Pembahasan (sosiologi Hukum).docx

  • Uploaded by: Ahmad Maula Hadi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembahasan (sosiologi Hukum).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,445
  • Pages: 20
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan integrasi melalui hukum adalah satu unsur yang esensiil dalam menciptakan kedaulatan hukum1. Kedaulatan hukum di Indonesia memiliki derajat yang sangat tinggi karena prinsip Negara hukum melekat pada Negara tersebut. Prinsip Negara hukum itu sendiri menempatkan hukum pada posisi tertinggi di masyarakat atau biasa disebut dengan supremasi hukum. Sudah seharusnya supremasi hukum ini tidak terlepas dari cita-cita luhur bangsa Indonesia. Salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia itu sendiri adalah pembangunan dalam bidang hukum. Sebab tanpa pembangunan hukum, maka pembangunanpembangunan dalam sektor lainpun tidak dapat terwujud. Pembangunan bidang hukum itu sendiri, antara lain, dilakukan dengan jalan peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, diantaranya dengan mengadakan pembaharuan, kodifikasi, serta unifikasi hukum.2 Usaha-usaha dalam pembangunan hukum tersebut dilakukan agar terciptanya kepatuhan hukum di masyarakat, dengan melihat kepada kesadaran-kesadaran hukum di masyarakat. Hukum itu sejatinya tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang di masyarakat. Maka inilah yang dinamakan dengan kesadaran-kesadaran hukum di masyarakat yang perlu digali oleh para pembuat hukum. Agar dapat terciptanya kepatuhan hukum oleh masyarakat itu sendiri. Kesadaran hukum dan kepatuhan hukum adalah dua istilah yang tidak dapat terpisahkan dalam upaya pembangunan hukum di Indonesia. Secara konsep, urutan dalam mengaplikasikannya diawali dengan dibentuknya kesadaran hukum terlebih dahulu, setelah itu baru lahirlah kepatuhan hukum. Akan tetapi, walaupun dua istilah ini merupakan dua hal

1

Soerjono Soekanto, Ikhtisar dari Thesisnya yaitu Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1977, Hlm. 462. 2 Ibid.

1

yang tidak dapat dipisahkan, kedua istilah ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar, yaitu kesadaran hukum tidak memiliki sanksi, ia merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sedangkan kepatuhan hukum memiliki rasa takut terhadap sanksi yang diberikan oleh hukum.3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) telah mengamanatkan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Maka dari itu, segala pola perilaku masyarakat beserta para penyelenggara Negara harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Dengan adanya pola perilaku masyarakat dan penyelenggara Negara yang berdasarkan pada hukum yang berlaku di masyarakat maka kepatuhan hukum dapat terwujud. Disamping dapat terwujudnya kepatuhan hukum oleh masyarakat, harmonisasi antara masyarakat dengan hukum itu sendiri dapat terwujud. Semakin tinggi tingkat kepatuhan hukum masyarakat dan harmonisasinya maka dapat memperkecil tingkat pelanggaran dan kejahatan di masyarakat itu sendiri. Diskursus mengenai kepatuhan hukum tentunya merupakan salah satu hal yang menarik dalam bidang hukum. Dalam makalah ini, Penulis berusaha menggali kondisi kepatuhan hukum tersebut dalam masyarakat, khususnya di Indonesia.

3

Elyya Rosana, Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal TAPIs Vol.10 No.1 Januari-Juni, 2014, Hlm. 11.

2

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah: 1. Mengapa masyarakat harus patuh hukum? 2. Apa indikator masyarakat memiliki kepatuhan hukum?

