KEMASAN CERDAS (SMART PACKAGING) DENGAN SENSOR pH BERBASIS ANTOSIANIN DAUN ERPA SEBAGAI DETEKTOR KEBUSUKAN FILET IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy)
SKRIPSI
Oleh: MAMIK MU’ALIFATUL ULYA NIM. 145080300111014
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018
i
KEMASAN CERDAS (SMART PACKAGING) DENGAN SENSOR pH BERBASIS ANTOSIANIN DAUN ERPA SEBAGAI DETEKTOR KEBUSUKAN FILET IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy)
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
Oleh: MAMIK MU’ALIFATUL ULYA NIM. 145080300111014
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG JUNI, 2018
ii
iii
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : KEMASAN CERDAS (SMART PACKAGING) DENGAN SENSOR pH BERBASIS ANTOSIANIN DAUN ERPA SEBAGAI DETEKTOR KEBUSUKAN FILET IKAN GURAMI (Osphronemus gouramy) Nama Mahasiswa
: MAMIK MU’ALIFATUL ULYA
NIM
: 145080300111014
Program Studi
: Teknologi Hasil Perikanan
PENGUJI PEMBIMBING Pembimbing 1
:
: Dr. Ir. Titik Dwi Sulistiyati, MP.
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
:
Penguji 1
: Rahmi Nurdiani , S.Pi, M.App. Sc, PhD.
Penguji 2
: Hefti Salis Yufidasari, S.Pi, MP.
Tanggal Ujian
: 7 Juni 2018
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Mamik Mu’alifatul Ulya
NIM
: 145080300111014
Program Studi : Teknologi Hasil Perikanan Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi “Kemasan Cerdas (Smart Packaging) dengan Sensor pH Berbasis Antosianin Daun Erpa Sebagai Detektor Kebusukan Filet Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy)” yang saya tulis ini benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis oleh naskah ini dan disebut dengan daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 20 Juni 2018 Mahasiswa
MAMIK MU’ALIFATUL ULYA NIM. 145080300111014
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk,
rahmat
serta
hidayah
Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul Kemasan Cerdas (Smart Packaging) dengan Sensor pH Berbasis Antosianin Daun Erpa Sebagai Detektor Kebusukan Filet Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy). Sholatullahi wasalamuhu semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberi suri tauladan yang baik bagi umat manusia demi mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Laporan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan, dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Dalam penyusunan laporan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1.
Allah
SWT
yang
senantiasa
memberikan
kesanggupan
dalam
menyelesaikan laporan skripsi ini.
2. Kedua orang tua, malaikat hatiku Ibunda Siti Jamilah dan Ayahanda Bukhori yang telah memberikan doa, dukungan materi dan moril, serta selalu ada disetiap waktuku. 3. Kakak laki-laki terbaik Muhammad junaidi dan Adik perempuan terusil Khabibah Fatimatuzzahrok yang telah memberikan doa dan selalu menyemangatiku, serta Moh. Muammar Qadaffi mas ter-the best yang selalu setia jadi teman serta asisten bagi saya. 4. Dr. Ir. Titik Dwi Sulistiyati, MP selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan sejak penyusunan usulan penelitian sampai dengan selesainya penyusunan laporan skripsi ini. 5. Tim Sianida squad yang telah setia menjadi sahabatku selama ini Isna, Hesti, Lingga, Dhea, Febrina, serta anggota paling ganteng Wildan yang selalu mendengarkan keluhanku dan selalu memberi semangat.
vi
6. Tim, teman seperjuangan, sekaligus pendengar setia terbaik Halimatus Sa’diyah yang selalu setia menjadi pendengar keluhan skripsi saya. 7. Tim Bimbingan Mami Titik yang selalu setia memberi semangat dan masukan (Syafira, Peri, Anis, Cristin, Fitria, Hilman, Jihan, Josh, Eky, Aim, Ling, Ucup, Mutia, Nyot, Hima, dan Nay). 8. Sahabat kontrakan kos lalapan 78, teman seperjuangan skripsi Bibah, Anis, Lia, Zheng Lic, dan Zheng Nur yang selalu siap menghibur saat lagi down karena skripsi. 9. Sahabat
asisten
Biokimia,
Teknologi
Refrigerasi,
Teknologi
Pengemasan dan DTHP yang selalu memberi masukan dan semangat agar bisa segera sidang. 10. Keluargaku THP 2014 serta semua sahabat yang tidak bisa disebutkan semua yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
Malang, Juni 2018
Penulis
vii
RINGKASAN MAMIK MU’ALIFATUL ULYA. Skripsi tentang Kemasan Cerdas (Smart Packaging) dengan Sensor pH Berbasis Antosianin Daun Erpa sebagai Detektor Kebusukan Filet Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) dibawah bimbingan Dr. Ir. Titik Dwi Sulistiyati, MP Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu ikan air tawar yang bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Selain daging ikan gurami yang kasat, tidak berair dan gurih, ikan gurami juga memiliki kandungan gizi yang tinggi yaitu protein 18,05%, lemak 0,57%, air 79,47%, karbohidrat 1,65%, dan abu 0,4% setiap ekornya. Namun disisi lain ikan merupakan produk yang mudah busuk (Perishable food). Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk memperlambat kebusukan yaitu dengan cara pengemasan. Peran utama kemasan dalam produk pangan adalah untuk melindungi produk dari kontaminasi eksternal, termasuk keamanan pangan, mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan. Perkembangan kemasan saat ini mulai mengarah pada pembuatan kemasan cerdas dengan pengintegrasian kualitas dari produk itu sendiri. Dimana dalam produk perikanan mengarah pada nilai kesegaran ikan. Teknik kemasan ini menggunakan suatu metode yang dikenal sebagai Food Quality Indicator-FQI. Kemasan ini mempunyai film yang dapat bereaksi terhadap perubahan secara kimiawi atau biologi yang menandakan rusaknya produk. Dalam pembuatan film indikator dibutuhkan suatu zat warna yang tidak stabil terhadap perubahan pH. Salah satu zat warna alami yang dapat digunakan yaitu antosianin. Zat tersebut berperan dalam pemberian warna terhadap bunga atau bagian tanaman lain dari mulai merah, biru sampai ke ungu termasuk juga kuning. Salah satu tanaman yang mengandung antosianin yaitu tanaman erpa. Erpa merupakan tanaman yang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Oleh karena itu perlu adanya penelitian tentang Kemasan Cerdas (Smart Packaging) dengan Sensor pH Berbasis Antosianin Daun Erpa sebagai Detektor Kebusukan Filet Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui total kandungan antosianin pada daun erpa, untuk mengetahui apakah antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami pada film indikator, serta untuk mengetahui bagaimana perubahan warna yang terjadi dari film indikator setelah diaplikasikan pada produk filet ikan gurami. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Keamanan Hasil Perikanan dan Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang pada bulan Januari – April 2018. Penelitian ini terbagi menjadi dua tahap penelitian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama, Penelitian pendahuluan digunakan untuk mengetahui lama simpan filet ikan gurami dalam suhu ruang serta untuk mengetahui total kandungan antosianin yang terdapat pada daun erpa. Penelitian utama yaitu pembuatan film indikator warna dan aplikasi film pada produk filet ikan gurami yang digunakan untuk mengetahui
viii
apakah antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami pada film indikator, serta untuk mengetahui bagaimana perubahan warna yang terjadi dari film indikator setelah diaplikasikan pada produk filet ikan gurami. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode eksploratif deskriptif. Pengujian yang dilakukan yaitu terdiri dari uji kandungan total antosianin, uji pH, kuat tarik, elongasi, trasnmisi uap air, ketebalan, TPC, TVBN, TMA, organoleptik, kadar air, dan kadar protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total antosianin ekstrak daun erpa sebesar 71,47 mg/L. Ekstak antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna pada film indikator sebagai kemasan cerdas, karena ekstak antosianin daun erpa dapat berubah warna sesuai dengan kondisi kimia dan mikrobiologi dari lingkungan. Perubahan warna pada film indikator terjadi dari yang awalnya berwarna merah pada jam ke-0 berubah menjadi warna oranye kecoklatan pada jam ke-6, berwarna oranye pekat pada jam ke-12 dan berwarna oranye cerah pada jam ke-18. Kemudian pada jam ke-24 film indikator berubah menjadi warna oranye pudar kekuningan dan bewarna kuning keoranyenan pada jam ke-30. Selanjutnya terakhir berwarna kuning kehijauan pada jam ke-36. Filet ikan gurami tidak aman untuk dikonsumsi pada jam ke-24 yaitu dengan kadar TVBN 31,715 mg/100 g dari batas maksimal 30 mg/100 g, TMA 12,595 mg/100 g dari batas maksimal 10 mg/100 g, dan TPC 6,18 log dari batas maksimal 5,7 log dengan warna indikator berwarna oranye pudar kekuningan.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang berjudul “Kemasan Cerdas (Smart Packaging) Dengan Sensor pH Berbasis Antosianin daun Erpa sebagai Detektor Kebusukan Filet Ikan Gurami (Osphronemus gouramy)” Dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan mulai dari bahan baku, bahan tambahan, serta pengujian analisis. Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis, walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk lebih teliti, tetapi
masih
dirasakan
banyak
kekurangan.
Oleh
karena
itu,
penulis
mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang membaca dan membutuhkan.
Malang, Mei 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman COVER HALAMAN JUDUL .............................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... ii IDENTITAS PENGUJI ......................................................................... iii PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... iv UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................... v RINGKASAN ....................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................... ix DAFTAR ISI ......................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv 1.
PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 1.4 Kegunaan .......................................................................................
1 1 4 4 5
1.5 Jadwal Pelaksanaan ............................................................... 5 2.
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1 Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) ............................................. 2.1.1 Kandungan Gizi Ikan Gurami ............................................... 2.2 Filet Ikan .......................................................................................... 2.3 Syarat Mutu Kesegaran Ikan ............................................................ 2.4 Kemunduran Mutu Ikan Segar.......................................................... 2.4.1 Perubahan Fase Pre Rigor ................................................... 2.4.2 Perubahan Fase Rigor Mortis............................................... 2.4.3 Perubahan Fase Post Rigor ................................................. 2.5 Kemasan Cerdas (Smart Packaging) ............................................... 2.6 Plastik Film ...................................................................................... 2.7 Kitosan ............................................................................................ 2.8 Polivinil Alkohol (PVA) ..................................................................... 2.9 Gliserol ............................................................................................ 2.10 Daun Erpa ..................................................................................... 2.11 Antosianin .....................................................................................
6 6 8 8 9 11 12 13 13 14 15 17 19 20 21 21
3.
METODE PENELITIAN ......................................................................... 3.1 Materi Penelitian .............................................................................. 3.1.1 Bahan Penelitian .................................................................. 3.1.2 Alat Penelitian ...................................................................... 3.2 Metode Penelitian ........................................................................... 3.3 Prosedur Penelitian ......................................................................... 3.3.1 Penelitian Pendahuluan .......................................................
