Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Peluang Dan Tantangan Pembangunan Perikanan Melalui Un Fish Stock 1995 as PDF for free.

More details

  • Words: 4,350
  • Pages: 19
Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

PELUANG DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN PERIKANAN INDONESIA MELALUI “UN FISH STOCK AGREEMENT 1995” Oleh: Husain Latuconsina,S.Pi

Staf Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam-Ambon & Mahasiswa Program Magister Ilmu dan Teknologi Perikaan Universitas Hassanuddin-Makassar

PENDAHULUAN

Meskipun pengelolaan terhadap jenis ikan yang bermigrasi jauh (higly migratory species) telah di atur dalam pasal 64 UNCLOS 1982, ternyata kelestarian sumberdaya ikan itu terganggu sehingga menimbulkan keprihatinan dunia Internsional. Hal ini dicerminkan dengan menurunnya persediaan ikan bermigrasi jauh (higly migratory species) serta jenis ikan bermigrasi terbatas (straddling fish stock) pada tahun 1994. Pola migrasi dan siklus hidup kedua jenis ikan tersebut di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara pantai sampai ke laut lepas, sehingga pemanfaatannya yang berlebihan mengakibatkan menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan dan menimbulkan konflik kepentingan antara negara pantai (Coastal State) dan negara penangkapan ikan jarak jauh (Distant Water Fisheries Nation). Untuk itu, kerjasama pengelolaan perikanan pada tingkat sub regional, regional atau global diharapkan menjadi solusi dalam mengatasinya. Agar tujuan ini tercapai, tahun 1995, PBB menyusun suatu perjanjian baru untuk mengimplementasikan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu disahkannya Agreement of Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Staddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks atau dikenal dengan UN Fish Stock Agreement yang merupakan persetujuan multilateral dan mengikat pihak-pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas sebagai pelaksanaan pasal 63 dan 64 Hukum laut 1982. 1   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

Prinsip umum UN Fish Stock Agreement 1995 yaitu : 1. Mengambil tindakan menjamin kelestarian jangka panjang stok ikan yang bermigrasi terbatas dan yang bermigrasi jauh dan mendorong tujuan penggunaan optimalnya. 2. Menjamin tindakan tersebut berdasarkan bukti ilmiah terbaik dan dirancang untuk memulihkan stok ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum lestari. 3. Menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatannya 4. Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan faktor lingkungan terhadap stok target dan spesies yang termasuk dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau bergantung pada stok target 5. Jika diperlukan, mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau bergantung pada stok target itu dengan tujuan utnuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies itu di atas tingkat ketika reproduksinya terancam. 6. Meminimalkan pencemaran, barang buangan, serta tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies non target, dan dampak terhadap spesies melalui tindakan yang lazim, pengembangan, dan penggunaan yang efektif dari alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkuangan dan murah. 7. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut. 8. Mencegah atau mengurangi penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan menjamin tingkat penangkapan tidak melebihi tingkat penggunaan yang lestari. 9. Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan nelayan subsisten

2   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

10. Mengumpulkan dan memberikan data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan perikanan pada saat yang tepat, antara lain: posisi kapal, tangkapan spesies target dan non target dan informasi dari program riset nasional dan internasional. 11. Mendorong dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan. 12. Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan. Manfaat jika UN Fish Stock Agreement 1995 diratifikasi oleh Indonesia, adalah : 1. Mendukung kebijakan pemerintah Indonesia dalam upaya memberantas aktivitas illegal, Unreported dan unregulater (IUU) fishing di wilayah perairan Indonesia. 2. Mendapatkan data dan informasi perikanan secara murah, akurat, tepat waktu, dan telah tersaji melalui pertukaran data dan informasi diantara Negara peserta. 3. Adanya distribusi tangkapan untuk jenis ikan bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas melalui penetapan kuota internasional untuk tipa jenisnya. 4. Berpeluang dalam mendapatkan bantuan dana atau bentuk kerjasama lain dalam membantu dan meningkatkan taraf hidup nelayan dan pelatihan penegakan hukum. 5. Memudahkan Indonesia menjadi anggota organisasi perikanan regional dan internasional. Basis Kerja Sama Regional dan Peluang Indonesia di Dalamnya

Pada tahun 1995, PBB melalui Fish Stock Agreement, menegaskan bahwa Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO) adalah mekanisme dan alat utama dalam mengelola dan melindungi Starding Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock.