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami mengapa masyarakat harus patuh hukum; 2. Untuk mengetahui dan memahami indikator masyarakat memiliki kepatuhan hukum;

3

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Hukum Alam 1. Masa Yunani dan Romawi (Abad 6 SM-5 M) a. Masa Yunani Ciri masa ini adalah bahwa alam semesta merupakan sentral pemikiran. Tokoh-tokohnya antara lain Anaximander, Heraclitos, Parminides, Phitagoras, Protogoras, Georgias, Socrates, Plato, Cicero, dan Seneca. Menurut Theo Huijbers, tiga tokoh pertama memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam, di mana segala sesuatu muncul dan lenyap menurut suatu keharusan alam.4 Keharusan alam itu disebut dengan hukum. Bagi Anaximender keadilan akan tercipta bila keteraturan hidup disesuaikan dengan keharusan alamiah itu. Jadi pada periode ini, alam tidak dilihat sebagai substansi, melainkan sebagai suatu hubungan tatanan benda-benda.5 Dalam hal ini manusia tidak menciptakan keharusan-keharusan itu. Sebagai contoh, misalnya perkawinan dipandang sebagai bagian dari keharusan alam untuk melestarikan keturunan. Keserasian akan muncul jika orang menikah. Pandangan hukum demikian juga berlaku untuk mengatur kehidupan polis. Namun, menurut Huijbers kemudian menimbulkan reaksi, di antaranya dari Protagoras yang kemudian didukung oleh lainnya. Menurut Protagoras, aturan polis ditentukan oleh seluruh anggota, bukan oleh aturan alam. Baik dan buruk, benar dan salah ditentukan manusia dan bersifat subyektif. Namun dalam prakteknya bukan semua anggota masyarakat, melainkan para penguasa.6

4

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, Hlm. 20. W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum, susunan I, Terj. Muhamad Arifin, Rajawali, Jakarta, 1990, Hlm. 53. 6 Theo Huijbers, Op.Cit., Hlm. 20. 5

4

Pandangan Protagoras ditentang oleh Socrates yang berpandangan bahwa ada keadilan yang bersifat obyektif. Cara menangkap kebenaran itu adalah dengan meningkatkan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmuwan yang dapat menemukan kebenaran dan membuat aturan. Konsep ini tentu berbeda dengan konsep Protagoras yang memberi peluang kepada penguasa untuk menentukan aturan. Maka terjadilah pertentangan yang bersifat politis. Akhirnya, Socrates harus menjalani hukuman mati atas pandangannya ini. Tokoh selanjutnya adalah Plato, salah seorang murid Socrates. Plato membagi dunia menjadi dua, yaitu dunia rohani yang ideal dan dunia fenomen yang materiil. Keduanya merupakan dua dunia yang sama sekali berbeda, terpisah antara satu dengan lainnya. Hampir sama dengan konsep gurunya, menurut Plato dunia ideal dapat ditangkap melalui pengetahuan. Dalam hal ini Plato relatif lebih realistis dari pada gurunya, karena mengakui adanya dunia riil. Plato menyarankan agar peraturan-peraturan yang berlaku ditulis dalam sebuah perundangundangan. Jika tidak, penyelewengan dari hukum yang adil akan sulit dihindari. Saran ini agaknya bertolak dari pengalaman Plato bahwa jika aturan tidak tertulis sama sekali memudahkan orang untuk memperdebatkannya atau melupakannya. Filosuf Yunani berikutnya adalah Arsitoteles, murid Plato yang paling masyhur. Aristoteles mengembangkan gagasan gurunya tentang alam ideal dan alam riil. Jika dalam konsep Plato dunia ideal terpisah dari dunia riil, maka Aristoteles berpandangan yang sebaliknya. Menurut Huijbers, Aristoteles menolak pandangan gurunya, karena menurutnya hal itu tidak mungkin. Jika dunia rohani terpisah sama sekali dari dunia materi, maka dunia rohani tidak ada gunanya bagi dunia materi. Baginya dunia rohani harus memiliki kontribusi bagi dunia materi. Untuk mendapatkan manfaat dari dunia rohaninya, maka manusia harus dapat menangkapnya. Menurut Aristoteles, cara yang

