48. ANSIETAS Diagnosis
Characteristic
Gangguan panik
Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan datangnya kejadian menakutkan. Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari gejala di antara serangan panik.
Gangguan fobik
Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.
Gangguan penyesuaian
Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas menyeluruh
Ansietas berlebih terus menerus disertai ketegangan motorik (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita). Terjadj selama min.6 bulan.
PEDOMAN DIAGNOSIS GANGGUAN CEMAS MENYELURUH (PPDGJ-III) • Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yg harus berlangsung setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan. • Gejala tersebut mencakup unsur-unsur: – Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seprti diujung tanduk dan nasib buruk) – Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak santai) – Overaktivitas otonomik (kepala terasa sakit, keringatan, jantung berdebar-debar, sesak napas, kelujhan lambung, pusing kepala)
• Pada anak-anak sering terlihat kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan & keluhan somatik berulang yg menonjol.
• Adanya gejala lain yg sifatnya sementara, khususnya untuk depresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan cemas menyeluruh selama tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif.
Prinsip Tatalaksana Gangguan Cemas • Gangguan cemas memiliki patofisiologi yang berhubungan dengan depresi. Oleh karena itu, tatalaksana pada gangguan cemas serupa dengan tatalaksana depresi. • Tatalaksana medikamentosa definitif dengan antidepresan. Namun antidepresan baru efektif mengurangi gejala setelah diberikan selama 2-4 minggu. • Obat anxiolytic seperti golongan benzodiazepin hanya boleh digunakan untuk fase akut karena mengandung efek adiktif dan tubuh mudah toleransi (butuh dosis makin tinggi bila digunakan terus menerus). http://www.medscape.com/viewarticle/762477
Terapi Antidepresan
SSRI sebagai drug of choice dari antidepresan.
Dosis Obat Antidepresan
Pembahasan Soal • Pasien ini mengalami ketegangan motorik dan otonom (sulit tidur, nafsu makan menurun, mudah lelah, dada terasa berdebar-debar, napas sesak) sering dijumpa pada gangguan cemas. • Pilihan B tidak dipilihfobia sosial ditandai dengan ketakutan/ kecemasan akan dipermalukan di depan umum • Pilihan C tidak dipilihgangguan panik muncul dalam bentuk episode-episode, bukan terus menerus • Jawaban D tidak dipiih harus ditemukan PF abnormal pada psikosomatis • Pilihan E tidak dipilih tidak nampak episode manic atau depresi pada pasien.
49. GANGGUAN SOMATOFORM Diagnosis
Karakteristik
Gangguan somatisasi
Banyak keluhan fisik (4 tempat nyeri, 2 GI tract, 1 seksual, 1 pseudoneurologis).
Hipokondriasis
Keyakinan ada penyakit fisik.
Disfungsi otonomik somatoform
Bangkitan otonomik: palpitasi, berkeringat, tremor, flushing.
Nyeri somatoform
Nyeri menetap yang tidak terjelaskan.
Gangguan Dismorfik Tubuh
Preokupasi adanya cacat pada tubuhnya Jika memang ada kelainan fisik yang kecil, perhatian pasien pada kelainan tersebut akan dilebih-lebihkan
PPDGJ
Pedoman Diagnosis Gangguan Dismorfik Tubuh • Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut adalah berlebihan dengan nyata. • Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
• Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa). PPDGJ-III
Pembahasan Soal • Diagnosis gangguan dismorfik tubuh pada pasien ini atas dasar – adanya preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan (menganggap bentuk hidungnya tidak sebagus bentuk hidung adiknya, ingin operasi plastik untuk mempercantik bentuk hidung).
• Pilihan A tidak tepat somatisasi ditandai dengan adanya banyak keluhan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik. • Pilihan B tidak tepathipokondriasis ditandai dengan keyakinan pasien mengalami 1 diagnosis penyakit meski semuanya normal. • Pilihan D dan E tidak tepat pada gangguan konversi/ disosiasi, keluhan yang dialami adalah keluhan neurologis dan ada stresor pemicu timbulnya keluhan.
50. FOBIA • Fobia adalah penolakan berdasarkan ketakutan terhadap benda atau situasi yang dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya dan penderita mengakui bahwa ketakutan itu tidak ada dasarnya (DSM IV-TR). • Terdapat 3 jenis fobia: Agorafobia, fobia sosial, dan fobia khas/ spesifik.
Jenis Fobia
Karakteristik
Agorafobia
Kecemasan berada di dalam situasi di mana ia kemungkinan sulit meloloskan diri atau di mana ia mungkin tidak terdapat pertolongan jika mendapatkan serangan panik yang tidak diharapkan. Biasanya situasi yang membuat cemas seperti berada di luar rumah sendirian, berada di keramaian.
Fobia sosial
Ketakutan yang jelas dan menetap situasi sosial atau tampil didepan orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh orang lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut bahwa ia akan berperilaku memalukan atau menampakkan gejala cemas atau bersikap yang dapat merendahkan dirinya.
Fobia khas/ spesifik
Ketakutan yang berlebihan dan persisten terhadap objek atau situasi spesifik, seperti ketakutan terhadap tempat tertutup ( Claustrophobia), atau ketakutan terhadap binatang kecil yang menjijikkan seperti tikus, ulat, dan lain-lain.
Pedoman Diagnosis Agorafobia • Cemas berlebihan apabila berada di tempat-tempat atau situasi-situasi yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan. • Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi perjalanan) atau bila dikerjakan akan ditandai dengan adanya distress atau kecemasan akan kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau gejala-gejala menyerupai panik, atau sering minta ditemani ditemani kalau keluar rumah. DSM-IV
Pembahasan Soal • Agorafobia – cemas berlebihan apabila berada di tempat-tempat atau situasisituasi yang sangat sulit untuk menyelamatkan diri atau pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan – Yang dialami pasien initakut bila berada di tengah keramaian dan pusat perbelanjaan seperti mall
• Pilihan A tidak tepat fobia sosial merupakan ketakutan dipermalukan bila menjadi usat perhatian • Pilihan C tidak tepat harus didahului peristiwa traumatis. • Pilihan D tidak tepat merupakan fobia berada di ruang tertutup. • Pilihan E tidak dipilih serangan panik ditandai dengan keluhan seperti mau mati (tercekik, sesak napas, dll) yang datang secara tiba-tiba.
KULIT & KELAMIN, MIKROBIOLOGI, PARASITOLOGI
51. Pedikulosis • Infeksi kulit/rambut pada manusia yang disebabkan Pediculus
• 3 macam infeksi pada manusia – Pedikulosis kapitis: disebabkan Pediculus humanus var. capitis – Pedikulosis korporis: disebabkan pediculus humanus var. corporis – Pedukulosis pubis: disebabkan Phthirus pubis Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis pubis • Infeksi rambut di daerah pubis dan sekitarnya • Terutama menyerang dewasa dan dapat menyerang jenggot/kumis • Dapat menyerang anak-anak, seperti di alis/bulu mata dan pada tepi batas rambut kepala • Termasuk infeksi menular seksual • Gejala • Gatal di daerah pubis dan sekitarnya, dapat meluas ke abdomen/dada, makula serulae (sky blue spot), black dot pada celana dalam
2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis
Sky Blue Spot/ Macula cerulae
Prinsip Tatalaksana Based on 2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis
• Semua lesi harus diberikan obat topikal • Kulit harus dingin dan kering agar absorbsi maksimal • Mencukur pubis tidak perlu, meskipun pada populasi umum insidens turun karena tidak ada habitat bagi ptirus pubis • Mencuci semua pakaian di suhu 50oC atau lebih • First line: Permethrin cream 1% dan dicuci setelah 10 menit (aman juga untuk kehamilan)termasuk juga kalau ada lesi di bulu mata • Second line: Malathion 0.5% dicuci setelah 12 jam pemakaian • Terapi lain: Ivermectin topical, Benzyl benzoate lotion 25% 2016 European Guideline for the Management of Pediculosis Pubis
Pedikulosis kapitis • Infeksi kulit dan rambut kepala • Banyak menyerang anak-anak dan higiene buruk • Gejala • Mula-mula gatal di oksiput dan temporal, karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi, infeksi sekunder
• Diagnosis • Menemukan kutu/telur, telur berwarna abuabu/mengkilat
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Prinsip pemberian terapi pedikulosis kapitis • First line: Permethrin lotion atau shampoo 1% • Terapi topikal diberikan sebanyak 2 kali, yaitu pada hari 0 dan hari 7-10 agar dapat mengeradikasi kutu dengan sempurna. • Obat lainnya: Pyrethrins 0.3%-piperonyl butoxide 4% shampoo, Malathion 0.5% lotion, Benzyl alcohol 5% lotion, Ivermectin lotion 0.5%, gameksan shampoo 1% (not recommended as a first–line treatment)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pedikulosis korporis • Biasanya menyerang orang dewasa dengan higiene buruk (jarang mencuci pakaian) • Kutu melekat pada serat kapas dan hanya transien ke kulit untuk menghisap darah • Gejala • Hanya bekas garukan di badan
• Diagnosis • Menemukan kutu/telur pada serat kapas pakaian
• Pengobatan • • • • •
DOC: Permetrin 1%, Gameksan 1%, benzil benzoat 25% Malathion 0,5% pakaian direbus/setrika
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Pengobatan Pedikulosis Korporis • Improved hygiene and access to regular changes of clean clothes is the only treatment needed for body lice infestations.
• A body lice infestation is treated by improving the personal hygiene of the infested person, including assuring a regular (at least weekly) change of clean clothes. • Clothing, bedding, and towels used by the infested person should be laundered using hot water (at least 54°C) and machine dried using the hot cycle. • Sometimes the infested person also is treated with a pediculicide; however, a pediculicide generally is not necessary if hygiene is maintained and items are laundered appropriately at least once a week. • If you choose to treat, guidelines for the choice of the pediculicide are the same as for head lice.
52. Malaria • Trias Malaria: - Demam - Menggigil - Sakit kepala
• 2016 Clinical Guideline for Malaria - Demam ≥ 37.5oC - Khusus anak: telapak tangan pucat atau Hb < 8 g/dl - Tidak ada kombinasi gejala yang bisa menegakkan kasus malaria - Semua kasus suspek harus test apusan darah tepi atau rapid test
Malaria
Klasifikasi Malaria Jenis Malaria
Etiologi
Keterangan
Malaria Falciparum / malaria tropikana
Plasmodium falciparum Periode tidak panas tiap 12 jam, demam muncul tiap 24, 36 atau 48 jam
Malaria ovale
Plasmodium ovale
• Terutama di daerah Afrika, sifatnya ringan dan self limiting • Tidak panas tiap 36 jam, demam muncul tiap 48 jam
Malaria vivax / tertiana / benigna
Plasmodium vivax
Tidak panas tiap 36 jam, demam muncul tiap 48 jam
Malaria malariae / quartana
Plasmodium malariae
Tidak panas selama 60 jam, demam muncul tiap 72 jam
Malaria knowlesi
Plasmodium knowlesi
Parasit malaria terutama di monyet, dapat menginfeksi manusia juga
P. Vivax or P. Ovale? • Eritrosit yang diinfeksi oleh P. vivax dapat membesar hingga 11/2 kali ukuran normal dan bentuknya mengalami distorsi • Eritrosit yang diinfeksi ovale hanya dapat membesar hingga 11/4 kali ukuran normal • Akan tetapi gambaran multi infeksi dalam satu eritrosit hanya ditemukan di infeksi P. ovale, pada infeksi P. vivax tidak pernah ada • Selain itu, dari epidemiologinya infeksi P. vivax lebih banyak daripada P. ovale
Eritrosit normal
53. Tinea kapitis • Kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh dermatofit
• Bentuk klinis: – Grey patch ringworm (biasanya disebabkan Microsporum) • Papul merah yang melebar, membentuk bercak, pucat, bersisik. Rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat, mudah patah dan tercabut. Lampu Wood: hijau kekuningan.
– Kerion (Microsporum atau Tricophyton) • Reaksi peradangan berat pada tinea kapitis, pembengkakan menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang. Dapat menimbulkan jaringan parut dan alopesia menetap. Fluoresensi (+/-)
– Black dot ringworm (biasanya disebabkan Tricophyton tonsurans dan Trycophyton violaceum) • Rambut yang terkena infeksi patah pada muara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora (black dot). Fluoresensi (-) Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
3 Pola Invasi Rambut pada Tinea Kapitis E C TO T H R I X •
Fluoresen kuning • kehijauan terang – Microsporum audouinii – M. canis – M. Ferrugineum
Tanpa fluoresen – – – – –
M. fulvum M. Gypseum T. Megninii T. Mentagrophytes T. Rubrum
–
T. verrucosum
E NDOTHRI X •
Fluoresen abu kehijauan kusam – Trichophyton schoenleinii
•
Tanpa fluoresen – T. gourvillii – T. Soudanense – T. tonsurans – T. Violaceum – T. Yaoundei
Drug of Choice Dermatofita D E R M ATO F I TA
DOC
Tinea Kapitis
• Griseofulvin: DOC untuk spesies Microsporum • Terbinafin: DOC untuk spesies Trichophyton • Alternatif: Itrakonazol, flukonazol
Tinea barbae, tinea manum, Tinea korporis luas
• Mengenai struktur kulit bagian dalam butuh terapi sistemik • DOC: Terbinafin, itrakonazol, flukonazol
Tinea facialis, Tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis
• Mengenai struktur kulit superfisial terapi topikal • DOC: grup alilamin (terbinafin, naftifin)
Tinea Unguium
• Oral lebih baik dibanding topikal • DOC: Terbinafin
Tinea (Umum): Terapi • Pengobatan topikal (Tabel Terlampir) Terutama untuk tinea selain tinea kapitis – Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salep ( Salep Whitfield) – Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10) – Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 2% dll • Pengobatan sistemik – Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB sehari – Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan – Ketokonazol 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2015.
Pengobatan Topikal terutama untuk jenis • Tinea korporis • Tinea cruris • Tinea pedis • Tinea unguium
Medications Used to Treat Tinea Kapitis
54. Nekatoriasis & Ancylostomiasis (Cacing Tambang) • Gejala: – Mual, muntah, diare & nyeri ulu hati; pusing, nyeri kepala; lemas dan lelah; anemia
DOC: Albendazole 400 mg SD Alternatif: Mebendazole 2x100mg p.o selama 3 hari atau 500 mg SD Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari
Trikuriasis (Cacing Cambuk) Gejala • nyeri ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare, anemia, prolaps rektum
Telur • Seperti tempayan/ lemon, memiliki dua kutub • Ukuran 20-25 mcm dan 5055 mcm
DOC: Mebendazole 500 mg SD Alternatif: Albendazole 400 mg selama 3 hari Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari
Oksiuriasis (Cacing Kremi) • Nama lain: Enterobius vermicularis
• Gejala – Gatal di sekitar dubur (terutama pada malam hari pada saat cacing betina meletakkan telurnya), gelisah dan sukar tidur – Pemeriksaan: perianal swab dengan Scotch adhesive tape DOC: Mebendazole 500 mg SD Alternatif: Albendazole 400 mg SD Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari 2 minggu setelahnya diberikan lagi dosis sama
Askariasis (Cacing Gelang) • Gejala – Rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung); kejang perut, diselingi diare; kehilangan berat badan; dan demam.
