INTERAKSI “KERUANGAN” DI ALUN-ALUN KOTA MALANG Alun-alun kota Malang merupakan simbol pergolakan hubungan manusia yang terdapat di kota Malang dalam lingkup penggunaan open space. Dengan banyaknya pohon beringin yang mengayomi wilayah ini seakan menjadi daya tarik tersndiri bagi masyarakat. Jelas karena pohon itu memberikan efek dingin dan sejuk. Mungkin karena di kota Malang ini sudah semakin berkurangnya pohon dengan alasan perkembangan. Penelitian ini penulis lakukan pada minggu, 11 April 2004. dimana Alun-alun dengan air mancurnya menjadi daya tarik umumnya pada hari Minggu setelah warga libur pada hari Jumat, jam 15.0018.30 alun-alun pada saat dimana tingkat keramaiannya tinggi. Kemudian dilanjutkan pada hari Senin 12 April 2004. jam 18.00-21.30, pada saat alun-alun keadaannya sepi. Pada saat hari yang pertama, penulis melihat banyak manusia yang di permukaan sangat berbeda. Seperti adanya beberapa manusia dengan status militer negara yang sedang santai, masyarakat pengemis dan peminta-minta, keluarga kaya, penjual makanan dan mainan, WTS dan berbagai macam jenis manusia. kesemuanya ini seakan membentuk ruang tersendiri dalam wilayah Alun-alun pada saat malam hari, sepi (gelap) dengan lampu yang tidak meyakinkan dalam ke-menyala-an.
Masjid jami’ sebagai unsur “penyegar” alun-alun pada khususnya
bersama bernama alun-alun ini. Beberapa kali penulis berusaha dan ngobrol dengan beberapa “wakil” mereka. Disini penulis melihat bahwa mereka lebih enak apabila mereka berkumpul dalam kelompoknya. Jadi berbicara dengan orang asing merupakan sesuatu yang wah. kemudian apabila mereka sendirian, seakan-akan mereka malu atau tidak mau untuk masuk dalam kelompok tertentu. Jadi sering bila beberapa manusia yang datang ke alunalun ini sendiri, mereka akan tetap sendiri. Duduk, merenung dan melamun.
Penulisjuga melihat, mereka membentuk suatu “ruangan” tersendiri untuk kelompok atau diri mereka. Ruangan ini adalah ruangan maya yang tercipta dalam keadaan saat mereka berkumpul, berkomunikasi, berinteraksi, merenung dengan kelompoknya atau dirinya. Seperti saat penulis ingin ngobrol dengan salah satu dari kelompok mereka. Penulis akan (seakan-akan) “mengetuk pintu” dengan mengucapkan salam atau yang lain. Kemudian penulis “masuk” dalam ruangan mereka atau bahkan membentuk ruangan baru yang tersusun atas Tiduran dan duduk bersama dalam kelompoknya (saja). kegiatan berkomunikasi dan Prinsip individualitas. jalinan informasi. Keberadaan berbagai ruangan yang menghiasi kawasan ini terpaut dalam piramida kehidupan. Dimana “yang paling” satu dan “yang paling” lainnya berada dalam posisi yang berlawanan. Satu di atas dan satu di bawah. Tentu ditengahnya terisi oleh yang lainnya dalam lingkupan yang sama. Sayang, prinsip ini juga memperlihatkan dampak sebuah kota sebagai ruang politik yang sering mengorbankan manusia di dalamnya. Dalam hal yang termudah saja misalnya, ekonomi, telihat korban-korban yang menghiasi kawasan alun-alun. Seperti beberapa wanita tuna susila (WTS) yang melayangkan “dagangannya”, pengemis-pengemis, anak-anak jalanan yang tidak bersekolah. Semuanya ada umumnya karena tuntutan ekonomi yang kejam. Dampak dari politik kapitalisme dunia. Berbagai individu atau kelompok lainnya ikut menyemarakkan kawasan. khususnya pada saat menjelang sore. Maklum, Minggu merupakan hari libur nasional, jadi sepertinya banyak masyarakat memanfaatkan waktu dengan pergi ke kawasan alun-alun. Prinsip keruangan tadi seakan-akan menjadi pecah dan semakin maya dengan semakin ramainya kawasan. Tetapi masih tetap ada. Intertaksi antar individu pun terlihat semakin ramai, timbul sifat kebersamaan dan perasaan satu ruangan yang disatukan dengan Alas tidurku… pembenakan sama-sama mencari kebahagiaan. Meski kadang dengan cara yang salah atau kurang benar.
