Pemanfaatan Mesin Perontok Padi Untuk Menekan Kehilangan Hasil Gabah Saat Pascapanen-kelompok 4.docx

  • Uploaded by: ridho saputra
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemanfaatan Mesin Perontok Padi Untuk Menekan Kehilangan Hasil Gabah Saat Pascapanen-kelompok 4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,258
  • Pages: 14
PEMANFAATAN MESIN PERONTOK PADI UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL GABAH SAAT PASCAPANEN

Dosen Pegampu: Dr. Fitry Tafzi, S.TP., M.Si.

Oleh : Ridho Saputra (J1B117013) David Pangasian (J1B117025) Muslimin. AM (J1B117029)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS JAMBI 2018

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia serta kesempatan yang di berikan kepada kami, karena telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penyusun, sehingga berhasil menyelesaikan makalah Metode Penyajian Penulisan Ilmiah yang berjudul “ Pemanfaatan mesin perontok padi untuk menekan kehilangan hasil gabah saat pascapanen” tepat pada waktunya. Penyusun menyadari dalam makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Fitry Tafzi, S.TP., M.Si selaku Dosen mata kuliah Metode Penyajian Penulisan Ilmiah. Penyusun menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa memberikan manfaat dan dapat dikembangkan lebih lanjut.

Jambi, 22 Oktober 2018

Penyusun

DAFTAR ISI Kata Pengantar ………………………………………………………….…........ i Daftar isi ………………………………………………………………….…..... ii I. PENDAHULUAN ………………………………………………….……….... 1.1 Latar Belakang …………………………………………...………….... 1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………...... 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………........................... II. ISI ………………………………………………….………………………. III. KESIMPULAN ………………………………………………….………… DAFTAR PUSTAKA …………………………....………...…………...............

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Upaya peningkatan produksi beras di dalam negeri makin dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk dengan tingkat konsumsi yang semakin tinggi. Namun tantangan peningkatan produksi di masa yang akan datang juga makin meningkat terkait dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya antara sektor pertanian dengan sektor lainnya. Beras sangat berhubungan erat dengan masyarakat Indonesia. Dewasa ini, dengan jumlah penduduk lebih dari 237 juta jiwa, total konsumsi beras di Indonesia mencapai 33 juta ton per tahun dan akan terus meningkat sejalan dengan

partumbuhan

penduduk.

Kekurangan

pasokan

beras

berpotensi

mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, dan politik negara, sehingga bisa menyebabkan runtuhnya kekuasaan suatu rezim pemerintahan. Itulah alasan utama mengapa peningkatan produksi beras masih menjadi prioritas utama dalam pembangunan pertanian Indonesia (Sudaryanto et.al., 1999; Sudaryanto and Swastika, 2008). Tantangan saat ini adalah bagaimana meraih kembali dan mempertahankan swasembada beras secara berkelanjutan. Keterbatasan dana pembangunan telah mendorong pemerintah untuk mengurangi berbagai bentuk subsidi sarana produksi pertanian. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya produksi di tingkat petani. Pesatnya laju konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian serta jenuhnya tingkat penerapan teknologi budidaya padi merupakan kendala serius bagi upaya peningkatan produksi padi. Selain itu, tingkat kehilangan atau susut hasil pada panen dan pascapanen yang masih relatif tinggi, dapat mengganggu upaya pencapaian target produksi beras nasional. Proses perontokan buah padi dari batangnya yang mana saat ini pengolahan masih dilakukan secara manual atau masih semi otomatis yaitu dengan memukulkan batang padi ke tempatnya sehingga akan membutuhkan tenaga dan waktu yang lama serta dapat membuat gabah berserakan, yang mana ketika melakukan perontokan buah padi dari batangnya pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan yang lainnya. Upaya penurunan tingkat kehilangan hasil merupakan

salah satu potensi peningkatan produksi yang prospektif, di tengah jenuhnya penerapan teknologi budidaya dan sulitnya mencegah konversi lahan. Kehilangan atau susut selama waktu panen terjadi antara lain karena adanya gabah yang rontok akibat panen yang tidak benar atau penundaan waktu panen. Selama perontokan juga terjadi susut, baik karena adanya gabah yang tertinggal pada malai atau kerusakan mekanis yang disebabkan oleh peralatan/mesin yang digunakan. Dapat dikatakan bahwa cara dan penggunaan alat panen dan pascapanen (merontok) berpengaruh pada besar kecilnya kehilangan hasil. Oleh karena itu, petani perlu didorong untuk menggunakan teknologi yang tersedia dan efisien (Iswari, 2012). Masalah utama dalam pasca panen padi yang sampai dengan saat ini belum terpecahkan adalah kehilangan pada berbagai tahapan proses pascapanen. Sebagai contoh, pada tahun 1986/87 total kehilangan pascapanen padi mulai dari panen hingga penyimpanan berkisar 20,30% (BPS, 1987) dan sampai dengan tahun 2005 belum menunjukkan adanya penurunan, yaitu total kehilangan masih lebih dari 20% (BPS, 2005). Salah satu jalan keluar agar dapat menekan kehilangan hasil gabah yaitu dapat melakukan penggunaan mesin perontok dalam proses pasca panen padi. Keuntungan penggunaan mesin perontok padi yaitu dapat meningkatkan efisiensi kerja, menghindarkan penundaan perontokan, memperbaiki mutu gabah, beras, dan rendemen beras giling, menekan kehilangan hasil karena gabah tidak terontok kurang, dan menekan kehilangan hasil (Setyono, 2010).