DOC: Albendazole 400 mg SD Alternatif: Mebendazole 2x100mg p.o selama 3 hari atau 500 mg SD Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari
Taeniasis (Cacing Pita) •
Gejala: – mual, konstipasi, diare; sakit perut; lemah; kehilangan nafsu makan; sakit kepala; berat badan turun, benjolan pada jaringan tubuh (sistiserkosis)
DOC: Prazikuantel 5-10 mg/kgBB SD (untuk anak ≤ 4 tahun safety dan efficacy belum jelas) Alternatif: Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari
Nama cacing
Cacing dewasa
Telur
Obat
Dinding tebal 2-3 lapis, bergerigi, berisi unsegmented ovum
Mebendazole, pirantel pamoat
Taenia solium
kulit radial dan mempunyai 6 kait didalamnya, berisi onkosfer dan embriofor
Albendazole, prazikuantel, bedah
Enterobius vermicularis
ovale biconcave dengan dinding asimetris berisi larva cacing
Pirantel pamoat, mebendazole, albendazole
Ancylostoma duodenale Necator americanus
ovale dengan sitoplasma jernih Mebendazole, berisi segmented ovum/ lobus 4- pirantel pamoat, 8 mengandung larva albendazole
Schistosoma haematobium
coklat kekuningan, duri terminal, Prazikuantel transparan, ukuran 112-170 x 40-70 µm
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Tempayan dengan 2 operkulum atas-bawah Brooks GF. Jawetz, Melnick & Adelberg’s medical microbiology, 23rd ed. McGraw-Hill; 2004.
Mebendazole, albendazole
DOC Antihelmintik JENIS CACING
DOC ANTIHELMINTIK
Keterangan
Ascaris lumbricoides
1. Albendazol 400 mg SD 2. Mebendazol 2x100 mg selama 3 hari atau 500 mg PO SD 3. Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO
Pada infeksi gabungan askaris dan cacing tambang DOC: Albendazol
Cacing Tambang (Ancylostoma Duodenale & Necator Americanus)
1. Albendazol 400 mg SD PO 2. Mebendazole 2x 100 mg selama 3 hari atau 500 mg SD PO
Trichuris Trichiura
1. Mebendazol 500 mg SD PO 2. Albendazole 400 mg PO selama 3 hari
Schistosoma mansoni, S. hematobium, S intercalatum
DOC: Prazikuantel 40 mg/kg PO dibagi 2 dosis selama satu hari
Schistosoma japonicum, S. mekongi
DOC: Prazikuantel 60 mg/kg PO dibagi 3 dosis selama satu hari
Enterobius vermicularis
Semua rejimen diulang dalam waktu 2 minggu • Mebendazol 100 mg PO SD • Albendazol 400 mg PO SD • Pyrantel Pamoat 10-11 mg/kg PO
Taeniasis (T. Solium & Saginata)
1. Prazikuantel 5-10 mg/kg SD 2. Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari
Cysticercosis (T. Solium)
Prazikuantel 50-100 mg/kg/d divided q8hr PO for 14 days
Keterangan: urutan berdasarkan skala prioritas, nomor 1 adalah DOCnya
Albendazole • Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang
• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing produksi ATP sebagai sumber energi << kematian cacing • Kontra Indikasi: – Ibu hamil (teratogenik), menyusui – Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun • Dosis sediaan : 400 mg per tablet. – Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan makanan • Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit kepala, mulut terasa kering
Mebendazole • Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang
• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing produksi ATP sebagai sumber energi << kematian cacing • Kontra Indikasi: – Ibu hamil (teratogenik), menyusui – Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun • Dosis sediaan : 100 mg atau 500 mg per tablet – Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan makanan • Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit kepala, mulut terasa kering
Pirantel Pamoat • Indikasi: cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi • Cara kerja: Melumpuhkan cacing mudah keluar bersama tinja • Dapat diminum dalam keadaan perut kosong, atau diminum bersama makanan, susu, atau jus
• Dosis: Tunggal, sekali minum 11 mg/kg BB, tidak boleh melebihi 1 gram – Jika berat badan 50 kg, dosisnya menjadi 500 mg. – Bentuk sediaannya adalah 125 mg per tablet, 250 mg per tablet, dan 250 mg per ml sirup
Prazikuantel • Indikasi: Cacing pita, kista hidatid • Cara Kerja: Meningkatkan permeabilitas membrane sel trematoda dan cestoda terhadap kalsium, yang menyebabkan paralisis, pelepasan, dan kematian (Katzung, 2010). • Dosis: Dosis tunggal prazikuantel sebesar 5 – 10 mg/ kg • Efek samping: Nyeri kepala, pusing, mengantuk dan kelelahan, efek lainnya meliputi mual, muntah, nyeri abdomen, feses yang lembek, pruritus, urtikaria, artalgia, myalgia, dan demam berderajat rendah
55. Bakterial Vaginosis • Bakterial vaginosis: polymicrobial clinical syndromemenyebabkan jumlah Lactobacillus sp. (flora normal vagina) menurun dan meningkatnya jumlah bakteri anaerob. • Etiologi utama: Gardnerella vaginalis, lainnya: Prevotella sp., Mobiluncus Sp., Ureaplasma, Mycoplasma, dsb • Faktor resiko BV berhubungan dengan seks multipartner Douching Jumlah lactobacillus (flora normal vagina) turun Semakin sering berhubungan sekssemakin beresiko Semakin jarang berhubungan sekssemakin rendah resiko 2015 STD Treatment Guideline CDC
Prinsip diagnosis • Kriteria Amsel: Duh tubuh homogen putih keabuan Clue cells (dari pemeriksaan mikroskopik) pH vagina >4.5 Whiff test (+): Duh tubuh berbau amis (fishy odor)sebelum atau sesudah ditetesi KOH 10% • Gold standard: Pemeriksaan Gram
2015 STD Treatment Guideline CDC
Terpenuhi 3 dari 4
Bakterial Vaginosis
Prinsip terapi Based on 2015 STD Treatment Guideline CDC
• Terapi farmakologis direkomendasikan pada wanita dengan gejala. Asimptomatiktidak perlu terapi • DOC: Metronidazole Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari Metronidazole gel 0.75% intravaginal 1x1 selama 5 hari Clindamycin cream 2% intravaginal sebelum tidur selama 7 hari 1x2 gram p.o selama 2 hari Tinidazole
• Alternatif terapi Clindamycin 2015 STD Treatment Guideline CDC
1x1 gram p.o selama 5 hari 2x300 mg p.o selama 7 hari 100 mg intravagina sebelum tidur selama 3 hari
Jika hamil? Based on 2015 STD Treatment Guideline CDC • Still the same, DOC: Metronidazole 2x500 mg 7 hari • Metronidazole melintasi sawar darah plasentatetapi terbukti tidak teratogenik • Clindamycin topikal (lihat slide sebelum)bisa diberikansama superiornya dengan metronidazole • Selain 2 obat ini tidak disarankanTinidazole harus dihindari
Jika menyusui? • Tunda menyusui selama 12-24 jam • Metronidazole 2 gram single dose setelahnya boleh menyusui 2015 STD Treatment Guideline CDC
ILMU K E S E H ATAN ANAK
56. Tetanus • Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik Clostridium tetani. • Akibat komplikasi luka: Vulnus laceratum (luka robek)
Vulnus punctum Combustion Open (luka tusuk) (luka bakar) fracture
Luka Luka Otitis tali media terkontaminasi pusat
Tanda dan gejala • Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12 hari. • Suhu tubuh normal hingga subfebris • Tetanus lokal otot sekitar luka kaku • Tetanus generalisata – – – – –
Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut Rhesus sardonicus Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak Sukar menelan Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat. • Sekujur tubuh berkeringat.
Diagnosis dan Komplikasi • Diagnosis – Klinis – Pewarnaan gram
• Komplikasi – – – – – –
Anoksia otak fraktur vertebra Aspirasi, penumonia Low intake, Dehidrasi Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis Kematian
Medikamentosa Kehamilan: TT • Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT yang telah diperoleh selama hidupnya
• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT • Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Medikamentosa Kehamilan: TT • Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian dosis booster 0,5 ml IM disesuaikan dengan jumlah vaksinasi yang pernah diterima sebelumnya seperti pada tabel berikut:
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
Prinsip Tatalaksana Tetanus 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pemberian antitoksin tetanus Penatalaksanaan luka Pemberian antibiotika Penanggulangan kejang Perawatan penunjang Pencegahan komplikasi
Tatalaksana tetanus neonatorum • • • • • • • •
Ruang isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan serangan kejang. Diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau bolus IV setiap 3-6 jam (0,1-0,2 mg/kg per kali), maksimum 40 mg/kg/hari Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau Antitoksin Tetanus Serum 5000 U IM TT 0.5 ml IM di tempat yang berbeda dengan situs injeksi HTIG/ATS Metronidazol 30 mg/kg/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari atau penisilin prokain 100.000 U/kg dosis tunggal selama 7-10 hari Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat Bila terjadi spasme berulang atau gagal napas, rujuk ke RS dengan NICU Langkah promotif/preventif : – Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali pusat secara steril – Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali pusat – Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat dengan antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
Perawatan penunjang • • • •
Tirah baring, Oksigen, bersihkan jalan nafas secara teratur, Cairan infus dan diet per sonde Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan / keluaran, elektrolit • Konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
Pencegahan komplikasi • Anoksia otak dengan – Pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, – Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
• Pneumonia – membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
• Fraktur vertebra: pemberian antikejang yang memadai.
57. Pertusis • Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat infeksi Bordetella pertussis dan Bordetella parapertussis (basil gram -) • Karakteristik : uncontrollable, violent coughing which often makes it hard to breathe. After fits of many coughs needs to take deep breathes which result in a "whooping" sound. • Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit
Stadium Pertusis • Stadium: – Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini. – Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang lama, bisa diikuti dengan whooping atau stadium apnea. Bisa disertai muntah. – Stadium konvalesens: batuk kronik hingga beberapa minggu Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268overview
Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis • Diagnosis : – Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. – Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat inspirasi disertai muntah, perdarahan subkonjungtiva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami henti napas sementara/sianosis
• Penatalaksanaan : – Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan – < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas, atau sianosis dirawat di RS
• Pemeriksaan penunjang – Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut – IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin pertusis) Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Tatalaksana • Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan) • Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia • Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5 • Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol, dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi pertusis. • Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik, hipoksia dan/ atau dehidrasi. • Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi. • Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
Penyulit/ Komplikasi • • • • • • •
Pneumonia Atelektasis Ruptur alveoli Emfisema Bronkiektasis Pneumotoraks Ruptur diafragma
• Kejang • Tanda perdarahan, berupa: Epistaksis, melena, perdarahan subkonjungtiva, hematom epidural, perdarahan intrakranial • Meningoensefalitis, ensefalopati, koma • Dehidrasi dan gangguan nutrisi • Hernia umbilikalis/inguinalis, prolaps rekti
Vaksin Pertusis • Vaksin pertussis whole cell: merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. • Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari Bordettellapertusis. • Vaksin pertussis aselular bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris.
• Untuk vaksin Td ditambahkan perlu booster tiap 10 tahun. • Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP – Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh (42,9%) penerima DTP. – Demam – Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying). – Kejang demam – ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis
Vaksin Pertusis • Kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu – Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya – Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya
• Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution): – bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.
Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014 Umur pemberian vaksin Jenis vaksin Hepatit i s B Polio BCG DTP Hib PCV Rotavirus e Influ nza Campak MMR Tifoid Hepatit i s A Varisela HPV
Lahir
1
1
2
0
2
3
4
Bulan 5 6
9
12
15
18
24
3
5
6
Tahun 7 8
10
12
18
3 1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
4
5
4
5
1 kali 6 (Td)
7(Td)
4 4 Ulangan 1 kaliptia tpahun 1
Keterangan Cara membaca kolom umur: misal 2 u berarti mu r 2 bul an (60 har i) sd 2 bul an 29 har i (89 har i) Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januaril 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http : // idai.or.id/public-artices/kl ini k/i mu ni sasi /j adw al-imunisasi-anak-idai.html) Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel 1. Vaksin hepatit i s B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatit i s B dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatit i s B selanjutnya dapat menggunakan vaksinihepatit Bs mon o valen atau vaksin kombinasi. 2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. 3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, a optiml umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. 4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td, dibooster setia p 10 t ahun. 5. Vaksin campak. Vaksin campak keduaa tidk perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR sudah diberikan pada 15 bulan.
2 1
3 2 Ulangan tia 3 t ahun 2 kali, interval 6-12 bulan 1 kali 3 kali
6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. 7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu danatidk melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu; dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu). 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. 9. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang p setia tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio n ) pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL. 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan interval 0,2,6 bulan.
The difference to 2017
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017 Usia Imunisasi Hepatitis B Polio BCG DTP Hib PCV Rotavirus Influenza Campak MMR Tifoid Hepatitis A Varisela HPV Japanese encephalitis Dengue Keterangan Cara membaca kolom usia : misal
Lahir 1
1 0
2 2 1
3 3 2
4 4 3
1 1 1 1
2 2
3 3 2 2
Bulan 5 6
9
12
15
18
24
3
5
6
7
Tahun 8
9
10
12
18
4
1 kali 4
5
6 (Td/Tdap)
7 (Td)
4 3 3a
4
1
2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) a Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) b Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel 1. Vaksin hepatit i s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. 4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun.
2 1
Ulangan 1 kali setiap tahun 3 2 Ulangan setiap 3 tahun 2 kali, interval 6 – 12 bulan 1 kali 2 atau 3 kalib
1
2 3 kali, interval 6 bulan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu. 7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL. 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR. 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR/MR. 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib o d i setara dengan 3 dosis. 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib 2014 Hep. B: lahir,1,6 bulan
2016
Polio: lahir, 2,4,6 bulan
Hep .B: sama dengan 2014
DPT: 2,4,6 bulan
Polio: lahir, 2,3,4 bulan DPT: 2,3,4 bulan
2017 Hep .B: lahir, 2,3,4 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan DPT: 2,3,4 bulan
Plus2 : HiB
2,4,6 bulan
2,3,4 bulan
2,3,4 bulan
DTP • Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. • Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. • Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengiku rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. • Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. • Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
DTP Kombinasi • • • • • •
DTwP + HepB Quadrivalent DTwP + HepB + HiB Pentavalent DTwP + HepB + HiB + IPV Hexavalent DTaP + HepB + HiB DTaP + HepB + HiB + IPV DT, Td, Tdap
Note: Huruf kapital = pediatric dose, huruf kecil = adult dose
58. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Derajat Reaksi Hipersensitivitas
Derajat Reaksi Hipersensitivitas
Urtikaria • Definisi: Reaksi vaskular kulit karena berbagai macam sebab • Tanda dan gejala -
-
Edema lokal yang timbul cepat Menghilang sendirinya dengan perlahan-lahan Berwarna pucat kemerahan Permukaannya meninggi dibanding kulit sekitar Disekitarnya dapat dikelilingi halo
Sumber: Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI
Efloresensi
• Eritema, edema, batas tegas • Bagian tengah bisa lebih pucat • Ukuran: lentikular, numular, hingga plakat Sumber: Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI
Prinsip tatalaksana • Karena ini adalah reaksi atopi menjauhi allergen penyebab • Antihistamin, DOC: antihistamin H1 generasi II - Loratadine 10 mg/hari (usia <6 tahun tidak direkomendasikan) - Difenhidramine 0.5 mg/kgBB 3-4 kali
• Glukokortikoid (jika tidak berespon terhadap antihistamin): prednisone
Sumber: Wong HK. Urticaria. emedicine
59. Escherichia Coli • Termasuk ke dalam enterobacteriaceae • Gram negative short rods/bacilli • Most abundant facultative anaerobe in colon and feces • Lactose fermenter produces pink colonies in MacConkey Agar. • On EMB agar, E. coli produces characteristics green sheen • Indole positive: produces indole from tryptophan • It is motile
Disease caused by E. Coli • • • •
Urinary tract infections (UTI) Gram negative rod sepsis Neonatal meningitis Diarrhea: – Traveler’s diarrhea (watery diarrhea) ETEC – Enterohemorrhagic strains of E.coli (i.e. Shiga toxin-producing E. coli/ EHEC ) causes bloody diarrhea and hemolytic uremic syndrome (HUS) – others
Spektrum Diare E. Coli Noninflammatory Diarrheas Enterotoxigenic E. coli (ETEC)
Rapid onset of watery, nonbloody diarrhea of considerable volume, accompanied by little or no fever. Diarrhea and other symptoms cease spontaneously after 24 to 72 hours
Inflammatory Diarrheas Enteroinvasive E. coli (EIEC)
Present most commonly as watery diarrhea. Minority of patients experience a dysentery syndrome, with fever, systemic toxicity, crampy abdominal pain, tenesmus, and urgency
Enteropathogenic E. coli (EPEC)
Profuse watery, nonbloody diarrhea with mucus, vomiting and low-grade fever. Chronic diarrhea and malnutrition can occur. Usually at < 2 y.o, esp <6 mo (at weaning period)
Shigatoxin-producing E. coli (STEC)/EHEC
Symptoms ranging from mild diarrhea to severe hemorrhagic colitis and hemolytic-uremic syndrome in all ages
Enteroaggregative E. coli (EAggEC)
Watery, mucoid, secretory diarrhea with low-grade fever and little or no vomiting. One third of patients have grossly bloody stools. The watery diarrhea usually persist ≥14 days
Diarrheagenic Escherichia coli
Enterobacteriaceae (Bakteri Enterik) • Sifat Enterobacteriaceae (bakteri enterik) – Berbentuk batang, Gram negatif, tak berspora, fakultatif anaerob, memfermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi nitrit, dan uji oxidase negatif
• Klasifikasi – Memfermentasi laktosa dan Non fermentasi laktosa/sukrosa
Enterobacteriaceae: Alur Pemeriksaan Tinja, usap dubur, darah, cairan tubuh, sputum, pus, urin, hapusan tenggorok, dll
KALDU SELENIT AGAR Eosin Methylene Blue (EMB) AGAR MacCONKEY AGAR Salmonela Shigella (SS) • TSI (Triple Sugar Iron) • Slant/aerobic • Butt/anaerobic • KIA (Kligler Iron Agar)
Media Mc Conkey 1. Gram negatif, dapat memfermentasi laktosa 2. Gram negatif, dapat memfermentasi laktosa 3. Gram positiftidak tumbuh koloni 4. Gram negatif, tidak dapat memfermentasi laktosa
Salmonella Shigella Agar (SS) • Salmonella will not ferment lactose, but produce hydrogen sulfide (H2S) gas. The resulting bacterial colonies will appear colorless with black centers. • Shigella do not ferment lactose or produce hydrogen sulfide gas, so the resulting colonies will be colorless.