24 24 24 24 25 26 27
xi
3.3.2
4.
a. Penelitian Pendahuluan Tahap 1 ................................... 27 b. Penelitian Pendahuluan Tahap 2 ................................... 28 Penelitian Utama ................................................................. 32
3.4 Rancangan Penelitian ..................................................................... 3.5 Analisis Data ................................................................................... 3.6 Parameter Uji .................................................................................. 3.7 Prosedur Analisis Parameter ........................................................... 3.7.1 Uji Warna (LAB) ................................................................... 3.7.2 Uji pH .................................................................................. 3.7.3 Uji TVBN ............................................................................. 3.7.4 Uji Total Plate Count (TPC) .................................................. 3.7.5 Uji Organoleptik ................................................................... 3.7.6 Uji Ketebalan ........................................................................ 3.7.7 Uji Kuat Tarik dan Elongasi ................................................. 3.7.8 Uji Laju Transmisi Uap Air ...................................................
35 36 36 37 37 38 38 39 41 41 41 41
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 4.1 Hasil Penelitian Pendahuluan........................................................... 4.2 Hasil Penelitian Utama ..................................................................... 4.3 Perubahan Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan.......................................................... 4.3.1 Nilai pH filet ikan gurami selama penyimpanan .................... 4.3.2 Nilai TVBN Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ............ 4.3.3 Nilai TMA Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .............. 4.3.4 Nilai TPC Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .............. 4.4 Hubungan Perubahan Respon Warna Film Indikator Terhadap Parameter Kimia dan Mikrobiologi Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ..................................................................... 4.4.1 Respon Perubahan Warna Film Indikator Selama Penyimpanan ......................................................................... 4.4.2 Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan pH Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ............................... 4.4.3 Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TVBN Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ....................... 4.4.4 Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TMA Pada Filet Ikan Gurami ..........................................................
43 43 44 46 47 48 49 51
51 52 54 55 57
4.4.5 Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TPC Pada Filet Ikan Gurami ................................................... 58 4.5 Hubungan Perubahan Antara Parameter Kimia dan Mikrobiologi Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .......................................... 60 4.5.1 Hubungan Perubahan TVBN dengan pH pada Filet Ikan
Gurami Selama Penyimpanan ........................................ 60 4.5.2 Hubungan Perubahan TMA dengan pH pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ............................................. 4.5.3 Hubungan Perubahan TPC dengan pH pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ................................................ 4.5.4 Hubungan Perubahan TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) dengan TMA (Trimethylamine) pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpana .................................................. 4.5.5 Hubungan Perubahan TVBN dengan TPC pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ................................................
xii
61 62
63 64
4.6 Perubahan Warna Film Indikator Ekstrak Antosianin Daun Erpa Selama Penyimpanan (Respon dari Kebusukan Filet Ikan Gurami) ............................................................................................ 65 4.7 Potensi Aplikasi Film Indikator Warna Ekstrak Daun Erpa Sebagai Kemasan Cerdas ...................................................... 67 5.
PENUTUP ............................................................................................. 68 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 68 5.2 Saran .............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 69 LAMPIRAN .......................................................................................... 76
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Kandungan Gizi Ikan Gurami ................................................................. 8
2. 3. 4. 5.
Ciri-Ciri Ikan Segar dan Tidak Segar ............................................. Standar Kesegaran Ikan Berdasarkan Nilai TVB ........................... Ciri-Ciri Filet Ikan Segar dan Tidak Segar ..................................... Perbedaan Nilai Daya Tarik dan Elongasi Dari Jenis Bahan yang Berbeda ......................................................................................... 6. Standar Kualitas Film Berdasarkan Japanese Industrial Standard (JIS) ............................................................................... 7. Syarat Mutu Kitosan ....................................................................... 8. Kandungan Total Antosianin Pada Berbagai Tanaman ................. 9. Model Rancangan Pada Penelitian Utama ................................... 10. Masa Simpan Filet Ikan Gurami ................................................... 11. Hasil Analisa Ekstrak Daun Erpa ................................................... 12. Hasil Analisa Film Indikator ............................................................ 13. Karakteristik Kimia Filet Ikan Gurami .............................................
xiv
10 10 11 16 17 19 22 35 43 44 45 46
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Morfologi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) .................................... 7
2. Diagram Proses Kemunduran Mutu Ikan ....................................... 3. Struktur kimia kitosan .................................................................... 4. Mekanisme reaksi pembentukan kitosan dari kitin ........................ 5. Struktur Kimia Polivinil Alkohol ....................................................... 6. Morfologi Tanaman Erpa (Aerva sanguinolenta)............................ 7. Struktur Kimia Antosianin .............................................................. 8. Kerangka Operasional Penelitian ................................................... 9. Proses Pengujian Masa Simpan Filet Ikan Gurami ........................ 10. Prosedur Ekstraksi Antosianin ..................................................... 11. Prosedur Analisis Total Antosianin ................................................ 12. Metode pembuatan film bersensor (pengolesan) ........................... 13. Prosedur Penelitian Utama (Aplikasi Film Indikator Warna)........... 14. Nilai pH Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .......................... 15. Nilai TVBN Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ..................... 16. Nilai TMA Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ....................... 17. Nilai TPC Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ........................ 18. Grafik Hubungan Respon Warna Film Indikator dengan Lama Waktu Penyimpanan....................................................................... 19.Grafik Hubungan Respon Warna Film Indikator dengan Nilai pH Selama Waktu Penyimpanan ........................................... 20. Grafik Hubungan Perubahan Warna Film Indikator dengan TVBN Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .............................. 21. Grafik Hubungan Perubahan Warna Film Indikator dengan TMA Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ............................... 22.Grafik Hubungan Perubahan Warna Film Indikator dengan TPC Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan ............................. 23. Grafik Hubungan TVBN dengan pH Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .................................................................... 24. Grafik Hubungan TMA dengan pH Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .................................................................... 25. Grafik Hubungan TPC dengan pH Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .................................................................... 26. Grafik Hubungan TVBN dengan TMA Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .................................................................... 27. Grafik Hubungan TVBN dengan TPC Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan .................................................................... 28. Perubahan Warna Film Indikator Sebagai Respon dari Kebusukan Filet Ikan Gurami ........................................................ 29. Panduan Warna Label Indikator Warna Ekstrak Daun Erpa Sebagai Kemasan Cerdas ..............................................................................
xv
12 17 18 20 21 23 26 28 31 33 34 35 47 49 50 51 53 54 56 57 59 61 62 63 64 65 66 67
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Karakteristik Kitosan ............................................................................... 76 2. Rendemen Antosianin Daun Erpa ........................................................... 79 3. Score Sheet Uji Organoleptik .................................................................. 80
3. Data Uji pH..................................................................................... 4. Data Uji TPC (Total Plate Count) ................................................... 5. Data Uji TVBN................................................................................ 6. Data Uji TMA.................................................................................. 7. Nilai Uji Organoleptik ..................................................................... 8. Dokumentasi Ekstraksi Antosianin Daun Erpa ............................. 9. Dokumentasi Pengukuran Kadar Total Antosianin ........................ 10. Dokumentasi Proses Pembuatan Film Indikator Warna ................. 11. Dokumentasi Aplikasi Film Indikator Warna .................................. 12. Dokumentasi Pengujian pH............................................................ 13. Dokumentasi Pengujian TVBN dan TMA ....................................... 14. Dokumentasi Pengujian TPC ......................................................... 15. Dokumentasi Pengujian Transmisi Uap Air ....................................
xvi
82 83 84 85 86 87 89 90 91 92 93 95 97
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) merupakan salah satu ikan air
tawar yang bernilai ekonomis tinggi di Indonesia. Ikan gurami mempunyai harga yang lebih tinggi dari pada ikan air tawar lainnya
karena pertumbuhan ikan
gurami yang relatif lambat (Respati dan Santoso, 1993). Disamping itu ikan gurami juga memiliki kandungan gizi yang tinggi yaitu protein 18,05%, lemak 0,57%, air 79,47%, karbohidrat 1,65%, dan abu 0,4% setiap ekornya (Aryani et al., 2017). Meskipun ikan gurami memiliki harga yang lebih mahal dari jenis ikan air tawar lainnya, namun banyak masyarakat yang mencarinya. Hal ini dikarenakan daging ikan gurami yang kasat, tidak berair dan gurih menjadikan ikan gurami diminati banyak orang (Susanto, 1989). Namun disisi lain ikan merupakan produk yang mudah busuk (Perishable food), hal ini disebabkan karena kandungan protein yang tinggi dimana pada ikan gurami sejumlah 18,05% dan kondisi lingkungan yang sangat sesuai untuk pertumbuhan mikroba pembusuk. Selain itu kadar air yang terkandung di dalam ikan dimana pada ikan gurami sejumlah 79,47% juga sebagai faktor utama penyebab dari kebusukan (Purwani dan Hapsari, 2011). Salah satu upaya yang dapat
digunakan
untuk
memperlambat
kebusukan
yaitu
dengan
cara
pengemasan. Peran
utama
kemasan
dalam produk pangan adalah untuk
melindungi produk dari kontaminasi eksternal, termasuk keamanan pangan, mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan. Selain itu fungsi lain dari kemasan adalah sebagai wadah, kenyamanan, pemasaran, dan komunikasi. Komunikasi antara produsen dan konsumen diperankan kemasan dalam menampilkan informasi seperti berat bahan, komposisi bahan, nilai gizi,
cara menyimpan, cara memasak, dan informasi penting lainnya seperti tanggal kadaluwarsa (Noviadji, 2014). Informasi
yang
diberikan produsen kepada
konsumen semakin informatif, lengkap dan mudah dikenali, terutama yang berkaitan dengan keamanan pangan seperti kadaluwarsa, tingkat kesegaran pangan, termasuk produk perikanan yang dikemas. Menurut Sulistiyati dan Suprayitno (2014), ada beberapa jenis bahan kemasan yang sering digunakan yaitu diantaranya
seperti kaleng logam, wadah plastik, tabung, kemasan
fleksibel, botol dan gelas jar. Macam-macam jenis bahan kemasan yang ada disesuaikan dengan kegunaan dan kesesuaian terhadap sifat bahan yang akan dikemas. Sejalan dengan keinginan akan kemudahan serta kepraktisan dalam menentukan nilai kemunduran mutu ikan, kemajuan penggunaan berbagai teknik kemasan
juga
telah
diteliti
dan
dikembangkan
bahkan
telah
banyak
dikomersilkan, antara lain dengan metode Time Temperature Integrators (TTI). Secara umum kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai dengan indikator yang bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari lingkungan sekitar kemasan yang ada (Day, 2008). Berdasarkan teknik indikator tersebut, metode
pada kemasan ini masih belum menjamin akan
tingkat kemunduran mutu ikan, terlebih dengan sangat kompleksnya proses kemunduran mutu yang terjadi pada berbagai hasil perikanan (Eskin dan Robinson, 2001). Perkembangan pembuatan kemasan pintar saat ini mulai mengarah pada pengintegrasian kemasan dengan nilai kesegaran ikan itu sendiri. Teknik kemasan ini menggunakan suatu metode yang dikenal sebagai Food Quality Indicator (FQI). Kemasan ini bereaksi terhadap perubahan secara kimiawi atau biologi yang ditemukan di dalam kemasan yang menandakan rusaknya produk (Pacquit et al., 2008). 2
Salah satu bahan yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia sebagai matrik pembawa warna pada Food Quality Indicator (FQI) adalah kitosan. Menurut Purwanti (2010), kitosan dapat diperoleh dari kulit, kepala, dan ekor udang melalui proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi dengan menggunakan larutan NaOH dan HCl. Film dengan bahan dasar kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel dan sulit untuk dirobek sebanding dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang (Buttler et al., 1996). Warsiki et al., (2013) melaporkan bahwa film kombinasi kitosan dan Polivinil Alkohol (PVA) dapat menghasilkan film yang lebih baik yaitu dengan kombinasi bahan dasar kitosan 40% (v/v) dan PVA 60% (v/v) dapat meningkatkan ketebalan, kuat tarik dan elongasi pada film secara nyata jika dibandingkan dengan film yang berbahan dasar kitosan saja. Polivinil alkohol (PVA) adalah polimer vinil alkohol yang tersusun dari monomer unit vinil seperti ethylene dan prophylene. Menurut Farha dan Kusumawati (2012), PVA berfungsi sebagai penguat pada struktur suatu membran. Selain itu dalam pembuatan film indikator dibutuhkan suatu zat warna yang tidak stabil terhadap perubahan pH. Salah satu zat warna alami yang dapat digunakan yaitu antosianin. Antosianin adalah pigmen merah keunguan yang bisa larut dalam air. Zat tersebut berperan dalam pemberian warna terhadap bunga atau bagian tanaman lain dari mulai merah, biru sampai ke ungu termasuk juga kuning dan tidak berwarna (seluruh warna kecuali hijau). Selama ini antosianin didapatkan dari buah yang memiliki warna merah keunguan seperti buah bluberry, blackberry, stroberi, anggur, dan ubi jalar ungu. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu berkisar antara 84-600 mg/100g berat basah. Namun
penelitan
tentang
antosianin
masih
jarang
dilakukan
dengan
menggunakan bahan dari daun. Salah satu tanaman yang berpotensi mengandung antosianin yaitu daun erpa, hal ini dikarenakan daun erpa 3
mempunyai warna merah keunguan seperti ubi jalar ungu. Erpa merupakan tanaman yang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Banyak penelitian tentang antosianin dari beberapa tumbuhan tetapi tidak untuk daun erpa. Sejauh ini erpa hanya digunakan sebagai tanaman hias yang banyak tumbuh di pinggir jalan. Hayati et al. (2012), menyatakan bahwa kestabilan warna antosianin dipengaruhi oleh pH dan suhu, maka dari itu antosianin dapat digunakan sebagai pewarna indikator pH pada film indikator. Berdasarkan permasalahan diatas perlu dilakukan penelitian mengenai kemasan cerdas (smart packaging) dengan sensor pH berbasis antosianin daun erpa sebagai detektor kebusukan filet ikan gurami (Osphronemus gouramy).
