Pedoman pelaksanaan penanggulangan HIV AIDS
Seksi pemberantasan penyakit menular Dinas kesehatan Kabupaten kolaka timur Tahun 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang HIV dan AIDS adalah masalah darurat global. Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang meninggal sementara 40 juta orang telah terinfeksi. Fakta yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di seluruh dunia setiap hari virus HIV menular kepada sekitar 2000 anak di usia 15 tahun, terutama berasal dari penularan ibu-bayi, menewaskan 1400 anak di bawah 15 tahun, dan menginfeksi lebih dari 6000 orang muda dalam usia produktif antara 15-24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA). Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan Maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan HIV/AIDS. Di Sulawesi Tenggara, Penderita HIV AIDS dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Data Juli 2017 sampai bulan Juli 2018 jumlahnya sudah Berkisar 476 orang, yangtersebar di beberapa kabupaten/kota termasuk Kabupaten Kolaka Timur yang sampai pada ahir tahun 2018 jumlah penderita HIV aids yang di temukan berjumlah 6 orang, data tersebut mungkin hanya sedikit mewakili jumlah yang sudah terpapar sebenarnya, mengingat penemuan penderita jenis penyakit ini bukan suatu hal yang mudah, karena di batasi dengan berbagai kendala termasuk kesadaran penderita untuk memeriksakan diri ke fasyankes. Di tahun-tahun mendatang tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS semakin besar dan rumit. Mengembangkan hasil-hasil yang telah dicapai dan menjabarkan paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS menjadi upaya yang komprehensif, terpadu, dan diselenggarakan secara sinergis oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders). Akselerasi upaya perawatan, pengobatan dan dukungan kepada ODHA dijalankan bersamaan dengan akselerasi upaya pencegahan baik di lingkungan sub-populasi berperilaku risiko tinggi maupun yang berperilaku risiko rendah dan masyarakat umum. Tingginya tingkat penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok manapun berarti bahwa semakin banyak orang menjadi sakit, dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tertier.
B.
Tujuan 1. menurunkan jumlah kasus baru HIV; 2. menurunkan tingkat diskriminasi ODHA 3. menurunkan angka kematian akibat AIDS.
C.
Kebijakan Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death dan Zero Discrimination. Empat pilar tersebut adalah: 1. Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain. 2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). 3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi. 4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan dan lain-lain.
D.
Strategi 1. Meningkatkan penemuan kasus HIV secara dini Daerah dengan epidemi meluas, penawaran tes HIV perlu dilakukan kepada
semua pasien yang datang ke layanan kesehatan baik rawat jalan atau rawat inap serta semua populasi kunci setiap 6 bulan sekali. a. Daerah dengan epidemi terkonsentrasi maka penawaran tes HIV rutin dilakukan pada ibu hamil, pasien TB, pasien hepatitis, warga binaan pemasyarakatan (WBP), pasien IMS, pasangan tetap ataupun tidak tetap ODHA dan populasi kunci seperti WPS, waria, LSL dan penasun. . b. Kabupaten/kota dapat menetapkan situasi epidemi dan melakukan intervensi sesuai penetapan tersebut, melakukan monitoring & evaluasi serta surveilans berkala. c. Memperluas akses layanan KTHIV dengan cara menjadikan tes HIV sebagai standar pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan (FASKES) pemerintah sesuai status epidemi dari tiap kabupaten/kota d. Dalam hal tidak ada tenaga medis dan/atau teknisi laboratorium yang terlatih, maka bidan atau perawat terlatih dapat melakukan tes HIV e. Memperluas dan melakukan layanan KTHIV sampai ke tingkat puskemas f. Bekerja sama dengan populasi kunci, komunitas dan masyarakat umum untuk meningkatkan kegiatan penjangkauan dan memberikan edukasi tentang manfaat tes HIV dan terapi ARV. g. Bekerja sama dengan komunitas untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui layanan IMS 2. Meningkatkan cakupan pemberian dan retensi terapi ARV, serta perawatan kronis a. Menggunakan rejimen pengobatan ARV kombinasi dosis tetap (KDTFixed