3   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

Dua aspek penting dari mandat yang diberikan bagi RMFO yaitu bahwa pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya yang bersifat highly migratory species harus berdasarkan kesepakatan dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait. Bila sudah ada RFMO untuk suatu wilayah perairan atau suatu spesies ikan tertentu maka bagi negara yang berbatasan dengan wilayah perairan itu sekalipun, tidak diizinkan melakukan penangkapan ikan kecuali negara tersebut adalah bagian dari RFMO atau sepakat untuk melakukan langkah-langkah manajemen konservasi yang telah ditetapkan oleh RFMO. Pasal 10 dalam Fish Stock Agreement menetapkan dan mengimplementasikan tindakan manajemen konservasi, mengumpulkan dan menyebarkan data, serta menetapkan dan menjalankan mekanisme pemantauan, pengendalian, pengawasan serta penegakan hukum. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam upaya menyukseskan revitalisasi perikanan mulai menunjukkan keberpihakannya, khususnya pada peningkatan produksi komoditas ikan tuna. Ini dikarenakan Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian pengelolaan perikanan tuna di laut lepas yang pengelolaannya dilakukan secara bersama oleh beberapa negara yang tergabung dalam organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Dengan masuk ke dalam suatu RFMO, Indonesia selain berhak mendapatkan kuota penangkapan tuna, juga mempunyai akses penjualan tuna tersebut ke pasar internasional, khususnya pasar-pasar di mana negara tujuan ekspor tersebut menjadi anggota dari suatu RFMO. Hal ini dikarenakan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara di wilayah yang dikelola RFMO, tetapi negara tersebut tidak menjadi anggotanya, maka dinyatakan telah melakukan illegal fishing dan produk perikanannya terancam diembargo.

4   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

  Tantangan Kerja Sama Regional Dalam Upaya Pemberantasan IUU Fishing

Banyak kegiatan perikanan IUU (Illegal, Unreported, Unregulated), terutama di laut lepas dan perairan perbatasan, adalah kegiatan lintas batas negara, oleh sebab itu membutuhkan kerjasama antar negara melalui pertukaran informasi dalam rangka memampukan setiap negara mengambil tindakan untuk mengatasi perikanan IUU. Forum kerjasama regional menurut Nikijuluw (2008), bukan saja sebagai arena untuk membagi informasi di antara negara-negara yang ikut serta di dalamnya namun yang lebih penting merupakan wadah untuk membangun regulasi bersama dan langkah-langkah untuk menjalankan regulasi tersebut. Kerjasama regional akan efektif dilaksanakan jika ada dukungan dan komitmen penuh dari setiap negara anggota yang turut serta di dalamnya. Kerjasama regional diantara Negara-negara dalam satu kawasan, bisa menjadi cara yang efektif dalam mengatasi perikanan IUU. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam bentuk atau konteks organisasi perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization/RFMO) dan bisa juga tanpa melalui RFMO.

Gambar 1. : Sumberdaya Ikan yang Bermigrasi Jauh dan Terbatas yang Sering Melintasi Batas Wilayah Laut Antar Negara (Sumber : Nikijuluw 2005)

Melalui kerjasama regional, kapasitas masing-masing negara dalam memerangi IUU fishing dapat ditingkatkan. Selain upaya pengembangan lembaga pemerintah dan 5   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

masyarakat, kerja sama regional juga dapat ditujukan untuk membangun sistem, komitmen, dan peraturan bersama yang berlaku di kawasan. Pembangunan dan pengelolaan bersama sumberdaya pengawasan yang dimiliki masing-masing negara akan membuat kemampuan patroli dan pengawasan lapangan lebih meningkat untuk dapat mengurangi IUU Fishing. Saat ini terdapar 50 RFMO di seluruh dunia yang mandat utamanya membangun perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selain untuk beberapa spesies ikan yang hidup dan bermigrasi lintas kawasan, bisa dikatakan saat ini hampir seluruh perairan laut di dunia telah dikelola oleh dan melalui RFMO. Dari ke-50 RFMO ini, hanya terdapat 10 diantaranya yang memiliki kapasitas untuk melakukan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi yang berkaitan dengan perikanan laut lepas dan jenis ikan yang bermigrasi jauh. Ikan tuna adalah jenis ikan yang bermigrasi jauh dan selalu melintasi samudera dan terdistribusi di banyak periaran di dunia. Oleh karena itu ikan tuna dikelola oleh lebih dari 1 organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Sepuluh RFMO yang banyak kegiatannya dalam upaya pencegahan IUU Fishing : 1. Commission for the Conservation of Southern Blue-Fin Tuna (CCSBT) 2. Indian Ocean Tuna Commission 3. Commission for Corservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Westrn and Central Pacifik Ocean sering disingkat Western and Central Pacifik Fiheries Commission (WPCFC) 4. Commission for the Conservation of Antarctic Marine Living Resources (CCAMLR) 5. Internasional Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT) 6. Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO) 7. Nort-East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC) 8. General Fisheries Commission for the Mediterranean (GFCM) 9. South-East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO) 10. Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC)