Media pertumbuhan E. Coli • MacConkey Agar: untuk membedakan EHEC dengan tipe lain. EHEC tidak memfermentasi sorbitol sehingga tidak ada gambaran koloni merah.
•
Triple Sugar Iron Agar: mendeteksi bakteri yang bisa memfermentasi glukosa, laktosa, sukrosa, dan produksi gas dan H2S
• Eosin Methylene Blue: untuk mendeteksi bakteri yang dapat memfermentasi laktosa
60. Leukemia CLL
CML
ALL
AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte dont die when they should crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This makes it hard for normal blood cells to do their work. Prevalence
Over 55 y.o.
Mainly adults
Symptoms & Grows slowly may Signs asymptomatic, the disease is found during a routine test.
Common in children
Adults & children
Grows quickly feel sick & go to their doctor.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak, bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss, bone pain. Lab
Mature lymphocyte, smudge cells
Mature granulocyte, dominant myelocyte & segment
Therapy
Can be delayed if asymptomatic CDC.gov
Lymphoblas Myeloblast t >20% >20%, aeur rod may (+) Treated right away
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia mieloblastik akut
Sel blas pada leukemia limfoblastik akut
Leukemia mielositik kronik
Limfosit matur & smudge cell pada leukemia limfositik kronik
French-American-British (FAB) Classification
61. GENETIC DISORDER Patau Syndrome Trisomi 13 noninherited
Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.
Sindrom Klinefelter 47,XXY noninherited
cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological children (infertility). Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer and SLE. May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and unassertive.
Sindrom Edward Trisomi 18 Noninherited
Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Sindrom Down Trisomi 21 noninherited Physical development is often slower than normal (Most never reach their average adult height), delayed mental and social development (Impulsive behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)
Sindrom turner 45 + XO noninherited
The most common feature is short stature, which becomes evident by about age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and infertile. About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck, limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have heart defect, such as coarctation of the aorta. Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal learning disabilities, and behavioral problems are possible
Jacob Syndrome 47, XYY
No unusual physical features, increased risk of learning disabilities and delayed development of speech and language skills. Delayed development of motor skills, weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other involuntary movements (motor tics), and behavioral and emotional difficulties
Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh). 3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum, Teeth that are too crowded, Flat feet.
Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a Diturunkan secara range of developmental problems including learning X-linked dominan disabilities and cognitive impairment. Usually, males are more severely affected by this disorder than females.
Crigler-Najjar Syndrome
Pierre-Robin Syndrome
Kelainan genetik yang menngakibatkan tidak adanya enzim billirubin-UGT yang berfungsi untuk eliminasi bilirubin. Akibatnya, muncul gejala klinis akibat hiperbilirubinemia (ikterus yang segera muncul setelah lahir) hingga dapat menjadi kernickterus
Diturunkan autosomal resesif terkait kromosom X. Tanda berupa micrognathia, glossoptosis, macroglossia, ankyloglossia. Micrognathia+glossoptosisgangguan pernapasan berat dan sulit makan. Selain itu terdapat juga cleft palate di soft maupun hard palate dengan bentuk U atau V.
62. Malnutrisi Energi Protein • Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya (WHO) • Dibagi menjadi 3: – Overnutrition (overweight, obesitas) – Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk) – Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP): – MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) – MEP derajat berat (gizi buruk)
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis: – Marasmus – Kwashiorkor – Marasmik-kwashiorkor Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and adolescents. Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition. http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus wajah seperti orang tua kulit terlihat longgar tulang rusuk tampak terlihat jelas kulit paha berkeriput terlihat tulang belakang lebih menonjol dan kulit di pantat berkeriput ( baggy pant )
Kwashiorkor edema rambut kemerahan, mudah dicabut kurang aktif, rewel/cengeng pengurusan otot Kelainan kulit berupa bercak merah muda yg meluas & berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor • Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk • Z-score → menggunakan kurva WHO weight-forheight • <-2 – moderate wasted • <-3 – severe wasted gizi buruk
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 cm
• BB/IBW (Ideal Body Weight) → menggunakan kurva CDC • ≥80-90% mild malnutrition • ≥70-80% moderate malnutrition • ≤70% severe malnutrition Gizi Buruk
Kwashiorkor Protein
Serum Albumin Tekanan osmotik koloid serum
Edema
Marasmus Karbohidrat
Pemecahan lemah
+ pemecahan protein
Lemak subkutan
Muscle wasting, kulit keriput
Turgor kulit berkurang
Emergency Signs in Severe Malnutrition • Dibutuhkan tindakan resusitasi • Tanda gangguan airway and breathing : – Tanda obstruksi – Sianosis – Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL. Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat. Terdapat risiko overhidrasi • Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran – Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
Cause difference MARASMUS
K WA S H I O R K O R
Marasmus is multi nutritional deficiency
Kwashiorkor occurs due to the lack of proteins in a person's diet
Marasmus usually affects very young children
Kwashiorkor affects slightly older children mainly children who are weaned away from their mother's milk
Marasmus is usually the result of a gradual process
Kwashiorkor can occur rapidly
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk No Tindakan
Stabilisasi H 1-2 H 3-7
Transisi H 8-14
Rehabilitasi Tindaklanjut mg 3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia 3. Atasi/cegah dehidrasi 4. Perbaiki gangguan elektrolit 5. Obati infeksi 6. Perbaiki def. nutrien mikro 7. Makanan stab & trans 8. Makanan Tumb.kejar 9. Stimulasi 10. Siapkan tindak lanjut
tanpa Fe
+ Fe
HIPOGLIKEMIA • Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (< 54 mg/dl) • Jika tidak memungkinkan periksa GDS, maka semua anak gizi buruk dianggap hipoglikemia • Segera beri F-75 pertama, bila tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml glukosa/ gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air) oral/NGT.
• Jika anak tidak sadar, beri larutan glukosa 10% IV bolus 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT. • Lanjutkan pemberian F-75 setiap 2–3 jam, siang dan malam selama minimal dua hari.
Ketentuan Pemberian Makan Awal • Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas serta rendah laktosa • Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian parenteral • Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi • Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi • Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan minimal, berikan sisanya melalui NGT • Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F100 Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan • Fase stabilisasi (Inisiasi) – Energi: 80-100 kal/kg/hari – Protein: 1-1,5 gram/kg/hari – Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi – Energi: 100-150 kal/kg/hari – Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi – Energi: 150-220 kal/kg/hari – Protein: 3-4 gram/kg/hari
HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C) • Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau lakukan metode kanguru. • Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam s.d suhu menjadi 36.5° C/lbh. • Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C
DEHIDRASI • Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat dengan syok. • Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT – beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama – setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam.
Atasi Infeksi • Anggap semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang dan segera diberi antibiotik. PILIHAN ANTIBIOTIK SPEKTRUM LUAS • Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata Kotrimoksazol PO (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12 jam selama 5 hari.
• Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV/6 jam selama 2 hari), dilanjutkan Amoksisilin PO (15 mg/kgBB/8 jam selama 5 hari) ATAU Ampisilin PO (50 mg/kgBB/6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari, DITAMBAH Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.
• Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari. • Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari.
Mikronutrien • • • •
Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari) Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari) Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari) Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi) • Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan:
• Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
63. Asfiksia Neonatal
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
Hyaline Membrane Disease • gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram • Gejala Klinis – Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi dalam beberapa jam pertama kehidupan. – Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan, adanya PMH dapat disingkirkan. • Lung immaturity salah satu penyebab Chronic Lung Disease (bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin (PMH) merupakan gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram • Etiology:
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (Hyaline membrane disease)
– Defisiensi surfaktan (produksi dan sekresi menurun)
• Surfactant – Berperan untuk pengembangan alveolus – Komposis utama surfaktan : • dipalmitoyl phosphatidylcholine (lecithin) • Phosphatidylglycerol • apoproteins (surfactant proteins SP-A, -B, -C, -D) • Cholesterol Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of Pediatrics
http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease (HMD). Vascular disruption causes leakage of plasma into the alveolar spaces and layering of fibrin and necrotic cells arise from type II pneumocytes (“hyaline membranes”) along the surface of alveolar ducts and respiratory bronchioles partially denuded of their normal cell lining.
Pneumosit sebagai Penghasil Surfaktan • Pada dinding alveolus dibedakan atas 2 macam sel: – sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal atau sel alveolar kecil atau pneumosit tipeI). – sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar besar atau pneumosit tipe II. • Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar alveolus
Komplikasi – – – – – – – – – –
Septicemia Bronchopulmonary dysplasia (BPD) Patent ductus arteriosus (PDA) Pulmonary hemorrhage Apnea/bradycardia Necrotizing enterocolitis (NEC) Retinopathy of prematurity (ROP) Hypertension Failure to thrive Intraventricular hemorrhage (IVH)
Tatalaksana HMD • • • •
Endotracheal (ET) tube Continuous positive airway pressure (CPAP) Surfactant replacement Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof of infection
• Corticosteroid reduced overall incidence of death or chronic lung disease – Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours) not suggested because risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI bleeding) – Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days) not suggested because risk> benefit – Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks) can be used for ventilator dependant infants in whom it is felt that steroids are essential to facilitate extubation.
Distres Pernapasan pada Neonatus Kelainan
Gejala
Sindrom aspirasi mekonium
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.
Respiratory distress syndrome (penyakit membran hyalin)
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.
Transient tachypnea of newboorn
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih.
Pneumonia neonatal
Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates
Asfiksia perinatal (hypoxic Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, ischemic encephalopathy) terdapat kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
KLASIFIKASI HMD
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air bronchogram
Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan air bronchogram
Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Gambaran jantung menjadi kabur.
Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga “White lung”
Meconium Aspiration Syndrome
Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan • Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping • Efusi pleura minimal (20%). • pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan. • atelektasis paru emfisema obstruktif.
Transient Tachypnea of Newborn
(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan dengan perbaikan klinis.
Pneumonia neonatal Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.
64. Gagal Ginjal Akut • Gagal ginjal akut (GGA)/Acute Kidney Injury (AKI) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak yang mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis • Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5 mg/dL per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per hari. • GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik. – Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8 ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
Klasifikasi
Patogenesis
Tatalaksana Medikamentosa GGA • Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA renal dengan furosemid 1-2 • Bila terdapat infeksi, dosis mg/kgBB dua kali sehari dan antibiotik disesuaikan dengan dapat dinaikkan secara beratnya penurunan fungsi ginjal bertahap sampai maksimum 10 • Pemberian cairan disesuaikan mg/kgBB/kali. (pastikan dengan keadaan hidrasi kecukupan sirkulasi dan bukan • Koreksi gangguan merupakan GGA pascarenal). ketidakseimbangan cairan • Bila gagal dengan elektrolit medikamentosa, maka • Natrium bikarbonat untuk dilakukan dialisis peritoneal mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis. sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari sesuai dengan beratnya asidosis
65. Diare akut • -
Diare akut: BAB >3 kali dalam 24 jam Konsistensi cair Durasi <1 minggu
• Diare kronik: diare karena penyebab apapun dan berlangsung ≥ 14 hari
Gejala dan tanda dehidrasi
Klasifikasi diare pada anak
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat
Terapi zinc
Syok hipovolemik pada anak • Jika diare sangat massif sehingga volume loss sangat tinggi, anak dapat mengalami syok hipovolemik • Tatalaksana syok akibat diare pada anak tidak menggunakan rencana terapi C melainkan algoritma tatalaksana syok hipovolemik anak
66. ASI Eksklusif Setelah melahirkan, produksi ASI ibu adalah • 500 ml pada hari pertama sampai ke 5 • 600-690 ml pada minggu kedua • 750 ml pada bulan 3-5 Kebutuhan ASI bagi bayi 750-1000 ml/hari Di soal hanya 150-200tidak memenuhi kebutuhan
Sumber: IDAI 2013
Pemberian ASI ideal • • • •
Bayi menyusu 10-12 kali dalam sehari Produksi ASI rata-rata 800 ml/hari Produksi 90-120 ml total dari 2 payudara Umumnya bayi menyusu payudara pertama 75 ml, payudara kedua 50 mll • Frekuensi menyusu di malam hari (jam 22.0004.00) adalah 1-3 kali
Sumber: IDAI 2013
Cara meningkatkan perahan ASI • Rutin memerah ASI setiap hari dan setiap menyusui, jika rutin produksi akan terus meningkat setiap 2 minggu. • Kompres air hangat dan pijat dengan lembut. • Menyusui dengan posisi yanng benar
Sumber: IDAI 2013
67. Demam Tifoid Gejala Klinis: • Demam persisten • Nyeri kepala • Gejala abdomen (biasanya berupa nyeri epigastrium, diare atau konstipasi), mual, muntah • Bradikardi relatif, • Lidah yang tremor dan berselaput • Meteorismus. • Hepatomegali, splenomegali 524
Sensitivity of Typhoid Cultures Spesimen
Incubation
Minggu I
Darah Sensitivitas (GOLD 70% STANDARD)
Sensitivitas 40-50% disarankan kultur feses/urin
Bone marrow
Sensitivitas 90% (setelah 5 hari antibiotik akan turun) terlalu invasif dan tidak menjadi pilihan utama
Feses
Urin
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
Sensitivitas 20-60%
Sensitivitas 25-30%
Tes Widal: • Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H dari salmonella. • Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari hasil pertama. • Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H meningkat setelah 10-12 hari. • Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga 1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang signifikan. • Sensitivitas 64% dan spesifisitas 76%
Typhidot • Deteksi IgM dan IgG terhadap outer membrane protein (OMP) 50 kDa dari S. typhi. • Positif setelah infeksi hari 2-3. • Sensitivitas 79%, spesifisitas 89%
Tubex TF • Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya S. typhi). • Positif setelah hari ke 3-4. • Sensitivitas 78%, spesifisitas 89% A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
68. Club Foot (TEV) Definisi • Club foot / Talipes Equinovarus (TEV) Deformitas kongenital yang rigid fiksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus. • 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. • Pria : Wanita 2 : 1 Etiologi • Tidak diketahui. • Muskular, neurogenik, genetik dan connective tissue.