5

harus ditempuh adalah dengan mempergunakan akal.7 Dengan akal yang memiliki kemampuan sedemikian rupa, manusia dapat mengetahui jati diri dan hakekat ideal dirinya sendiri. Maka jika orang hidup menurut akalnya, berarti ia telah hidup secara alamiah. Mengenai keadilan, Aristoteles membaginya menjadi dua, yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif.8 Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masingmasing orang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan yang sama dalam masyarakat memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum. Sedangkan keadilan korektif berkaitan dengan penetapan kriteria dalam pelaksanaan hukum sehari-hari, yakni harus ada standar umum untuk memulihkan akibat tindakan seseorang dalam hubungan antara satu dengan lainnya. Sanksi pidana misalnya, memulihkan penderitan seseorang akibat kejahatan. Tokoh lainnya, yakni Zeno mengemukakan pandangan yang juga rasional. Menurutnya, alam diperintah oleh pikiran rasional.9 Kerasionalan itu dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkannya menciptakan suatu natural law yang didasarkan pada reasonable living.

b. Masa Romawi Tokoh dari Romawi antara lain adalah Seneca dan Cicero. Mereka mendapat pengaruh dari para filosuf Yunani yang menganggap bahwa alam semesta ini merupakan satu kesatuan (kosmos).10 Kesatuan itu tercipta berkat adanya jiwa dunia (logos). Logos menjiwai seluruh kehidupan. Maka manusia harus menyesuaikan diri dengan logos

7

W. Friedman, Op.Cit., Hlm. 53. L. B Curzon, Jurisprudence, (ttp.: M & E Handbook, 1979), Hlm. 51. 9 Muhamad Ali, Menguak Tabir Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 2002, Hlm. 260. 10 Theo Huijbers, Op.CIt. Hlm. 32. 8

6

dengan cara setia pada diri sendiri. Kehidupan bersama masyarakat juga harus diselaraskan dengan logos. Dalam hal ini ada tiga tingkatan hukum, yaitu: pertama, hukum universal dan abadi yang terdapat pada logos; kedua, hukum alam, yaitu hukum universal-abadi yang telah menjadi nyata di alam dunia; ketiga, adalah hukum positif, yakni hukum yang dibuat penguasa dan hukum alam menjadi dasarnya. Salah satu perkembangan penting di bidang hukum di masa Romawi ini adalah munculnya

hukum bangsa-bangsa.11 Namun

yang

dimaksudkan bukanlah hukum yang mengatur hubungan antar bangsa sebagaimana pengertian sekarang. Hukum bangsa-bangsa menurut orang Romawi adalah hukum yang berlaku di mana-mana, dianut oleh berbagai bangsa. Logos menyatakan diri dalam hidup bersama dalam bentuk hukum alam. Maka hukum alam bersifat abadi dan universal.

2. Abad Pertengahan (Abad V-XV M) Abad pertengahan adalah abad agama, yaitu Kristen dan Islam. Garis pemikirannya dapat dikatakan sama, yaitu bahwa alam semesta ini diciptakan sekaligus diatur oleh zat Allah. Maka hukum Allah-lah yang tertinggi yang bersifat abadi dan universal. Seluruh manusia harus mentaatinya. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang mengandalkan naluri dan akal untuk menangkap hukum yang abadi itu, pada abad agama ini hukum diketahui lewat wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul. Perbedaan antara Kristen dan Islam menurut Huijbers adalah bahwa hukum Islam berhubungan langsung dengan wahyu, sedangkan dalam kristen hukum tidak secara langsung berhubungan dengan wahyu. 12 Dalam Kristen, hukum dibuat manusia di bawah inspirasi agama dan wahyu. Menurut penulis, pendapat Huijbers bahwa hukum Islam berhubungan secara langsung dengan wahyu tidak salah. Namun harus pula dicatat bahwa

11 12

Ibid., Hlm. 34. Ibid., Hlm. 27.

7

rumusan hukum Islam tidak selalu disediakan secara instan oleh wahyu, melainkan harus melalui ijtihad oleh para fuqaha dengan inspirasi wahyu.