6   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

Secara umum peran RFMO adalah memanfaatkan, mengelola dan konservasi sumberdaya perikanan. Menurut McDorman (2005) dalam Nikijuluw (2008), demi simplifikasi dan memperhatikan otoritas setiap RFMO, terdapat dua aspek penting yang merupakan fokus keputusan RFMO terhadap aktivitas IUU Fishing, yaitu : 1. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) serta alokasi kuota penangkapan bagi setiap anggota RFMO 2. Penentuan dan pemberlakuan langkah yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, musim penangkapan, jumlah upaya penangkapan, musim tidak menangkap, moratorium dan pembatasan ukuran ikan yang ditangkap. Dasar Hukum RFMO

Sumberdaya perikanan memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi sebagian penduduk. Namun demikian, peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan laut, ditambah semakin meningkatnya kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung di lautan maupun terhadap aspek fisik dari laut itu sendiri sebagai wadahnya. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan diperlukan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang, tidak hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi masa depan. Sehingga pengelolaan yang bertanggung jawab menjadi kunci utama untuk menjawab tantangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries development). Wacana keberlanjutan perikanan tidak dapat dilepaskan dari fenomena krisis

7   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

perikanan global, dimana RFMO dianggap sebagai terobosan untuk mengatasi masalah ini. Hal ini merupakan amanat dari berbagai ketentuan internasional, khususnya UNCLOS 1982. Pada UNCLOS 1982, baik pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya ikan oleh RFMO tertuang pada Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Selain di pengaturan di wilayah ZEE, UNCLOS 1982 juga mengamanatkan kerjasama negara-negara dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana yang tertuang pada Pasal 118 yang termasuk pada Bab VII mengenai Laut Lepas. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warga negaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menurut keperluan, bekerjasama untu menetapkan organisasi perikanan subregional atau regional untuk keperluan ini”. Selain diatur pada ZEE dan Laut Lepas, UNCLOS 1982 juga mengaturnya pada Bab IX mengenai Laut Tertutup atau Setengah Tertutup, tepatnya pada Pasal 123 yang menyebutkan bahwa “Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi ini. Untuk keperluan ini mereka harus berusaha secara langsung atau melalui organisasi regional yang tepat: (a) untuk mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber kekakayaan hayati laut; (b) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian dengan perlindungan

8   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

dan pemeliharaan lingkungan laut; (c) untuk mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk bersama-sama mengadakan program bersama riset ilmiah di kawasannya; dan (d) untuk mengundang, menurut keperluan, negara lain yang berminat atau organisasi internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih lanjut ketentuan pasal ini”. Pengaturan illegal fishing yang terjadi di wilayah RFMO tertuang juga pada IPOA on IUU Fishing, yaitu disebutkan bahwa illegal fishing mengacu pada kegiatan-kegiatan yang: (a) diselenggarakan oleh kapal nasional atau asing di perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari negara tersebut, atau pelanggaran hukum dan peraturan negara tersebut; (b) diselenggarakan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya yang merupakan bagian dari organisasi pengelola perikanan yang terkait tetapi melanggar prosedur konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi tersebut dan dengan mana sebuah negara terikat, atau perjanjian yang terkait dari hukum internasional, (c) dalam pelanggaran hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerjasama dalam organisasi pengelola perikanan yang terkait. RFMO di sekitar Perairan Indonesia Bermunculannya RFMO didasarkan sifat sumberdaya ikan yang selalu bermigrasi melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan ancaman kepunahan ikan di negara lain dan munculnya konflik pemanfaatan sumberdaya di dunia, misalnya konflik antara Amerika Serikat, Uni Soviet, dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah Alaska di sekitar laut Bering, dan konflik antara Kanada dan Uni Eropa di Northwest Atlantik, telah menjadi alasan utama pembentukan RFMO di suatu kawasan. 9   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