1.2 Rumusan Masalah Apa saja penyebab yang mempengaruhi terjadinya kehilangan hasil gabah dan bagaimana cara untuk menekan kehilangan tersebut ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.

Menegetahui penyebab apa saja yang mempengaruhi terjadinya kehilangan hasil gabah

2.

Mengetahui cara menekan kehilangan hasil gabah

II. ISI

2.1 Kehilangan Hasil Gabah Saat Pascapanen

Pascapanen padi adalah tahapan kegiatan yang meliputi pemungutan (panen) perontokan, pengeringan, pengemasan, penyimpanan dan pengolahan menjadi beras untuk dipasarkan. Penanganan pascapanen bertujuan untuk menurunkan kehilangan hasil, menekan tingkat kerusakan, dan meningkatkan daya simpan dan daya guna komoditas untuk memperoleh nilai tambah (Setyono et al., 2008). Kehilangan hasil padi dibedakan menjadi dua, yaitu kehilangan absolut (absolute losses) dan kehilangan relatif (relative losses). Kehilangan absolut adalah gabah yang hilang tidak dapat atau sulit diselamatkan. Kehilangan relatif adalah gabah yang hilang masih berpeluang diselamatkan (Hosokawa 1995). Tingkat kehilangan hasil selama panen dan pascapanen masih tergolong tinggi. Penurunan kehilangan hasil melalui penerapan teknologi maju panen dan pascapanen, merupakan sumber pertumbuhan produksi yang prospektif. Pada Tabel 1. (Kehilangan Hasil Saat Panen dan Pascapanen di Indonesia, 1995-2007) menunjukan data statistik bahwa sebelum tahun 2005 total kehilangan hasil mencapai 20,5 persen tiap tahun. Selama 2005-2007, data kehilangan hasil sudah turun menjadi 10,82 persen. No

Kegiatan

1995/1996

2005-2007

Perubahan

1.

Panen (%)

9,52

1,20

- 8,32

2.

Perontokan (%)

4,78

0,18

- 4,60

3.

Pengeringan (%)

2,13

3,27

+ 1,14

4.

Penggilingan (%)

2,19

3,25

+ 1,06

5.

Transportasi (%)

0,19

1,53

+ 1,34

6.

Penyimpanan (%)

1,61

1,39

- 0,22

20,51

10,82

-9,69

Total (%)

Tabel 1. Kehilangan Hasil Saat Panen dan Pascapanen di Indonesia, 1995-2007 (Swastika, 2012).

2.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kehilangan Hasil Gabah

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kehilangan hasil gabah adalah pemanenan, perontokan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan penundaan perontokan padi (Nugraha et.al., 1999). 1.

Pemanenan Penentuan umur yang tepat dapat ditentukan melalui beberapa cara, yaitu: (1)

berdasarkan umur varietas pada deskripsi, (2) kadar air gabah berkisar antara 2126%, (3) pada saat malai berumur 30-35 hari atau (4) jika 90-95% gabah pada malai telah menguning. Jika pemanenan padi dilakukan pada saat masak optimum maka kehilangan hasil hanya 3,35%, sedangkan panen setelah lewat masak 1 dan 2 minggu menyebabkan kehilangan hasil berturut-turut 5,63% dan 8,64% (Almera, 1997). Cara panen padi bergantung pada alat panen yang digunakan dan cara perontokan gabah. Sabit umumnya digunakan untuk memanen varietas unggul dengan cara memotong pada bagian atas tanaman, bagian tengah, atau pada bagian bawah, bergantung pada cara perontokan gabah. Panen dengan cara potong bawah diterapkan jika gabah dirontok dengan dibanting atau digebot atau menggunakan perontok pedal. Panen padi dengan cara potong atas atau potong tengah dilakukan bila perontokan gabah menggunakan mesin perontok tipe throw in (Lubis et al. 1991; Nugraha et al. 1995). 2.