3. Zaman Baru (Mulai Abad XV) Masa ini berbeda dari masa sebelumnya, baik masa Yunani-Romawi maupun abad pertengahan. Jika pada abad pertengahan dunia dikuasai oleh hukum Tuhan, maka pada abad moderen akal yang menjadi kekuatan hukum tertinggi.13 Inilah sisi perbedaan pokok dengan abad pertengahan. Sedangkan perbedaannya dengan konsep Aristoteles dari Yunani adalah bahwa jika pada konsep Aristoteles akal sepenuhya mengatur sifat sosial manusia, sedangkan masa moderen meletakkan sifat sosial sebagai batu penguji sifat rasional manusia. Masa ini dipelopori oleh cukup banyak tokoh. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibahas beberapa saja. a. Hugo Grotius (1583–1645) Titik tolak pemikiran Grotius adalah konsep tentang alam manusia.14 Menurutnya semua manusia mempunyai alam yang sama dan kecenderungan-kecenderungan alamiah yang sama. Salah satunya adalah kecenderungan untuk hidup bersama. Dan ketika telah terbentuk kehidupan bersama itu, masing-masing memiliki hak yang sama pula. Menurut Grotius, kehidupan bersama itu diatur dengan akal secara terbatas. Letak keterbatasan itu adalah dua tahap ujian yang harus dilewati oleh hasil karya akal, yaitu a-priori dan a-posteriori. A- apriori adalah menguji segala sesuatu dalam hubungannya dengan sifat rasional dan sosial manusia. Sedangkan a-posteriori adalah menguji penerimaan prinsip-prinsip itu di antara bangsa-bangsa. Bertolak dari pemikiran demikian, maka selain sebagai kecenderungan alamiah, kehidupan bersama sesungguhnya juga merupakan kontrak sosial. Selanjutnya, Grotius mengemukakan empat prinsip hidup bersama. Pertama, prinsip kupunya kau punya, yang berarti harus saling menjaga 13 14

W. Friedman, Op.Cit., Hlm. 90. Theo Huijbers, Op.Cit., Hlm. 59.

8

kepemilikan. Kedua, prinsip kesetiaan pada janji. Ketiga, prinsip ganti rugi yang harus dibayarkan oleh orang yang berbuat kesalahan sehingga merugikan orang lain. Keempat, prinsip perlunya hukuman ketika ada pelanggaran hukum.

b. Thomas Hobbes (1588-1679) Hobbes memiliki pandangan yang berbeda dari para filosuf lainnya tentang hukum alam. Secara umum, tokoh-tokoh lain memberi penekanan pada obyektifitas hukum alam. Hobbes mengubah tekanan dari hukum alam sebagai tatanan obyektif menjadi hak alami sebagai suatu tuntutan subyektif.15 Pandangan ini jelas revolusioner, karena memberi kekuatan kepada orang yang kehilangan hak-hak alaminya untuk merebutnya kembali. Di sisi yang lain, untuk melindungi hak alami, Hobbes melegitimasi kekuasaan yang absolut. Menurutnya tanpa adanya kekuasaan hak-hak alami tidak mungkin dapat dilindungi. Individu-individu menyerahkan kekusaannya pada raja, dan raja berhak melakukan apa saja untuk melindungi rakyatnya.

c. John Locke (1632-1704) Locke merupakan penentang Hobbes paling terkemuka. Hal itu dapat dilihat dari ilustrasi Locke sebagaimana dijelaskan oleh Huijbers berikut: Ketika hak-hak alami orang-orang primitif terganggu karena adanya kekurang-pahaman dan sikap yang tidak adil, mereka berusaha mengatasinya dengan menyusun undang-undang bersama yang berlaku untuk semua orang dan sekaligus membentuk pemerintahan untuk menjaga pelaksanaan undang-undang itu. Oleh sebab itu, tugas negara adalah menjamin pelaksanaan undang-undang. Pemerintahan atau negara tidak punya wewenang untuk mencabut hak-hak alami