  Status saat ini: Full Member  (Perpres No. 9 Tahun 2007)

IOTC

Status saat ini: Contracting Non‐Party Rencana ke depan: Member WCPFC (dalam proses)

ICCAT

WCPFC IATTC

CCSBT

CCSBT

Status Saat ini:  Full member  (PerPres No. 109  Tahun 2007) IOTC : Indian Ocean Tuna Commission CCSBT : Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna WCPFC : Western and Central Pacific fisheries Commision

Status Saat ini: tidak aktif IATTC : Inter‐Amerfican Tropical Tuna Commission ICCAT : International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas

Gambar 2 : Kawasan Kompetensi Beberapa Organisasi Perikanan Regional dan Status Keanggotaan Indonesia di Dalamnya (Sumber: Sutisna, 2009).

Hingga saat ini, di dunia internasional telah terdapat berbagai bentuk organisasi regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya pada perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hampir semua wilayah perairan laut di dunia telah diatur oleh organisasi tersebut. Aturan-aturan itu jelas mengikat para anggota di dalamnya yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah laut perairan tersebut. Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait pertimbangan geografis negara yang bersangkutan, namun lebih pada wilayah perairan mana suatu negara melakukan penangkapan ikan. Negara yang tidak menjadi anggota dan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan tertentu akan mendapatkan sanksi perdagangan internasional. Sementara itu, Indonesia termasuk salah satu negara berpantai (coastal state) yang telah bergabung dengan beberapa organisasi perikanan regional (RFMO) yang terbentuk di daerah laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia. Terdapat tiga RFMO dimana Indonesia terlibat di dalamnya, yaitu: (1) Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), (2) The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), (3) Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and 10   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

Central Pacific Ocean (WCPFC). Baik sebagai anggota tetap (contracting parties) maupun anggota tidak tetap (non-contracting parties).

1. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) Organisasi ini didirikan pada 25 November 1993 di Roma, Italia dan mulai efektif bekerja pada 27 Maret 1996. Markas besar IOTC berkedudukan di Victoria, Seychelles. Wilayah kompetensi IOTC adalah Samudera Hindia yang terdiri dari daerah penangkapan 51 dan 57 menurut klasifikasi FAO. Di sebelah barat Samudera Hindia batas wilayah kompetensi IOTC 20o Bujur Timur, berbatasan dengan Samudera Atlantik Selatan. IOTC merupakan salah satu RFMO, yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional dibawah FAO, yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah Samudra Hindia. Terdapat 16 jenis ikan tuna yang diatur pengelolaanya oleh IOTC, yaitu: Yellow Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna,Albacore Tuna,Southern Bluefine Tuna, Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna,Narrow Barred Spanish Mackerel,Indo Pacific King Mackerel,Indo Pacific Blue Marlin,Black Marlin,Strip Marlin,Indo Pacific Sailfish, dan Swordfish. Tujuan IOTC adalah membangun kerjasama antar anggota dalam rangka menjamin dilaksanakannya pengelolaan, konservasi, serta pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap stok ikan yang berada dibawah kompetensi IOTC. Keanggotaan IOTC terdiri dari contracting parties dan non-contracting parties. Hingga Mei 2007, negara-negara yang menjadi anggota contracting parties IOTC adalah Australia, Cina, Komoros, Eritrea, Prancis, Guinea, India, Iran, Jepang, Kenya, Korea Selatan, Oman, Madagaskar, Malaysia, Mauritius, Pakistan, Filipina, Seychelles, Sri Lanka, Sudan, Thailand, Vanuatu, Amerika Serikat, Uni Eropa, Belize, Tanzania dan Indonesia. 11   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