Perontokan Perontokan gabah bertujuan untuk melepaskan gabah dari malainya, dengan

cara memberikan tekanan atau pukulan terhadap malai. Malai dapat dirontok secara manual atau menggunakan alat dan mesin perontok. Proses perontokan gabah memberikan kontribusi cukup besar terhadap kehilangan hasil padi. Dalam pemanenan, tahapan pemotongan padi dan perontokan gabah menjadi satu kesatuan dan upah kerja didasarkan pada hasil gabah yang diperoleh (Setyono et al. 1998; Mejio 2008). 3.

Pengangkutan

Pengangkutan adalah kegiatan memindahkan gabah setelah panen dari sawah ke rumah atau ke unit penggilingan padi untuk dikeringkan atau memindahkan beras dari penggilingan ke gudang atau ke pasar. Tingkat kehilangan hasil dalam tahapan pengangkutan cukup rendah, berkisar antara 0,5-1,5%. Artinya, pemilik gabah sangat berhati-hati dalam pengangkutan gabah (Dinas Pertanian Provinsi Bali 2006; Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah 2006; Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Selatan 2006; Dinas Pertanian Provinsi Lampung 2006). 4.

Pengeringan Pengeringan ditingkat petani, gabah umumnya dijemur di atas anyaman

bambu atau terpal plastik, sedangkan di unit penggilingan padi pada lantai semen atau menggunakan mesin pengering. Kehilangan hasil pada tahapan penjemuran relatif tinggi, yaitu 1,5-2,2% karena sebagian gabah tercecer, dimakan ayam atau burung. Dengan mesin pengering, kehilangan hasil kurang dari 1% (Dinas Pertanian Provinsi Bali 2006; Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah 2006; Dinas Pertanian Provinsi Kalimantan Selatan 2006; Dinas Pertanian Provinsi Lampung 2006). 5.

Penggilingan Penggilingan Kehilangan hasil dalam proses penggilingan disebabkan oleh

gabah ikut terbuang bersama sekam, gabah dan beras tercecer, dimakan burung, ayam atau tersangkut pada mesin penggilingan (Nugraha et al. 2000). Untuk menghasilkan beras bermutu baik dengan tingkat kehilangan hasil rendah, unit penggilingan padi harus menerapkan sistem jaminan mutu (Setyono et al. 2006b). 6.

Penundaan perontokan padi Umumnya petani pantura melakukan penundaan perontokan, yang lamanya

bervariasi antara 1-3 malam, bahkan pada sistem ceblokan penundaan perontokan dapat dilakukan sampai 5-7 hari, sehingga dapat menyebabkan terjadi kehilangan hasil dapat dilihat pada Tabel 2. (Kehilangan hasil yang terjadi karena proses penundaan perontokan, proses perontokan dan gabah yang tidak terlepas dari jerami) menunjukan data statistik kehilangan yang terjadi akibat penundaan perontokan atau penumpukan padi sebelum dirontok masing-masing sebesar 1,64% yang terjadi pada ekosistem padi lahan irigasi dan 1,27% yang terjadi pada lahan tadah hujan dan 1,63% pada lahan pasang surut. Penurunan kualitas terjadi

karena gabah tumbuh, berkecambah, gabah berwarna hitam karena busuk atau tumbuh jamur maupun beras berwarna kuning karena terjadinya proses reaksi browning enzimatis pada beras (Nugraha et al, 1999b).

Ekosistem/ Ecosystem

Irigasi/irrigation Tadah hujan/ rainfed Pasang surut/ swamp

Penundaan Proses perontokan/ perontokan/ Threshing threshing delayed process (%) (%)

1,64 ± 0,035 1,27 ± 0,028 1,63 ± 0,039

1,98 ± 0,034 1,05 ± 0,032 1,62 ± 0,029

Gabah yang tidak terlepas di jerami/ Paddy remain on straw (%) 0,76 ± 0,053 0,30 ± 0,036 0,22 ± 0,037

Tabel 2. Kehilangan hasil yang terjadi karena proses penundaan perontokan, proses perontokan dan gabah yang tidak terlepas dari jerami (Nugraha et.al., 2007).

2.3 Pemanfaatan Mesin Perontok untuk Menekan Kehilangan Hasil Gabah Saat Pascapanen

Kontribusi penanganan pascapanen terhadap peningkatan produksi padi dapat dilihat dari penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah atau beras yang sesuai dengan persyaratan mutu. Penanganan pascapanen padi merupakan upaya yang sangat strategis dalam rangka mendukung peningkatan produksi padi dengan menghasilkan gabah dalam kondisi baik sehingga dapat dikonsumsi atau untuk bahan baku pengolahan (Setyono, 2000). Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan pascapanen padi adalah perontokan. Perontokan merupakan tahap dalam mengolah hasil panen dengan melakukan pemisahan bulir dari tangkai malainya. Teknologi perontokan