Dose Combination-FDC), di dalam satu tablet mengandung tiga obat. Satu tablet setiap hari pada jam yang sama, hal ini mempermudah pasien supaya patuh dan tidak lupa menelan obat. b. Inisiasi ARV pada fasyankes seperti puskesmas c. Memulai pengobatan ARV sesegera mungkin berapapun jumlah CD4 dan apapun stadium klinisnya pada: E. kelompok populasi kunci, yaitu: pekerja seks, lelaki seks lelaki, pengguna napza suntik, dan waria, dengan atau tanpa IMS lain F. populasi khusus, seperti: wanita hamil dengan HIV, pasien koinfeksi TB- HIV, pasien ko-infeksi Hepatitis-HIV (Hepatitis B dan C), ODHA yang pasangannya HIV negatif (pasangan sero-diskordan), bayi/anak dengan HIV (usia<5tahun). G. semua orang yang terinfeksi HIV di daerah dengan epidemi meluas d. Mempertahankan kepatuhan pengobatan ARV dan pemakaian kondom konsisten melalui kondom sebagai bagian dari paket pengobatan. e. Memberikan konseling kepatuhan minum obat ARV 3. Memperluas akses pemeriksaan CD4 dan viral load (VL) termasuk early infant diagnosis (EID), hingga ke layanan sekunder terdekat untuk meningkatkan jumlah ODHA yang masuk dan tetap dalam perawatan dan
pengobatan ARV sesegera mungkin, melalui sistem rujukan pasien ataupun rujukan spesimen pemeriksaan. 4. Peningkatan kualitas layanan fasyankes dengan melakukan mentoring klinis yang dilakukan oleh rumah sakit atau FKTP. 5. Mengadvokasi pemerintah setempat untuk mengurangi beban biaya terkait layanan tes dan pengobatan HIV-AIDS.
BAB II KEGIATAN
A.
Surveilans Epidemiologi Untuk memperoleh informasi mengenai keadaan dan besarnya kasus yang perlu ditemukan, ditangani dan dilaporkan oleh Faskes yang mempunyai wilayah kerja (Puskesmas) meliputi : 1. Melakukan pemetaan jumlah dan sebaran populasi kunci, meliputi: a. Pekerja seks, baik yang langsung maupun tak langsung b. Pengguna Napza Suntik (Penasun) c. Lelaki Seks Lelaki (LSL) d. Waria/ Transgender 2. Data cakupan layanan, meliputi : a. Perkiraaan jumlah ibu hamil baru setiap tahun di wilayah kerja Faskes b. Data Pasien TB baru setiap tahun c. Data pasien HIV di wilayahnya dengan berjejaring dengan RS di sekitar d. Data pasien IMS 3. Data jumlah populasi di wilayah menurut umur dan jenis kelamin 4. Data prevalensi HIV dan IMS mengacu pada prevalensi nasional 5. Data mitra dalam layanan HIV di wilayahnya. 6. Data peran serta masyarakat seperti: a. Kader desa atau kader posyandu b. Lembaga agama c. Lembaga lain yang tersedia dan dapat dijadikan mitra untuk program HIV seperti LSM Analisis besaran masalah diperlukan untuk membuat strategi keberhasilan program di suatu wilayah, kegiatan ini harus dilakukan oleh dinas kesehatan maupun puskesmas. Analisis besaran masalah dilakukan berdasar data yang tervalidasi yang dianalisis secara rutin. Analisis tersebut bertujuan untuk menentukan strategi pencapaian target penemuan kasus dan pengobatan pasien di seluruh wilayah kerja dengan melakukan perencanaan untuk penguatan sumber daya manusia, logistik, anggaran, kapasitas laboratorium dan infrastruktur yang lain.
B.
Pengelolaan Logistik
Data besaran masalah seperti data jumlah populasi kunci dan jumlah pasien pada triwulan sebelumnya akan diperlukan untuk merencanakan jumlah reagen yang dibutuhkan seperti tabel di bawah ini. Tabel 1: Cara Menghitung Kebutuhan Reagen Tes HIV sesuai dengan Besaran Masalah di wilayah kerja Puskesmas Dewasa Pasien KIA: Tentukan sasaran ibu hamil Pasien TB yang status HIV nya tidak diketahui Terduga TB yang status HIV nya tidak Pasien IMS diketahui Pasien KB yang status HIVnya Rawat tidak Pasien diketahui Jalan (pasien akut, pasien Pekerja terduga seks TB dll) Penasun LSL Waria/ Transgender
Sumbe r Informas Pendataan i Ibu Hamil = 1,10 x CBR* x jumlah Register penduduk/10 Pengobatan 00 TB (TB 07) Register Terduga TB Register IMS (TB06) Register KB
Jumlah Pasien
Persentas e Kelompok yang Perlu 100% Tes
Jumlah
100%
100% 100%
Register 80% Rawat Jalan Pemetaan 80% Pemetaan 25 - 60% Pemetaan 25 - 60% Pemetaan 80% Jumlah orang dewasa yang memerlukan tes HIV Perkiraan jumlah orang dewasa yang memerlukan tes HIV setiap hari = Jumlah total orang yang memerlukan layanan tes HIV dibagi jumlah hari kerja dalam sebulan *CBR = Crude Birth Rate, di tingkat kabupaten/ kota yang angkanya telah ditetapkan oleh BPS
C.
