Peb Bab Ii Fix.docx

  • Uploaded by: wanti
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Peb Bab Ii Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,531
  • Pages: 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP PREEKLAMPSIA 1.

Pengertian Preeklampsia Pre-eklampsia adalah penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi, proteinuria dan edema yang timbul selama kehamilan atau sampai 48 jam postpartum, umumnya terjadi pada trimester tiga kehamilan. Pre-eklampsia dikenal juga dengan sebutan Pregnancy Incduced Hipertension (PIH) gestosis atau toksemia kehamilan (Maryunani, dkk, 2012). Chapman (2006) menyebutkan bahwa pre-eklampsia merupakan kondisi khusus dalam kehamilan ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan kejang (eklampsia) dan gagal organ ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan abrapsio plasenta. Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada triwulan Ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat (Abdul, dkk, 2006). Preeklampsia adalah kondisi khusus dalam kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria. Bisa berhubung atau berlanjut menjadi kejang (eklampsia), sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan abrapsio plasenta/ solusio plasenta (Maryunani, dkk, 2012). Preeklampsia didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi pada trimester kedua kehamilan dan mengalami regresi setelah kelahiran, ditandai dengan kemunculan sedikitnya dua dari tiga tanda utama, yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria. Preeklampsia adalah kelainan multiorgan spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan terjadinya hipertensi, edema dan proteinuria tetapi tidak menunjukkan tandatanda kelainan vaskuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 20 minggu (NANDA NIC NOC, 2013).

4

2.

Etiologi Preeklampsia Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui secara pasti, tetapi pada umumnya disebabkan oleh vasospasme arteriola. Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya preeklampsia antara lain: primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, molahidatidosa, multigravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18 tahun atau lebih dari 35 tahun serta anemia (Maryunani, dkk, 2012). Setiap wanita hamil memiliki risiko untuk mengalami penyakit akibat kehamilan, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut. Sarwono (2006) menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan terjadinya preeklampsia yaitu faktor usia dan paritas. Penyebab preeklampsia belum dapat dipastikan, namun beberapa faktor berikut ini memiliki hubungan dengan terjadinya preeklampsia, antara lain sebagai berikut: a. Usia Ibu Usia adalah usia individu terhitung mulai saat dia dilahirkan sampai saat berulang tahun, semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir. Insiden tertinggi pada kasus preeklampsia pada usia remaja atau awal usia 20 tahun, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Dengan bertambahnya usia seseorang, maka kematangan dalam berfikir semakin baik. Usia sangat mempengaruhi kehamilan, usia yang baik untuk hamil berkisar antara 20-35 tahun. Pada usia tersebut alat reproduksi wanita telah berkembang dan berfungsi secara maksimal. Sebaliknya pada wanita dengan usia dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun kurang baik untuk hamil. Kehamilan pada usia ini memiliki resiko tinggi, seperti terjadinya keguguran atau kegagalan persalinan, bahkan bisa menyebabkan kematian. Wanita yang usianya lebih tua memiliki tingkat risiko komplikasi melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih muda. Bagi wanita yang berusia diatas 35 tahun, selain fisik mulai melemah, juga kemungkinan munculnya berbagai risiko gangguan kesehatan, seperti darah tinggi, diabetes, dan berbagai penyakit lainnya termasuk preeklampsia.