15

W. Friedman, Op.Cit., Hlm. 76.

9

warganya, dan sebaliknya warga negara juga tidak mungkin menyerahkan hak-haknya kepada negara sebagaimana dikatakan Hobbes.16 Setelah mengalami krisis karena mendapat serangan dari aliran hukum positif dan lainnya pada abad delapan belas, aliran hukum alam mengalami apa yang disebut sebagai the revival of natural law (kebangkitan kembali hukum alam). Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena hukum alam tidak pernah mati. Di samping itu, hukum alam sebelum abad delapan belas dan hukum alam setelahnya tidak sama. Satu-satunya mata rantai yang mempersamakan keduanya adalah keinginan untuk menyatakan suatu idealisme moral. Tokoh penting hukum alam abad sembilan belas adalah Rudolf Stamler. Pokok-pokok pikiran Stamler adalah sebagai berikut : a) Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil. b) Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan kebenaran dari hukum. c) Metode itu menjadi pemandu ketika hukum gagal untuk mencapai tujuannya. d) Hukum merupakan struktur yang sedemikian rupa. Kita harus mengabstraksikan tujuan-tujuannya dari kehidupan sosial yang nyata. e) Dengan bantuan analisis yang logis, asas-asas penyusunan hukum dapat ditemukan yang akan menjadi panduan dalam memberikan penilaian tentang tujuan manakah yang layak untuk dicapai.17 Demikian perkembangan hukum alam dari masa ke masa yang ternyata mengalami perubahan ontologis maupun epistimologis serta aksiologisnya. Secara garis besar dapat dilihat bahwa perubahan itu semakin mengerucut kepada teori yang lebih konkrit dan rasional. 16 17

Theo Huijbers, Op.Cit., Hlm. 81. Muhamad Ali, Op.Cit., Hlm. 262.

10

B. Teori Positivisme (John Austin) Salah satu term utama dari pemikiran Austin adalah klaim bahwa Hukum itu adalah perintah penguasa (law as command of the sovereign). Dalam kesempatan lain, Austin mengatakan, law is a command of lawgiver. Hukum adalah produk kuasa pembuat hukum. Lebih tegasnya, hukum adalah produk dari kekuasaan yang merdeka (unfettered sovereign). Perintah (command) adalah kata kunci dari makna dan esensi hukum menurut Austin. Sehingga bagi Austin hukum yang benar itu tidak lain adalah perintah itu sendiri. Laws proper, or property so called, are commands: laws which are no commands, are laws improper, or improperly so called.18 Atas dasar ini, teori hukum Austin seringkali disebut juga sebagai command theory yang ide dasarnya sebetulnya merujuk kepada karakteristik hukum menurut Bentham.19 Austin ingin mencari dan menemukan pondasi hukum dengan sesuatu yang nyata, dan perintah adalah jawabannya. Perintah dimaknainya sebagai sesuatu yang bersifat imperatif dan disengaja atau dikehendaki yang berasal dari seseorang atau yang ditujukan untuk pihak lainnya untuk bertindak sesuai dengan perintah tersebut. Menurut Austin, perintah adalah suatu kehendak, tapi berbeda dengan kehendak pada umumnya dan yag membedakannya bukan jenis dari kehendak itu sendiri, melainkan kekuasaan dan tujuan dari pihak yang mengeluarkan perintah tersebut, yaitu memberikan sanksi apabila perintah tersebut tidak dilaksanakan atau diabaikan. Secara demikian, perintah yang melahirkan hukum dalam pandangan Austin mesti mengandung kewajiban, karena sanksi hukum lahir disebabkan pengabaian terhadap kewajiban tersebut. Perintah agar dapat menjadi hukum harus mengandung tiga elemen, yaitu: wish, communication, dan sanction. Kehendak atau niat yang dimaksud bukan sekedar niat biasa, melainkan kehendak yang mengarahkan seseorang untuk

18

John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, Cambridge University Press, Cambridge, 1995, Hlm. 10. 19 Marett Leiboff dan Mark Thomas, Legal Theories in Principle, Thomson Lawbook Co, Sydney, 2004, Hlm. 152.