WTS siang-siang…ada di “ruangan”nya setiap hari untuk “berdagang”
Tentara lagi libur (?) dengan seragamnya menunjukkan prioritas tertentu akan sesuatu.
Makan dengan sampah. Korban ruang politik. Sistem kapitalisme.
Anak-anak jalanan. Saat tahu akan difoto, kumpulnya jadi pecah.
Eits…
Pacaran banyak…padahal sebelum difoto sangat mesra. Tetapi ada juga yang (masih) malu-malu.
“Ruang-ruang” yang tercipta menjadikan kawasan penuh dengan perbedaan dan warna. Berbagai kegiatan menjadikan hal tersebut terlihat. Seperti bermain, berkumpul, makan, berpacaran dan lainnya. Memang malang adalah Paris von Java. Seakan-akan tempat duduk dan lainnya di kawasan tercipta untuk praktek kemesraan dua sejoli. Sebuah “ruang” tersendiri.
Dalam keramaian itu terdapat unsur kebersamaan yang kuat. Prinsip “keruangan” yang diajukan oleh individu atau kelompok menjadi semakin besar dan melingkupi manusia
Semakin terasa unsur kebersamaannya. Meski tidak kenal, tetapi mereka “mau” duduk berdekatan. Karena tidak ada tempat lagi.
(rame-rame)? Lihat yuk!”. Ini sepertinya dapat dimanfaatkan bagi pedagang dan pencari nafkah dan untuk semakin memperlaris dagangannya. Pada saat itu ada paling tidak tiga penghibur berupa topeng monyet. Penulis amati, pada saat awal-awal penonton sangat sedikit, tetapi semakin banyaknya penonton membuat pengguna alun-alun juga merasa tertarik untuk melihat topeng monyet tersebut. Meski ketiga penghibur tadi mempertunjukkan aksi yang
yang semakin banyak. Keterbatasan ruang untuk bersantai, duduk atau yang lain, juga keinginan untuk melakukan sesuatu bersama seperti melihat topeng monyet, atau mengerubuti penjual mainan yang semakin tertarik apabila banyak orang yang juga melakukan hal yang sama. Ketertarikan untuk ini terbukti kuat. Seperti kata-kata yang dikenal telinga adalah “eh, apa itu kumpul-kumpul
Seorang Anak main sendirian dengan “ruang” benaknya.
sama, tetapi umumnya masyarakat tertarik karena ada rasa ingin tahu, kenapa penontonnya kok banyak? Prinsip keingin tahuan dan ikut-ikut saja. Kemudian dapat dirasakan adanya “ruang” yang melingkupi para penonton ini.
Kebersamaan dalam satu tujuan. Melihat topeng monyet. “Ruang” yang dominan adalah kebersamaan.
dalam keramaian ini banyak diperlihatkan senyum dan wajah bahagia. Hal ini menimbulkan kesan dan perasaan yang tenang. Sehingga yang tadinya berprasangka, menjadi melunak dan ikut merasa tersenyum. Mungkin, terjadi karena para pangunjung kawasan kesemuanya mengharapkan timbulnya wajah yang berseri dan hati bahagia dengan datang ke kawasan. unsur utama yang membahagiakan adalah tawa dan laku anak-anak. Umumnya pengunjung pada saat Rame sekali. Prasangka buruk pun seakan berkurang. ini adalah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak (yang masih kecil). Tetap dalam keadaan ramai seperti itu masih ditemui beberapa individu atau kelompok yang seakan tidak bisa membaur menjadi satu dengan pengunjung yang lain. Seperti pengemis dan peminta-minta. Mereka seakan ditolak sebelum dilihat untuk bergabung dalam larutan tawa. Kesenjangan yang tetap tinggi. “Ruangan” yang diciptakan juga masih tetap berbagai macam. Seperti halnya para pemakai kawasan alun-alun dengan penggunaan sebagai sumber nafkah hidup. Mereka lebih enak dan santai apabila mereka berbicara dengan sesama dalam “keruangan” itu. Perasaan senasib (dalam hal ekonomi, khususnya), sering bertemu, kesamaan prinsip, tingkat pendidikan dan lainnya membuat mereka semakin erat dalam persaudaraan. Kemudain Tukang parkir. Memberikan warna tersendiri dalam kawasan menimbulkan “dinding keruangan” yang jelas. Meski dapat dengan mudah mereka menerima siapapun untuk dijadikan teman. Tanpa prasangka buruk dan curiga. Hal ini terbukti jelas. Pada saat penulis coba untuk membaur dengan mereka, mereka pun menerima dengan senyum dan tawa. Tetapi apabila penulis mencoba membaur dengan “kelompok kaya” mereka menerima dengan ketakutan dan terhantui. Heran, apa yang salah.