1.2
Rumusan Masalah Dari beberapa uraian diatas didapatkan permasalahan sebagai berikut : 1. Berapa total kandungan antosianin pada daun erpa? 2. Apakah antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami pada film indikator? 3. Bagaimana perubahan warna yang terjadi dari film indikator setelah diaplikasikan pada produk filet ikan gurami?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui total kandungan antosianin pada daun erpa.
2.
Untuk mengetahui apakah antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami pada film indikator.
3.
Untuk mengetahui bagaimana perubahan warna yang terjadi dari film indikator setelah diaplikasikan pada produk filet ikan gurami.
4
1.4
Kegunaan Kegunaan penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai kemasan cerdas (smart packaging) yang dapat diaplikasikan ke dalam produk ikan segar khususnya filet ikan. Selain itu juga dapat digunakan dan diaplikasikan untuk produk dengan indikator kemunduran mutu tingkat keasaman produk.
1.5
Jadwal Pelaksanaan Jadwal pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai
dengan Maret 2018 di Laboratorium Ilmu Teknologi Hasil Perikanan Divisi Perekayasaan Hasil Perikanan dan Laboratorium Keamanan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Klasifikasi ikan gurami menurut Saanin (1984), adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Ordo
: Labirinthici
Subordo
: Anabantoidei
Familia
: Anabantidae
Genus
: Osphronemus
Spesies
: Osphronemus gouramy
Ikan gurami termasuk kedalam ordo Labirinthici, yaitu ikan yang memiliki alat pernapasan tambahan berupa insang tambahan (labyrinth). Ikan gurami memiliki sirip dorsal berjari-jari keras sebanyak 12-18 buah dan jari-jari lemah 11-13 buah. Sirip anal berjari-jari keras 19-21 buah dan jari-jari lemah 19-21 buah. Sirip pectoral 2 buah, terletak disisi kiri dan kanan dengan jumlah jari-jari lemah 13-14 buah, dan sepasang sirip ventral yang mempunyai jari-jari keras 1 buah dan jari-jari lemah 5 buah mengalami perubahan menjadi sepasang benang panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Letak garis rusuk menyilang di bagian bawah sirip dorsal dengan jumlah sisik pada garis rusuk 30-33 buah (Susanto, 1989). Morfologi ikan gurami (Osphronemus gouramy) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi Ikan Gurami (Afiesh, 2013)
Ikan gurami (Osphronemus gouramy) mempunyai bentuk badan agak panjang, lebar atau pipih ke samping (compressed), badan tertutup sisik yang besar-besar, terlihat kasar dan kuat. Pada bagian kepala dari gurami muda berbentuk lancip dan akan menjadi dempak bila sudah besar dan terdapat tonjolan seperti cula pada bagian kepala ikan jantan yang sudah tua. Mulutnya kecil dan bibir bagian bawah sedikit lebih maju daripada bibir atas dan dapat disembulkan. Warna badan dari ikan gurami pada umumnya biru kehitam-hitaman dan bagian perut bewarna putih. Warna tersebut akan berubah menjelang dewasa, yaitu pada bagian punggung berwarna kecoklat-coklatan dan pada bagian perut berwarna keperak-perakan atau kekuning-kuningan. Pada ikan gurami muda terdapat garisgaris tegak berwarna htam berjumlah 7-8 buah dan garis-garis ini akan hilang/tidak terlihat pada gurami dewasa (Respati dan Santoso, 1993). Ikan gurami merupakan salah satu komoditas unggulan pemerintah di sektor perikanan dengan kenaikan produksi per tahun ditargetkan sebesar 4,9% (Nirmala et al., 2012). Ikan ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, karena harga jual di pasaran yang paling baik apabila dibandingkan dengan ikan air tawar lainnya dan fluktuasi harganya pun relatif stabil. Sebagai bahan pangan, daging ikan gurami mengandung gizi yang baik, rasa dagingnya lezat dan teksturnya yang tidak lembek. 7
2.1.1
Kandungan Gizi Ikan Gurami Daging ikan secara kimiawi umumnya tersusun atas unsur-unsur organik
yaitu 75% oksigen, 10% hidrogen, 9,5% karbon, 2,5 nitrogen.
Unsur-unsur
tersebut merupakan penyusun senyawa-senyawa protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan enzim. Unsur-unsur anorganik terbanyak terdapat pada daging ikan adalah kalsium, fosfor, dan sulfur. Komposisi kimia daging ikan bervariasi antara yang satu dengan lainnya.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor intrinsik (jenis dan
golongan ikan, umur ikan, jenis kelamin) dan faktor ektrinsik (lingkungan tempat tinggal, musim, dan jenis makanan yang tersedia) (Hadiwiyoto,1993). Kandungan gizi ikan gurami dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Gizi Ikan Gurami Komponen
Jumlah (%)
Kadar Air
79,47
Protein
18,05
Lemak
0,57
Karbohidrat
1,65
Abu
0,40
Sumber : Aryani et al. (2017)
2.2
Filet Ikan Filet
ikan merupakan salah satu bentukan ikan dimana
daging
ikan
diperoleh dengan penyayatan di sepanjang tulang belakang yang dimulai dari belakang kepala hingga mendekati bagian ekor ikan (Peterson, 2007). Berbagai jenis bentukan filet yaitu filet berkulit (skin-on fillet), filet tidak berkulit (skinless fillet), filet tunggal (single fillet) yaitu daging ikan yang disayat memanjang tulang belakang, dan filet kupu-kupu (butterfly fillet) yakni dua filet tunggal yang dihubungkan
sesamanya
oleh
bagian
8
yang
tidak
dipotong (Ilyas, 1983).
Menurut Rogers et al. (2004), Ikan juga dapat dibentuk menjadi beberapa jenis antara lain yaitu : a). Block fillet, yaitu bagian daging ikan yang berasal dari kedua sisi tubuh ikan, biasanya kedua bagian daging ikan tersebut tidak putus. b). Cross-cut fillet yaitu filet yang berasal dari ikan yeng berbentuk pipih, dimana pada masing-masing tubuh ikan dibuat sebuah filet. c). Quarter-cut fillet, yaitu filet yang berasal dari daging ikan yang berbentuk pipih, dimana bagian daging ikan dari masing-masing sisi tubuh ikan dibuat menjadi dua bagian filet. d). Single fillet, yaitu filet yang berasal dari satu sisi tubuh ikan.
2.3
Syarat Mutu Kesegaran Ikan Ikan adalah bahan biologis yang sangat cepat menurun mutunya ke arah
pembusukan. Sesudah dipanen, setiap spesies ikan akan mengalami proses penurunan mutu (deteriorasi) yang berlainan polanya. Proses pembusukan ikan menurut Irianto dan Giyatmi (2014), dapat berlangsung lebih cepat apabila : 1. Cara pemanenan atau penangkapan yang tidak dilakukan dengan benar; 2. Cara penanganan tidak mempraktikkan cara penanganan ikan yang baik; 3. Sanitasi dan higiene yang tidak memenuhi persyaratan; dan 4. Fasilitas penanganan dan pengolahan yang tidak memadai. Ikan dikatakan baik jika masih dalam kondisi segar. Ikan segar adalah ikan yang baru ditangkap atau ikan yang masih memiliki sifat-sifat seperti ikan yang baru ditangkap dan belum mengalami kerusakan. Tingkat kesegaran ikan adalah tolok ukur untuk membedakan ikan yang mempunyai nilai mutu yang baik dan
9
nilai mutu yang jelek (FAO, 1995). Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang tidak segar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Ciri-Ciri Ikan Segar dan Tidak Segar Parameter Ikan Segar Daging Kenyal dan dalam kondisi lentur Mata Cerah dan menonjol keluar Insang Merah cerah Sisik Cerah dan kuat melekat Kulit Tidak banyak lendir Bau Segar spesifik jenis Sumber: BSN (2006)
Ikan Tidak Segar Lunak dan tidak lentur Cekung dan terdapat rongga Merah gelap dan kecoklatan Kusam dan mudah lepas Banyak lendir Busuk menyengat
Kesegaran ikan dapat juga diukur berdasarkan hasil uji Total Volatile Base (TVB). Uji TVB adalah salah satu metode pengukuran untuk menentukan kesegaran ikan yang didasarkan pada menguapnya senyawa-senyawa basa. Standar kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB-nya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Standar Kesegaran Ikan Berdasarkan Nilai TVB Mutu Ikan
Nilai TVB (mg N/100g daging ikan) <10 10-20 20-30 >30
Sangat Segar Segar Batas dapat dimakan Busuk Sumber: Farber (1965)
Mutu filet ikan yang baik adalah ketika terjadi perubahan biokimia, mikrobiologi, dan fisika belum mengalami perubahan yang mengarah kepada kerusakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mutu filet ikan antara lain metode preparasi filet, kebersihan (higiene), dan lama penyimpanan (Silva et al., 2001). Ciri-ciri mutu filet ikan yang segar dan tidak segar dapat dilihat pada Tabel 4.