11

berperilaku yang tujuannya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.20 Komunikasi yang dimaksud adalah mengkomunikasikan kehendak dari pembuat hukum. Kehendak dalam pengertian Austin dapat menjadi perintah hanya apabila dikomunikasikan dengan Bahasa atau bentuk komunikasi lainnya yang dapat dipahami oleh masyarakat. Kemudian sanksi, menurut Austin sanksi adalah suatu tindakan yang buruk yang dikenakan oleh seseorang atau pihak yang memiliki kehendak terhadap orang lain/pihak lain yang tindakannya bertentangan dengan kehendak tersebut. Bukan merupakan hal yang penting, apakah kehendak itu diekspresikan dengan perintah yang kasar atau dengan sebuah permohonan yang sopan. Kehendak dapat menjadi perintah apabila didalamnya membawa serta ancaman bahaya.21 Sesuatu yang bukan perintah, bukan hukum. Hanya perintah yang bersifat umum yang dianggap sebagai hukum dan perintah yang berasal dari pemegang kuasa adalah hukum yang berlaku. Eksistensi sebuah sistem hukum merupakan kombinasi dari kekuasaan yang merdeka dan kepatuhan masyarakat.22 Perintah khusus yang dibuat atau dilakukan oleh seorang individu terhadap yang lainnya bukan merupakan hukum. Perintah yang bernilai hukum adalah perintah yang menciptakan kewajiban.23 Dengan demikian, Austin tidak menganggap semua bentuk perintah adalah hukum. Perintah yang dapat menjadi dan menciptakan hukum adalah perintah yang diproduksi atau dikeluarkan oleh pihak atau lembaga yang memiliki otoritas, misalnya: Raja, Ratu, atau Parlemen. Lembaga yang memiliki otoritas tersebut oleh Austin disebut dengan istilah sovereign.24

20

John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, Noonday Press, New York, 1954, Hlm. 13-14. 21 Ibid., Hlm. 14. 22 Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory, Oxford University Press, Oxford, 2005, Hlm. 56-57. 23 John Austin, Op.Cit., Hlm. 10. 24 Marett Leiboff dan Mark Thomas, Op.Cit., Hlm. 154.

12

BAB III PEMBAHASAN

A. Alasan Masyarakat Harus Patuh Hukum Sebelum membahas mengapa masyarakat harus patuh terhadap hukum, terlebih dahulu perlu diketahui definisi dari kepatuhan hukum itu sendiri. Menurut M. Sofyan Lubis bahwa kepatuhan hukum pada hakekatnya adalah kesetiaan seseorang atau subjek hukum terhadap hukum itu yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata.25 Kemudian Suwondo menyatakan bahwa kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang tertulis, kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah ia memperoleh pengetahuan, dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak, oleh karena itu dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan dan identifikasi kelompok.26 Pendapat di atas menyatakan bahwa orang akan patuh pada hukum apabila ia sadar bahwa hukum itu berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia baik perorangan maupun kelompok. Jadi intinya adalah kepatuhan itu bermula dari kesadaran seseorang akan pentingnya hukum sebagai alat untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa, kepatuhan hukum apabila masalahnya diselidiki secara filosofis dan yuridis, maka ia lebih didasarkan pada rasa perasaan saja, seperti kesadaran hukum rakyat, perasaan keadilan masyarakat, dan sebagainya. Pikiran yuridis tradisional menerima bahwa perilaku orang itu dibentuk oleh peraturan hukum, pikiran tersebut menerima

25

http://www.kantorhukum-lhs.com. Artikel Kesadaran Hukum vs Kepatuhan Hukum oleh Drs. M. Sofyan Lubis, SH. Diakses Pada Tanggal 16 November 2018. 26 http://jdih.jatimprov.go.id.menanamkan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Diakses 16 November 2018.

13

begitu saja bahwa hukum itu akan dipatuhi oleh masyarakat, jadi antara peraturan hukum dan kepatuhan hukum terdapat hubungan linier yang mutlak.27 Kemudian menurut R. Bierstedt, dasar-dasar kepatuhan terhadap kaidah hukum itu sendiri adalah:28 1. Indoctrination Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah adalah karena dia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka kaidah-kaidah telah ada ketika manusia dilahirkan, dan semula manusia menerimanya secara tidak sadar. Melalui proses sosialisasi manusia dididik untuk mengenal, mengetahui, serta mematuhi kaidah-kaidah tersebut. 2. Habituation Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk memenuhi kaidah-kaidah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari ditemui, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama. 3. Utility Pada dasarnya manusia mempunyai kecendrungan untuk hidup pantas dan teratur. Akan tetapi, apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut, patokan-patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku yang dinamakan kaidah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaidah adalah karena kegunaan daripada