5

b. Usia Kehamilan Preeklampsia biasanya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Gejalanya adalah kenaikan tekanan darah. Jika terjadi di bawah 20 minggu, masih dikategorikan hipertensi kronis. Sebagian besar kasus preeklampsia terjadi pada usia kehamilan > 37 minggu dan makin tua kehamilan makin berisiko untuk terjadinya preeklampsia. c. Paritas Paritas adalah keadaan seorang ibu yang melahirkan janin lebih dari satu. Sucheilitif paritas adalah status seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak yang pernah dilahirkannya. Manuaba (2008) menyebutkan paritas adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi menjadi beberapa istilah: 1) Primigravida, adalah seorang wanita yang telah melahirkan janin untuk pertama kali. 2) Multipara, adalah seorang wanita yang telah melahirkan janin lebih dari satu kali. Grande multipara, adalah wanita yang telah melahirkan janin lebih dari lima kali. Pada primigaravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigaravida, terutama primigaravida muda. d. Bad Obstetric History Seorang wanita yang pernah memiliki riwayat preeklampsia, kehamilan molahidatidosa dan kehamilan ganda kemungkinan akan mengalami preeklampsia lagi pada kehamilan berikutnya, terutama jika diluar kehamilan menderita tekanan darah tinggi menahun. Manuaba (2008) menyebutkan bahwa penyebab preeklampsia belum diketahui sampai sekarang secara pasti, bukan hanya satu faktor melainkan beberapa faktor dan besarnya kemungkinan preeklampsia akan menimbulkan komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian. Preeklampsia dideteksi sedini mungkin melalui antenatal care secara teratur mulai trimester I sampai dengan trimester III dalam upaya mencegah preeklampsia menjadi lebih berat. Sampai sekarang etiologi preeklampsia belum diketahui. Membicarakan patofisiologinya tidak lebih dari “mengumpulkan” temuan-temuan fenomena yang beragam. Namun pengetahuan tentang temuan yang beragam inilah kunci utama 6

suksesnya penanganan preeklampsia sehingga preeklampsia/ eklampsia disebut sebagai the disease of many theories in obstetrics. Adapun teori-teori tersebut antara lain: a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan Pengeluaran hormon ini memunculkan efek “perlawanan” pada tubuh. Pembuluh-pembuluh darah menciut, terutama pembuluh darah kecil, akibatnya tekanan darah meningkat. Organ-organ pun akan kekurangan zat asam. Pada keadaan yang lebih parah, bisa terjadi penimbunan zat pembeku darah yang ikut menyambut pembuluh darah pada jaringan-jaringan vital. b. Peran Faktor Immunologis Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat di bahwa pada kehamilan pertama pembentuk blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya. c. Peran Faktor Genetik Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklampsia-eklampsia antara lain: 1) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. 2) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita preeclampsia-eklampsia. 3) Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia-eklampsia dan bukan pada ipar mereka. 4) Peran Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS).

3. Manifestasi Klinis Preeklampsia Rozikhan (2007) menyebutkan bahwa tanda dan gejala preeklampsia adalah sebagai berikut: a. Hipertensi Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Bila peningkatan tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan pertama kali dalam trimester pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa penderita 7

menderita hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat pada akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin penderita menderita preeklampsia. Peningkatan tekanan sistolik sekurang- kurangnya 30 mmHg, atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-kurangnya 15 mmHg, atau adanya tekanan sistolik sekurang- kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang- kurangnya 90 mmHg atau lebih atau dengan kenaikan 20 mmHg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnosa. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg atau lebih, ini sebuah indikasi terjadi preeklampsia berat. b. Edema Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan pada kaki, jari-jari tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosa preeklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih dianggap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali atau 3 kg dalam sebulan preeklampsia harus dicurigai. Bila terjadi pertambahan berat badan lebih dari 2,5 kg tiap minggu pada akhir kehamilan, mungkin merupakan tanda preeklampsia. Bertambahnya berat badan disebabkan retensi air dalam jaringan dan kemudian edema nampak dan edema tidak hilang dengan istirahat. Hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya preeklampsia. Edema dapat terjadi pada semua derajat PIH (Hipertensi dalam kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika edemanya general. c. Proteinuria Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2 + (menggunakan metode turbidimetrik standard) atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream untuk memperoleh urin yang bersih yang diambil minimal 2 kali dengan jarak 6 jam. Proteinuria biasanya timbul lebih lambat dari hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuria sering 8

ditemukan pada preeklampsia, karena vasospasme pembuluh-pembuluh darah ginjal. Karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius. Maryunani, dkk (2012) juga menyebutkan bahwa tanda dan gejala preeklamsia adalah sebagai berikut: a. Hipertensi dengan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, diukur minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat. b. Proteinuria 5 gram/ 24 jam atau lebih, +++ atau ++++ pada pemeriksaan kualitatif. c. Oliguria, urine 400 ml / 24 jam atau kurang d. Edema paru-paru, sianosis e. Tanda gejala lain yaitu sakit kepala yang berat, masalah pengelihatan, pandangan kabur dan spasme arteri retina pada funduskopi, nyeri epigastrium, mual atau muntah serta emosi mudah marah f. Pertumbuhan janin intrauterine terlambat g. Adanya HELLP syndrome (H= Hemolysis, ELL= Elevated Liver Enzym, P= Low Plat h. Pertumbuhan janin intrauterine terlambat.