Sementara Negara yang termasuk non-contracting parties, yaitu Senegal, Afrika Selatan dan Uruguay. Pada IOTC tidak ada pengaturan kuota sebagaimana RFMOs lainnya. Hingga saat ini, status Indonesia sudah menjadi anggota atau contracting parties IOTC ke-27. Dengan demikian, Indonesia memiliki akses langsung terhadap perairan Samudera Hindia dalam rangka memanfaatan sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Indonesia resmi menjadi negara full member IOTC ke-27 pada tanggal 20 Juni 2007. Masuknya Indonesia menjadi full member IOTC berdasarkan Peraturan Presiden RI No.9 Tahun 2007, tanggal 5 Maret 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Komisi Tuna Samudera Hindia. Sebagai full member, Indonesia berpeluang memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas dengan kewajiban efektif mengontrol kapal perikanan Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan. Armada perikanan Indonesia yang terdaftar di IOTC hingga tahun 2008 adalah 874 kapal, terdiri dari 871 kapal longline dan 3 kapal purse seine di Samudera Hindia. Sedangkan jumlah tangkapan dari kapal Indonesia yang terdaftar di IOTC pada tahun 2007 mencapai 252,227 ton, atau 24,1 % dari 104.673,7 ton tangkapan tuna.

2. The Convention for The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)  

CCSBT didirikan pada 10 Mei 1993 di Canberra, Australia, dan mulai efektif bekerja pada 20 Mei 1994. Markas CCSBT di Deakin, Australia. Tujuan Komisi ini adalah menjamin keberlangsungan pemanfaatan secara optimum sumberdaya Southhern Bluefin Tuna dengan mengambil langkah dan tindakan manajemen dan konservasi. Wilayah kompetensi CCSBT adalah keseluruhan perairan yang merupakan habitat bagi Southhern Bluefin Tuna yang meliputi kawasan 30o – 50o Lintang Selatan serta daerah pemijahan (Spawning ground) di daerah selatan Jawa. 12   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

Pembentukan CCSBT didasari menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota tangkapan kapal ikan. Contracting Parties CCSBT adalah Australia, Selandia baru, Korea Selatan, Jepang, Filipina, Indonesia dan Taiwan. Khusus untuk Taiwan masuk dalam komisi yang diperluas dimana keanggotaannya bukan negara, tetapi organisasi perusahaan perikanannya. Beberapa negara yang diterima sebagai co-operating non-member, yaitu Filipina, Afrika Selatan dan Uni Eropa yang disyaratkan untuk menyepakati batasan jumlah tangkapan. Indonesia menjadi Anggota atau Contracting Parties di SCCSBT tahun 2007 berdasarkan Peraturan Presiden No.109/2007, tanggal 6 Desember 2007, Tentang Pengesahan Consvention for the Consrvation of Souther Bluefin Tuna. Alasan Indonsia diterima menjadi Contracting Parties karena spawning ground Souther Bluefin Tuna terdapat di Wilayah Selatan Jawa, kemudian juvenilnya bermigrasi ke pantai barat Australia.

3. Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC)  

WCPFC didirikan di Honolulu, USA pada 4 September 2000, namun mulai aktif

pada 19 Juni 2004. Wilayah kompetensi WCPFC adalah Samudera Pasifik bagian Tengah dan Barat. Batas bagian Barat wilayah ini adalah pesisir benua Asia, batas bagian Barat lainnya di Selat Tores pada Selatan Papua, pantai barat benua Australia dan garis 150o bujur

13   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

timur. Sebelah Selatan batas kompetensi WCPFC adalah gari 60o lintang selatan, sementara batas Timur wilayah kompetensi WCPFC adalah garis 150o bujur barat. Tujuan utama WCPFC adalah mengembangkan langkah efektif untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan di kawasan kompetensinya, yaitu : Ikan Cakalang, yellofin tuna, albacore, dan bigeye tuna. Anggota atau Contracting Parties komisi ini adalah : Australia, China, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Korea Selatan, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Selandia Baru, Niue, PNG, Samo, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Filipina, serta Uni Eropa, yang menjadi Cooperating Non-Members adalah organisasi perikanan Taiwan dan Indonesia, namun Indoesia sedang dalam proses untuk menjadi Contracting Parties WCPFC, dimana sudah banyak pertemuan dan sidang WCPFC selalu dihadiri Indonesia. Dasar Hukum Keterlibatan Indonesia dalam RFMO Sebagai negara maritim yang tengah terus mengembangkan armada perikanannya, sudah selayaknya Indonesia ikut mengambil haknya untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas sebagai asas kebebasan menangkap ikan,sebagaimana tertuang dalam UNCLOS 1982. Namun, Indonesia juga harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku khususnya aturan yang dikeluarkan oleh RFMO dalam mengelola sumber daya ikan. Dengan masuknya Indonesia sebagai Contracting Parties dalam RFMO, di samping mempunyai hak suara, Indonesia juga memperoleh beberapa manfaat, seperti: (1) penghematan waktu dan biaya dari kesempatan kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan, (2) pemanfaatan total allowable catch, (3) melakukan monitoring controlling and surveilance, (4) penegakan hukum serta pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan yang banyak membutuhkan tenaga ahli, (5) Indonesia tidak dianggap melakukan penangkapan 14   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