10
Tabel 4. Ciri-Ciri Filet Ikan Segar dan Tidak Segar Parameter Filet Ikan Segar Penampakan Daging berwarna putih, cemerlang, bersih, rapi, menarik, dan garis yang terbentuk dari tulang belakang maupun linea lateralis berwarna merah cerah dan tidak terbelah Bau Bau sangat segar, spesifik jenis Tekstur Elastis, padat dan kompak
Filet Ikan Tidak Segar Daging kehijauan menyeluruh, sangat suram, sangat tidak menarik, garis tulang belakang maupun linea lateralis coklat dan terbelah
Bau amonia keras dan bau busuk Sangat tidak elastis dan membubur
Sumber: BSN (2006)
2.4
Kemunduran Mutu Ikan Segar Penurunan tingkat kesegaran filet ikan terlihat dengan adanya perubahan
fisik, kimia dan organoleptik pada filet ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya akan mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, akivitas mikroba dan oksidasi (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Tanpa penanganan yang baik ikan hanya memerlukan waktu sekitar 10-12 jam untuk busuk. Setelah ikan mati, daging ikan akan mengalami serangkaian proses perubahan yang akan mengarah pada kebusukan ikan. Perubahan tersebut terutama disebabkan oleh sistem enzim atau mikroorganisme yang terdapat pada ikan. Proses penurunan mutu ikan segar diawali dengan proses perombakan oleh aktivitas enzim yang secara alami terdapat di dalam ikan, proses ini disebut proses kemunduran mutu kesegaran ikan. Proses tersebut berlangsung hingga tahap tertentu, kemudian disusul dengan makin berkembangnya aktivitas mikroba pembusuk, proses ini dikenal dengan proses pembusukan. Diagram proses kemunduran mutu ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
11
Gambar 2. Diagram Proses Kemunduran Mutu Ikan (Irianto dan Giyatmi, 2014)
2.4.1
Perubahan Fase Pre Rigor Kemunduran mutu ikan melalui beberapa fase, yaitu fase pre rigor, fase
rigor mortis dan fase post rigor. Fase pre rigor terjadi segera setelah ikan mati dan berlangsung antara 3- 6 jam. Pada fase ini terjadi kontraksi aktin dan miosin. Pada saat kontraksi aktin dan miosin berlangsung menggunakan ATP sebagai sumber energi yang dibantu oleh enzim ATPase. Kandungan ATP dalam daging ikan sebagai sumber energi sangat bervariasi tergantung pada jenis ikan itu sendiri. Sedangkan laju perombakan ATP juga bervariasi tergantung jenis ikan, cara ikan mati, cara penyimpanan dan lain sebaginya. Pada ikan hidup reaksi perombakan ATP dalam suatu siklus, sementara pada ikan mati berlangsung searah. Faktor laju perombakan ATP dalam daging ikan oleh enzim ATPase inilah yang sangat berperan dalam proses kemunduran mutu ikan selama penyimpanan. Kecepatan degradasi kandungan ATP dalam daging ikan selama transportasi atau selama penyimpanan dapat dikendalikan dengan pembekuan cepat (Jabarsyah, 2015). Fase pre rigor ditandai dengan lendir yang terlepas dari kelenjar dibawah kulit di sekeliling tubuh ikan. Pada fase ini pH ikan masih netral yaitu sekitar 6,9-7,2.
12
Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak, dan secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen didalam jaringan (Eskin, 1990).
2.4.2
Perubahan Fase Rigor Mortis Fase rigor mortis ditandai dengan keadaaan otot yang kaku dan keras.
Hilangnya kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin pada awal fase rigor. Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis, sumber energi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang dikuti oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada daging ikan menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam laktat terjadi pada proses glikolisis (Eskin, 1990). Kandungan glikogen yang tinggi dapat memperlambat proses glikolisis pada daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor mortis, nilai pH daging ikan akan mengalami penurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO dan basa-basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase rigor mortis berakhir (Farber, 1965).
2.4.3
Perubahan Fase Post Rigor Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya otot ikan secara
bertahap. Pada fase ini pH ikan akan naik dari yang awalnya 6,2-6,6 menjadi 7,5-8. Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi 13
autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses autolisis terjadi karena adanya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan. Proses penguraian jaringan secara enzimatis (autolisis) ini berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati. Enzim yang berperan pada tahap ini antara lain enzim katepsin (dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan), serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Penguraian protein dan lemak karena proses autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur dan penampakan filet ikan. Senyawa yang terbentuk selama proses autolisis disukai oleh bakteri pembusuk. Tahap akhir proses autolisis adalah berlangsungnya perombakan oleh bakteri (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Aktivitas bakteri dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin, histidin, dan arginin. Asam asam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu timbulnya senyawa biogenik amin. Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa, lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang dapat digunakan sebagai indikator pembusukan (Kristoffersen et al., 2006). Jenis bakteri yang umum ditemukan pada fillet ikan antara lain Pseudomonas, Achrombacter dan Flavobacterium (Kwaadsteniet et al., 2008).
2.5
Kemasan Cerdas (Smart Packaging) Kemasan cerdas (smart packaging) adalah kemasan yang memiliki
indikator, baik yang diletakkan secara internal maupun secara eksternal dan mampu memberikan informasi tentang kualitas makanan di dalamnya. Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada konsumen mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan, melacak titik-titik kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan distribusi produk, sehingga keamanan produk konsumen lebih terjamin. Indikator ini 14
bertujuan untuk menunjukkan apakah mutu produk di dalamnya sudah menurun dan mengalami kerusakan (Robertson, 2006). Ada dua indikator yang dapat mendeteksi kualitas makanan non-destruktif yakni, Time-Temprature Integrators (TTI) dan Food Quality Indicators (FQI). Dua indikator ini memiliki prinsip kerja sebagai colorimetric dengan melihat perubahan warna akibat menurunnya mutu produk perikanan di dalam kemasan. Kinerja dari kedua tipe indikator ini berdasarkan prinsip kimia. Perbedaan di antara keduanya adalah TTI memperlihatkan perubahan warna akibat efek perubahan suhu kerena reaksi antara kimia produk dengan indikator sedangkan FQI bereaksi pada perubahan secara kimiawi atau biologi yang ditemukan di dalam kemasan yang menandakan rusaknya produk. Kelemahan dari TTI adalah tidak dapat memberikan indikasi kualitas sebenarnya pada produk makanan. Berdasarkan teknik indikator TTI, metode pada kemasan ini masih belum menjamin akan tingkat kemunduran mutu ikan, terlebih dengan sangat kompleksnya proses kemunduran mutu yang terjadi pada berbagai hasil perikanan (Eskin dan Robinson, 2001). FQI mampu memberikan informasi menurunnya kualitas akibat proses pembusukan. FQI memiliki prinsip pada penghitungan nilai amina dalam ikan. Nilai pH daging ikan meningkat sebagai akibat kadar amina pada daging ikan meningkat. Perubahan pH ini dideteksi oleh pewarna pH yang bertindak sebagai indikasi dari mutu daging ikan. Alat sensor yang berisi pewarna indikator pH diletakkan di dalam membran polimer berbasis selulosa. Konsep FQI terlihat sederhana tetapi memiliki beberapa masalah. Masalah pada FQI diantaranya adalah adanya jarak antara peningkatan jumlah mikroba dan peningkatan konsentrasi amina (Pacquit et al., 2008).
2.6
Plastik Film Plastik film merupakan lembaran plastik tipis yang biasanya digunakan
untuk menutupi makanan agar makanan tetap segar. Namun dengan semakin 15
banyaknya permasalahan tentang sampah plastik maka muncul plastik film yang bersifat biodegradable (bisa diuraikan). Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegradable merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan (Fachry dan Sartika, 2012). Menurut Hartatik et al. (2011), bioplastik secara umum dapat dibuat dari bahan polimer alam seperti polisakarida dan protein. Dimana setiap bahan yang digunakan akan mempengaruhi kualitas dari film yang dihasilkan. Perbedaan nilai daya tarik dan elongasi dari berbagai jenis bahan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbedaan Nilai Daya Tarik dan Elongasi Dari Jenis Bahan yang Berbeda Polimer Turunan selulosa
Daya Tarik (TS) Mpa 44 – 65
Elongasi (E %) 10 – 50
Kolagen
1 – 70
10 – 70
Kitosan
10 – 100
20 – 80
Gelatin
25 – 140
7 – 22
Pati
35 – 46
1,7 – 3,4
Protein Kedelai
3,7 – 4,5
152 – 160
Protein Lentil
4–5
58 – 70
Whey Protein
2,5 – 3,0
15 – 18
3–4
147 – 150
5,70 – 6,51
32 – 40
Low Density Polyethylene Oriented Polypropylene
16 – 18
>1000
50 – 60
73 – 100
Polyethylene terephtalate
81 – 85
19 – 25
Polyvinylidene Chloride
65 – 75
18 – 23
Protein Kacang Tanah Kacang Hijau
Sumber : Shit dan Shah (2014) Disamping banyaknya bahan yang bisa digunakan untuk membuat film, Japanese Industrial Standard (JIS) mempunyai standart khusus yang digunakan
16
untuk mengetahui apakah film yang dihasilkan sudah sesuai dengan standar atau belum. Standar kualitas film berdasarkan Japanese Industrial Standard (JIS) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Standar Kualitas Film Berdasarkan Japanese Industrial Standard (JIS) Jenis uji Satuan Ketebalan Mm Transmisi uap air ml/m2/hari Kuat tarik Kg/cm2 atau Mpa Elongasi % Sumber : Saputra et al. (2015)
2.7
Persyaratan Max 0,25 mm Max 7 ml/m2/hari Min 4 Kg/cm2 Min 70%
Kitosan Kitosan dihasilkan dari kitin dan memiliki struktur kimia yang hampir sama
dengan kitin yang terdiri dari berat molekul yang tinggi dan rantai molekul yang panjang. Kitin merupakan polimer dari 2-asetamido-2-deoksi-β-D-glukosa yang berikatan glikosidik 1-4 membentuk polimer linier dengan rantai panjang tanpa rantai samping, sedangkan kitosan merupakan polimer dari 2-amino-2-deoksi-β-Dglukosa yang dapat didapatkan dari pengolahan kitin menggunakan basa kuat. Kitosan dapat dihasilkan dari kitin dengan cara deasetilasi pada waktu yang relatif lama dan pada suhu yang tinggi (Purwanti dan Yusuf, 2013). Stuktur kimia kitosan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia kitosan (Trisnawati et al., 2013)
17
Kitosan diperoleh dengan cara deasetilasi kitin menggunakan larutan basa konsentrasi tinggi. Secara garis besar pembuatan kitosan terdiri dari 3 tahap yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasitelasi (Agustina, et al., 2015). Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan dimaksudkan untuk memutus ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen, sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2). Mekanisme reaksi pembentukan kitosan dari kitin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme reaksi pembentukan kitosan dari kitin (Suhardi, 1993) Pada saat ini kitosan banyak dimanfaatkan, antara lain pada bidang kesehatan, pengolahan air, membran, hidrogel, perekat, antioksidan, dan pengemas
makanan.