4.

Klasifikasi Preeklampsia Pembagian preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat, berikut ini adalah penggolongannya (Rukiyah dan Yulianti, 2010): a. Preeklampsia Ringan Preeklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan atau edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah kehamilan. Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas, penyebab preeklampsia ringan belum diketahui secara jelas, penyakit ini dianggap sebagai “maladaptation syndrome” akibat vasospasme general dengan segala akibatnya. Gejala preeklampsia ringan menurut Rukiyah dan Yulianti (2010) meliputi: 1)

Kenaikan tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmHg.

2)

Proteinuria secara kuantitatif >0,3 gr/l dalam 24 jam. 9

3)

Edema pada pretibial, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau tangan.

4)

Tidak disertai dengan gangguan fungsi organ.

b. Preeklampsia Berat Preeklampsia Berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Gejala klinis preeklampsia berat menurut Rukiyah dan Yulianti (2010) meliputi: 1)

Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolik >110 mmHg

2)

Trombosit <100.000 /mm3

3)

Proteinuria (>3 gr/ liter/24 jam) atau positif 3 atau 4, pada pemeriksaan kuantitatif bisa disertai dengan: Oliguria (urine < 400 ml/24 jam), keluhan serebral, gangguan pengelihatan, nyeri abdomen, gangguan fungsi hati, gangguan perkembangan Intrauterine.

5.

Patofisiologi Preeklampsia Perkembangan normal pembentukan pembuluh darah uteroplasenta terbagi menjadi 2 tahap. Tahap pertama sebelum usia kehamilan 12 minggu terjadi invasi dan dimodifikasi dari arteri spiralis desidua. Invasi dan modifikasi ini terjadi sampai batas terluar dari miometrium. Antara usia 12 sampai 16 minggu terjadi invasi tahap kedua yaitu invasi pada intramiometrial arteri spiralis yang menyebabkan perubahan dari lumen arteri spiralis yang sebelumnya sempit menjadi dilatasi dan menurunkan tahanan pada pembuluh darah uteroplasenter ini. Apabila terjadi kelainan atau abnormalitas pada tahap ini maka dapat berkembang menjadi preeklamsi (Cunningham, 2012). Terdapat 2 hal penting yang memegang peranan sentral terhadap terjadinya preeclampsia, yaitu sebagai berikut: a)

Disfungsi trofoblas plasenta Plasentasi membutuhkan banyak faktor angiogenesis untuk menstabilkan suplai

oksigen dan nutrient pada fetus. Pada preeklamsi terjadi penurunan pada plasental angiogenesis. Normalnya invasif sitotrofoblas melakukan ”down regulate” terhadap molekul adhesi yaitu Echaderin dan integrin a6b4 dan aVb6 yang menghambat invasi 10

pada permukaan sel nya dan mengadopsi fenotip dari sel permukaan dari endotel sehingga melakukan ”up regulate” pada a1b1, aVb3 dan VE cadherin yang meningkatkan invasi, proses ini dikenal sebagai pseudovaskulogenesis. Pada preeklamsi sel sitotrofoblas tidak dapat melakukan perubahan ini sehingga sel sitotrofoblas ini tidak dapat melakukan invasi secara sempurna, dan pada akhirnya invasi pada arteri spiralis ini hanya terbatas pada lapisan desidual saja sedangkan lapisan muskularis pada arteri spiralis tidak diinvasi oleh sel trofoblas, sehingga pembuluh darah arteri spiralis pada preeklamsi ini hanya 40% dibandingkan dengan kehamilan normal (Sing, 2009). Pada penelitian lain juga didapatkan adanya hypoxiainducible faktor-1 mengalami upregulasi pada preeklamsi sehingga menyebabkan terjadinya

diferensiasi

abnormal

pada

sel

trofoblas

sehingga

tidak

terjadi

pseudovaskulogenesis dan hal ini merupakan tahap awal untuk terjadinya iskemia plasenta (Sharma dkk, 2010). b)

Disfungsi endotel dalam vaskularisasi maternal. Plasenta memegang peranan penting dalam patogenesis dan patofisiologi dalam

preeklamsi. Plasentasi yang abnormal dalam preeklamsi menyebabkan terjadinya maladaptasi imun dan implantasi plasenta yang kurang sempurna, yang menyebabkan terjadinya kegagalan remodelling fisiologis dari pembuluh darah desidua dan tidak sempurnanya

perkembangan

vaskularisasi

plasenta.