Upaya Pencegahan dan Pengendalian
Upaya pencegahan yang dilakukan yaitu sebagai berikut : 1. Upaya Pencegahan di Masyarakat Bertujuan Untuk mencegah terjadinya penularan terutama bagi orang yang belum tertular dan membantu orang yang telah terinfeksi untuk tidak menularkan kepada orang lain atau pasangan. a. Pada pengendalian HIV, upaya pencegahan meliputi beberapa aspek yaitu penyebaran informasi, promosi penggunaan kondom, skrining darah pada darah donor, pengendalian IMS yang adekuat, penemuan kasus HIV dan pemberian ARV sedini mungkin, pencegahan penularan dari ibu ke anak, pengurangan dampak buruk, sirkumsisi, pencegahan dan pengendalian infeksi di Faskes dan profilaksis pasca pajanan untuk kasus pemerkosaan dan kecelakaan kerja. b. Penyebaran informasi tidak menggunakan gambar atau foto yang menyebabkan ketakutan, stigma dan diskriminasi c. Penyebaran informasi perlu menekankan manfaat tes HIV dan pengobatan ARV d. Penyebaran informasi perlu disesuaikan dengan budaya dan bahasa atau kebiasaan masyarakat setempat 2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Faskes Bertujuan Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dari infeksi di Faskes meliputi :
BAB III TATALAKSANA
A.
Pembagian Program (Kasus) Menurut lokasi kelainan yang ditimbulkan, terdapat 2 golongan filariasis yaitu yang menimbulkan kelainan pada saluran limfe (filariasis limfatik) dan jaringan subkutis (filariasis sukutan). Penyebab utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan disebabkan oleh Onchorcercia spp. Filariasis Limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti disebut juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp., Culex spp., Aedes spp., dan Mansonia spp.
B.
Prinsip Diagnosis Penentuan diagnosis terhadap penyakit filariasis atau penyakit kaki gajah dapat dilakukan melalui serangkaian wawancara dan pemeriksaan fisik. Selain itu juga diperlukan pemeriksaan penunjang yang mencakup : Tes darah Tes urine Kedua pemeriksaan penunjang diatas diperlukan untuk memastikan keberadaan cacing filarial dalam tubuh penderitanya. Biasanya, pemeriksaan darah dilakukan dimalam hari dimana parasit cacing filarial dalam keadaan aktif.
C.
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan Evaluasi yang dilaksanakan dalam program eliminasi Filariasis adalah upaya untuk memonitor pelaksanaan POPM Filarisasis sehubungan dengan pemutusan rantai penularan Filariasis. Secara umum kegiatan monitoring dan evaluasi berhubungan dengan dua kegiatan pokok, yaitu evaluasi cakupan pengobatan dan evaluasi prevalensi microfilaria.
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filarial yang hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada, dan skrotum. Mekanisme penularan penyakit filariasis yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi microfilaria. Tahap selanjutnya didalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin. Adapun usaha penanganan penyakit filariasis sebagai tenaga kesehatan dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan melakukan 3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan albendazol dan paracetamol. Upaya rehabilitasi dapat dilakukn dengan operasi.
B.
Saran 1. Pengetahuan perlu ditingkatkan dengan penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang penyakit kaki gajah dengan menekan pada penyebab, cara penularan, gejala-gejala, pengobatan dan pencegahan penyakit filariasis limfatik. 2. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama untuk menghindari infeksi filariasis. 3. Pemberantasan nyamuk dewasa dan larva perlu dilakukan sesuai aturan dan indikasi.
Tirawuta, Maret 2019 Mengetahui, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Kolaka Timur
Ir. Barwik Sirait, M.Si.,MPH NIP. 19630910 198502 1 002