Pemanfaatan
kitosan
sebagai
pengemas
makanan
difungsikan untuk menggantikan peran dari kemasan plastik yang tidak ramah lingkungan. Kemasan dari kitosan ini bersifat biodegradable atau mudah terdegradasi
sehingga
dapat
mengurangi
pencemaran
lingkungan
karena
permasalahan dari sampah plastik. Syarat mutu kitosan dapat dilihat pada Tabel 7.
18
Tabel 7. Syarat Mutu Kitosan Jenis Uji
Persyaratan
Warna (-)
Coklat muda sampai putih
Fisika - Kelarutan (%) - Viskositas* (cps) - Benda Asing (-) Kimia - Kadar Air (%) - Kadar Abu (%) - Derajat Deasetilasi (%) - Nitrogen* (%) - Logam Berat* a. Arsen (mg/kg) b. Pb (mg/kg) - pH (-) Mikrobiologi*
Min. 99 Min. 5 Negatif Maks. 12 Maks. 5 Min. 75 Maks. 5 Maks. 5 Maks. 5 7-8
- Escherechia coli (APM/gram)
<3
- Salmonella (per 25 gram) - ALT (Koloni/gram) Keterangan: *jika diperlukan Sumber: SNI 7949:2013
2.8
Negatif Maks. 1x103
Polivinil Alkohol (PVA) Polivinil alkohol adalah suatu kopolimer vinil alkohol yang tersusun dari
komonomer
unit vinil
seperti ethylene dan propylene. Pembentukan polivinil
alkohol dilakukan melalui proses hidrolisis (saponifikasi) dari polivinil asetat. Etilen direaksikan dengan asam asetat akan membentuk vinil asetat. Reaksi ini dapat berjalan dengan adanya katalis yaitu garam palladium (II) klorida (Schonberger et al., 1997). Polivinil alkohol merupakan polimer sintetik yang mudah diuraikan secara
biologi
(biodegradable)
dan
suatu
material
non
toksik.
Pada
perkembangannya ,polivinil alkohol telah diaplikasikan dalam bidang kesehatan (biomedical), pelapis bahan, bahan pembuat deterjen, lem, serta pengemulsi).
19
Wujud polivinil alkohol adalah powder atau serbuk yang berwarna putih dan dapat larut dalam air pada suhu 80°C serta memiliki densitas sebesar 1,20-1,3020 g/cm3 (Sheftel, 2000). Polivinil alkohol dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kemasan plastik film. Polivinil alkohol memiliki kuat sobek sebesar 147-834 N.mm-1.kuat tarik sebesar
44-64
MN.m-2serta
persen
pemanjangan
sebesar
150-400%.
Dengan karakteristik tersebut dan sifatnya yang mudah larut dalam air, polivinil alkohol dapat dibentuk menjadi kemasan plastik film yang biodegradable (Hodgkinson dan Taylor, 2000). Bentuk struktur dari polivinil alkohol dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Kimia Polivinil Alkohol (Darwono, 2016)
2.9
Gliserol Gliserol
adalah
produk
samping
produksi
biodisel
dari
reaksi
transesterifikasi dan merupakan senyawa alkohol dengan gugus hidroksil berjumlah tiga buah. Gliserol (1,2,3 propanetriol) merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki rasa manis. Gliserol dapat dimurnikan dengan proses destilasi agar dapat digunakan pada industri makanan, farmasi atau juga dapat digunakan untuk pengolahan air. Sebagai produk samping industri biodiesel, gliserol belum banyak diolah sehingga nilai jualnya masih rendah (Prasetyo et al., 2012). Salah satu kegunaan dari gliserol menurut Huri dan Nisa (2014), yaitu gliserol dapat digunakan sebagai plastisizer yang berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dari film. Plastisizer merupakan salah satu bahan tambahan dalam 20
pembuatan film yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis plastisizer yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol. Gliserol cukup efektif digunakan untuk meningkatkan sifat plastis film karena memiliki berat molekul yang kecil.
2.10
Daun Erpa Daun erpa (Aerva sanguinolenta) merupakan salah satu tanaman yang
mempunyai potensi sebagai sumber warna antosianin. Tanaman ini termasuk ke dalam suku Amaranthaceae dan genus Aerva. Erpa memiliki nama umum sambang colok, namun erpa juga mempunyai nama daerah yaitu Ki Sambang (Sunda), Sambang Colok (Jawa) dan Rebha et raedhan (Madura). Daun erpa berbentuk jantung, bertepi rata, dan berbulu, warnanya merah-cokelat atau ungu. Ekstrak warna daun erpa berwarna merah keunguan dan selama ini digunakan sebagai pewarna alami. Kandungan yang terdapat dalam ekstrak daun erpa adalah senyawa alkaloid, minyak atsiri, dan flavonoid (Warsiki et al., 2013). Morfologi tanaman erpa dapat dlihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Morfologi Tanaman Erpa (Rio, 2016)
2.11
Antosianin Antosianin merupakan zat pewarna alami yang tergolong ke dalam
benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin
21
aromatik benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang membentuk cincin. Antosianin merupakan pigmen alami yang dapat menghasilkan warna biru, ungu, violet, magenta dan kuning. Berdasarkan penelitian warsiki et al (2013), kandungan total antosianin pada daun erpa sebesar 116,65 mg antosianin/100 g daun segar. Antosianin pada umumnya banyak terdapat pada buah, sayur ataupun bunga yang berwarna merah keunguan. Kandungan total antosianin pada berbagai tanaman dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Kandungan total antosianin pada berbagai tanaman Sumber
Kandungan Pigmen (mg/100g berat basah)
Buah Plum
2-25
Bawang Bombay Merah
7-21
Lobak Merah
11-60
Stroberi Merah
15-35
Reaberi Merah
20-60
Kol Merah
25
Blueberry
25-495
Blackberry
83-326
Cranberry
60-200
Anggur
6-600
Ubi Jalar Ungu
84-600
Sumber : Seafast center (2012) Secara umum tingkat kestabilan antosianin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : konsentrasi antosianin, derajat keasaman (pH), cahaya, suhu, dan sebagainya (Santoso dan Estiasih, 2014). Struktur kimia antosianin dapat dilihat pada Gambar 7.
22
Gambar 7. Struktur Kimia Antosianin (Seafast center (2012)
Warna pigmen antosianin sangat dipengaruhi oleh pH larutan. Pada kondisi asam bentuk pigmen antosianin adalah kation flavilium yang berwarna merah ungu. Stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH, temperatur dan kehadiran oksigen atau cahaya. Antosianin umumnya tidak stabil pada temperatur tinggi, sehingga selama proses pengolahan atau penyimpanan dapat menyebabkan perubahan warna atau penurunan aktivitas antioksidan (Inggrid dan Santoso, 2015).
23
3. METODE PENELITIAN
3.1.
Materi Penelitian Materi dalam penelitian ini meliputi bahan penelitian dan alat penelitian.
Bahan penelitian dan alat penelitian akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.
3.1.1
Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu
bahan untuk mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa, bahan untuk membuat film indikator warna, dan bahan untuk analisis. Bahan-bahan yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa yaitu antara lain daun erpa yang diperoleh dari area kampus Universitas Brawijaya Malang, aquades, etanol, dan kertas saring. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat film indikator warna antara lain kitosan. Kitosan yang digunakan yaitu kitosan dari penelitian Ilham et al., (2018). Karakteristik kitosan dapat dilihat pada Lampiran 1. Kemudian PVA, gliserol, asam asetat, dan aquades. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis antara lain filet ikan gurami, plastik wrap, stearofoam, aquades, etanol, HCl, PCA, NaCl, koran, benang kasur, spirtus, alkohol, kapas, K2CO3, TCA, H3BO3, indikator tashiro dan kertas saring.
3.1.2
Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu alat
untuk mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa, alat untuk membuat film indikator warna, dan alat untuk analisis. Alat yang digunakan untuk mengekstrak antosianin daun erpa antara lain baskom, timbangan digital, oven, blender, ayakan 60 mesh,
gelas ukur dan erlenmeyer. Alat-alat yang digunakan untuk membuat film indikator antara lain beaker glass, gelas ukur, hot plate, magnetic stirrer, plat kaca ukuran 30x20 cm, loyang, dan oven. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis antara lain spektrofotometer UV-vis, pH meter, beaker glass, gelas ukur, cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet serologis, pipet volume, bola hisap, spatula, crushable tank, bunsen, enlemeyer, autoklaf, inkubator, colony counter, colour reader, cawan conway, botol vial, mortar dan alu.
3.2.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
ekploratif deskriptif. Menurut Sugiyono (2011), penelitian desktiptif merupakan suatu metode penelitian yang memiliki tujuan untuk menjabarkan fenomena yang terjadi saat ini dengan menggunkan prosedur ilmiah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Sedangkan menurut Sukmadinata (2006), metode penelitian deskriptif adalah metode yang berusaha mendeskripsikan suatu kondisi yang terjadi saat ini, psoses yang berlangsung dan efek yang terjadi selama proses penelitian berlangsung. Menurut Ritonga (2005), penelitian eksploratif juga dapat bersifat deskriptif. Karena pada umumnya, penelitian eksploratif bertujuan untuk mencari sebab atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dan digunakan pada saat kita tidak mengetahui secara persis mengenai objek penelitian kita. Sedangkan menurut Arikunto (1983), penelitian eksploratif
adalah suatu
jenis
penelitian
yang
bertujuan untuk menemukan sesuatu hal baru yang berupa pengelompokan suatu gejala, fakta dan suatu penyakit tertentu. Dalam penelitian deskriptif eksploratif memiliki tujuan yaitu untuk
menggambarkan keadaan suatu fenomena tersebut, 25
yang dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu akan tetapi hanya menggambarkan apa adanya suatu variabel, gejala atau keadaan. Metode ekploratif deskriptif pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah antosianin dari daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna alami pada film indikator yang digunakan untuk mendeteksi kebusukan fillet ikan gurami, dan jika dapat digunakan bagaimana perubahan warna yang terjadi dari film indikator setelah diaplikasikan.
3.3.
Prosedur Penelitian Prosedur penelitian terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Kerangka operasional penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kerangka Operasional Penelitian 26
3.3.1
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan dalam dua tahap penelitian. Penelitian
tahap pertama dilakukan untuk mengetahui lama simpan filet ikan gurami dalam suhu ruang. Sedangkan penelitian pendahuluan tahap dua bertujuan untuk mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa.
a.
Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Penelitian pendahuluan tahap 1 bertujuan untuk mengetahui masa simpan
filet ikan gurami dalam suhu ruang. Filet ikan gurami diperoleh dari ikan hidup yang dibeli dari tambak Desa Tegaron Kecamatan Talangagung Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ikan yang digunakan memiliki ukuran panjang sekitar 30 cm dengan berat 800-1000 g setiap ekornya. Ikan yang akan difilet dimatikan dengan cara dipotong kepalanya, kemudian ikan dibersihkan dan difilet. Setelah difilet ikan dipotong dengan berat 25 g. Pengukuran tingkat kesegaran ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara, contohnya dengan uji organoleptik. Pada dasarnya, setiap orang dapat melakukan penilaian organoleptik terhadap kesegaran ikan. Salah satu cara yang paling mudah yaitu dengan pengamatan secara visual terhadap penampakan ikan dengan menggunakan metode 4M, yaitu melihat, meraba, menekan, dan mencium (Irianto dan Giyatmi, 2014). Selain pengujian organoleptik pengukuran kesegaran ikan juga dapat dilakukan dengan pengujian nilai derajat keasaman (pH). Pada proses pembusukan ikan, terjadi perubahan daging ikan yang disebabkan karena proses autolisis dan bakteriolisis (Fardiaz, 1992). Prosedur pengujian masa simpan fillet ikan gurami dapat dilihat pada Gambar 9.