Hal

penting

lain

yang

menyebabkan terjadinya preeklamsi adalah disfungsi endotel yang menyebabkan peningkatan lipid peroksidase dan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi vasokonstriktor tromboksan (TXA2) dan vasodilator prostasiklin (PGI2) disadari sebagai faktor penting dalam peningkatan vasokonstriksi plasenta pada preeklamsi (Coskun dan Ozdemir, 2008). Pada wanita hamil normal prostasiklin endotel mencapai 8-10 kali lipat lebih tinggi daripada wanita yang tidak hamil. Namun pada wanita preeklamsi peningkatan ini hanya terjadi 1-2 kali lipat (Coskun dan Ozdemir, 2008). Di samping itu pada wanita preeklamsi tromboksan meningkat lebih banyak bila dibandingkan dengan wanita normal. Karena prostasiklin merupakan vasodilator dan tromboksan merupakan

vasokonstriktor, kerusakan sel

endotel menyebabkan

peningkatan tromboksan dan penurunan prostasiklin menyebabkan terjadinya vasospasme. Peningkatan sintesis lemak menyebabkan peningkatan rasio tromboksan/ 11

prostasiklin dan menyebabkan timbulnya sindrom preeklamsi. Itulah mengapa profil lipid yang abnormal merupakan penanda penting untuk terjadinya preeklamsi.

6.

Komplikasi Preeklampsia Komplikasi yang sering terjadi pada preklampsia berat adalah (Wiknjosastro, 2007): a)

Solusio plasenta, komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang menderita hipertensi akut.

b)

Hipofibrinogenemia, pada preeklampsia berat, Zuspan (1978) menemukan 23% hipofibrinogenemia.

c)

Hemolisis, penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan mekanisme ikterus tersebut.

d)

Perdarahan otak, komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal.

e)

Kelainan mata, kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat dan akan terjadi apopleksia serebri.

f)

Nekrosis hati, nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsia-eklampsia diakibatkan vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati.

g)

Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan low platelet.

h)

Kelainan ginjal, kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.

i)

Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.

j)

Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena terjatuh akibat kejang, pneumonia aspirasi dan DIC.

12

7.

Pencegahan Preeklampsia Pencegahan adalah upaya untuk mencegah preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai faktor risiko terjadinya preeklampsia (POGI, 2006). Strategi-strategi yang dapat dilakukan: a. Antenatal care (ANC) Tujuan pelayanan ANC yaitu untuk deteksi dini pada wanita yang berisiko tinggi, screening untuk mengidentifikasi faktor risiko, intervensi dalam upaya mencegah penyakit yang timbul, dan upaya pengobatan untuk mencegah komplikasi dari penyakit yang diderita. Pelayanan ANC yang kurang memadai merupakan penghalang utama dalam deteksi dini preeklampsia. Kelompok wanita dengan asupan kalsium yang cukup memiliki insidensi preeklampsia yang lebih rendah. Pemberian suplemen

kalsium

selama

kehamilan

direkomendasikan

untuk

mencegah

preeklampsia terutama pada daerah dengan tingkat konsumsi kalsium yang rendah. b. Antitrombotik Aspirin dosis rendah (75 mg/hari) dapat mengurangi produksi platelet oleh tromboksan. Hasil uji klinis memberikan keuntungan yang sedikit namun aspirin direkomendasikan dalam pencegahan preeklampsia terutama pada wanita dengan faktor risiko berikut: pernah mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, menderita hipertensi kronik, terdapat penyakit ginjal atau autoimun. Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan aspirin dosis rendah untuk mencegah preeklampsia tidak menyebabkan toksisitas pada janin dan neonatal, namun penggunaan aspirin dosis rendah pada kehamilan harus dibatasi karena masih diperlukan studi lebih lanjut tentang rasio manfaat dan risikonya. c. Tirah baring Tirah baring yaitu berbaring dengan posisi miring ke satu sisi. Tirah baring dengan posisi miring dapat menghilangkan tekanan rahim pada pembuluh vena cava superior sehingga akan meningkatkan aliran darah balik, menambah curah jantung, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim. Tirah baring masih diperlukan di Indonesia meskipun tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan persalinan preterm (POGI, 2006).