Tipe • Idiopatik : tidak ada kelainan kongenital yang lain, paling umum terjadi. • Postural : deformitas dapat dikoreksi oleh pemeriksa. • Sindromik: berkaitan dgn kelainan kongenital e.g. Arthrogryposis, Diastrophic dwarfism. • Kondisi neuromuskular: myelomeningocele, CP
Sumber : Abdelgawad A, Naga O. Pediatric Orthopedics A Handbook for Primary Care Physicians. New York: Springer; 2014.
Club Foot (TEV) Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis
•
Komponen lain: • Cavus of the foot (high arch foot). • Internal tibial torsion of the leg. • Ukuran kaki dan betis lebih kecil jika dibandingkan sisi kontralateral.
Deformitas harus rigid (tidak dapat diperbaiki oleh pemeriksa). • 3 deformitas utama: Ankle dan foot equines (plantar fleksi dari ankle dan foot). Hindfoot varus (tumit deviasi ke arah dalam). Forefoot adduction (forefoot deviasi ke arah dalam jika dibandingkan dgn hindfoot).
Sumber : Abdelgawad A, Naga O. Pediatric Orthopedics A Handbook for Primary Care Physicians. New York: Springer; 2014.
Tatalaksana : Ponseti method, operatif
Berbagai spektrum abnormalitas pada kaki neonatus
Newborn Foot Abnormalities
Condition
Major Features
Talipes : a deformity in which the foot is twisted out of normal position
T. Cavus
T. Calcaneus
T. Equinus
T. Valgus (flat foot)
Newborn Foot Abnormalities
Condition T. Equinovalgus
combination between t. equinus and t. valgus
T. Calcaneovalgus
combination between t. calcaneus dan t. valgus
T. Equinovarus (Club Foot)
combination between t. equinus and t. varus
T. Cavovarus
combination between t. cavus and t. varus
T. Calcaneocavus
combination between t. calcaneus and t. cavus
abnormally high longitudinal arch
dorsiflexion
plantar flexion
abducted and everted
T. Varus
abducted and inverted
T. Equinovalgus
combination between t. equinus and t. valgus
Major Features
Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers. New York : Saunders ;2007
Berbagai spektrum abnormalitas pada kaki neonatus
Newborn Foot Abnormalities
Condition Claw toes/claw foot
Major Features
Lesser toe with dorsiflexion of the proximal phalanx on the lesser metatarsophalangeal (MTP) joint and concurrent flexion of the proximal interphalangeal (PIP) and distal interphalangeal (DIP) joints
69. EKSANTEMA AKUT
Morbili/Rubeola/Campak +toksonomi •
•
•
•
Pre-eruptive Stage – Demam – Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis – Respiratory Symptoms – cough Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes – Exanthem sign • Maculopapular Rashes – Muncul 2-7 hari setelah onset • Demam tinggi yang menetap • Anoreksia dan iritabilitas • Diare, pruritis, letargi dan limfadenopati oksipital Stage of Convalescence – Rash – menghilang sama dengan urutan munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah) → membekas kecoklatan – Demam akan perlahan menghilang saat erupsi di tangan dan kaki memudar Tindakan Pencegahan : – Imunisasi Campak pada usia 9 bulan – Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy • • • • •
Species : Measles morbillivirus Genus : Morbillivirus Family : Paramyxoviridae Order : Mononegavirales Single-stranded, negative-sense, enveloped (non-segmented) RNA virus https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html
Electron Micrograph of Measles virus
3D graphical representation of a spherical-shaped, measles virus particle
Morbili • Etiologi: Morbilivirus dari family Paramyxoviridae • Kelompok yang rentan: – – – –
Bayi dan anak usia <5 tahun Dewasa >20 tahun Wanita hamil Imunodefisiensi (HIV, leukemia)
• Musim: akhir musim dingin/ musim semi • Inkubasi: 8-12 hari • Masa infeksius: 1-2 hari sblm prodromal s.d. 4 hari setelah muncul ruam
• Prodromal – Hari 7-11 setelah eksposure – Demam, batuk, konjungtivitis,sekret hidung. (cough, coryza, conjunctivitis 3C)
• Enanthem ruam kemerahan • Koplik’s spots muncul 2 hari sebelum ruam dan bertahan selama 2 hari.
Morbili KOMPLIKASI
DIAGNOSIS & TERAPI • Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis: • • • • •
campak pada anak) Diare (1 dari 10 penderita campak) Bronchopneumonia (komplikasi berat; 1 dari 20 anak penderita campak) Encephalitis (komplikasi berat; 1 dari 1000 anak penderita campak) Pericarditis Subacute sclerosing panencephalitis – late sequellae due to persistent infection of the CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1: 100,000 orang)
– manifestasi klinis, tanda patognomonik bercak Koplik – isolasi virus dari darah, urin, atau sekret nasofaring – pemeriksaan serologis: titer antibodi 2 minggu setelah timbulnya penyakit
Penatalaksanaan • Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis. • Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan antipiretik. • Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik. • Suplementasi vitamin A diberikan pada: – – – –
Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis. Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis. Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4 minggu kemudian.
Konseling & Edukasi • Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang menular. • Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif. • Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari diare/emesis. • Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan. • Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan penderita. • Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
Rubella • Togavirus • Yg rentan: orang dewasa yang belum divaksinasi • Musim: akhir musim dingin/ awal musim semi. • Inkubasi 14-21 hari • Masa infeksius: 5-7 hari sblm ruam s.d. 3-5 hari setelah ruam muncul
• Asymptomatik hingga 50% • Prodromal – Anak-anak: tidak bergejala s.d. gejala ringan – Dewasa: demam, malaside, nyeri tenggorokan, mual, anoreksia, limfadenitis oksipital yg nyeri.
• Enanthem – Forschheimer’s spots petekie pada hard palate
Rubella - komplikasi • Arthralgias/arthritis pada org dewasa • Peripheral neuritis • encephalitis • thrombocytopenic purpura (jarang) • Congenital rubella syndrome – Infeksi pada trimester pertama – IUGR, kelainan mata, tuli, kelainan jantung, anemia, trombositopenia, nodul kulit.
Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum • Human Herpes Virus 6 (and 7) • Yg rentan: 6-36 bulan (puncak 6-7 bulan) • Musim: sporadik • Inkubasi: 9 hari • Masa infeksius: berada dalam saliva secara intermiten sepanjang hidup; infeksi asimtomatik persisten.
• Demam tinggi 3-4 hari • Demam turun mendadak dan mulai timbul ruam kulit. • Kejang yang mungkin timbul berkaitan dengan infeksi pada meningens oleh virus.
Scarlet Fever • Sindrom yang memiliki karakteristik: faringitis eksudatif, demam, dan rash. • Disebabkan oleh group Abetahemolyticstreptococci (GABHS) • Masa inkubasi 1-4 hari. • Manifestasi pada kulit diawali oleh infeksi streptokokus (umumnya pada tonsillopharynx): nyeri tenggorokan dan demam tinggi, disertai nyeri kepala, mual, muntah, nyeri perut, myalgia, dan malaise.
• Rash : Timbul 12-48 jam setelah onset demam. Dimulai dari leher kemudian menyebar ke badan dan ekstremitas. • Pemeriksaan : Throat culture positive for group A strep • Tatalaksana : Antibiotik antistreptokokal minimal 10 hari (Eritromisin atau Penicillin G)
Scarlet Fever. http://emedicine.medscape.com/article/1053253-overview
70. Cytomegalovirus Congenital Infection • Majority are asymptomatic at birth • Periventricular calcifications • IUGR, developmental delay, microcephaly, sensorineural hearing loss, retinitis, jaundice, hepatosplenomegaly, thrombocytopenia, hypotonia, lethargy, poor suck • Preterm infants may appear septic – apnea, bradycardia, intestinal distension)
• Postnatal infections are generally asymptomatic
Cytomegalic inclusion disease (CID) • Approximately 10% of infants with congenital infection have clinical evidence of disease at birth. • The most severe form of congenital CMV infection is referred to as CID. • CID almost always occurs in women who have primary CMV infection during pregnancy, although rare cases are described in women with preexisting immunity who presumably have reactivation of infection during pregnancy.
Cytomegalic Inclusion Disease (CID) • • • •
Intrauterine growth restriction, Hepatosplenomegaly, Hematological abnormalities (particularly thrombocytopenia), Various cutaneous manifestations, including petechiae and purpura (ie, blueberry muffin baby). • However, the most significant manifestations of CID involve the CNS. – – – – –
Microcephaly, ventriculomegaly, cerebral atrophy, chorioretinitis, and sensorineural hearing loss
• Intracerebral calcifications typically demonstrate a periventricular distribution and are commonly encountered using CT scanning (see the image below). – The finding of intracranial calcifications is predictive of cognitive and audiologic deficits in later life and predicts a poor neurodevelopmental prognosis.
Tissue invasive disease - infected cells are identified on H & E stain by characteristic features including a large cell nucleus with perinuclear clearing, and basophilic staining cytoplasmic inclusion bodies which are often referred to as the “owl’s eye” appearance.
Congenital Toxoplasma Clinical Presentation • First Trimester – often results in death • Second Trimester – classic triad – Hydrocephalus – Intracranial calcifications – Chorioretinitis
• Third Trimester – often asymptomatic at birth
• Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly, seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice, hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy
Herpes Simpleks Congenital Infection • SEM disease (Localized to skin, eyes, and mucosal) – Vesicular lesions on an erythematous base – Keratoconjunctivitis, cataracts, chorioretinitis – Ulcerative lesions of the mouth, palate, and tongue
• CNS disease – Seizure, lethargy, irritability, tremor, poor feeding, temperature instability, full anterior fontanelle
• Disseminated disease – Multiple organ involvement (CNS, skin, eye, mouth, lung, liver, adrenal glands) – May appear septic – fever/hypothermia, apnea, irritability, lethargy, respiratory distress – Hepatitis, ascites, direct hyperbilirubinemia, neutropenia, disseminated intravascular coagulation, pneumonia, hemorrhagic pneumonitis, necrotizing enterocolitis, meningoencephalitis, skin vesicles
Vesicular lesions on an erythematous base
Congenital Rubella Syndrome Classic Triad • Sensorineural hearing loss is the most common manifestation of congenital rubella syndrome. It occurs in approximately 58% of patients. • Ocular abnormalities including cataract, infantile glaucoma, and pigmentary retinopathy occur in approximately 43% of children with congenital rubella syndrome. – Both eyes are affected in 80% of patients, and the most frequent findings are cataract and rubella retinopathy. – Rubella retinopathy consists of a salt-and-pepper pigmentary change or a mottled, blotchy, irregular pigmentation, usually with the greatest density in the macula. – The retinopathy is benign and nonprogressive and does not interfere with vision (in contrast to the cataract) unless choroid neovascularization develops in the macula.
• Congenital heart disease including patent ductus arteriosus (PDA) and pulmonary artery stenosis is present in 50% of infants infected in the first 2 months' gestation.
Rubella Congenital Infection • Blueberry Muffin” rash due to extramedullary hematopoiesis • “Salt and Pepper” retinopathy • Radiolucent bone disease (long bones) • IUGR, glaucoma, hearing loss, pulmonic stenosis, patent ductus arteriosus, lymphadenopathy, jaundice, hepatosplenomegaly, thrombocytopenia, interstitial pneumonitis, diabetes mellitus
Congenital cataract
Blueberry muffin baby
Salt pepper retinopathy
Presentation of Congenital Rubella Syndrome normality
Commonality Early/Delayed
Comment
General Intrauterine growth retardation
Common
Early
...
Prematurity
Uncommon
Early
...
Stillbirth
Uncommon
Early
...
Abortion
Uncommon
Early
...
Patent ductus arteriosus
Common
Early
May occur with pulmonary artery stenosis
Pulmonary artery stenosis
Common
Early
Caused by intimal proliferation
Coarctation of the aorta
Uncommon
Early
...
Myocarditis
Uncommon
Early
...
Ventricular septal defect
Uncommon
Early
...
Atrial septal defect
Uncommon
Early
...
Cardiovascular system
normality
Commonality Early/Delayed
Comment
Eye Cataract
Common
Early
Unilateral or bilateral
Retinopathy
Common
Early
Salt-and-pepper appearance; visual acuity unaffected; frequently unilateral
Cloudy cornea
Uncommon
Early
Spontaneous resolution
Glaucoma
Uncommon
Microphthalmia
Common
Subretinal neovascularization
Uncommon
May be bilateral
Early/Delayed Early
Common in patients with unilateral cataract
Delayed
Retinopathy with macular scarring and loss of vision
Ear Hearing loss
Common
Early/Delayed
Usually bilateral; mostly sensorineural; may be central in origin; rare when maternal rubella occurs >4 months' gestation; sometimes progressive
CNS Meningoencephalitis
Uncommon
Early
Transient
Microcephaly
Uncommon
Early
May be associated with normal intelligence
Intracranial calcifications
Uncommon
Early
...
Encephalographic abnormalities
Common
Early
Usually disappear by age 1 y
Mental retardation
Common
Delayed
...
normality
Commonality Early/Delayed
Comment
Behavioral disorders
Common
Delayed
Frequently related to deafness
Autism
Uncommon
Delayed
...
Uncommon
Delayed
Manifest in second decade of life
Hypotonia
Uncommon
Early
Speech defects
Common
Chronic progressive panencephalitis
Delayed
Transitory defect Uncommon in absence of hearing loss
Skin Blueberry muffin spots
Uncommon
Early
Represents dermal erythropoiesis
Chronic rubelliform rash
Uncommon
Early
Usually generalized; lasts several weeks
Dermatoglyphic abnormalities
Common
Early
...
Lungs
Interstitial pneumonia
Uncommon
Delayed
Generalized; probably immunologically mediated
Liver Hepatosplenomegaly
Common
Early
Transient
Jaundice
Uncommon
Early
Usually appears in the first day of life
Hepatitis
Uncommon
Early
May not be associated with jaundice
normality
Commonality Early/Delayed
Comment
Blood Thrombocytopenia
Common
Early
Transient; no response to steroid therapy
Anemia
Uncommon
Early
Transient
Hemolytic anemia
Uncommon
Early
Transient
Altered blood group expression
Uncommon
Early
...
Hypogammaglobulinemia
Uncommon
Delayed
Transient
Lymphadenopathy
Uncommon
Early
Transient
Thymic hypoplasia
Uncommon
Early
Fatal
Radiographic lucencies
Common
Early
Large anterior fontanel
Uncommon
Early
...
Micrognathia
Uncommon
Early
...
Immune system
Bone
Transient; most common in distal femur and proximal tibia
Blueberry Muffin Baby • The term blueberry muffin baby was initially coined by pediatricians to describe cutaneous manifestations observed in newborns infected with rubella during the American epidemic of the 1960s. • These children had generalized hemorrhagic purpuric eruptions that on histopathology showed dermal erythropoiesis. • Since then, congenital infections comprising the TORCH syndrome and hematologic dyscrasias have classically been associated with blueberry muffin-like lesion. • This condition are due to the presence of clusters of bloodproducing cells in the skin (extramedullary erythropoiesis), or bleeding into the skin (purpura) or spreading cancer (metastases).
Blueberry muffin baby
Blueberry Muffin Baby Causes of Extramedullary Hematopoeisis • Infectious – Rubella, CMV, Syphilis, toxoplasma, HIV
• Hematological – intracranial bleeding, ABO incompatibility, twintwin transfusion, hemangiomatosis
• Malignancy/Proliferative – Congenital leukemia cutis, cogenital rhabdomyosarcoma, Langerhans cell histiocytosis and myelodysplasia
OBSTETRI & GINEKOLOGI
71. Siklus Menstruasi & Ovulasi • Siklus menstruasi terdiri atas 2 komponen yaitu siklus ovarian dan siklus uterine • Siklus Ovarian : • Fase folikular • Ovulasi • Fase luteal • Siklus Uterine : • Fase menstruasi • Fase proliferatif • Fase sekresi
Siklus Ovarian • Rata – rata berkisar sekitar 28 hari. • Dimulai saat menarche, dapat diinterupsi secara normal oleh kehamilan dan terhenti saat menopause. • Terdiri atas 3 fase : – Fase Follicular : • Didominasi oleh pertumbuhan dan pematangan folikel.