27

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, Hlm. 203. Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1982, Hlm. 225. 28

14

kaidah tersebut. Manusia menyadari, bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan kaidah-kaidah. 4. Group Identification Salah satu sebab mengapa seseorang patuh kepada kaidah adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi. Bahkan kadangkadang seseorang mematuhi kaidah-kaidah kelompok lain karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut. Perlu dicatat, bahwa terdapat bermacam-macam derajat kepatuhan terhadap kaidah-kaidah, mulai dari derajat konformitas yang tingga sampai kepada mereka yang dinamakan golongan non-konformis. Bahkan pada masyarakatmasyarakat yang mempunyai kebudayaan dan struktur social yang sederhana, dapat dijumpai orang-orang yang tidak mematuhi kaidah-kaidah. Apalagi pada masyarakat-masyarakat kompleks dimana terdapat bermacam-macam kaidah, maka akan dijumpai keaneka-ragaman pula dalam derajat kepatuhan terhadap kaidah-kaidah tersebut. Keadaan semacam ini menyebabkan terjadinya situasisituasi sebagai berikut:29 1. What is deviance in one group may be conformity in another. . . the man who rebels against all of the norms of his society is not usually a Bohemian but rather a hermit, one who separates himself both physically and socially from his community; 2. The same individuals belong at the same time to different groups and are expected to conform to different norms. When these norms contradict one another, or when they conflict, the individual is forced into making a choice between them. . .

29

Ibid., Hlm. 227.

15

3. Differences in norms are barriers to understanding. Indeed, a normless situation is a situation of anomy, and anomy represents chaos, just as society represents order. But it must also be apparent that different and contrary norms are barriers to easy and regular social intercourse.

B. Indikator Masyarakat Patuh Hukum Dalam bukunya Soerjono Soekanto, indikator masyarakat dapat dikatakan memiliki kepatuhan hukum dapat dibedakan kedalam 3 tingkatan, yaitu:30 1. Compliance Indikator ini dapat dikatakan memiliki derajat yang paling rendah diantara indikator yang lain karena kepatuhan hukum dalam tingkatan ini hanya didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada keyakinan dan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, akan tetapi lebih didasarkan kepada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut. 2. Identification Tingkat kepatuhan terhadap kaidah hukum ini dapat terjadi bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, dengan demikian kepatuhan tergantung pada baik-buruk interaksi. Identifikasi tingkatannya lebih tinggi dibandingkan compliance. Pada tingkatan identification, seseorang mematuhi hukum tidak saja karena ia takut sanksi tetapi karena ia ingin menciptakan dan sekaligus mempertahankan hubungan yang menyenangkan dengan orang atau

30

Ibid., Hlm. 230.

16

kelompok lain. Kepatuhan hukum pada tingkatan identifikasi dalam rangka mencegah rusaknya suatu hubungan. 3. Internalization Pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah hukum karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan, atau karena Ia mengubah nilai-nilai semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya. Tahap ini merupakan derajat kepatuhan tertinggi, dimana ketaatan itu timbul karena hukum yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Tiga indikator diatas merupakan bagian dari teori-teori dalam kepatuhan hukum. Teori-teori tentang kepatuhan hukum sendiri secara umum hanya digolongkan kepada 2 golongan, yaitu teori paksaan dan teori konsensus.31 Salah seorang tokoh yang menganut teori paksaan ini adalah Max Weber. Menurutnya, penguasa mempunyai monopoli terhadap sarana-sarana paksaan secara fisik yang merupakan dasar bagi tujuan hukum untuk mencapai tata tertib atau ketertiban. Selain Weber, ada pula tokoh lain yang sependapat, yaitu Enschede dan Cohen yang mendukung bahwa memang ada monopoli negara terhadap hukum sehingga melahirkan paksaan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, teori inipun mendapat kritik dari berbagai kalangan, dengan dalih kepatuhan yang semata-mata didasarkan kepada sanksi-sanksi atau ancaman-ancaman belaka, akan menimbulkan motivasi untuk melanggar peraturan apabila tidak ada lembaga yang mengawasinya. Disamping itu, adapula reaksi lain yang menyebutkan bahwa apabila kepatuhan tersebut hanya didasarkan pada apa yang disebutkan diatas,

31

Ibid., Hlm. 232.