13

8.

Penatalaksanaan Preeklampsia Tujuan

utama

penanganan

preeklampsia

adalah

mencegah

terjadinya

preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin dengan trauma sekecil-kecilnya (Wiknjosastro, 2007). a) Preeklampsia Ringan Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan kejadian edema. Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur (Wiknjosastro, 2007). b) Preeklampsia Berat Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 – 24 jam bahaya akut sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan. Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang dapat diberikan larutan sulfas magnesikus 40 % sebanyak 10 ml disuntikan intramuskular pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan. Pemberian dapat diulang dengan dosis yang sama dalam rentang waktu 6 jam menurut keadaan pasien. Tambahan sulfas magnesikus hanya dapat diberikan jika diuresis pasien baik, refleks patella positif dan frekuensi pernafasan lebih dari 16 kali/ menit. Obat ini memiliki efek menenangkan, menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Selain sulfas magnesikus, pasien dengan preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin dengan dosis 50 mg secara intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara intramuskular (Wiknjosastro, 2007).

14

B. KONSEP SINDROM HELLP 1. Pengertian Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Levels of Liver enzymes, low Platelet count) Sindrom HELLP adalah gangguan terkait kehamilan yang dikarakterisir oleh timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar (disfungsi hepar), dan trombositopenia. Keluarnya enzim hepar terutama AST disebabkan oleh kerusakan dan perdarahan pada hepar. Pada sindrom HELLP terjadi lisis trombosit berkelanjutan yang menyebabkan turunnya trombosit sampai di bawah 100.000 sel/µl (Manuaba dkk, 2007).

2. Manifestasi Klinis Sindrom Hellp Klien yang mengalami HELLP akan memperlihatkan gejala seperti flu yang terjadi secara bertahap. Manifestasinya dapat terlihat pada awal gestasi minggu ke-17 sampai postpartum minggu pertama. Tanda dan gejala awal biasanya terlihat pada epigastrik atau nyeri pada kuadran atas akibat distensi hati. Klien sering kali memiliki tand dan gejala lain seperti mual, malaise, edema, atau nyeri abdomen yang menyebar. Secara klinis banyak klien yang mengalami HELLP tidak memenuhi criteria standar hipertensi untuk preeklampsia berat, dan beberapa diantaranya (15%)

memiliki

diastolik ≤90 mmhg. Proteinuria merupakan hal yang jarang terjadi, wlaupun demikian hal ini dapat terjadi belakangan pada penyakit tersebut (Sharon, dkk, 2011). a. Hemolisis Tanda hemolisis dapat dilihat dari ptekie, ekimosis, hematuria dan secara laboratorik adanya Burr cells pada apusan darah tepi. b. Elevated liver enzymes Meningkatnya SGOT, SGPT (> 70 iu) dan LDH (> 600 iu) maka merupakan tanda degenerasi hati akibat vasospasme luas. LDH > 1400 iu, merupakan tanda spesifik akan kelainan klinik. c. Low platelets Jumlah trombosit < 100.000/mm3 merupakan tanda koagulasi intravaskuler. Gejala fisik sindrom HELLP mungkin terlihat seperti pre-eklampsia. Penderita sindroma HELLP dapat memperlihatkan gejala sebagai berikut : a. Nyeri kepala 15

b. Mual / muntah / gangguan pencernaan berupa nyeri setelah makan c. Perut tegang / sakit dada dan nyeri perut bagian atas (akibat pembesaran hati) d. Nyeri bahu atau sakit dada setelah menarik nafas dalam e. Perdarahan f. Gangguan pengelihatan g. Pembengkakan h. Hemolisis sel darah merah i. Trombositopenia (dibawah 100.000/mm) j. Aminotransferase (ALT) k. Serum aminotransferase aspartat meningkat (AST) (Adele, 2011).