– Ovulasi – Luteal phase • Dicirikan dengan hadirnya corpus luteum. Durasi selalu konstan yaitu 14 hari
Ovulasi • Ruptur dinding folikel Graff, cairan di dalam folike dan oocyte keluar dari folikel. • Dipacu oleh LH surge • Dua atau lebih folikel dominan dapat mengalami ovulasi. • Bila keduanya mengalami fertilisasi kembar fraternal atau kembar dizigotik
Fase luteal • Folikel yang telah pecah akan berubah struktur menjadi corpus luteum (gland) • Corpus luteum akan berfungsi sempurna dalam waktu 4 hari post ovulasi. • Bila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus luteum akan mengalami degenerasi dalam waktu 14 hari setelah terbentuk • LH mempengaruhi pembentukan corpus luteum. • Durasi fase luteal bersifat konstan yaitu 14 hari. Bila terjadi abnormalitas menstruasi, yang mengalami pemanjangan atau pemendekan adalah fase folikular
Siklus Uterine • Menggambarkan perubahan endometrium selama siklus ovarium • Terdiri atas 3 fase yaitu: – Fase menstruasi • Terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron • Endometrium luruh selama 5-7 hari – Fase proliferasi • Endometrium kembali tumbuh (menebal) untuk persiapan implantasi bila terjadi kehamilan – Fase sekresi / progestational • Berbarengan dengan fase luteal.
Siklus uterine • Fase Menstruasi • Fase Proliferasi – Terjadi pengeluaran darah serta – Mulai bersamaan dengan hari – debris endometrium melalui vagina hari terakhir fase folikular ovarium – Hari pertama menstruasi dihitung – Pada fase ini uterus bersiap untuk sebagai hari pertama dari siklus menerima ovum yang sudah baru fertilisasi – Terjadi bersamaan dengan • Endometrium mulai berakhirnya fase luteal dari siklus berproliferasi (tumbuh) dengan ovarium dan awal dari fase folikular dipengaruhi oleh estrogen dari siklus ovarium folikel yang tumbuh – Dipicu oleh penurunan hormon – Estrogen mendomniasi fase esterogen dan progesteron proliferasi dari akhir fase menstruasi hingga ovulasi – Pelepasan prostaglandin uterin vasokontriksi pembuluh darah – Puncak dari kadar esterogen akan endometrium kematian dari mencetuskan LH surge Ovulasi endometrium darah menstruasi
Siklus uterine • Fase sekresi – – – –
Endometrium bersiap untuk mengalami implantasi Peningkatan suplay darah endometrium Dipicu oleh progesteron Bertepatan dengan fase luteal (saat terbentuknya corpus luteum) – Progesterone meningkatkan vaskularisasi endometrium, dan kelenjar endometrium mensekresikan glycogen secara aktif. – Jika tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus luteum akan berdegenerasi akan terjadi lagi fase folikular dan fase menstrual yang baru
Fern Test (Amniotic Fluid Crystallization Test for Ruptured Membranes ) • Purpose: – Detection of fern-type amnoitic fluid crystallization as an aid in the detection of ruptured amniotic membranes in pregnant women.
• “Ferning” is not specific for amniotic fluid. Other fluids (e.g., blood, cervical mucus, semen and some urine specimens) when dried can also yield microscopic crystallization in a “fern” pattern • Ferning is due to the prescence of sodium chloride in the mucus under estrogen effect. • When high levels of estrogen are present just before the ovulation, the cervical mucus forms fern like pattern due to crystallization of sodium chloride on mucus fiber.
72. Gangguan Menstruasi Disorder
Definition
Amenorrhea Primer
Tidak pernah menstruasi setelah berusia 16 tahun, atau berusia 14 tahun tanpa menstruasi sebelumnya dan tidak terdapat tanda-tanda perkembangan seksual sekunder
Amenorrhea Sekunder
Tidak terdapat menstruasi selama 3 bulan pada wanita dengan sklus haid teratur, atau 9 bulan pada wanita dengan siklus menstruasi tidak teratur
Oligomenorea
Menstruasi yang jarang atau dengan perdarahan yang sangat sedikit
Menorrhagia
Perdarahan yang banyak dan memanjang pada interval menstruasi yang teratur
Metrorrhagia
Perdarahan pada interval yang tidak teratur, biasanya diantara siklus
Menometrorrhagia
Perdarahan yang banyak dan memanjang, lebih sering dibandingkan dengan siklus normal
Gangguan Menstruasi: Kelainan dan Diagnosis
Gangguan Menstruasi: Etiologi Penyebab amenore primer: 1. Tertundanya menarke (menstruasi pertama) 2. Kelainan bawaan pada sistem kelamin (misalnya tidak memiliki rahim atau vagina, adanya sekat pada vagina, serviks yang sempit, lubang pada selaput yang menutupi vagina terlalu sempit/himen imperforata) 3. Penurunan berat badan yang drastis (akibat kemiskinan, diet berlebihan, anoreksia nervosa, bulimia, dan lain lain) 4. Kelainan bawaan pada sistem kelamin 5. Kelainan kromosom (misalnya sindroma Turner atau sindroma Swyer) dimana sel hanya mengandung 1 kromosom X) 6. Obesitas yang ekstrim 7. Hipoglikemia
Gangguan Menstruasi: Etiologi Penyebab amenore sekunder: 1. Kehamilan 2. Kecemasan akan kehamilan 3. Penurunan berat badan yang drastis 4. Olah raga yang berlebihan 5. Lemak tubuh kurang dari 15-17% 6. Mengkonsumsi hormon tambahan 7. Obesitas 8. Stres emosional
Algoritma Amenore Primer
Algoritma Amenore Sekunder
Kryptomenorhea • Merupakan suatu kondisi dimana menstruasi terjadi namun tidak dapat mengalir keluar akibat adanya obstruksi • Hematokolpos: himen yang menonjol dan berwarna kebiruan akibat berkumpulnya darah pada belakang himen karena tidak terdapat lubang keluar (imperforata)
Variasi Bentuk Himen
Himen Imperforata • Variasi ekstrim dari bentuk himen bentuk himen tidak memungkinkan adanya pembukaan himen – Akibat dari bentuk anatomis tersebut, darah menstruasi tidak dapat mengalir keluar sehingga dapat menyebabkan penimbunan darah menstruasi di kavum uteri dan menyebabkan massa abdomen
• Gejala klinis tersering: amenorrhea primer di mana pasien tidak pernah merasakan menstruasi walaupun gejala menstruasi seperti nyeri abdomen dapat ditemukan – Nyeri abdominal siklis (mengikuti siklus menstruasi
• Terapi: Bedah • Komplikasi – – – –
Hematometra: darah berkumpul di kavum uteri Hematosalping: darah berkumpul di tuba falopii Endometriosis Dapat menimbulkan retensi urin dan infertilitas Sumber:http://emedicine.medscape.com/article/269050-overview#a03
73. Letak, presentasi, posisi dan habitus janin • Letak – Hubungan antara sumbu panjang fetus terhadap sumbu panjang ibu. Letak janin yang dapat dijumpai adalah letak lintang (transverse), longitudinal dan oblique
• Presentasi – Bagian terbawah janin yang berada/mendekati jalan lahir – Terdiri atas presentasi kepala, bokong, transversal, ganda, wajah dan dahi
• Posisi – Hubungan antara bagian terbawah janin terhadap tubuh ibu. Pada presentasi kepala yang menjadi penanda adalah vertex. Normalnya vertex berada di bagian anterior tubuh ibu
• Habitus – Sikap tubuh janin selama dalam uterus. – Normalnya sikap janin adalah kepala flexi dan dagu menyentuh sternum, punggung convex, paha melipat ke arah perut, tungkai flexi pada lutut,
Malpresentasi Janin • Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain verteks • Malposisi adalah kelainan posisi kepala janin relatif terhadap pelvis ibu dengan oksiput sebagai titik referensi
• Posisi normal: oksiput anterior • Masalah: janin yg dalam keadaan malpresentasi dan malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama atau partus macet
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Malposisi Oksiput Posterior • Oksiput berada didaerah posterior dari diameter transversal pelvis • Rotasi spontan: 90% kasus • Persalinan yg terganggu terjadi bila kepala janin tidak rotasi atau turun • Pada persalinan dapat terjadi robekan perineum yang luas/tidak teratur
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Malposisi Oksiput Posterior • Etiologi usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk dan ukuran panggul • Pada diameter antero-posterior >tranversa pada panggul antropoid,atau segmen depan menyempit seperti pada panggul android, uuk akan sulit memutar kedepan
• Sebab lain: otot-otot dasar panggul lembek pada multipara atau kepala janin yg kecil dan bulat sehingga tak ada paksaan pada belakang kepala janin untuk memutar kedepan
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Dahi • Presentasi dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal • Pada umumnya merupakan kedudukan yg sementara dan sebagian besar akan berubah menjadi presentasi muka atau belakang kepala • Penyebabnya CPD, janin besar, anensefal,tumor didaerah leher,multiparitas dan perut gantung
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Dahi • Diagnosis pada periksa dalam dapat diraba sutura frontalis, pakal hidung dan lingkaran orbita. Mulut dan dagu tidak dapat diraba. • Biasanya penurunan dan persalinan macet. Konversi kearah verteks atau muka jarang terjadi. Persalinan spontan dapat terjadi jika bayi kecil atau mati dgn maserasi • Bila janin hidup lakukan SC • Bila janin mati, pembukaan belum lengkapSC • Bila pembukaan lengkaplakukan embriotomi
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Muka • Disebabkan oleh terjadinya ekstensi yang penuh dari kepala janin . • Penolong akan meraba muka, mulut , hidung dan pipi • Etiologi: panggul sempit,janin besar,multiparitas,perut gantung,anensefal,tumor dileher,lilitan talipusat • Dagu merupakan titik acuan, sehingga ada presentasi muka dengan dagu anterior dan posterior • Sering terjadi partus lama. Pada dagu anterior kemungkinan persalinan dengan terjadinya fleksi.
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Muka • Pada presentasi muka dengan dagu posterior akan terjadi kesulitan penurunan karena kepala dalam keadaan defleksi maksimal • Posisi dagu anterior, bila pembukaan lengkap : - lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam - bila kemajuan persal lambat lakukan oksitosin drip - bila penurunan kurang lancar, lakukan forsep
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Ganda • Bila ekstremitas (bag kecil janin) prolaps disamping bag terendah janin • Persalinan spontan hanya terjadi bila janin kecil atau mati dan maserasi • Lakukan koreksi dengan jalan Knee Chest Position,dorong bag yg prolaps ke atas, dan pada saat kontraksi masukkan kepala memasuki pelvis.Bila koreksi tidak berhasil lakukan SC
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Bokong • Bila bokong merupakan bagian terendah janin • Ada 3 macam presentasi bokong: complete breech(bokong sempurna),Frank breech(bokong murni),footling breech(presentasi kaki) • Partus lama merupakan indikasi utk melakukan SC, karena kelainan kemajuan persalinan merupakan salah satu tanda disproporsi • Etiologi • Multiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefal, plasenta previa, CPD
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Letak Lintang • • • • • •
Persalinan akan macet Lakukan versi luar bila permulaan inpartu dan ketuban intak Bila ada kontraindikasi versi luar lakukan SC Lakukan pengawasan adanya prolaps funikuli Dapat terjadi ruptura uteri Dalam obsteri modern, pada letak lintang inpartu dilakukan SC walaupun janin mati
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
74-75. Kala Persalinan PERSALINAN dipengaruhi 3 FAKTOR “P” UTAMA 1. Power His (kontraksi ritmis otot polos uterus), kekuatan mengejan ibu, keadaan kardiovaskular respirasi metabolik ibu. 2. Passage Keadaan jalan lahir 3. Passanger Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak kelainan anatomik mayor) (++ faktor2 “P” lainnya : psychology, physician, position)
• PEMBAGIAN FASE / KALA PERSALINAN Kala 1 Pematangan dan pembukaan serviks sampai lengkap (kala pembukaan) Kala 2 Pengeluaran bayi (kala pengeluaran) Kala 3 Pengeluaran plasenta (kala uri) Kala 4 Masa 1 jam setelah partus, terutama untuk observasi
Kala Persalinan: Sifat HIS Kala 1 awal (fase laten) • Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm • Frekuensi dan amplitudo terus meningkat Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir • Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4 kali / 10 menit, lama 60-90 detik. Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm). Kala 2 • Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit. • Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum Kala 3 • Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun. Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I Fase Laten • Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam) Fase Aktif • Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar 6 jam • Fase aktif terbagi atas : 1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm. 2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm. 3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II • Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi • Gejala dan tanda kala II persalinan – Dor-Ran Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi – Tek-Num Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau vaginanya. – Per-Jol Perineum menonjol – Vul-Ka Vulva-vagina dan sfingter ani membuka – Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah
• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam (informasi objektif) – Pembukaan serviks telah lengkap, atau – Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III • Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban
• Tanda pelepasan plasenta – Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan retroplasenter pecah saat plasenta lepas – Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen uterus yang lebih bawah atau rongga vagina – Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular (bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus – Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen uterus yang lebih bawah (Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Persalinan Lama • Definisi: Waktu persalinan memanjang karena kemajuan persalinan yang terhambat. • Definisi berbeda sesuai fase kehamilan, klasifikasi diagnosisnya: – Distosia pada kala I fase aktif: grafik pembukaan serviks pada partograf antara garis waspada - garis bertindak/ sudah memotong garis bertindak, ATAU – Fase ekspulsi (kala II) memanjang: Bagian terendah janin pada persalinan kala II tidak maju. Batasan waktu: • Maks 2 jam untuk nulipara dan 1 jam untuk multipara, ATAU • Maks 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila menggunakan analgesia epidural
Kriteria Diagnosis untuk Gangguan proses Persalinan
Partograf Tujuan Utama
Tidak boleh digunakan pada:
• Mencatat hasil observasi dan menilai kemajuan persalinan • Mendeteksi apakah persalinan berjalan normal atau terdapat • penyimpangan, dengan demikian dapat melakukan deteksi dini setiap kemungkinan terjadinya partus lama
1. Wanita pendek, tinggi kurang dari 145 cm 2. Perdarahan antepartum 3. Pre-eklampsia – eklampsia 4. Persalinan prematur 5. Bekas sectio sesarea 6. Kehamilan ganda 7. Kelainan letak janin 8. Fetal distress 9. Dugaan distosia karena panggul sempit
Partograf: Umum • Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam • Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus: setiap 1⁄2 jam • Nadi: setiap 1⁄2 jam • Pembukaan serviks: setiap 4 jam • Penurunan: setiap 4 jam • Tekanan darah dan temperatur tubuh: setiap 4 jam • Produksi urin, aseton dan protein: setiap 2-4 jam
Partograf: Pencatatan Kondisi Bayi • Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam – DJJ Normal: 110-160 x/menit • Menilai Air Ketuban – U : selaput ketuban utuh (belum pecah) – J : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban jernih – M : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur mekonium – D : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur darah – K : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban kering (tidak mengalir lagi)
• Molase Tulang Kepala Janin – Semakin besar penyusupan semakin besar kemungkinan disporposi kepala panggul. Lambang yang digunakan: • 0: tulang –tulang kepala janin terpisah, sutura mudah dipalpasi • 1: tulang-tulang kepa janin sudah saling bersentuhan • 2: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tapi masih bisa dipisahkan • 3: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan
Partograf: Kemajuan Persalinan • Pembukaan Serviks – Angka pada kolom kiri 0-10 pembukaan serviks – Menggunakan tanda X pada titik silang antara angka yang sesuai dengan temuan pertama pembukaan serviks pada fase aktif dengan garis waspada – Hubungan tanda X dengan garis lurus tidak terputus
• Penurunan bagian terbawah janin – Tulisan “turunnya kepala” dan garis tidak terputus dari 0-5 pada sisi yang sama dengan angka pembukaan serviks – Berikan tanda “●” pada waktu yang sesuai dan hubungkan dengan garis lurus.