yang paling banyak diterapkan oleh petani dan buruh panen di Indonesia saat ini adalah Gebot (memukulkan padi pada landasan papan atau bambu). Selain menggunakan alat yang sederhana, buruh panen juga sering menunda perontokan. Akibatnya, terjadi kehilangan hasil, baik bobot (karena rontok dan tercecer atau dimakan binatang) maupun mutu gabah (karena berkecambah dan rusak) (Nugraha, 2008a). Perontokan padi dapat dilakukan dengan menggunakan mesin perontok padi. Jenis mesin perontok padi yang saat ini digunakan juga bervariasi seperti thresser manual/pedal, mesin thresser (power thresser), dan selanjutnya mesin pemotong terpadu dengan kegiatan panen (combine harvester) ( Spesifikasi dari power thresher adalah: (1) kapasitas kerja 800 kg gabah per jam atau sekitar 6-7 jam per ha, (2) mesin penggerak 6-8 PK dengan 2.200-2.400 rpm, (3) berat alat tanpa mesin sekitar 100 kg, (4) dilengkapi dengan kipas (blower) dan roda. Alat perontok ini saat ini dimiliki oleh petani kaya, kelompok tani, kelompok panen, dan penyewaan alsintan (alat dan mesin pertanian). Direktoran Jenderal PPHP telah memberi bantuan 298 power thresher kepada kelompok tani di 20 provinsi selama 2006-2008. Keunggulan penggunaan power thresher adalah: (i) merontok lebih cepat, (ii) mudah dioperasikan oleh tenaga yang sudah dilatih, (iii) mengurangi kehilangan hasil, dan (iv) menghasilkan gabah dengan kualitas lebih baik ( Perontokan dengan menggunakan mesin thresher merupakan cara mekanis. Thresher dapat berupa pedal thresher (digerakkan dengan tenaga manusia) dan drum threser (digerakkan dengan tenaga listrik) atau Combine Harvester. Pedal thresher telah banyak digunakan para petani, selain dapat dibuat sendiri biayanyapun cukup murah. Alat perontok gabah jenis drum thresher dapa dilihat pada Gamabar 1. (Mesin perontok padi Tresher) telah dilengkapi dengan : (1) silinder perontok yang bergigi perontok; (2) gigi-gigi perontok terbuat dari kawat baja dengan fungsi utama yaitu merontokkan butir gabah dari malainya; (3) saringan, yaitu agar gabah dapat terpisah dari kotoran/limbah (tangkai, jerami, daun dan sebagainya).

(4) blower, yaitu untuk menerbangkan/ menghembus keluar segala limbah yang ringan; (5) elevator, yang berfungsi mengangkut gabah yang telah terontokan ke luar dan disampaikan ke tempat penampungan yang telah tersedia, untuk selanjutnya diangkut tenaga manusia ke tempat pengeringan (

Gamabar 1. Mesin perontok padi Tresher (Sari e.t.,al 2015). Perontokan dengan menggunakan pedal thresher dan power thresher, disamping dapat meningkatkan kapasitas perontokan juga dapat menekan gabah hampa, gabah tidak terontok, dan kehilangan hasil bila dibandingkan dengan cara digebot (Rachmat dan Hendiarto, 1998). Penggunaan

thresser

berdampak

pada

biaya

tambahan

bagi

pemilik/penggarap lahan. Pada tahun 2015 nilai borongan merontok menggunakan thresser sebesar Rp1 juta per hektar walaupun pemilik lahan mengeluarkan biaya tambahan, tetapi bagian hasil untuk pemilik juga bertambah ( Cara panen dengan perontokan menggunakan power thresser dapat menekan kehilangan hasil 2,5–4% dibanding dengan digebot. Tampak kehilangan hasil yang menggunakan alat perontokan power thresser berkisar 10–12,5%, dengan penggunaan combine harvester kehilangan hasil diperkirakan berkisar 2–3%. Spesifikasi Combine Harvester adalah: (1) kapasitas kerja 2-3 ha per jam, (2) mesin penggerak 45 PK, (3) hanya dapat digunakan pada kondisi lahan yang kering, (4) merupakan kombinasi antara alat panen dan perontok, dan (5) bisa dioperasikan seperti traktor 4 roda (Setyono, 2009). Waktu

produksi

dibutuhkan

untuk

merontokkan

padi

dengan

menggunakan mesin combine harverter yaitu waktu baku atau waktu standar yang

dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan dibutuhkan sebesar 1,72 menit dengan kapasitas 50 kg. Setelah selesai merontokkan dibongkar pada tempat yang ditentukan waktu dibutuhkan 3,5 menit, seperti terlihat pada Gambar 1. (Proses perontokan dengan mesin combine harvester) dan Gambar 2. (Proses pembongkaran).

Gambar 1. Proses perontokan dengan mesin combine harvester (Hanafie et.al., 2017)

2. Proses pembongkaran (Hanafie et.al., 2017)

III.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Related Documents


More Documents from ""