3. Klasifikasi Sindrom Hellp a. Klasifikasi Mississippi : Kelas I : trombosit < 50.000 L. Kelas II : trombosit > 50.000 tapi < 100.000 L. Kelas III : trombosit > 100.000 tapi < 150.000 L. Disertai hemolisis dan disfungsi hepar : LDH > 600 IU/L, SGOT dan atau SGPT > 40 IU/L. b. Klasifikasi Tennesse : Komplit : Trombosit < 100.000/L, LDH > 600 IU/L, SGOT > 70 IU/L. Inkomplit/parsial : Hanya terdapat 1 atau 2 tanda pada komplit. 4. Diagnosis Sindrom Hellp a. Diagnosis preeklampsia berat dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut : 1) TD sistolik ≥160mmHg, TD diastolik ≥110mmHg. TD ini tidak menurun meskipun sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring. 2) Proteinuria >5 g/24 jam atau ++++ dalam pemeriksaan kualitatif. 3) Oliguria (<500cc/24 jam). 4) Peningkatan kreatinin plasma. 5) Gangguan visus dan serebral, ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur. 16

6) Nyeri epigastrium. 7) Edema paru dan sianosis. 8) Hemolisis mikroangiopatikTrombositopenia berat (<100.000 sel/mm3). 9) Gangguan fungsi hepar. 10) Pertumbuhan janin terhambat. 11) Sindrom HELLP. b. Diagnosis sindrom HELLP dapat dipertimbangkan, yaitu : 1) Didahului tanda dan gejala yang tidak khas, seperti malaise, lemah, nyeri kepala, mual, muntah (gejala ini mirip tanda dan gejala infeksi virus). 2) Adanya tanda dan gejala preeklampsia. 3) Tanda tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST, dan bilirubin indirect, serta didapat kelainan pada apusan darah tepi. 4) Terdapat tanda kerusakan atau disfungsi sel hepatosit sel hepar, seperti kenaikan ALT, AST, LDH. 5) Trombositopenia, ditandai dengan hitung trombosit ≤100.000/ml.

5. Penatalaksanaan Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu (stabilisasi kondisi ibu), (Akhiri persalinan pada pasien sindrom HELLP dengan umur kehamilan 35 minggu). a. Menilai dan menstabilkan kondisi ibu. b. Jika ada DIC, atasi koagulopati. c. Profilaksis anti kejang dengan MgSO4. d. Terapi hipertensi berat. e. Rujuk ke pusat kesehatan tersier. f. Computerised tomography (CT scan) atau Ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati. g. Evaluasi kesejahteraan janin. h. Non stress test/ tes tanpa kontraksi (NST). 17

i. Profil biofisik. j. USG. k. Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan < 35 minggu. l. Jika matur, segera akhiri kehamilan. m. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan.

C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data yang dikaji pada ibu hamil dengan preeklampsia adalah: a. Data subjektif 1) Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida,< 20 tahun atau > 35 tahun. 2) Riwayat kesehatan ibu sekarang: terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur. 3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya: penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, diabetes mellitus. 4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya. 5) Pola nutrisi: jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan. 6) Psikososial spiritual: Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya. b. Data Objektif 1) Inspeksi: edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam. 2) Palpasi: untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi edema. 3) Auskultasi: mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress. 4) Perkusi: untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM ( jika refleks +). 5) Pemeriksaan penunjang: a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 6 jam.

18

b) Laboratorium: proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatini meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml. c) Berat badan: peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu. d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak. e) USG: untuk mengetahui keadaan janin. f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan preeklamsia adalah sebagai berikut: a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan kardiak out put sekunder terhadap vasopasme pembuluh darah. b. Kelebihan volume cairan berhubungan peningkatan reabsorbsi natrium (Na). c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat. d. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral akibat hipertensi. e. Risiko tinggi injury pada ibu berhubungan dengan kejang, penurunan fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah). 3. Intervensi Keperawatan a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan kardiak output sekunder terhadap vasopasme pembuluh darah Tujuan

: Perfusi jaringan serebral adekuat dan tercapai secara optimal.