ilegal di perairan laut lokasi RFMO, dan (6) mendapatkan jaminan akses pemasaran tuna di pasaran internasional. Keterlibatan Indonesia dalam pengelolaan ikan regional maupun internasional telah diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Misalnya, dimuatnya pengaturan kegiatan perikanan di laut lepas sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu; “Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan atau standar internasional yang diterima secara umum”. UU No. 31 Tahun 2004 juga menuntut Pemerintah Indonesia untuk ikut aktif dalam keanggotaan organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional sebagaimana yang tertuang pada Pasal 10 ayat 1 yaitu : “Untuk kepentingan kerja sama Internasional, pemerintah (a) dapat mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan; (b) bekerja sama dengan Negara tetangga atau dengan Negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup dan wilayah kantong; (c) memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada Negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan, dan dalam pasal 10 ayat 2 yaitu : “Pemerintah ikut serta aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan internasional”. Secara yuridis Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang jelas dalam melakukan kerja sama pengelolaan perikanan dengan negara-negara tetangga, baik di wilayah perairan yang berbatasan maupun di perairan laut lepas. Keterlibatan Indonesia

15   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

dalam RFMO tidak hanya bertujuan dalam program pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global. Tetapi lebih dari pada itu, dalam rangka memfasilitasi warga negaranya untuk mengakses sumberdaya ikan di laut lepas, seiring semakin menipisnya stok sumberdaya ikan di perairan Indonesia pada umumnya. Dengan demikian Dalam rangka menciptakan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, Indonesia sudah seharusnya berperan aktif dalam RFMO. Terkait dengan hal ini, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan perikanan di wilayah laut lepas yang tentu saja dalam penyusunannya melibatkan dan menguntungkan nelayan Indonesia.

16   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

Untuk mengetahui pentingnya keterlibatan Indonesia dalam organisasi perikanan regional (RFMO) maka perlu dilakukan Analsia SWOT. Matriks SWOT Pentingnya Kerjasama Perikanan Regional (RFMO) bagi Bangsa Indonesia Strength

Weakness

ƒ Secara geografis Indonesia berada padaƒ Terbatasnya 

Pentingnya Kerja Sama Perikanan Regional (RFMO) ƒ

kemampuan  Indonesia  posisi  yang  sangat  strategis  dan untuk  memanfaatkan  potensi  menguntungkan,  diantra  samudera sumberdaya  perikanan  pada  ZEEI,  Hindia dan Samudera Pasifik yang kaya laut perbatasan dan laut bebas  potensi sumberdaya perikanan  ƒ Rendahnya  Law  Enforcment  dan  Perairan  Indonesia  dijadikan  sebagai minimnya  fasilitas  pengawasan  alur migrasi dari jenis sumberdaya ikan keamanan laut   yang  bermigrasi  jauh  dan  juga  sebagai tempat pemijahan serta pembesaran 

Opportunity

(SO)

(WO)

ƒ Ikan  migratory  Spesies  ƒ  Menjadi  Contracting  Parties  dalamƒ Kerja sama antar negara anggota RFMO merupakan  produk  perikanan  berbagai RFMO  dalam  monitoring,  controlling  dan unggulan di pasar Internasional  ƒ Peningkatan kerjasama penelitian terkait surveilance  ƒ Semakin  banyak  RFMO  dalam  sumberdaya  ikan  yang  bermigrasi  jauhƒ Mengusahakan  medapatkan  bantuan upaya  pemanfaatan  migratory  untuk upaya pemanfaatan, pengelolaan teknologi  dan  pelatihan  tenaga  ahli species di laut bebas  penangkapan di laut bebas  dan konservasi 

Threat ƒ Maraknya  aktivitas  IUU  Fishing  oleh nelayan asing pada ZEEI.  ƒ Embargo  produk  hasil  perikanan  tuna  Indonesia  di  pasaran  Internasional  karena  dianggap  melakukan penangkapan  illegal  di  kawasan kompetensi RFMO 