• Garis waspada – Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada waspadai kemungkinan adanya penyulit persalinan – Jika persalinan telah berada di sebelah kanan garis bertindak yang sejajar dengan garis waspada perlu segera dilakukan tindakan penyelesaian persalinan
• Garis bertindak dan waktu – Waktu mulainya fase aktif persalinan diberi angka 1-16, setiap kotak: 1 jam yang digunakan untuk menentukan lamanya proses persalinan telah berlangsung – Waktu aktual saat pemeriksaan merupakan kotak kosong di bawahnya yang harus diisi dengan waktu yang sebenarnya saat kita melakukan pemeriksaan
Partograf: Kontraksi Uterus • Terdapat lima kotak mendatar untuk kontraksi • Pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit, raba dan catat jumlah dan durasi kontaksi dalam 10 menit • Misal jika dalam 10 menit ada 3 kontraksi yang lamanya 20 setik maka arsirlah angka tiga kebawah dengan warna arsiran yang sesuai untuk menggambarkan kontraksi 20 detik (arsiran paling muda warnanya)
Partograf • Obat-obatan dan cairan yang diberikan – Catat obat dan cairan yang diberikan di kolom yang sesuai. Untuk oksitosin dicantumkan jumlah tetesan dan unit yang diberikan
• Kondisi Ibu – Catat nadi ibu setiap 30 menit dan beri tanda titik pada kolom yang sesuai. Ukur tekanan darah ibu tiap 10 menit dan beri tanda ↕ pada kolom yang sesuai. Temperatur dinilai setiap dua jam dan catat di tempat yang sesuai
• Volume urine, protein dan aseton – Lakukan tiap 2 jam jika memungkinkan
76. Penyakit Trofoblastik Gestasional WHO Classification
Malignant neoplasms of various types of trophoblats
Choriocarcinoma Placental site trophoblastic tumor Epithilioid trophoblastic tumors
Malformations of the chorionic villi that are predisposed to develop trophoblastic malignacies Hydatidiform moles
Complete
Partial
Invasive
Benign entities that can be confused with with these other lesions Exaggerated placental site Placental site nodule
Mola Hidatidosa • Definisi – Latin: Hidatid tetesan air, Mola Bintik – Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan pertumbuhan abnormal dari vili korionik (membesar, edem, dan vili vesikular dengan banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko • Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun • Pernah mengalami kehamilan mola sebelumnya • Risiko meningkat sesuai dengan jumlah abortus spontan • Wanita dengan golongan darah A lebih berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko • Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun • Pernah mengalami kehamilan mola sebelumnya • Risiko meningkat sesuai dengan jumlah abortus spontan • Wanita dengan golongan darah A lebih berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis TIPE KOMPLIT • Perdarahan pervaginam setelah amenorea • Uterus membesar secara abnormal dan menjadi lunak • Hipertiroidism • Kista ovarium lutein • Hiperemesis dan pregnancy induced hypertension •
Peningkatan hCG 100,000 mIU/mL
T I P E PA R S I A L • Seperti tipe komplit hanya lebih ringan • Biasanya didiagnosis sebagai aborsi inkomplit/ missed abortion • Uterus kecil atau sesuai usia kehamilan • Tanpa kista lutein
Mola Hidatidosa: Diagnosis • Pemeriksaan kadar hCG sangat tinggi, tidak sesuai usia kehamilan • Pemeriksaan USG ditemukan adanya gambaran vesikuler atau badai salju – Komplit: badai salju – Partial: terdapat bakal janin dan plasenta
• Pemeriksaan Doppler tidak ditemukan adanya denyut jantung janin
Mola Hidatidosa: Tatalaksana Tatalaksana Kuret • Kuretase dengan kuret tumpul seluruh jaringan hasil kerokan di PA • 7-10 hari sesudahnya kerokan ulangan dengan kuret tajam, agar ada kepastian bahwa uterus betul-betul kosong dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan
77. Abortus • Definisi: – ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. – WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
• Diagnosis – Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah banyak – Perut nyeri dan kaku – Pengeluaran sebagian produk konsepsi – Serviks dapat tertutup maupun terbuka – Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya – Diagnosis ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan ultrasonografi
• Faktor predisposisi : – Faktor dari janin (fetal) : kelainan genetik (kromosom) – Faktor dari ibu (maternal) : infeksi, kelainan hormonal seperti hipotiroidisme, diabetes mellitus, malnutrisi, penggunaan obatobatan, merokok, konsumsi alkohol, faktor immunologis dan defek anatomis seperti uterus didelfis,inkompetensia serviks (penipisan dan pembukaan serviks sebelum waktu in partu, umumnya pada trimester kedua) dan sinekhiae uteri karena sindrom Asherman. – Faktor dari ayah (paternal): kelainan sperma
Abortus Imminens
Abortus Komplit
Abortus Insipiens
Abortus Inkomplit
Missed Abortion
Jenis Abortus
Abortus: Tatalaksana Umum • Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu). • Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik <90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok • Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat • Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam: – Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam – Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam – Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit . • Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan konseling kontrasepsi pasca keguguran. • Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens • Pertahankan kehamilan. • Tidak perlu pengobatan khusus. • Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual. • Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi. • Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens •
Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera: – Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu) – Rencanakan evakuasi segera.
•
Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu: – Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam uterus (lakukan dengan AVM). – Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• • •
Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit •
•
•
Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat dari serviks. Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu). Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi. – Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• • •
Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit • Tidak diperlukan evakuasi lagi. • Konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan KB pasca keguguran. • Observasi keadaan ibu. • Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah. • Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
78.
Penatalaksanaan laserasi jalan lahir • Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul didahului oleh kepala janin dengan cepat. • Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. • Penatalaksanaan farmakologis: – Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena sebelum perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat).
Manajemen Ruptur Perineum Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko perdarahan, edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya, antara lain sebagai berikut : • Derajat I – Bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Tidak usah menjahit ruptur derajat I yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat dengan baik. – Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight).
• Derajat II – Ratakan terlebih dahulu pinggiran robekan yang bergerigi, dengan cara mengklem masing-masing sisi kanan dan kirinya lalu dilakukan pengguntingan untuk meratakannya. – Setelah pinggiran robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.
• Derajat III dan IV – Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis obstetric dan ginekologi.
79. Epulis Gravidarum • Pregnancy gingivitis (epulis of pregnancy) : enlargement of gum caused by growth of the gum capillaries. • Quite rare gingival disorder occurring in 1.8 to 5% of pregnant women, and it affects more commonly the anterior region of the upper jaw • Pathophysiology : – The progesterone & estrogen receptors are situated in basal and spinous stratum of the epithelium, and in the connective tissue. – Progesterone dilates blood vessels, makes them more permeable, and increases proliferation of capillary vessels. – Estrogen regulates the proliferation, differentiation, and keratinization of the gingival tissue. These hormones increase gingival bleeding, cause gingival growth, and lead to deepening of periodontal pockets as well
Epulis Gravidarum • Clinical presentation : – lesion that is pedunculated or broad based, – highly vascularized,smooth, edematous, hemorrhagic, soft, red with glossy surface and hardened when it had been longstanding. – It could be a single or multiple well localized outgrowth, painless or with dull pain. – It usually is not bigger than 2 cm in the diameter
80. Fisiologi Menyusui • Reflek Prolaktin Bayi mulai menyusu (rangsangan fisik) sinyalsinyal ke kelenjar hipotalamus di otak (hipofise anterior) untuk menghasilkan hormon prolaktin beredar dalam darah dan masuk ke payudara,memerintahkan alveolus untuk memproduksi ASI
• Reflek Let Down (Oksitosin) –Rangsangan isapan bayi hipofise posterior oksitosin peredaran darah rahim menstimulus kontraksi rahim masuk ke payudara untuk memeras ASI –Juga dipengaruhi beberapa faktor seperti psikologis ibu yang bahagia melihat bayinya, mendengar suara bayi,melihat foto bayi,ibu bahagia karena peran serta ayah. Reflek ini juga dihambat oleh faktor stress.
81. Hipertensi dalam kehamilan Definisi - Tekanan darah ≥140/90 mmHg - Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam Faktor predisposisi - Gemelli - Penyakit trofoblas - Hidroamnion - DM - Gangguan vaskuler
plasenta - Faktor herediter - Riwayat preeklampsia sebelumnya - Obesitas sebelum hamil
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi pada Kehamilan: Patofisiologi • Faktor Risiko: – Kehamilan pertama – Kehamilan dengan vili korionik tinggi (kembar atau mola) – Memiliki penyakit KV sebelumnya – Terdapat riwayat genetik hipertensi dalam kehamilan Cunningham FG, et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw-Hill.
Hipertensi Kronik - Hipertensi tanpa proteinuria - TD ≥140/90 mmHg - Sebelum hamil pasien sudah memiliki hipertensi, atau - Pasien sudah memiliki hipertensi saat usia kehamilan masih <20 minggu Tatalaksana: - Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg terapi antihipertensi - Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide - Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari mulai dari usia kehamilan 20 minggu - Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana sebagai gawat janin - Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional - Hipertensi tanpa proteinuria - TD ≥140/90 mmHg - Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil - Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan trombositopenia - Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal setelah melahirkan Tatalaksana - Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin setiap minggu - Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai preeklampsia - Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin - Jika TD stabil bisa persalinan normal Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklampsia Ringan - TD ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 1+ atau protein kuantitatif >300 mg/24 jam Preeklampsia Berat - TD >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu - Proteinuria 2+ atau protein kuantitatif >5 g/24 jam - Atau disertai kelainan organ lain: trombositopenia (<100.000), hemolisis mikroangiopati, peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran atas, sakit kepala, skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat, oligohidroamnion - Peningkatan SGOT/SGPT+trombositopenia HELLP Syndrome Superimposed preeklampsia - Sudah ada hipertensi kronik sebelum hamil atau saat usia kandungan <20 minggu - Proteinuria 1+ atau trombosit <100.000 pada usia kehamilan <20 minggu Eklampsia - Kejang umum dan/atau koma - Ada tanda preeklampsia - Tidak ada kemungkinan penyebab lain seperti epilepsi, perdarahan subarachnoid, atau meningitis
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Pre Eklampsia & Eklampsia: Kejang • Pencegahan dan Tatalaksana Kejang – Bila terjadi kejang perhatikan prinsip ABCD • MgSO4 – Eklampsia untuk tatalaksana kejang – PEB pencegahan kejang
Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
• Syarat pemberian MgSO4: Terdapat refleks patella, tersedia kalsium glukonas, napas> 16x/menit, dan jumlah urin minimal 0,5 ml/kgBB/jam
• Antihipertensi
• Pertimbangan terminasi kehamilanharus dilahirkan dalam 12 jam setelah kejang Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
KONTRASEPSI
Vasektomi Permanen Tubektomi IUD Berbantu
Barrier
Kondom/ diafragma Spermisida
Metode Kontrasepsi
Sementara Implan MAL
Hormonal Alami
Pil/suntik
Pantang berkala Kondar
Senggama terputus
KB: Metode Barrier • Menghalangi bertemunya sperma dan sel telur • Efektivitas: 98 % • Mencegah penularan PMS • Efek samping – Dapat memicu reaksi alergi lateks, ISK dan keputihan (diafragma)
• Harus sedia sebelum berhubungan
Kontrasepsi Hormonal No
Jenis kontrasepsi
Mekanisme Kerja
1
Pil Kombinasi
menekan ovulasi, mencegah implantasi, mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga transportasi telur terganggu
2
Pil progestin
Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH, meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan motilitas cilia di tuba falopi
3
Suntik kombinasi
menekan ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada endometrium sehingga implantasi terganggu, dan menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini diberikan sekali tiap bulan
4.
Suntik Progestin
Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan LH serta LH surge
5.
Implan
Kombinasi antara supresi LH surge, supresi ovulasi, mengentalkan lendir servix, mencegah pertumbuhan dan perkembangan endometrium
Jenis Progestin pada Kontrasepsi No.
Generasi
Jenis
1
Generasi pertama
• • • •
2
Generasi kedua
• Norgestrel • Levonorgestrel
3
Generasi ketiga
• Desogesthrel • Gestodene • Norgestimate
4
Generasi keempat
• Drospirenone • Cyproterone acetate
Norethindrone acetate Ethynodiol diacetate Lynestrenol Norethynodrel
Pil kontrasepsi kombinasi (esterogen dan progesteron) No.
Jenis Esterogen
Jenis Progesteron
1
Etinil estradiol 30 mcg
Levonorgestrel
2
Etinil estradiol 35 mcg
Cyproterone acetate
3
Etinil estradiol 30 mcg
Drospirenone
4
Etinil estradiol 20 mcg
Drospirenone
Metode Hormonal: Pil & Suntikan Kombinasi • Jenis Pil Kombinasi – Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif (placebo). – Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif. – Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
• Jenis Suntikan Kombinasi – 25mg Depo Medroksiprogesteron Asetat + 5 mg Estradiol Sipionat, IM sebulan sekali – 50mg Noretindron Enantat + 5 mg Estradiol Valerat, IM sebulan sekali
Metode Hormonal: Pil dan Suntikan Progestin Pil & Suntikan Kombinasi
• Pil Progestin – Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg noretindron – Isi 28 pil: 75 µg norgestrel – Contoh • Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg noretindron) • Microval, noregeston, microlut (0,03 mg levonogestrol) • Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel) • Exluton (0,5 mg linestrenol) • Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)
• Suntikan Progestin – Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera) 150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan – Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat) 200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan • Implan (Saifuddin, 2006)
• Cara Kerja • menekan ovulasi, – Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama mengentalkan lendir kerjanya 5 tahun. serviks, menjadikan selaput rahim tipis dan atrofi, dan mengurangi transportasi sperma – Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama kerjanya 3 tahun.
– Jadena dan Indoplant: 75 mg levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Efek Samping • Serupa dengan hormonal pil dan suntikan • Kontra Indikasi • Serupa dengan hormonal pil dan suntikan
KB: Metode IUD • Cara Kerja – Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii – Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri – Mencegah implantasi hasil konsepsi kedalam rahim
• Efek Samping – Nyeri perut, spotting, infeksi, gangguan haid
• Kontra Indikasi •
Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak diketahui, sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik, penyakit trofoblas yang ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat genital, ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
KB Mantap Definisi • Menutup tuba falopii (mengikat dan memotong atau memasang cincin), sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum • oklusi vasa deferens sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi tidak terjadi
Efek Samping • Nyeri pasca operasi
Kerugian • Infertilitas bersifat permanen
KB: Metode Alami • Menghitung masa subur – Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang 11) – Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi
• Mengukur suhu basal tubuh (pagi hari) • Saat ovulasi: suhu tubuh akan meningkat 1-2° C
KB: Metode Alami • Metode Amenorea Laktasi Mekanisme: – pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif untuk menekan ovulasi. – Metode ini memiliki tiga syarat yang harus dipenuhi: • Ibu belum mengalami haid lagi • Bayi disusui secara eksklusif dan sering, sepanjang siang dan malam • • Bayi berusia kurang dari 6 bulan
• Efektivitas: – Risiko kehamilan tinggi bila ibu tidak menyusui bayinya secara benar. – Bila dilakukan secara benar, risiko kehamilan kurang dari 1 di antara 100 ibu dalam 6 bulan setelah persalinan.
• Keuntungan khusus bagi kesehatan: – Mendorong pola menyusui yang benar, sehingga membawa – manfaat bagi ibu dan bayi.
• Risiko bagi kesehatan: – Tidak ada.
• Efek samping: – Tidak ada.
• Mengapa beberapa orang menyukainya: – Metode alamiah, mendorong kebiasaan menyusui, dan tidak perlu biaya.