Kriteria Hasil

:

Tekanan

systole

dan

diastole

dalam

rentang

normal,

menunjukkan fungsi sensori motorik kranial yang utuh: tingkat kesadaran membaik, tidak ada gerakan involunt. Intervensi

:

1) Monitor perubahan tiba-tiba atau gangguan mental kontinu ( cemas bingung, letargi, pingsan). 2) Observasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/ lembab, cacat kekuatan nadi perifer. 19

3) Kaji tanda Homan ( nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi ) eritema, edema. 4) Dorong latihan kaki aktif / pasif. 5) Pantau pernafasan. 6) Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, muntah/ mual, distaensi abdomen, kontipasi. 7) Pantau masukan dan perubahan keluaran. b. Kelebihan Volume Cairan berhubungan dengan peningkatan reabsorbsi natrium (Na). Tujuan

: Kelebihan volume cairan teratasi.

Kriteria hasil

: Bebas dari edema, bunyi nafas bersih tidak ada dispneu/

ortopneu, terbebas dari distensi vena jugularis. Intervensi

:

1) Auskultasi bunyi nafas akan adanya krekels. 2) Catat adanya DVJ, adanya edema dependen. 3) Ukur masukan atau keluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan cairan. 4) Pertahankan pemasukan total cairan 2000 cc/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler. 5) Berikan diet rendah natrium atau garam. c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat Tujuan

: Status nutrisi normal, berat badan meningkat, tidak ada tanda

malnutrisi. Kriteria Hasil

: Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan, berat

badan ideal seuai dengan tinggi badan, mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak terjadi malnutrisi, menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan, tidak ada tand penurunan berat badan. Intervensi

:

1) Kaji alergi makanan. 2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhakan pasien. 20

3) Anjurkan pasien untuk meningkatka intake Fe. 4) Anjurka pasien untu meningkatkan protein dan vitamin c. 5) Berikan substansi gula. 6) Yakinkan diet yang dimakan mengandung serat tinggi untik mencegah konstipasi. 7) Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasiskan dengan ahli gizi) 8) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. 9) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi. 10) Kaji kemampuan pasien mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan. d. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral akibat hipertensi Tujuan

: Nyeri mendekati normal, nyeri terkontrol, pasien merasa nyaman

Kriteria hasil

: Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri), melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri, mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda), menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Intervensi

:

1) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan. 2) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien. 3) Kaji penyebab nyeri. 4) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau. 5) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan control nyeri masa lampau. 6) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan. 7) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan. 8) Kurangi factor prepitasi nyeri. 9) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi , non farmakologi, dan inter personal). 10) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi. 21

11) Ajarkan teknik relaksasi. 12) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. 13) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri. 14) Tingkatkan istirahat. 15) Kolaborasikan dengan dokter atau medis lain jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil. 16) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri. e. Risiko tinggi injury pada ibu berhubungan dengan penurunan fungsi organ (vasospasme dan peningkatan tekanan darah), kejang. Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada

ibu. Kriteria Hasil

: Kesadaran: compos mentis, GCS: 15 ( 4-5-6 ), tekanan

Darah normal. Intervensi

:

1) Monitor tekanan darah tiap 4 jam. 2) Catat tingkat kesadaran pasien. 3) Kaji adanya tanda-tanda eklampsia (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria). 4) Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi uterus. 5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM. 4. Implementasi Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan yang telah direncanakan. 5. Evaluasi Hasil Evaluasi yang mungkin didapat adalah: a. Tujuan tercapai seluruhnya, yaitu jika pasien menunjukkan tanda atau gejala sesuai dengan kriteria hasil yang di tetapkan. b. Tujuan sebagian yaitu jika pasien menunjukan tanda dan gejala sebagian dari kriteria hasil yang sudah ditetapkan. c. Tujuan tidak tercapai, jika pasien tadak menunjukan tanda dan gejala sesuai dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan.

22

Related Documents

Peb Bab Ii Fix.docx
April 2020 9
Peb Fix.docx
May 2020 24
Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48

More Documents from ""