Pembahasan Cross Sectional.docx

  • Uploaded by: Fel
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembahasan Cross Sectional.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,417
  • Pages: 5
Hubungan Usia dengan Katarak Menurut teori dari Van Den Beerg dalam jurnal Straylight Effects with Aging and Lens Extraction, semakin meningkatnya usia, maka sifat lensa sebagai salah satu organ tubuh juga akan ikut berubah. Perubahan yang terjadi salah satunya ialah meningkatnya kemampuan lensa untuk menghamburkan cahaya matahari. Tidak hanya pada lensa, penyebaran cahaya matahari juga terjadi secara intraokular, dan ini juga meningkat secara eksponensial sesuai dengan peningkatan usia. Perubahan ini secara nyata dimulai dari usia 40 tahun, kemudian meningkat hingga 2 kali lipat saat usia 65 tahun, dan mencapai 3 kali lipat pada usia 77 tahun. (dafpus : Van Den Berg, et al. 2007. Straylight Effects with Aging and Lens Extraction.American Journal of Ophthalmology.Vol.144. Issue 3 : 358363) Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Istiantoro (2008), sebagai guru besar fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa proses degenerative mengakibatkan lensa menjadi keras dan keruh karena terjadi penurunan kerja metabolisme dalam tubuh.artinya semakin bertambahnya usia seseorang maka risiko terjadinya penyakit katarak akan semakin besar pula.hal tersebut didukung dengan penelitian ini dimana ditemukan adnya hubungan antara usia dengan kejadian katarak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rijal (2010), tentang Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Katarak di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar Tahun 2010, menunjukkan hasil analisis statistik dengan menggunakan Uji Chi Square diperoleh nilai p= 0,000 dengan α = ( p<0,05 ), dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian katarak. Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara usia dengan kejadian katarak dilakukan uji phi, sehingga diperoleh nilai φ= 0,278 (27,8%). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian oleh Daliena (1998), didapatkan usia merupakan faktor yang penting dalam pembentukan katarak Usia ≥ 40 tahun

memiliki 9 kali berisiko untuk menderita

katarakdibandingkan dengan mereka yang lebih muda.

Hubungan Keturunan dengan Katarak Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa Menurut teori dari Abraham (2006), dalam buku The New Epidemiology of Cataract, gen berkontribusi dalam mekanisme kataraktogenesis yang pada akhirnya menghasilkan produk gen yang selanjutnya informasi tersebut dapat membantu dalam mengidentifikasi individu yang memiliki kecenderungan lebih rentan terhadap faktor risiko katarak.

Ketidaksesuaian

hasil

penelitian

dengan teori dikarenakan responden tidak mengetahui tentang adanya riwayat sakit katarak pada keluarga sebelumnya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pemeriksaan mata sebelumnya, terdapat responden yang telah memisahkan diri dari keluarga sejak kecil, serta terdapat beberapa responden yang mengaku mempunyai keluarga dengan gejala katarak, namun tidak pernah memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan, jadi diagnosis katarak tidak dapat ditegakkan secara pasti. (dafpus : Abraham, A. G., Condon, N. G., & Gower, E. W. 2006. The New Epidemiology of Cataract. Ophtalmology Clinics of North America, 19(4): 415 – 25.) Hasil penelitian dari Anni (2018), menunjukkan responden katarak yang mempunyai riwayat keluarga sebelumnya ada katarak sebanyak 12 orang (26,7%) lebih tinggi dibandingkan responden bukan katarak yaitu 8 orang (17,8%). Sedangkan responden bukan penderita katarak dengan tidak adanya riwayat keluarga katarak sebelumnya sebanyak 37 orang (82,2%) lebih banyak dibandingkan dengan penderita katarak sebanyak 33 orang (73,3%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa riwayat keluarga katarak tidak berhubungan dengan kejadian katarak senils di RSUD Tugurejo Kota Semarang (p value= 0,45). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Heidar (2015) di Iran, Sonowal (2013) di India yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara adanya riwayat keluarga yang pernah sakit katarak dengan kejadian katarak senilis. Adanya hubungan ini dimungkinkan karena proporsi responden dengan riwayat keluarga katarak lebih tinggi dibandingkan responden tanpa adanya riwayat katarak dalam keluarga, akses layanan kesehatan yang sudah memadai, serta adanya kesadaran tentang kesehatan. (dafpus : Heidar, F., Jamal F., & Mohammad N. 2015. Comparison of Epidemiological Factors Between Patients

with Senile Cataract and Controls Without Cataract. Open Science Journal of Clinical Medicine, 3(3): 86-89.) Hubungan indeks massa tubuh dengan katarak Dari hasil metanalisis penelitian sebelumnya didapatkan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya katarak nuklear ( pooled RR, 1,12; 95% CI,1,02 – 1,25), katarak kortikal ( pooled RR, 1,34; 95% CI, 1,07 1,66), dan katarak PSC (pooled RR, 1,52; 95% CI, 1,31 – 1,77). Dimana ini berarti bahwa hubungan obesitas dengan katarak bermakna secara statistic. (dafpus : Pan, C., & Lin, Y. (2014). Overweight, Obesity, and Age Related Cataract : A Meta Analysis. NCBI.) Pada penelitian oleh Ellaily, tentang Faktor Risiko Kejadian Katarak di Desa Brajan Kabupaten Bantul Yogyakarta, hubungan BMI dengan katarak didapatkan hasil signifikansi 0,482. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara BMI dengan penyakit katarak karena nilai p > 0,05. Hubungan Pendidikan dengan Katarak Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia tahun 2013 yang menunjukkan bahwa terdapat tiga terbanyak alasan penderita katarak belum operasi yaitu 51,6% karena tidak mengetahui menderita katarak, 11,6% karena tidak mampu membiayai dan 8,1% karena takut operasi. Pada penelitian sebelumnya oleh Anni, menunjukkan tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian katarak senilis di RSUD Tugurejo Kota Semarang. Hasil uji chi square diperoleh nilai p=0,000 <0,05 dengan OR sebesar 4,92 dan 95%CI=2,01-12,04, maka dapat diketahui bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah 4,92 kali lebih berisiko menderita katarak senilis dibandingkan responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Menurut Tana (2009) pendidikan yang kurang dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran mengenai penyakit katarak dan pengobatannya. Data di lapangan menunjukkan bahwa responden penderita katarak dengan pendidikan rendah sebanyak 32 orang (71,1%) lebih banyak dibandingkan dengan bukan penderita katarak yaitu 15 orang (33,3%). Sedangkan