Kontrasepsi Darurat • kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan setelah senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian kontrasepsi yang tepat dan konsisten sebelumnya • Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya: – Perkosaan – Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi – Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten: • Kondom bocor, lepas atau salah digunakan • Diafragma pecah, robek, tau diangkat terlalu cepat • Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi di vagina atau genitalia eksterna • Salah hitung masa subur • AKDR ekspulsi (terlepas) • Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet • Terlambat suntik progesti lebih dari 2 minggu atau terlambat suntik kombinasi lebih dari 7 hari
• Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila digunakan dalam 5 hari pertama, namun lebih efektif bila dikonsumsi sesegera mungkin. Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan tingkat kehamilan <3%. • Efek samping: – mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama sesudah minum pil pertama atau kedua, berikan dosis ulangan), perdarahan/bercak.
Kontrasepsi Darurat
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan • Pada klien yang tidak menyusui, masa infertilitas rata-rata sekitar 6 minggu • Pada klien yang menyusui, masa infertilitas lebih lama, namun, kembalinya kesuburan tidak dapat diperkirakan • Metode yang langsung dapat digunakan adalah : Spermisida Kondom Koitus Interuptus
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan Metode
MAL
Waktu Pascapersalinan
Mulai segera
Ciri Khusus
•
Manfaat kesehatan bagi ibu dan bayi
Catatan
• •
Kontrasepsi Kombinasi
• •
Kontrasepsi Progestin
•
•
Jangan sebelum 68mg pascapersalinan Jika tidak menyusui dapat dimulai 3mg pascapersalinan
• •
Bila menyusui, jangan mulai sebelum 6mg pascapersalinan Bila tidak menyusui dapat segera dimulai
•
•
Akan mengurangi ASI Selama 6-8mg pascapersalinan mengganggu tumbuh kembang bayi
•
Selama 6mg pertama pascapersalinan, progestin mempengaruhi tumbuh kembang bayi Tidak ada pengaruh pada ASI
•
• •
Harus benar-benar ASI eksklusif Efektivitas berkurang jika sudah mulai suplementasi Merupakan pilihan terakhir bagi klien yang menyusui Dapat diberikan pada klien dgn riw.preeklamsia Sesudah 3mg pascapersalinan akan meningkatkan resiko pembekuan darah Perdarahan ireguler dapat terjadi
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan Metode
Waktu Pascapersalinan
Ciri Khusus
Catatan
AKDR
• Dapat dipasang langsung pascapersalinan
• Tidak ada pengaruh • Insersi postplasental terhadap ASI memerlukan petugas • Efek samping lebih terlatih khusus sedikit pada klien yang menyusui
Kondom/S permisida
• Dapat digunakan setiap saat pascapersalinan
Tidak pengaruh terhadap laktasi
Sebaiknya dengan kondom dengan pelicin
Diafragma
Tunggu sampai 6mg pascapersalinan
• Tidak ada pengaruh terhadap laktasi
• Perlu pemeriksaan dalam oleh petugas
• Tidak ada pengaruh terhadap laktasi
• Suhu basal tubuh kurang akurat jika klien sering terbangun malam untuk menyusui
KB Alamiah • Tidak dianjurkan sampai siklus haid kembali teratur
KB: Usia > 35 Tahun Metode
Catatan
Pil/suntik Kombinasi
• Tidak untuk perokok • Dapat digunakan sebagai terapi sulih hormon pada masa perimenopause
Kontrasepsi Progestin (implan, pil, suntikan)
• Dapat digunakan pada masa perimenopause (40-50 tahun) • Dapat untuk perokok • Implan cocok untuk kontrasepsi jangka panjang yang belum siap dengan kontap
AKDR
• Tidak terpapar pada infeksi saluran reproduksi dan IMS • Sangat efektif, tidak perlu tindak lanjut, efek jangka panjang
Kondom
• Satu-satunya metode kontrasepsi yang dapat mencegah infeksi saluran reproduksi dan IMS • Perlu motivasi tinggi bagi pasangan untuk mencegah kehamilan
Kontrasepsi Mantap
Benar-benar tidak ingin tambahan anak lagi
84. Kanker Servix
Kanker Serviks: Patogenesis
The oncogenic proteins
http://media.jaapa.com/Images/2009/
Kanker Serviks: Faktor Risiko • Aktivitas Seksual • Jumlah partner seksual • Partner seksual tidak disirkumsisi • Aktivitas seksual usia dini (< 16 tahun) Penyakit Menular Seksual • Human papillomavirus • Herpes simplex virus • Chlamydia trachomatis • HIV
• • • • • • •
Faktor Lain Kehamilan usia dini Multiparitas Sosial ekonomi rendah Merokok Imunosupresi Defisiensi nutrisi & vitamin • Kontrasepsi oral > 5 tahun • Riwayat lesi intraepitelial skuamosa
Kanker Serviks: Tanda dan Gejala • Perdarahan pervaginam • Perdarahan menstruasi lebih lama dan lebih banyak dari biasanya • Perdarahan post menopause atau keputihan >> • Perdarahan post koitus • Nyeri saat berhubungan • Keputihan (terutama berbau busuk + darah) • Massa pada serviks, mudah berdarah • Nyeri pada panggul, lumbosakral, gluteus, gangguan berkemih, nyeri pada kandung kemih dan rektum Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks: Stadium
Staging Kanker Serviks
Kanker Serviks: Diagnostik • Deteksi Lesi Pra Kanker – Pelayanan Primer: IVA, VILI (Visual inspection with Lugol's iodine (VILI), a.k.a Schiller's test), sitologi pap smear – Pelayanan Sekunder: Liquid base cytology – Pelayanan Tersier: DNA HPV
• Diagnostik – Pelayanan primer: anamnesis dan pemeriksaan fisik – Pelayanan Sekunder: kuret endoserviks, sistoskopi, IVP, foto toraks dan tulang, konisasi, amputasi serviks – Pelayanan Tersier: Proktoskopi Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
Kanker Serviks Displasia Serviks • Perubahan abnormal pada sel di permukaan serviks, dapat terlihat dari pengamatan mikroskopik •
Histologi – Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) I (mild) a benign viral infection – CIN II (moderate) – CIN III (severe)
•
Sitologi – low-grade SIL (squamous intraepithelial lesion)low-grade lesions – high-grade SIL (HSIL) high-grade dysplasia
Tatalaksana Lesi Prakanker • Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan, sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada. • Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. • Skrining dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih. • Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. • Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Deteksi Kanker Serviks: IVA Metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) • Pemeriksaan oleh dokter/bidan/paramedik terhadap leher rahim yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dengan mata telanjang • Lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka) berubah warna menjadi putih (acetowhite) • Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan dan pasien segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap • Pemeriksaan IVA mempunyai kemampuan yang hampir sama dengan pemeriksaan sitologi dalam mendeteksi lesi prakanker serviks
Tes IVA
Tes IVA
Deteksi Kanker Serviks: Pap Smear Pap Smear • Sampel sel-sel diambil dari luar serviks dan dari liang serviks dengan melakukan usapan dengan spatula yang terbuat dari bahan kayu atau plastik • Setelah usapan dilakukan, sebuah cytobrush (sikat kecil berbulu halus, untuk mengambil sel-sel serviks) dimasukkan untuk melakukan usapan dalam kanal serviks • Setelah itu, sel-sel diletakkan dalam object glass (kaca objek) dan disemprot dengan zat untuk memfiksasi, atau diletakkan dalam botol yang mengandung zat pengawet, kemudian dikirim ke laboratorium untuk diperiksa
Kanker Serviks: Pembagian
ASC-H: atypical squamous cells cannot exclude high grade ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance
Papsmear
Accuracy of the Papanicolaou Test in Screening for and Follow-up of Cervical Cytologic Abnormalities: A Systematic Review Kavita Nanda, MD, MHS; Douglas C. McCrory, MD, MHSc; Evan R. Myers, MD, MPH; Lori A. Bastian, MD, MPH; Vic Hasselblad, PhD; Jason D. Hickey; and David B. Matchar, MD
Classification of Pap smear Class
Reagen(WHO)
Ruchart
Bethesda
Class 1
negative
negative
Within normal
Class 2
inflammation
------
Class 3
Mild dysplasia
CIN-l (HPV)
LSIL (HPV)
Class 4
Mod dysplasia Seve dysplasia Carcinoma in situ
CIN-ll CIN-lll
HSIL
Class 5
Invasive cancer
Invasive cancer
Invasive cancer
ASCUS
Lower 1/3 of Epithelium
Middle 1/3 of Epithelium
> 2/3 of Epithelium
Bethesda (NCI) squamous intraepithelial lesion
LSIL
HSIL
HSIL
Cervical intraepithelial neoplasia
CIN1
CIN2
CIN3
Reagan terminology
mild
moderate
severe/CIS (dysplasia)
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana LSIL
Skrining 12 bulan
LSIL
Observasi ulang test 3 bulan
(+)
Kolposkopi
LSIL/HSIL Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
PapSmear, Lesi Pra Kanker: Tatalaksana HSIL (-)
Observasi
NIS I
HSIL
Kolposkopi
-
Observasi
+
Ablasi
DNA HPV
NIS II
+
Ablasi
NIS III
+
Ablasi
Konisasi
Panduan Pelayanan Klinis Kanker Serviks, Komite Penanggulangan Kanker (KPKN) 2015
85. PCOS • Etiologi – hiperandrogenisme dan resistensi terhadap insulin
• Gejala PCOS – Gangguan siklus haid yaitu siklus haid jarang dan tidak teratur – Gangguan kesuburan dimana yang bersangkutan menjadi sulit hamil (subfertile) – Tumbuh bulu yang berlebihan dimuka, dada, perut, anggota badan dan rambut mudah rontok (hirsutisme) – Banyak jerawat – kegemukan (obesitas) – Pada USG ditemukan banyak kista di ovarium
PCOS: Pemeriksaan • Diagnosis USG – Gambaran seperti roda pedati – 12 atau lebih folikel terlihat jelas di satu ovarium – Ukuran satu atau kedua ovarium membesar
Manajemen PCOS Tata laksana PCOS dilakukan secara komprehensif, meliputi: Edukasi Menjelaskan pentingnya perubahan gaya hidup untuk memperbaiki gangguan hormonal yang terjadi Penurunan berat badan Penurunan indeks massa tubuh sebesar 10% dapat memperbaiki pematangan sel telur
Manajemen resistensi insulin Pengobatan resistensi insulin dengan metformin dapat memperbaiki pematangan sel telur Manajemen gangguan haid Pengaturan siklus haid sangat penting peranannya untuk mencegah penebalan lapisan dinding dalam rahim. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian metformin, pil kontrasepsi kombinasi atau preparat progestin Manajemen infertilitas Tata laksana lini pertama pada SOPK adalah penurunan berat badan dan perubahan gaya hidup. Tindakan selanjutnya adalah induksi ovulasi yang dapat dilakukan dengan klomifen sitrat dan atau metformin Manajemen pertumbuhan rambut dan jerawat Pemberian pil kontrasepsi atau anti androgen dapat mengobati pertumbuhan jerawat dan rambut yang berlebihan pada pasien SOPK.
86. PELAYANAN KEBIDANAN DAN NEONATAL PESERTA JKN Dilakukan terutama di faskes primer: • Puskesmas/Puskesmas PONED/Klinik/Dokter praktik perorangan beserta jejaringnya (Pustu, Polindes/ Poskesdes)/ Rumah Bersalin/ setara • Bidan Praktik Mandiri yang menjadi jejaring faskes tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dan Bidan Praktik Mandiri pada daerah tidak ada faskes (Berdasarkan SK Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota setempat)
87. POLA EPIDEMI PENYAKIT MENULAR • Common source: satu orang atau sekelompok orang tertular penyakit dari satu sumber yang sama, dibagi menjadi: – Point – Continuous – Intermittent
• Propagated: penyakit menular dari 1 orang ke orang yang lain (sehingga umumnya muncul penyakit baru dengan jarak 1 masa inkubasi).
Point Source Epidemic • Terjadi bila sekelompok orang terpapar sumber penyakit dalam waktu singkat sehingga setiap orang menjadi sakit dalam waktu hampir bersamaan. Contoh: Insidens hepatitis A di Penssylvania yang terjadi akibat sayuran yang mengandung virus hepatitis A yang dikonsumsi pengunjung restoran pada tanggal 6 November.
Continuous Common Source Epidemic • Terjadi bila paparan terjadi pada jangka waktu yang panjang sehingga insidens kasus baru terjadi terus menerus berminggu-minggu atau lebih panjang. Contoh: Paparan air yang mengandung bakteri terjadi terus menerus, sehingga insidens diare terjadi berminggu-minggu.
Intermittent Common Source Epidemic • bila paparan terjadi pada jangka waktu yang panjang tetapi insidens kasus baru terjadi hilang timbul. The period of exposure may be brief or long. An intermittent exposure in a common source outbreak often results in an epi curve with irregular peaks that reflect the timing and extent of the exposure
Propagated Epidemic • Penularan dari satu orang ke orang lain • Pada penyakit yang penularannya melalui kontak atau melalui vehikulum. Contoh: Kasus campak yang satu ke kasus campak yang lain berjarak 11 hari (1 masa inkubasi).
Mixed Epidemic • Gabungan antara common source epidemic dan propagated epidemic. Contoh: Kasus shigellosis di sebuah festival musik. Awalnya terjadi penularan serempak saat festival berlangsung. Sehingga beberapa hari setelah festival, kejadian shigellosis meningkat sangat tinggi (common source epidemic). Namun satu minggu kemudian, muncul lagi kasus shigellosis karena penularan dari satu orang ke orang lain (propagated epidemic).
88. PENYAKIT AKIBAT KERJA vs PENYAKIT BERHUBUNGAN DENGAN KERJA Penyakit akibat kerja (occupational disease) • Penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan/ lingkungan kerja, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui (ILO) • Berkaitan dengan faktor penyebab spesifik dalam pekerjaan, sepenuhnya dipastikan dan faktor tersebut dapat diidentifikasi, diukur dan dikendalikan. (WHO) • Misal : keracunan Pb, asbestosis, silikosis, muskoloskeletal disorder (MSDS), anthrax, tobacosis, pneumokoniosis
Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (work related disease) • Penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pada pekerjaan memegang peranan barsama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks. • Penyakit dapat diperberat, dipercepat atau kambuh oleh pemaparan di tempat kerja dan dapat mengurangi kapasitas kerja. Sifat perorangan, lingkungan, dan faktor sosial budaya umumnya berperanan sebagai faktor resiko. • Misal : asma, hipertensi, TBC
89. Kejadian Epidemiologis Penyakit • Sporadik: kejadian penyakit tertentu di suatu daerah secara acak dan tidak teratur. Contohnya: kejadian pneumonia di DKI Jakarta. • Endemik: kejadian penyakit di suatu daerah yang jumlahnya lebih tinggi dibanding daerah lain dan hal tersebut terjadi terus menerus. Contohnya: Malaria endemis di Papua.
• Epidemik dan KLB: Epidemik dan KLB sebenarnya memiliki definisi serupa, namun KLB terjadi pada wilayah yag lebih sempit (misalnya di satu kecamatan saja). Indonesia memiliki kriteria KLB berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010 (di slide selanjutnya). • Pandemik: merupakan epidemik yang terjadi lintas negara atau benua. Contohnya: kejadian MERS-COV di dunia tahun 2014-2015.
90. JENIS VARIABEL Nominal Kategorik Ordinal Variabel Interval
Numerik Rasio
VARIABEL ORDINAL VARIABEL NOMINAL • Data yang diperoleh dengan cara kategorisasi atau klasifikasi. • Posisi data setara. Misalnya: jenis pekerjaan. • Tidak bisa dilakukan operasi matematika (X, +, - atau : )
VARIABEL INTERVAL • data yang diperoleh dengan cara pengukuran, dimana jarak antar dua titik pada skala, sudah diketahui. Misalnya variabel suhu tubuh dalam Celcius, sudah diketahui bahwa jaraknya antara 0-100 derajat Celcius. • Tidak ada angka nol mutlak • Bisa dilakukan operasi matematika.