17

maka tidak akan dapat bertahan lama. Ketika sanksi dan ancaman itu tidak ada, maka kepatuhan terhadap hukumpun akan hilang. Dengan adanya reaksi-reaksi semacam ini, mulailah golongan teori konsensus berkembang. Teori yang mendasarkan bahwa penerapan hukum ada pada masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat secara sadar menerima kaidah hukum tersebut, maka implikasinya adalah akan menghasilkan tata tertib dalam pergaulan masyarakat. Menurut pendapat lain, yaitu Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:32 1. Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya bilamana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang; 2. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi ia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan; 3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaidahkaidah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa; 4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang; 5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun tidak patuh terhadap hukum (melakukan protes).

32

Ibid., Hlm. 234.

18

BAB IV KESIMPULAN

1. Kepatuhan hukum merupakan proses dari internalisasi hukum. Dengan kata lain memasukkan kaidah hukum baru kedalam kaidah hukum sebelumnya. Masyarakat sejatinya sejak lahir seringkali menerima hal semacam ini. Tentunya satu sisi mengekang kebebasan seseorang. Tapi di sisi lain, menciptakan kaidah baru demi terwujudnya masyarakat yang tertib. Apalagi masyarakat dalam sebuah Negara bukan hanya bagian dari masyarakat Negara itu sendiri saja, melainkan merupakan bagian juga dari struktur masyarakat internasional yang tentunya banyak kaidah-kaidah atau kultur-kultur yang seringkali berbenturan dengan kaidah- kaidah yang dimiliki. 2. Karena merupakan proses dari internalisasi hukum, maka kepatuhan hukum ini bukan merupakan satu hal yang instan, dapat dengan mudah terwujud. Banyak tahap-tahap yang perlu dilalui seseorang untuk mencapai derajat kepatuhan tertinggi di masyarakat. Apalagi sebagaimana yang kita tahu bahwa masyarakat ini sangat heterogen dalam keyakinannya terhadap suatu kaidah, kultur, norma dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, dibuatlah indikator agar dapat digunakan sebagai salah satu pemecahan masalah terkait dengan kepatuhan hukum dalam masyarakat.

19

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku: Elyya Rosana. Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud Kesadaran Hukum Masyarakat. Jurnal TAPIs Vol.10 No.1 Januari-Juni. 2014. John Austin. The Province of Jurisprudence Determined. Cambridge University Press. Cambridge. 1995. John Austin. The Province of Jurisprudence Determined. Noonday Press. New York. 1954. L. B Curzon. Jurisprudence. ttp.: M & E Handbook. 1979. Marett Leiboff dan Mark Thomas. Legal Theories in Principle. Thomson Lawbook Co. Sydney. 2004. Muhamad Ali. Menguak Tabir Hukum. Gunung Agung. Jakarta. 2002. Raymond Wacks. Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory, Oxford University Press. Oxford. 2005. Satjipto Rahardjo. Sosiologi Hukum. Genta Publishing. Yogyakarta. 2010. Soerjono Soekanto. Ikhtisar dari Thesisnya yaitu Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Universitas Indonesia. Jakarta. 1977. Soerjono Soekanto. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Rajawali Press. Jakarta. 1982. Theo Huijbers. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius. Yogyakarta. 1982. W. Friedmann. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-teori Hukum, susunan I, Terj. Muhamad Arifin. Rajawali. Jakarta. 1990.

Sumber Internet: http://www.kantorhukum-lhs.com. Artikel Kesadaran Hukum vs Kepatuhan Hukum oleh Drs. M. Sofyan Lubis, SH. Diakses Pada Tanggal 16 November 2018. http://jdih.jatimprov.go.id.menanamkan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Diakses 16 November 2018.

20

Related Documents

Sosiologi
November 2019 52
Sosiologi
June 2020 35
Sosiologi
October 2019 56
Sosiologi
December 2019 66
Sosiologi
December 2019 41

More Documents from "Anisa Utami ica'u"