Namanya Amartya (22 th). Pindahan dari Gujarat, India. Dengan shindur dan kain sarinya memberikan warna baru dalam kawasan.
Budi (kiri) dari Malang dan Olivier dari Belanda. Dengan senyum…
Perasaan sungkan dan malu atas prasangka dan lainnya itu semakin membuat pengunjung kawasan pada khususnya tidak mau untuk menyapa yang lainnya. Penulis amati hal ini pada saat bertemu dengan seorang wanita yang berasal dari India. Dengan membawa hasil budayanya yang tercermin dalam penampilannya, dia menjadi pusat perhatian dan pusat pendangan. Dia sendirian. Penulis pun memberanikan diri untuk berkenalan. Dengan modal kamera, kita pun berkenalan. Kemudian rantai silaturrahmi bertambah satu simpul. Entah kenapa hal ini tidak dilakukan pengunjung yang lain. Mereka hanya bisa melihat dan kagum. Bahkan sering mereka menggoda dan melecehkan. Tentu bukan cerminan perilaku indah. Yang berusaha untuk berkenalan dan berteman malah para pengemis. Mereka dengan tanpa ragu-ragu memuji dan mendekati. Bukan untuk mengemis, tetapi untuk mengenal lebih jauh. Heran, apa yang salah?
Pada saat waktu yang ke dua, kawasan alun-alun merupakan kawasan yang cukup sepi. Setelah diguyur hujan deras pada saat Maghrib, menjadikan pengunjung banyak yang enggan ke kawasan. tetapi tetap ada perilaku yang cukup membuktikan prinsip “keruangan” yang ada. Beberapa individu atau kelompok menggunakan kawasan tempat untuk menghibur diri atau hanya untuk lewat. Seperti Olivier dan Budi yang dalam menuju Sarinah melawati kawasan. juga masih terlihat beberapa keluarga mencoba memanfaatkan alunalun seperti pada hari Minggu. Tetap karena tidak ada unsur keramaian, ketertarikan manusia untuk berlama-lama menjadi berkurang. Kecuali yang datang ke kawasan dengan ketertarikan awal berupa unsur ke-tidakramai-an itu. Yaitu, kelompok yang melakukan “aktivitas” berpacaran. Mereka yang berpacaran ini umumnya mencari tempat duduk yang lebih privasi, jauh dari keramaian, terpisah dari yang lain, mojok, gelap, berdekatan, dan tanpa malu. Lain (tentu) dengan saat siang hari. Apabila ada tempat duduk panjang sudah terisi dengan yang lain, maka umumnya Pacaran malam. Lebih “mesra”, vulgar dan berani. Menggoyahkan nilai dan norma. tidak terisi lagi, meski ruang tempat duduk itu besar sisanya. Beberapa malah sangat terpisah jauh, dikegelapan, tertutup dengan dedaunan dan terlindung dari pandangan. Dan kelakuan yang mereka lakukan pun bisa ditebak. Pemandangan yang “mendebarkan”. Pada saat-saat tertentu ada beberapa individu atau kelompok yang datang untuk berkumpul dan tersenyum. Meski mereka juga mempunyai kekengganan berlama-lama di kawasan. seperti kelompok anak-anak jalanan yang ternyata secara rutin kumpul di kawasan. mereka bercanda dan tertawa. Seakan meramaikan kawasan yang sepi dan “mendebarkan” itu. Mereka pun menerima orang asing untuk diajak berteman dan berbicara. Tanpa tending aling-aling mereka malah menawarkan jagung Keluarga kecil sedang menikmati kawasan dan bakar. Juga ada kelompok perantau dari Flores, yang sepertinya menggunakan kawasan menghibur diri. tempat untuk berkumpul, rapat, silaturahmi, dan kegiatan rutin lainnya. Penulis mangamati prinsip “keruangan” yang terjadi pada saat sepi itu merupakan saat dimana yang paling kuat. Para individu atau kelompok benar-benar tidak mau membaur jalanan. Berkumpul dan berbahagia. Menerima dengan individu atau kelompok lain. DiaAnak-anak hanya berbicara dan bercengkerama dengan dengan senyum dan tawa. kelompoknya. Hal ini membuat kawasan menjadi sepi. Sepertinya dimanfaatkan oleh manusia berpacaran tadi. Malah disini terluhat jelas sekali bahwa mereka sepertinya telah membentuk ruang yang sedemikian kuat dan tebal pembatasnya sehingga timbul jarak antar kelompok dan ketidak maluan atas norma dan Allah. Sayang foto untuk kawasan pada saat malam hari sulit dan terbatas. Banyak yang tidak dapat di cetak. KESIMPULAN Keberadaan alun-alun di kota Malang yang meski bukan dan