responden bukan penderita katarak dengan pendidikan tinggi yaitu 30 orang (66,7%) lebih banyak dibandingkan dengan responden penderita katarak sebanyak 13 orang (28,9%). Pendidikan masyarakat yang rendah akan berdampak pada tidak adanya pemahaman dan kesadaran akan penyakit katarak. Dari beberapa wawancara dengan responden, mereka mengaku tidak pernah tahu sebelumnya mengenai penyakit katarak, gejala katarak serta pencegahannya. Mereka juga cenderung memeriksakan diri setelah penglihatan dirasa cukup mengganggu aktifitas sehari-hari. (dafpus : Tana, L., Rif’ai, L., & Ghani, L. 2009. Peranan pekerjaan Terhadap Kejadian Katarak pada Masyarakat Indonesia Riset Kesehatan Dasar 2007. Buletin Penelitian Kesehatan Supplement, 37 (9): 77-84.) Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian katarak senilis di daerah pesisir, hal ini dikarenakan pendidikan belum menjadi kebutuhan yang penting apalagi kondisi sarana dan prasarana yang tidak mendukung. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi alasan rendahnya tingkat pendidikan. Meskipun tidak ditemukan hubungan langsung antara tingkat pendidikan dan katarak. Namun, pendidikan rendah dapat berpengaruh pada penghasilan yang akan mempengaruhi status nutrisi seseorang. Selain itu, rendahnya pendidikan menjadikan responden memiliki pekerjaan sebagai nelayan, buruh, dan pedagang jalanan dengan paparan sinar matahari yang berdampak pada pembentukan katarak.(dafpus : Laila, A., Raupong, I., & Saimin, J. dkk. 2017. Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Katarak di Daerah Pesisir Kendari. Jurnal Medula, 4 (2): 2443-0218. ) Penelitian Bae (2015) berdasarkan Korea national health nutrition examnation survey menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian katarak senilis. Adanya hubungan dalam penelitian Bae dikarenakan orang dengan pendidikan rendah mungkin mengalami kesulitan memperoleh informasi tentang risiko kesehatan. (dafpus : Bae, J. H., Shin, D. P., Lee, S. C., & Hwang I. C. 2015. Sodium Intake and Socioeconomic Status as Risk Factors for Development of Age-Related Cataracts: The Korea national health and Nutrition Examination Survey. PLOS ONE, 10 (8): e0136218.)

Hubungan Pekerjaan dengan Katarak Berdasarkan hasil Riskesdas (2013) beberapa pekerjaan yang cukup berisiko untuk terjadinya katarak di antaranya adalah petani, buruh dan nelayan. Pada penelitian oleh Miranty (2016), tentang Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Katarak Senilis Di RSU Bahteramas Tahun 2016, hasil uji statistik menunjukkan bahwa risiko untuk menderita katarak bagi responden dengan risiko tinggi mempunyai pekerjaan di luar gedung adalah 2,935 kali lebih besar dibandingkan responden dengan risiko rendah bekerja di dalam gedung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan yang berada diluar gedung dengan kejadian katarak senilis. Hal ini sejalan dengan pekerjaan responden pada saat penelitian, responden kebanyakan memiliki pekerjaan sebagai petani, buruh, dan pedagang keliling, jenis pekerjaan yang berada diluar gedung dikaitkan dengan paparan sinar ultraviolet langsung. Dalam penelitiannya Ulandari (2014), apabila dalam waktu yang lama bekerja diluar gedung dan terpapar sinar matahari, akan sangat berbahaya karena radiasi sinar ultraviolet dari matahari akan diserap oleh lensa, sehingga akan menyebabkan lensa menjadi keruh. Masuknya radiasi sinar ultraviolet secara langsung kedalam mata dapat dikurangi dengan menggunakan alat pelindung diri seperti topi saat bekerja diluar gedung. Bahaya akan sinar ultravioletini belum banyak diketahui oleh responden yang, sehingga perlu diadakannya penyuluhan atau promosi kesehatan untuk menggunakan alat pelindung diri saat berada diluar gedung.(dafpus : Ulandari, N.N.S.T. 2014. Pengaruh Pekerjaan Dan Pendidikan Terhadap Terjadinya Katarak Pada Pasien yang Berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Nusa Tenggara Barat.) Pada penelitian oleh lain oleh Ellaily, hubungan lokasi pekerjaan dengan katarak didapatkan hasil signifikansi 0,523. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lokasi pekerjaan dengan penyakit katarak karena nilai p > 0,05.

Related Documents

Pembahasan
August 2019 65
Pembahasan
July 2020 39
Cross
June 2020 31
Cross++
November 2019 67
Cross
June 2020 33

More Documents from ""

Referat Panoftalmitis.docx
November 2019 31
Referat Mata Fix.docx
November 2019 16
Proporsi Jurnal.docx
June 2020 7
Mass Wedding Doc
October 2019 17