27
Ikan gurami hidup Dimatikan dengan dipotong kepalanya
Dibersihkan kemudian difilet
Dibungkus dengan menggunakan stearofoam dan plastik wrap
Diamati perubahannya (4M), untuk mengetahui setiap fase yang terjadi
Diukur pH pada setiap fasenya
Hasil
Gambar 9. Proses Pengujian Masa Simpan Filet Ikan Gurami (Modifikasi Suptijah et al., 2008)
b.
Penelitian Pendahuluan Tahap 2 Penelitian pendahuluan tahap dua bertujuan untuk mendapatkan ekstrak
antosianin daun erpa. Antosianin dapat diperoleh dengan cara ekstraksi. Ekstraksi antosianin dari bahan nabati umumnya menggunakan pelarut etanol. Namun proses ekstraksi
dengan
menggunakan
pelarut
aquadest
menghasilkan rendemen
antosianin yang lebih besar dibandingkan metanol dan etanol (Warsiki et al., 2013). Hal ini dikarenakan aquadest mempunyai derajat kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan etanol, sedangkan aquadest dan antosianin merupakan pelarut dan bahan terlarut yang sama-sama memiliki sifat polar (Santoso dan Estiasih, 2014). Sebelum diekstrasi daun erpa dipreparasi terlebih dahulu yaitu dengan
28
dicuci. Pencucian berfungsi untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada daun erpa. Kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Setelah kering daun erpa di oven pada suhu 50ºC selama 24 jam. Kemudian dihaluskan dengan cara diblender. Setelah itu diayak dengan ayakan 60 mesh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Moeksin dan Ronald (2009), diperoleh hasil terbaik yaitu pada perlakuan sampel kering oven dengan bentuk tepung. Ini dapat dilihat dari hasil % yield yang paling tinggi yaitu 74,97%. Hal Ini disebabkan karena kandungan air pada sampel dengan kondisi kering oven sangat sedikit, sehingga proses ekstraksi dapat berlangsung dengan baik karena pelarut akan lebih mudah dalam mengekstrak antosianin. Dengan kandungan air yang sedikit maka bahan akan cepat menyerap pelarut, dan pelarut akan dengan mudah melarutkan zat aktif yang diinginkan. Kondisi sampel sangat berpengaruh dalam menghasilkan % yield antosianin yang terbaik. Semakin rendah kandungan air maka proses ekstraksi semakin baik. Selain itu, bentukan sampel sangat berperan dalam menghasilkan % yield antosianin yang dihasilkan, semakin besar luas permukaan bahan maka proses ekstraksi semakin baik, begitu juga sebaliknya semakin kecil luas permukaan maka zat aktif akan semakin sulit untuk terekstrak sehingga proses ekstraksi kurang maksimal. Ada beberapa metode ekstraksi yaitu diantaranya metode maserasi dan sokhletasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi paling sederhana yaitu dengan cara merendam bahan yang akan diekstrak pada suatu pelarut tertentu. Sedangkan sokhletasi yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan suatu alat yang disebut sokhlet dalam suatu pelarut tertentu dengan suhu tertentu. Berdasarkan penelitian Suzery et al. (2010), dalam ekstraksi antosianin metode maserasi pada suhu ruang (25ºC) memberikan hasil yang lebih baik daripada metode sokhletasi dengan suhu 29
78ºC, yaitu dibuktikan dengan nilai rendemen dan total antosianin yang lebih tinggi dibandingkan hasil dari sokhletasi. Selain itu ekstraksi juga dapat dilakukan dengan satu tahap ekstraksi maupun bertingkat. Pada ekstraksi satu tahap hanya digunakan satu pelarut untuk ekstraksi, sedangkan pada ekstraksi bertingkat digunakan dua atau lebih pelarut (Septiana dan Asnani, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarastani et al. (2002), hasil ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi bertingkat lebih baik daripada hasil dari ekstraksi satu tahap, yaitu dibuktikan dengan nilai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dari ekstraksi satu tahap. Dalam proses ekstraksi antosianin daun erpa secara bertingkat digunakan 2 pelarut yaitu etanol 96% untuk ekstraksi pertama dan aquadest untuk ekstraksi kedua. Penggunaan etanol 96% sebagai pelarut pada ekstraksi pertama dikarenakan etanol merupakan pelarut yang bersifat semi polar yaitu etanol memiliki dua gugus yang bersifat polar dan nonpolar. Gugus polarnya adalah OH dan gugus nonpolarnya adalah CH3. Penggunaan pelarut etanol pada ekstraksi pertama berfungsi untuk mengeluarkan klorofil yang terkandung didalam daun erpa. Setelah klorofil terekstrak kemudian dilakukan ekstraksi kedua dengan menggunakan pelarut aquades yang berfungsi untuk mendapatkan antosianin yang terkandung di dalam daun erpa. Dengan menggunakan ekstraksi bertingkat maka akan didapatkan antosianin yang lebih murni daripada ekstraksi satu tingkat. Ekstraksi satu tingkat dengan menggunakan aquadest akan menghasilkan antosianin yang bercampur dengan klorofil yang larut air. Rendemen ekstraksi antosianin dapat dilihat pada Lampiran 2. Prosedur ekstraksi antosianin daun erpa dapat dilihat pada Gambar 10.
30
Daun Erpa
Pencucian
Diangin-anginkan
Pengeringan dalam oven (50 ºC selama 24 jam)
Penghalusan (dengan blender)
Disaring dengan ayakan 60 mesh
Ditimbang (50 gram)
Diekstraksi dengan etanol 96 % (1:4)(b/v) dalam suhu ruang selama 24 jam
Disaring dengan kertas saring Whatsman no 42
Filtrat
Residu
Diekstraksi dengan aquades (1:6)(b/v) dalam suhu ruang selama 24 jam
Residu
Filtrat
Pengukuran total Antosianin
Gambar 10. Prosedur Ekstraksi Antosianin (Modifikasi Septiana dan Asnani, 2012)
31
3.3.2
Penelitian Utama Masa simpan fillet ikan gurami dari penelitian pendahuluan (36 jam)
digunakan sebagai dasar penelitian utama. Tahapan dalam penelitian utama terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah pengukuran kadar total antosianin pada ekstrak daun erpa, tahap kedua pembuatan film indikator warna dan tahap ketiga aplikasi film pada produk filet ikan gurami yang dikemas dengan stearofoam dan plastik wrap dalam suhu ruang. Pada penelitian utama parameter uji yang dilakukan yaitu pH dan total antosianin untuk pengujian ekstrak antosianin daun erpa, warna dan kecerahan yang meliputi (Kecerahan (L), kemerahan dan kehijauan (a), dan kekuningan (b)), kuat tarik dan elongasi untuk pengujian film. Selain itu juga dilakukan uji pendukung seperti TVBN, TPC, organoleptik dan
pH. Prosedur
penelitian utama dapat dilihat pada berturut-turut pada Gambar 11. Gambar 12. dan Gambar 13.
32
1 ml Ekstrak Antosianin
Dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Diencerkan dengan buffer pH 1,0 sebanyak 10 ml
1 ml ekstrak antosianin
Dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Diencerkan dengan buffer pH 4,5 sebanyak 10 ml
Diukur absorbansi dengan spektrofotometri pada λ510 dan λ700 nm
Kemudian dihitung dengan rumus dan diperoleh hasil
Gambar 11. Prosedur Analisis Total Antosianin (Modifikasi Rahardjo dan Widjanarko, 2015) A = (A510 – A700)pH 1, – (A510 – A700)pH 4,5 Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus : Total Antosianin
=
Keterangan : A
= Absorbansi dari sampel yang telah dilarutkan
ε
= Absortivitas molar Sianidin-3-glukosida = 26.900 L / (mol.cm)
33
DF
= Faktor Pengenceran
I
= Lebar Kuvet = 1 cm
MW
= Berat molekul Sianidin-3-glukosida = 449,2 g/mol
1000
= faktor g ke mg
Larutan PVA 3% (b/v) + larutan kitosan 3% (b/v) + 1% gliserol
Homogenisasi dengan magnetic stirrer dan hot plate pada suhu 80⁰C, 60 rpm, 5 menit
Pencetakan
Pengeringan dengan oven pada suhu 50⁰C selama 24 jam Lembaran Film
Pewarna (ekstrak daun erpa
Film indikator -
Ketebalan kuat tarik elongasi tingkat transmisi uap air
Gambar 12. Metode pembuatan film indikator (pengolesan) (Modifikasi Warsiki et al., 2013)
34
Ikan gurami hidup Dimatikan dengan dipotong kepalanya
Dibersihkan kemudian difillet
Film indikator warna ditempel pada fillet ikan
Dibungkus dengan stearofoam dan plastik wrap (MAP)
Diamati setiap 6 jam sekali selama 36 jam
Dicatat hasilnya
Uji pH Uji TVBN Uji TPC Organoleptik LAB
Gambar 13. Prosedur Penelitian Utama (Aplikasi Film Indikator Warna) (Modifikasi Suptijah et al., 2008)
3.4
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian utama ialah
rancangan aritmatika sederhana dengan satu perlakuan dan 2 kali ulangan. Adapun model rancangan pada penelitian utama dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Model Rancangan pada Penelitian Utama Waktu A B C D E F G
Ulangan 1 2 A1 A2 B1 B2 C1 C2 D1 D2 E1 E2 F1 F2 G1 G2
35
Keterangan : A
: Pengamatan jam ke-0
B
: Pengamatan jam ke-6
C
: Pengamatan jam ke-12
D
: Pengamatan jam ke-18
E
: Pengamatan jam ke-24
F
: Pengamatan jam ke-30
G
: Pengamatan jam ke-36
3.5
Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis data eksploratif atau yang
dikenal dengan Exploratory Data Analysis (EDA). Analisis data eksploratif merupakan metode eksplorasi data dengan menggunakan teknik aritmatika sederhana dan teknik grafik dalam meringkas data pengamatan. Hasil dari analisis yang berupa grafik kemudian dijabarkan secara deskriptif.
3.6
Parameter Uji Parameter uji yang digunakan pada penelitian ini antara lain untuk pengujian
film indikator dilakukan pengujian warna yang meliputi (Kecerahan (L), kemerahan dan kehijauan (a), dan kekuningan (b)), uji ketebalan, uji kuat tarik dan elongasi, serta uji laju transmisi uap air. Sedangkan untuk mengetahui kualitas filet ikan gurami dilakukan pengujian seperti uji TVBN, TPC, organoleptik dan pH.
36
3.7
Prosedur Analisis Parameter Analisis yang dilakukan terdiri dari beberapa pengujian yaitu uji warna (LAB),
uji pH, uji TVBN, uji total plate count (TPC), uji organoleptik, uji ketebalan, uji kuat tarik dan elongasi, serta uji laju transmisi uap air.