tidak menjadi hasil budaya Jawa asli yang ada, dia mewadahi berbagai kegiatan manusia. khususnya dalam hal berinteraksi. Berinteraksi antar sesama dan interaksi benak diri. Setelah penulis amati dalam waktu dimana banyak manusia dan dimana alun-alun paling sepi, penulis menemukan sesuatu teori “keruangan” atas interaksi manusia. Dalam berkomunikasi, manusia membentuk “ruang” dimana ruangan itu dicipta secara tidak sadar untuk melingkupi interaksi itu. Hal ini dapat dilihat bila ada dua Kelompok bahasaberbicara Flores mejadi pengunjung tetapmereka secara tidak sadar membentuk orang ataudengan lebih yang dalam kelompok, kawasan. membentuk “ruang” tersendiri. ruangan. Kemudian ada orang asing yang menyela masuk dalam pembicaraan. Akan tidak sopan apabila orang asing itu “nelonyor” masuk dalam pebicaraan. Secara naluri dan moral “ruang” tadi akan menjadi pertimbangan dan perenungan. Dia pasti akan melakukan tindakan tertentu, seperti mengatakan permisi atau yang lain, (yang kemudian seperti mengetuk pintu) dengan harapan akan diterima masuk dalam pembicaraan atau dalam kegiatan yang lain. Orang asing ini bisa saja “merusak” ruangan yang tercipta tadi, bisa juga tidak. Meski orang itu merusak pasti dia membentuk sebuah ruangan baru. Misal pembicaraan
sebelum orang asing itu datang dan menyela adalah tentang sepak bola, kemudian orang asing itu datang dan menyela, dia bertanya tentang jalan merdeka. Dengan demikian keruangan tentang sepak bola tadi telah di”rusak” kemudian timbul keruangan yang baru, yaitu penjelasan jalan merdeka. Ruangan ini juga tercipta dalam interaksi manusia dengan benak, jiwwa, hatinya sendiri. Dalam merenung, manusia membentuk ruang. Dapat dikatakan individu atau kelompok dengan kepentingan yang sama adalah manusia dengan ruang-ruang tersendiri. Dan kemudian ruang-ruang ini menempatkan diri pada posisi tertentu dalam pola hubungan manusia dalam hidup dan berkehidupannya. Ada beberapa individu atau kelompok yang memberikan kesan “indah”, paling “indah” dan paling “jelek”. Hal ini sesuai dengan prinsip piramida kehidupan, dimana posisi manusia berbeda-beda. Seperti dalam lingkup piramida ekonomi. Terlihat jelas bahwa piramida ekonomi ini menciptakan ke-pengelompok-an. Ada beberapa orang yang merasa tenang dengan jalan dan posisi perekonomian mereka, ada yang merasa kekuarangan. Tetap kesemuanya menempati posisi berbeda dalam piramida tersebut. Perbedaan merupakan rahmat. Tetapi menurut pengamatan penulis, perbedaan yang terdapat di wilayah alun-alun merupakan hal yang dianggap “tercela”. Sikap persaudaraan dan kebersamaan antar pengguna alun-alun, antar penduduk kota dan antar manusia semakin berkurang. Ketakutan akan perilaku buruk telah menjadi prasangka pertama yang timbul apabila bertemu dengan orang asing. Senyum hati dan wajah terasa asing bagi masyarakat kota ini. Mereka hanya banyak berkutit pada wilayah “keruangan” mereka. Hanya tersenyum pada kelompok mereka atau bahkan pada diri sendiri. Kebersamaan didapat hanya apabila mereka mempunyai tujuan yang sama dan perilaku yang sama. Perasaan senasib pada khususnya menjadikan pola keruangan dalam piramida kehidupan menjadi kuat dan beragam. Memang tidak dapat dihindari. Tetapi seharusnya menusia tidak menciptakan batasan ruang yang sedemikian tebal untuk dapat dimasuki orang atau kelompok lain. Mereka seharusnya membuka “pintu” lebar-lebar untuk menyambut tamu dengan senyum. Hasil keberadaan prinsip kehidupan yang salah. Dampak dari pengagungan materi dunia. Politik. Prinsip keruangan yang ada (disebutkan diatas) adalah merupakan prinsip ruang informasi. Dimana ruang tertandai dan terbatasi oleh jalinan informasi yang membangunnya. Dalam hal ini membuat tembok yang menghalangi orang untuk “njeluntrung” masuk dalam suatu kelompok dalam percakapan atau pribadi yang sedang merenung. Ruang ini tercangkup dengan keberadaan ruang-ruang informasi yang lainnya dalam kawasan alun-alun sehingga dapat