• Data yang diperoleh dengan cara kategorisasi atau klasifikasi, tetapi diantara data tersebut terdapat hubungan. • Posisi data tidak setara. Misalnya tingkat kepuasan pelanggan, dibagi menjadi tidak puas, puas, dan sangat puas. • Tidak bisa dilakukan operasi matematika (X, +, - atau : )
VARIABEL RASIO • data yang diperoleh dengan cara pengukuran, dimana jarak antar dua titik pada skala, sudah diketahui. • Ada angka nol mutlak. Misalnya tinggi badan, berat badan. • Bisa dilakukan operasi matematika.
Cara Sederhana Membedakan Variabel Interval dan Rasio • Prinsipnya adalah pada variabel rasio, kita dapat merasiokan 2 pengukuran dengan nilai yang sama. • Contoh variabel rasio: – Berat (berat benda 40 kg dapat diperoleh dari 2 benda dengan berat masing-masing 20 kg) – Gaji (gaji Rp 1.000.000 dapat diperoleh dari 2 orang dengan gaji masing-masing Rp 500.000)
• Contoh variabel interval: – Suhu tubuh (Suatu benda dengan suhu 100 derajat C tidak sama dengan suhu 2 benda yang masing-masing suhunya 50 derajat C) – Tingkat keasaman/ pH (suatu larutan dengan pH 6 tidak sama dengan ada 2 larutan yang masing-masing memiliki pH 3 kemudian dicampur)
91. INSIDENS KESELAMATAN PASIEN Pasien tidak cedera
NEAR MISS
Pasien cedera
PREVENTABLE ADVERSE EVENT
Medical Error - Kesalahan nakes - Dapat dicegah - Karena berbuat (commission) - Karena tdk berbuat (ommision)
MALPRAKTIK
Acceptable Risk
Process of care (Non error)
Pasien cedera
UNPREVENTABLE ADVERSE EVENT
Unforseeable Risk Complication of Disease
Adverse Event Preventable Adverse Event • Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan karena “underlying disease”. • Adverse event yang menimbulkan akibat fatal, misalnya kecacatan atau kematian, disebut juga sentinel event.
Adverse Event Unpreventable Adverse Event • Acceptable risk: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan risiko yang harus diterima dari pengobatan yang tidak dapat dihindari. Contoh: Pasien Ca mammae muntah-muntah pasca kemoterapi • Unforseeable risk: Kejadian tidak diharapkan yang tidak dapat diduga sebelumnya. Contoh: Terjadi Steven Johnson Syndrome pasca pasien minum paracetamol, tanpa ada riwayat alergi obat sebelumnya. • Complication of disease: Kejadian tidak diharapkan yang merupakan bagian dari perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit. Contoh: Pasien luka bakar dalam perawatan mengalami sepsis.
Kejadian Nyaris Cedera/ Near Miss • Suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena : – “keberuntungan” (mis.,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), – “pencegahan” (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), – “peringanan” / mitigasi (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya
92. KAIDAH DASAR MORAL
Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Tidak berbuat yang merugikan (nonmaleficence)
Berbuat baik (beneficence) • Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar • pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare). • Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect for person) / Autonomy
•
• Setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), • • Setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan • perlindungan.
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Prinsip dasar ini juga mengakui adanya kepentingan masyarakat sekitar pasien yang harus dipertimbangkan
Beneficence Kriteria 1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain) 2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter 4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya 5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang 6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia 7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien) 8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien 9. Minimalisasi akibat buruk 10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat 11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran 13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan 14. Mengembangkan profesi secara terus menerus 15. Memberikan obat berkhasiat namun murah 16. Menerapkan golden rule principle
Non-maleficence Kriteria 1. Menolong pasien emergensi : Dengan gambaran sbb : - pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko kehilangan sesuatu yang penting (gawat) - dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut - tindakan kedokteran tadi terbukti efektif - manfaat bagi pasien > kerugian dokter 2. Mengobati pasien yang luka 3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia ) 4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien 5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek 6. Mengobati secara proporsional 7. Mencegah pasien dari bahaya 8. Menghindari misrepresentasi dari pasien 9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian 10. Memberikan semangat hidup 11. Melindungi pasien dari serangan 12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Autonomy Kriteria 1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien 2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif) 3. Berterus terang 4. Menghargai privasi 5. Menjaga rahasia pasien 6. Menghargai rasionalitas pasien 7. Melaksanakan informed consent 8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri 9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan termasuk keluarga pasien sendiri 11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi 12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien 13. Menjaga hubungan (kontrak)
Justice Kriteria 1. Memberlakukan sesuatu secara universal 2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan 3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama 4. Menghargai hak sehat pasien 5. Menghargai hak hukum pasien 6. Menghargai hak orang lain 7. Menjaga kelompok yang rentan 8. Tidak melakukan penyalahgunaan 9. Bijak dalam makro alokasi 10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien 11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya 12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil 13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten 14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah 15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan 16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
93. LUKA TEMBAK • Dalam memberikan pendapat atau kesimpulan dalam visum et repertum, tidak dibenarkan menggunakan istilah pistol atau revolver; oleh karena perkataan pistol mengandung pengertian bahwa senjatanya termasuk otomatis atau semi otomatis, sedangkan revolver berarti anak peluru berada dalam silinder yang akan memutar jika tembakan dilepaskan. • Oleh karena dokter tidak melihat peristiwa penembakannya, maka yang akan disampaikan adalah; senjata api kaliber 0,38 engan alur ke kiri dan sebagainya.
Luka Tembak Menempel Erat • Luka simetris di tiap sisi • Jejas laras jelas mengelilingi lubang luka • Tidak akan dijumpai kelim jelaga atau kelim tattoo
Luka tembak tempel Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/197542 8-overview
Kelim pada Luka Tembak • Kelim tato: akibat butir mesiu; gambaran bintikbintik hitam bercampur perdarahan, tidak dapat dihapus dengan kain. • Kelim jelaga: akibat asap; gambaran bintik-bintik hitam yang dapat dihapus dengan kain. • Kelim api: akibat pembakaran dari senjata; luka bakar terlihat dari kulit dan rambut di sekitar luka yang terbakar. • Kelim lecet: akibat partikel logam; bentuknya luka lecet atau luka terbuka yang dangkal
94. PELAPORAN KLB Alur pelaporan KLB adalah sebagai berikut: Masyarakat
Puskesmas
Dinkes Kabupaten
Dinkes Propinsi
Kementerian Kesehatan
Laporan Puskesmas ke Dinas Kesehatan Laporan W1(Laporan Wabah) • Isi Laporan: Tempat KLB, Jumlah P/M, Gejala/tanda-tanda. • Dalam jangka waktu 24 jam setelah mengetahui kepastian (hasil pengecekan lapangan) adanya tersangka KLB. • Selain melalui pos, penyampaian isi laporan dapat dilakukan dengan sarana komunikasi cepat lainnya, sesuai situasi dan kondisi yang ada. • Pembuat laporan: Kepala Puskesmas.
Laporan W2 • Laporan mingguan KLB. • Isi laporan : jumlah penderita dan kematian PMTKLB selama satu minggu yang tercatat di Puskesmas. • Pembuatan laporan setiap minggu. • Pengiriman laporan : setiap Senin/Selasa. • Pembuat laporan : Kepala Puskesmas.
KRITERIA KLB (Permenkes 1501, tahun 2010) • • • •
•
•
•
Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
95. ETIKA KLINIS • Medical Indication (terkait prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai … dari sisi etik kaidah yang digunakan adalah beneficence dan nonmaleficence) • Patient Preference (terkait nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya … cerminan kaidah otonomi) • Quality of Life (aktualisasi salah satu tujuan kedokteran :memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani … terkait dengan beneficence, nonmaleficence & otonomi) • Contextual Features (menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan keputusan, spt faktor keluarga, ekonomi, budaya … kaidah terkait justice) Etika Klinis. (Jonsen, siegler & winslade, 2002)
Pertimbangan Etika Klinis
Albert R. Jonsen. (1998). Clinical Ethics: A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. [Fourth Edition]. McGraw Hill
THT-KL
96. Traumatic Tympanic Membrane perforation Pathogenesis • Direct force – Careless while wax removal – Skull fracture may tear TM • Indirect force – Increase pressure in explosion or discharged firearms – Barotrauma • Rapid pressure fluctuations with the inner ear • Air travel or Scuba diving (decompression sickness)
Clinical presentations • • • •
Otalgia Bleeding Fullness Hearing loss: conductive HL or mixed HL • Tinnitus
Physical examination • Tympanic perforation – Central perforation – Marginal perforation
• Blood crust • If skull base fracture is occurred with CSF leakage, clear fluid is observed.
Diagnosis • The key point is to exclude whether it associates with trauma to ossicular chain or to inner ear. • The audiometry can provide useful informations. – CHL > 40db suspicion for ossicular discontinuity – Hearing test reveals sensorineural HL, it means inner ear injury
Managements • Antibiotic to prevent infection • Aseptic external auditory canal with alcohol (using tampon or gauze, do not drop liquids into ear) • Prevent super respiratory infection • Prohibit nasal blow (valsalva) • Prohibit ear drops • It takes 3-4 weeks to heal the ear drum • If 3 months later, perforation still exists, myringoplasty is indicated.
Diagnosis Banding Barotrauma • Ear pain or damage to the tympanic membrane caused by rapid changes in pressure • Due to failure of pressure balancing mechanism between middle ear and outer ear • NOT blast related • Salah satu penyebab OME akut
Trauma Akustik • hearing loss due to single exposure to intense sound stimuli (generally exceed 140 dB) • mechanical tearing of intracochleal membranes and physical disruption of cell walls with mixing of perilymph and endolymph • Not associated with tympanic membrane rupture
97. Vertigo
http://www.aafp.org/afp/2010/0815/p361.html
Penyakit Meniere • Penyakit Meniere adalah suatu kelainan pada telinga bagian dalam yang mengakibatkan gangguan pada pendengaran dan keseimbangan. • Ditandai dengan adanya episode vertigo dan tinnitus dan penurunan pendengaran secara progresif, bisaanya unilateral. • Disebabkan oleh dilatasi sistem limfatik yang berakibat terjadi drainase endolimfa.
Meniere Disease • Gejala & tanda: Vertigo episodik (beberapa jam), Tuli sensorineural yang berfluktuasi, tinnitus telinga terasa penuh
Diagnosis ANAMNESIS • Vertigo hilang timbul yang makin mereda pada serangan berikutnya • Fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf • Pendengaran membaik setelah serangan berakhir • Tinnitus • Rasa penuh di telinga • Menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral
PEMERIKSAAN FISIK • Diperlukan hanya untuk menguatkan diagnosis penyakit ini. • Bila dalam anamnesis terdapat riwayat fluktuasi pendengaran, sedangkan pada pemeriksaan ternyata terdapat tuli saraf, maka kita sudah dapat mendiagnosis penyakit Meniere, sebab tidak ada penyakit lain yang bisa menyebabkan adanya perbaikan dalam tuli saraf, kecuali pada penyakit Meniere. • Pada sebagian kasus dapat ditemukan nystagmus
PEMERIKSAAN PENUNJANG • • • • • • •
audiometri ENG BERA Electrocochleography MRI kepala tes gliserin timpanometri
DIAGNOSIS BANDING
tumor N.VIII
sclerosis multiple
neuritis vestibuler
vertigo posisi paroksisimal jinak ( VPPJ ) / BPPV
Rekomendasi Terapi
• Diet rendah garam < 1500 gr/hari • Diuretik
– Menurunkan tekanan hidrostatik di telinga dalam – Membantu mencegah terjadinya gejala namun tidak memiliki efek setelah gejalanya muncul – Contoh: HCT, asetazolamide
• Histamin agonis – Contoh: Betahistin – Menurut penelitian, penggunaan betahistin lebih unggul daripada flunarizine
• Vestibulocochlear supresant agent – – – –
AntihistaminMeclizine Obat penenanglorazepam, alprazolam Calsium channel blockerFlunarizine Hanya dipakai bila dibutuhkan, karena pemakaian jangka lama dapat mengurangi kemampuan kompensasi vestibular sehingga akan menyebabkan gangguan keseimbangan
• Steroid untuk penyebab autoimun atau alergi • VasodilatorNiasin – Memperbaiki alian darah dan pertukaran cairan Menner. A Pocket Guide to the Ear. Thieme 2003 Betahistine dihydrochloride versus flunarizine. A double-blind study. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1763646 http://emedicine.medscape.com/article/1159069-treatment
98. Otitis Externa • Malignant otitis externa (necrotizing OE) – Pada pasien diabetik lansia atau imunokompromais. – OE dapat menjadi selulitis, kondritis, osteitis, osteomielitis neuropati kranial.
– Liang telinga bengkak & nyeri, jaringan granulasi merah tampak di posteroinferior sambungan kartilago dengan tulang, di 1/3 dalam. – Awalnya gatal, lalu cepat menjadi nyeri, sekret (+), & pembengkakan liang telinga. – Th/: antibiotik topikal & sistemik, debridemen agresif. Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
• Otitis externa may extend distally to the pinna and proximally to the tympanic membrane • Otitis externa can cause tympanic membrane erythema, murky and rigidity due to inflammation – pneumatic otoscopy or tympanometry should be used to differentiate it from otitis media http://www.aafp.org/afp/2012/1201/p1055.html
99. Rhinitis alergi • Keluhan: serangan bersin berulang, rinore, hidung tersumbat, mata lakrimasi. • Pemeriksaan fisik: – Pada rhinoskopi anterior: mukosa edema, basah, pucat/livid – Allergic shiner: bayangan gelap dibawah mata akibat stasis vena – Allergic salute: anak menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan karena gatal – Allergic crease: penggosokan hidung berulang akan menyebabkan timbulnya garis di dorsum nasi sepertiga bawah.
• Skin Prick test for diagnosis of Allergic Rhinitis • Sensitivity 85% • Specificity 77%
Rinitis Alergi
100. ADENOID o Jaringan limfoid di dinding nasofaring
o Letak di dinding posterior, tidak berkapsul o Bagian dari cincin Waldeyer o Pada anak sampai pubertas o Umur 12 tahun mengecil
o Umur 17 – 18 tahun menghilang Fungsi: • Sistem pertahanan tubuh pertama (lokal) sal. nafas • Memproduksi limfosit • Membentuk antibodi spesifik (Ig)
ADENOIDITIS KRONIS Etiologi : – Post nasal drip sekret kavum nasi jatuh ke belakang – Sekret berasal dari : sinus maksilaris & ethmoid
Akibatnya: – rinolalia oklusa ( bindeng ) krn koane tertutup – mulut terbuka utk bernapas muka terkesan bodoh ( adenoid face ) – aproseksia nasalisSulit berkonsentrasi – Sefalgi
Gejala klinis : – Disebabkan oleh hipertrofi adenoid buntu hidung
– pilek dan batuk – nafsu makan menurun – oklusio tuba pendengaran menurun – tidur ngorok 745
Pemeriksaan • Rinoskopi anterior : Adenoid membesar • Phenomena palatum mole (-) – Pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf “ i “
– Akan negatif bila • terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle • kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini
• Rinoskopi posterior : Adenoid membesar dan tidak hiperemi
Pemeriksaan tambahan: – Endoskopi, foto skull lateral soft tissue (adenoid), CTScan 747
Indikasi Adenoidektomi • Pembesaran menyebabkan obstruksi jalan nafas hidung yang dapat menyebabkan obstruksi pernafasan, gejala obstructive sleep apnea, dan pernafasan lewat mulut kronik (dapat menyebabkan abnormalitas palatum dan gigi-geligi). • Otitis media rekuren atau persisten pada anak berusia >3-4 tahun. • Sinusitis kronik dan/atau rekuren.
http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a10