3.7.1
Uji Warna (LAB) Menurut Pratama (2015), Pada prinsipnya pengukuran warna secara
instrumental atau menggunakan alat meliputi proses analisa dan pendeskripsian. Ada beberapa sistem pengukuran warna (color measurement system) yaitu Hunter L, a, b Color Scale; CIE L*a*b* Color Scale, dan L C H. Setiap sistem pengukuran memiliki
keunggulan
dan
kelemahan.
Namun
demikian
CIE
(Commission
Internationale de L’Clairage) merekomendasikan menggunakan sistem CIE L*, a*, b*. L (lightness) menunjukkan tingkat terangnya suatu warna dimana 0 mengindikasikan warna hitam dan 100 menunjukkan putih. Notasi a (red-green) menunjukkan bahwa positif a (+a) adalah merah, negatif a (-a) menunjukkan hijau, dan 0 adalah netral. Notasi b (bluegreen) dimana positif b (+b) adalah kuning, negatif b (-b) adalah biru, dan 0 adalah netral.Delta/ perbedaan untuk L* (ΔL*), a* (Δa*) dan b* (Δb*) bisa positif (+) atau negatif (-), namun total perbedaan, Delta E (ΔE*), selalu positif.Untuk menentukan warna total perbedaan antara ketiga koordinat, rumus berikut digunakan: ∆𝚬∗ 𝒂𝒃 =
(∆𝑳∗ )𝟐 + (∆𝒂∗ )𝟐 + (∆𝒃∗ )𝟐
Keterangan : ΔL* (L* sampel dikurangi L* standar) = perbedaan antara terang dan gelap (positif (+) = lebih terang, negatif (–) = gelap)
37
Δa* (a* sampel dikurangi a* standar) = perbedaan antara merah dan hijau (positif (+) = merah, negatif (– )= hijau) Δb* (b*sampel dikurangi b* standar) = perbedaan kuning dan biru (+ = lebih kuning, – = biru) ΔE* = Total perbedaan warna
3.7.2
Uji pH pH diukur dengan menggunakan pH meter. Sampel sebanyak 1 gram
dimasukkan kedalam gelas beker, diencerkan dengan aquades sampai 10 ml kemudian dihomogenkan. Sebelum pH diukur, pH meter dikalibrasikan dengan buffer pH 4 dan buffer pH 7 setelah itu dilakukan pengukuran dengan menempatkan elektroda pada sampel dan nilai pH tertera pada layar monitor (Mega et al., 2009).
3.7.3
Uji TVBN dan TMA Uji TVBN menurut AOAC (1995), dapat dilakukan dengan cara sampel filet
ikan yang telah dihaluskan sebanyak 3 g dimasukkan kedalam beaker glass dan ditambahkan dengan 10 ml larutan TCA 4% kemudian dihomogenkan dan ditutup rapat dengan aluminium foil. Campuran sampel dan TCA kemudian diinkubasi selama 30 menit dalam suhu ruang dengan beaker glass diletakkan di dalam baskom yang berisi air es. Setelah diinkubasi campuran sampel dan TCA disaring dengan menggunakan kertas saring (Whatman no. 1). Tampung filtrat dengan beaker glass yang mana beaker glass diletakkan dalam baskom yang berisi air es untuk menjaga agar suhunya tetap rendah. Filtrat yang telah terkumpul selanjutnya ditambah TCA 4% sampai volume akhir 15 ml. Setelah itu larutan innering 1 ml dimasukkan ke dalam inner chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir menutupi cawan. Dengan menggunakan pipet lain, 1 ml filtrat
38
dimasukkan ke dalam outer chamber di sebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 jenuh ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3 tidak bercampur. Cawan segera ditutup yang sebelumnya telah diberi vaselin, kemudian digerakan memutar sehingga kedua cairan di outer chamber tercampur. Untuk pengujian TMA sama dengan pengujian TVBN hanya saja pada uji TMA menggunakan tambahan larutan formaldehid 10% yang
berfungsi untuk
menguapkan senyawa amin dan turunannya kecuali TMA. Di samping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 4%. Kemudian kedua cawan conway tersebut disimpan pada suhu ruang selama 2 jam. Setelah disimpan, larutan innering dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko
dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N dengan menggunakan mikro buret.
Kemudian dihomogenkan dengan digoyang membentuk angka delapan sehingga berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi sampel yang berisi sampel dititrasi dengan menggunakan larutan yang sama sehingga berubah menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko. Perhitungan nilai TVB dapat dihitung dengan rumus:
Mg N% TVB/TMA =
Vc−Vb x N HCl x 14,007 x fp x 100 berat contoh
Dimana : Vc = ml titrasi sampel Vb = ml titrasi blanko fp = faktor pengenceran
3.7.4
Metode Total Plate Count (TPC) Pengujian Total Plate Count (TPC) menurut SNI (2008), merupakan suatu
cara perhitungan jumlah mikroba yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh
39
pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang sudah ditetapkan. Langkah pertama dilakukan penyiapan sampel. Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan kedalam wadah steril. Pindahkan 1 ml suspense pengenceran 10-1 tersebut dengan pipet steril ke larutan 9 ml Na-fis untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Buat pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dan seterusnya dengan cara yang sama. Selanjutnya masukkan 1 ml suspense dari setiap pengenceran kecawan petri secara duplo. Tambahkan 15 ml sampai dengan 20 ml PCA yang sudah didinginkan hingga temperature 450C pada masing-masing cawan yang sudah berisi suspense. Supaya larutan contoh dan media PCA tercampur seluruhnya, lakukan pemutaran cawan kedepan dan belakang atau membentuk angka delapan dan diamkan sampai menjadi padat. Inkubasikan pada temperature 340C sampai dengan 360C selama 24 - 28 jam dengan posisi cawan terbalik. Selanjutnyadilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalamcawan petri. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yangmempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni. Jumlah koloni dapat dihitungdengan rumus sebagai berikut:
N=
Σc (1xn1 )+(0,1xn2 ) x(d)
Dengan : N : Jumlah koloni produk, Kol/ml atau kol/g ΣC : Jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dapat di hitung n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dapat di hitung d : Pengenceran pertama yang di hitung 40
3.7.5 Uji Organoleptik Menurut SNI 01-2346-2006 pengujian organoleptik dilakukan dengan menggunakan score sheet. Dimana pengujian ini merupakan pengujian yang bersifat subjektif dengan menggunakan indera yang ditujukan pada penampakan, bau, dan tekstur. Score sheet uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3.
3.7.6 Uji Ketebalan Ketebalan film dapat diukur dengan menggunakan suatu alat yang disebut dengan mikrometer (ketelitian 0,001 mm). Pengukuran dilakukan dengan cara menempatkan film diantara rahang mikrometer. Setelah itu mikrometer di putar supaya rahang dari mikrometer dapat mengukur ketebalan dari film. Untuk setiap sampel film yang akan diuji, ketebalannya diukur pada lima titik yang berbeda kemudian dihitung reratanya (Poeloengasih dan Marseno, 2003).
3.7.7 Uji Kuat Tarik dan Elongasi Pengujian kuat tarik dan elongasi atau pemanjangan dapat diuji dengan menggunakan Lloyd’s Universal Testing Instrument. Kuat tarik putus dinyatakan sebagai gaya maksimum yang diberikan pada film sampai sobek (Newton) dibagi luas penampang film (m2), sedangkan elongasi atau pemanjangan dihitung sebagai [(Δtmax x test speed)/ panjang film awal)] x 100% (Poeloengasih dan Marseno, 2003).
3.7.8 Uji Laju Transmisi Uap Air Pengujian laju transmisi uap air dilakukan dengan gravimetric dessicant method (ASTM) yang dimodifikasi. Film yang akan diuji dipasang pada cawan yang berisi 10 g silika gel. Bagian tepi cawan dan film ditutup dengan wax atau isolasi. 41
Cawan dan film ditimbang, dimasukkan ke dalam toples plastik berisi 100 ml larutan NaCl 40%, kemudian toples ditutup rapat. Setiap jam cawan ditimbang dan pengamatan dilakukan selama 8-10 jam. Data yang diperoleh kemudian dibuat persamaan regresi linier, sehingga diperoleh slope kenaikan berat cawan. Laju transmisi uap air dinyatakan sebagai slope kenaikan berat cawan (g/jam) dibagi dengan luas area film yang diuji (m2) (Poeloengasih dan Marseno, 2003).
42
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui masa simpan filet
ikan gurami dalam suhu ruang dan mendapatkan ekstrak antosianin daun erpa. Masa simpan filet ikan gurami dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Masa Simpan Filet Ikan Gurami Waktu (jam) Parameter
0
6
12
18
24
30
36
7.14
6.92
6.89
6.62
6.98
7.36
7.58
Daging
9
9
8
7
5
3
1
Bau
9
8
8
7
3
3
1
Tekstur
9
8
8
7
5
3
1
pH Organoleptik
Sumber:
Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya (2018)
Tabel 10. menunjukkan masa simpan filet ikan gurami yang disimpan dalam suhu ruang. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa apabila dilihat dari nilai pH dan organoleptik filet ikan gurami mampu bertahan selama 36 jam dari segar sampai busuk. Menurut Saputra dan Nurhayati (2014), filet ikan yang disimpan dalam suhu ruang masih layak untuk dikonsumsi (segar) sekitar 10-12 jam setelah penyimpanan. Dari nilai organoleptik maka dapat diketahui bahwa batas maksimal filet ikan gurami untuk dikonsumsi yaitu pada jam ke-18. Ini sesuai dengan SNI 012729.1-2006 yang menjelaskan bahwa nilai minimal untuk filet ikan yang aman dikonsumsi bernilai 7 dari kisaran poin 1-9 (Badan Standarisasi Nasional, 2006). Menurut Liviawaty dan Afrianto (2014), proses pembusukan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu suhu lingkungan, kondisi ikan, dan jenis
ikan. Yang mana dari beberapa faktor tersebut akan menyebabkan masa simpan dari setiap ikan berbeda.