dirasakan adanya ruang informasi yang lebih besar dalam skala kawasan. Dalam benak manusia di kawasan, alun-alun memberikan informasi keberadaannya di dunia pada saat itu. Demikian juga dalam skala kota dan negara dan juga dunia nyata. Kesemuanya mempunyai skala ruang informasi yang berbeda dan melingkupi. Kawasan alun-alun ini merupakan salah satu bagian dari kota yang merupakan anggota jaringan kota-kota lainnya, atau dengan kata lain global cities. Jalinan informasi dengan mempermainkan ruang informasi yang sedemikian global yang diterima dalam keberadaannya sebagai bagian dari ruang politik menjadikannya terpengaruh dan berubah. Dapat dilihat begitu banyaknya perubahan budaya yang sedemikian dalam membuat masyarakat di kawasan seakan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat Malang, atau bahkan sebagai individu. Mereka menjadi “budak”. Sedangkan dalam kebersamaan, kekompakan dalam satu ruang sebagai masyarakat
semakin berkurang. Egoisme menjadi semakin tinggi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah pengaruh dari pengolahan ruang dapat membuat dampak sedemikian besar? Sedemikian buruknya? Dapat ditelaah ada unsur keegoisan yang sedemikian tingginya sehingga apabila ada keberbedaan menjadi seperti tercela. Prinsip egoisitasnya terlihat dalam tindakan manusia sekarang di kawasan pada khususnya, dalam mengikuti mode berpakaian. Dia berpakaian ketat dan “seksi” hanya untuk ingin diperhatikan disanjung dan dipuji (panampilannya). Dalam hal ini berlebihan. Apabila bertemu dengan seorang yang tidak mengikuti mode atau “eksentrik” atau “kuno” kemudian menganggapnya salah dan patut dijauhi. Tidak menghargai jiwa yang ada didalamnya. Sungguh aneh apabila di kawasan yang penuh dengan manusia yang berpakaian mengikuti jaman “terkontaminasi” dengan adanya manusia dengan pakaian khas daerahnya. Seperti yang dilakukan oleh Amartya di atas. Atau coba pikir apabila dalam kawasan itu masuk orang dengan pakaian adat Jawa kerajaan dengan blangkonnya! Semua orang akan merasa aneh, heran dan mungkin risih. Meskipun sebenarnya dia memakai pakaian kerajaan yang seharusnya sangat dihormati. Meskipun sebenarnya apa yang dia pakai itu telah ada di Jawa selama ratusan tahun. Memang jaman terus berubah dan akan selalu berubah. Hal ini tidak dapat dihindari atau dihalangi. Tetapi satu yang tidak boleh berubah, yaitu dasar hidup. Nilainilai illahiah yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Global cities dengan ruang informasinya sedemikian rupa telah merubah dasar hidup manusia yang ada di kawasan pada khususnya. Karena ruang informasi hakekatnya adalah batas jangkauan sumber informasi penentu pola pandang hidup dan pola pikir. Apabila menguasai ruang informasi global akan menguasi (pola pikir) dunia. Karena dia menguasi ruang hidup manusia di dunia. Dengan jaringan global cities sebagai alat penyebaran. Demikian salah satu buktinya adalah perubahan standar dalam segala hal. Bahkan informasi yang disebarkan oleh penguasa teknologi informasi (negara-negara Barat dengan berbagai kota-kota terbesar dan tersibuk di dunia) telah merubah “dasar untuk mempertahankan dasar hidup tadi”. Berbagai informasi pun langsung diterima dan dipergunakan tanpa mengindahkan dasar hidup itu sendiri. Apalagi dengan teknologi cyber yang memberikan kemampuan ruang informasi dapat mempengaruhi lebih cepat beberapa ratus ribu kali. Sebuah ruang transisi mutlak diperlukan dalam menghadapi pengaruh ruang informasi yang sedemikian pesatnya dengan dogma menghancurkan ini. Dimana setiap ruang dijaga dengan prinsip nilai-nilai hidup yang benar. Dengan demikian ruang yang paling privat dalam hidup manusia dapat terjaga dengan baik. Yaitu ruang dengan prinsip hidup dengan nilai-nilai ilahiyah tadi. Kemudian dengan semakin pesatnya perubahan jaman, dengan semakin berubahnya jaman, manusia akan masih memiliki dasar yang benar dalam segala kebertindakan. Semuanya akan terjaga dengan baik.