(ST) ƒ ƒ

(WT)

Peningkatan kerja sama negara anggotaƒ Peningkatan  pengamanan  laut  dan RFMO untuk mengatasi lUU Fishing   penegakan  supremasi  hukum  melalui Peningkatan  kualitas  data  dan  sistem koordinasi antar negara anggota RFMO   pelaporan  hasil  tangkapan,  jumlahƒ Terlibat  penuh  Contracting  Parties berbagai  RFMO  untuk armada  dan  pertukaran  informasi dalam  pemanfaatan  sumberdaya  ikan  di  laut mendapatkan  legalalitas  penangkapan di laut bebas secara berkelanjutan  laut perbatasan dan laut bebas 

Berdasarkan matriks SWOT tersebut, dengan strategi SO, ST, WO dan WT terlihat bahwa pentingnya menjadi anggota organisasi perikanan regional (RFMO) dalam upaya memanfaatkan, mengelola dan mengambil tindakan-tindakan konservasi terahadap sumberdaya perikanan di laut bebas. Kerja sama antar negara sangat dibutuhkan karena sumberdaya perikanan migratory species selalu melintasi batas wilayah administrasi antar negara dalam siklus hidupnya, sehingga merupakan suatu peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan sector perikanannya. Selain itu pentingnya Indonesia masuk dalam RFMO adalah dalam upaya memberantas IUU fishing yang menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan perikanan. 17   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

  PENUTUP

Meskipun terdapat banyak laut bebas yang memang bukan milik suatu Negara berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982, namun pada dasarnya sudah tidak ada lagi kebebasan melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan, karena hampir semua laut bebas yang ada di dunia telah dikelola oleh berbagai organisasi perikanan regional (RFMO). Dengan demikian setiap negara yang mau memanfaatkan sumberdaya ikan di laut bebas harus ikut bergabung dan atau tunduk pada aturan organisasi perikanan regional dan UNCLOS 1982. Keterlibatan Indonesia dalam RFMO selain bertujuan dalam upaya pencitraan diri sebagai negara yang ikut bertanggung jawab mewujudkan perikanan berkelanjutan secara global, juga memanfaatkan peluang dalam rangka memfasilitasi warga negaranya untuk mengakses sumberdaya ikan di laut bebas, seiring menipisnya potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia. Sementara manfaat bergabungnya Indonesia dalam RFMO adalah : (1). Mendapatkan berbagai fasilitas seperti bantuan tenaga ahli dalam melakukan kajian assessment sumberdaya ikan, (2). Mendapatkan bantuan teknologi penangkapan ikan di laut bebas, (3).Melakukan penelitian dan pertukaran informasi terkait sumberdaya ikan migratory species di laut bebas, (4). Mendapatkan akses dalam pemanfaatan jenis sumberdaya ikan di laut bebas (5) Mendapatkan jaminan pemasaran hasil perikanan laut bebas ke pasaran Internasional sekaligus terhindar dari embargo (6) .Turut serta mengelola dan melakukan tindakan konservasi terhadap sumberdaya perikanan di laut bebas. (7).Bersama memerangi aktifitas IUU Fishing dan penegakan supremasi hukum 18   

Husain Latuconsina (P3300209018) 

 

DAFTAR RUJUKAN

Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis dan Gagasan. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Penerbit: Fery Agung Coorporation. Jakarta. Nikijuluw.V.P.H. 2008. Blue Water Crime. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Rangkuti, F. 2005. Analisis Swot Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit : PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Satria, A. 2002. Dampak IPOA-IUU Fsihing terhadap Perikanan Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi WWF Indonesia Wallacea Programe, Bali, 22 Mei 2002. Solihin, A. 2008. Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional dan Internasional. 21 April 2008. Ikan Bijag Weblog, Tanggal Akses 30 September 2009. Sutisna, D.H. 2009. Arah dan Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Dalam Peningkatan Perekonomian Nasional. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Muswil ke 2 Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI) Wilayah VII. Ambon 3 Agustus 2009. Suseno. 2007. Menuju Perikanan Berkelanjutan. Penerbit: Pustaka Cidesindo. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 2005. Bandung: Diperbanyak oleh PT Citra Umbara.

19   

Related Documents