4.2
Hasil Penelitian Utama Pada penelitian utama dilakukan untuk mengetahui kandungan total
antosianin pada daun erpa, pembuatan film indikator dan aplikasinya pada filet ikan gurami. Dalam pembuatan film digunakan bahan PVA (Polivinil alkohol), kitosan-asetat, gliserol, serta ekstrak antosianin daun erpa sebagai zat warna pada film indikator. Sensor ini berbentuk film yang digunakan untuk mendeteksi tingkat kebusukan dari produk yang telah mengalami perubahan pH. Parameter yang dianalisa pada film indikator (sensor kesegaran) adalah ketebalan, kuat tarik, elongasi, transmisi uap air, dan warna LAB. Hasil analisa ekstrak daun erpa dan film indikator dapat dilihat berturut-turut pada Tabel 11. Dan Tabel 12. Tabel 11. Hasil Analisa Ekstrak Daun Erpa Parameter Total Antosianin (mg/L) pH
Hasil Analisa*
Literatur**
71,47
71,079
5,6
-
Sumber : *) Laboratorium Keamanan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya (2018) **) Hayati et al . (2012) Pada
penelitian
ini
digunakan
bahan
baku
daun
erpa
(Aerva
sanguinolenta) sebagai sumber antosianin untuk pewarna pada sensor kesegaran. Analisa terhadap total antosianin ekstrak daun erpa menunjukkan nilai 71,47 mg/L filtrat. Nilai total ekstrak antosianin daun erpa ini lebih tinggi dari penelitian Hayati et al. (2012), yang meneliti tentang ekstrak antosianin dari bunga rosella dengan nilai total antosianin sebesar 71,079. Pigmen antosianin ini akan berfungsi sebagai pewarna film indikator perubahan pH pada produk 44
sehingga tingkat kebusukan dari produk dapat terdeteksi dengan adanya perubahan warna pada film indikator tersebut. Pigmen antosianin sangat dipengaruhi oleh pH dimana dalam suatu larutan kestabilan strukturnya bisa berubah warna sesuai dengan perubahan pH. Warna pigmen antosianin berbeda-beda, bergantung pada pH larutan medianya. Warna merah, kuning, hijau dan biru disebabkan pH larutan berturut turut bersifat asam, netral dan alkalis (Suardi, 2005). Tabel 12. Hasil Analisa Film Indikator Parameter
Hasil analisa*
Literatur**
Ketebalan
0,034 mm
Max 0.25 mm
Kuat Tarik
5,9 MPa
Min 4 MPa
50%
Min 70%
0.2328 ml/m2/hari
Max 7ml/m2/hari
L* (Kecerahan)
14,840
-
A* (Kemerahan)
31,738
-
B* (Kekuningan)
22,957
-
Elongasi Transmisi Uap Air Warna :
Sumber:*)
Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya (2018)
**) Saputra et al. (2015) Tabel 12. menunjukkan bahwa jika dilihat dari parameter ketebalan, kuat tarik, dan transmisi uap air maka film indikator sudah memenuhi standart. Namun apabila dilihat dari nilai elongasi maka film indikator belum memenuhi standar sebagai film yang komersil menurut Japanese Industrial Strandard (JIS) (Saputra et al., 2015). Bahan yang digunakan sebagai produk yang dikemas dalam kemasan cerdas adalah filet ikan gurami (Osphronemus gouramy). Karakteristik kimia filet ikan gurami dapat dilihat pada Tabel 13.
45
Tabel 13. Karakteristik Kimia Filet Ikan Gurami Segar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter Kimia Jumlah Protein (%) 17,69 Kadar Air (%) 73,45 TVBN (mg/ 100 g bahan) 8,395 TMA (mg/ 100 g bahan) 2,77 TPC (CFU/g) 34 x 103 pH 7,12 Sumber: Laboratorium Perekayasaan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya (2018) Tabel 13. menunjukkan bahwa kadar TVBN (Total Volatile Base Nitrogen)
dan TMA (Trimetilamine) dari filet ikan gurami berturut-turut adalah 8,395 mg/ 100 g dan 2,77 mg/ 100 g. Nilai ini menandakan bahwa filet ikan gurami masih dalam kondisi sangat segar dan layak untuk dikonsumsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Farber (1965), yang menyatakan bahwa batasan maksimal kadar TVBN untuk ikan aman dikonsumsi yaitu 30 mg/ 100 g. Selain itu batasan TMA untuk ikan segar yaitu 10,0 mg/ 100 g (Pandit et al., 2008). Filet ikan gurami juga termasuk dalam kategori segar apabila dilihat dari nilai pH yaitu 7,12 dan nilai TPC 34 x 103 CFU/g. Hal ini sesuai dengan pH produk ikan segar yang berkisar antara 6,7-7,2. Perbedaan nilai pH pada ikan yang baru ditangkap terjadi karena perbedaan spesies, diet, musim, habitat dan tingkat stres selama penangkapan (Tingting et al., 2013). Selain itu dari nilai TPC filet ikan gurami juga masuk dalam kategori segar dan layak konsumsi, karena batas maksimal jumlah TPC ikan segar berdasarkan SNI 01-2729.1-2006 maksimal berjumlah 5 x 105 (Badan Standar Nasional, 2006).
4.3
Perubahan Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Karakteristik kesegaran filet ikan gurami selama penyimpanan dapat
dilihat dari nilai pH, TVBN, TMA, dan TPC. 46
4.3.1
Nilai pH filet ikan gurami selama penyimpanan Nilai pH merupakan parameter yang paling penting pada penelitian ini.
Hal ini disebabkan karena pH menjadi tolok ukur tingkat kerusakan dari filet ikan gurami yang terkait dengan adanya kemasan cerdas. Peningkatan nilai pH berhubungan dengan peningkatan senyawa lain seperti TVBN, TMA, dan aktivitas mikroba selama penyimpanan. Nilai pH filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14.
pH 7,80
7,58
7,60 7,40
7,37 7,12
7,20
6,96
7,11 6,88
7,00
6,72 pH
6,80 6,60 6,40 6,20 6,00 1
2
3
4
5
6
7
Gambar 14. Nilai pH filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 14. menunjukkan nilai pH selama penyimpanan, dimana nilai pH dari filet ikan gurami mengalami penurunan dari penyimpanan jam ke-0 sampai berhenti pada jam ke-18. Setelah turun pada pengamatan jam ke-18 nilai pH naik secara signifikan pada jam ke-24 sampai jam ke-36. Penurunan pH filet ikan gurami pada pengamatan jam ke-0 sampai jam ke-18 terjadi karena di dalam daging ikan sudah tidak ada pasokan oksigen, dengan begitu respirasi akan terjadi secara anaerob yang akan menghasilkan asam laktat. Penumpukan asam laktat pada daging inilah yang menyebabkan pH daging menjadi lebih asam. Selain itu peningkatan pH pada jam ke-24 sampai jam ke-36 terjadi karena ikan 47
sudah mulai memasuki fase kebusukan atau fase post rigor dimana pada fase tersebut terjadi proses bakteriolisis. Pada fase ini bakteri akan ikut memecah senyawa-senyawa sumber energi seperti karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa basa seperti skatol, indol, merkaptan, dan ammonia. Karena senyawa basa inilah pH ikan pada jam ke-24 sampai jam ke-36 jadi naik. Irianto dan Giyatmi (2014), menyatakan bahwa fase kebusukan ikan terbagi menjadi 3 tahap yaitu pre rigor dimana pada fase ini ikan masih segar dan baru mati yang ditandai dengan pH ikan yang netral yaitu berkisar antara 6,9-7,2. Tahap kedua yaitu tahap rigor mortis, pada tahap ini ditandai dengan kekakuan pada ikan. Pada tahap rigor ini ikan masih layak konsumsi. Selain ikan yang kaku tahap ini juga ditandai dengan pH ikan yang cenderung turun (asam) yaitu berkisar antara 6,2-6,6. Yang terakhir yaitu tahap post rigor, dimana pada tahap ini ikan sudah busuk. pH pada ikan post rigor cenderung naik (basa) yaitu sekitar 7,5-8.
4.3.2
Perubahan TVBN Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan TVBN merupakan salah satu parameter penting dalam pengukuran
kualitas produk-produk perikanan. Selama penyimpanan kandungan TVBN pada ikan akan meningkat sebagai tanda kerusakan produk perikanan (Ojagh et al., 2010). Peningkatan Kadar TVBN ini disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk yang menghasilkan metabolit penyebab off-outdor dan off-flavor. Sehingga mengakibatkan peningkatan pH pada produk perikanan (Pacquit et al., 2007). Bakteri proteolitik mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan protein menjadi molekul-molekul sederhana seperti TVBN. Grafik perubahan kadar TVBN filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15. 48
TVBN 50 40,115
45
36,07
40
31,715
35
26,585 23,615
30 25
TVBN 13,525
20 15
8,395
10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
Gambar 15. Nilai TVBN filet ikan gurami selama penyimpanan TVBN filet ikan gurami secara umum mengalami peningkatan selama penyimpanan pada suhu ruang (28ºC). Kisaran nilai TVBN ini antara 8,395 mg/ 100 g - 40,115 mg/ 100 g bahan. Gambar 14. memperlihatkan peningkatan kadar TVBN pada filet ikan gurami yang dikemas dengan kemasan cerdas indikator warna ekstrak daun erpa yang disimpan selama 36 jam. Berdasarkan total kadar TVBN filet ikan gurami tidak aman dikonsumsi pada jam ke -24 yaitu dengan nilai kadar TVBN sebesar 31,715 mg/ 100 g bahan. Farber (1965), menyatakan bahwa suatu hasil perikanan aman dikonsumsi oleh manusia apabila kadar TVBN tidak lebih dari 30 mg/ 100 g bahan.
4.3.3
Nilai TMA Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan TMA merupakan komponen volatile yang selalu dikaitkan dengan bau
khas pada ikan (Dalgaard, 1995). Selama proses pembusukan, terjadi reaksi reduksi dari senyawa Trimethylamine dioxide (TMAO) menjadi Trimethylamine (TMA) oleh bakteri. Ketika TMAO direduksi menjadi TMA, terjadi beberapa 49
perubahan
fisik,
menurunnya
potensial
reduksi,
dan
peningkatan
pH.
Pengukuran perubahan TMAO menunjukkan level mikroba pembusuk pada produk perikanan. Selama penyimpanan kadar TMA filet ikan gurami berkisar antara 2,7717,41 mg/ 100 g. Nilai TMA filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 16.
TMA
25
17,41
20 15,08 12,595
15 9,95 7,775
10
TMA
5,44 2,77
5 0
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 16. Nilai TMA filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 16. menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan filet ikan gurami, maka semakin meningkat kadar TMA pada filet ikan gurami tersebut. Kadar TMA melebihi batas maksimum aman dikonsumsi pada jam ke-24 dengan nilai 12,595 mg/ 100 g (Gambar 15.), sedangkan untuk kadar TVBN dicapai kadar maksimum juga pada hari ke-24 (Gambar 14.). Pacquit et al. (2006), menyatakan bahwa TMA termasuk ke dalam senyawa TVBN dan senyawa lainnya yang terdiri dari NH3 dan DMA. Sehingga peningkatan kadar TVBN selalu diringi dengan peningkatan kadar TMA. Pengujian TMA pada penelitian ini dilakukan sebagai uji penguat keberadaan senyawa TVBN.
50
4.3.4
Nilai TPC Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Jumlah mikroba selama ini menjadi faktor yang paling utama dalam
penentuan kualitas suatu pangan (Khalafalla et al., 2015). Nilai TPC pada filet ikan gurami sebesar 34 x 103 cfu/g (jam ke-0) sampai 540 x 104 (pada jam ke-36). Nilai TPC filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 17.
TPC 8,00 7,00
6,17
6,00 5,00
4,51
4,74
5,14
6,48
6,72
5,51
4,00
TPC
3,00 2,00 1,00 0,00 1
2
3
4
5
6
7
Gambar 17. Nilai TPC filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 17. menyatakan bahwa semakin lama waktu penyimpanan semakin banyak juga total bakteri yang ada di dalam filet ikan gurami. Dari grafik dapat diketahui bahwa batas maksimal kadar TPC pada filet ikan gurami yaitu pada jam ke-24 dengan nilai 152 x 104 cfu/g. SNI 01-2729.1-2006 menjelaskan bahwa batas maksimal total bakteri untuk ikan dapat dikonsumsi yaitu berjumlah 5 x 105 atau 6.69 log (Badan Standar Nasional, 2006).
4.4
Hubungan Perubahan Respon Warna Film Indikator Terhadap Parameter Kimia dan Mikrobiologi Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan. Hubungan perubahan respon warna film indikator terhadap parameter
kimia dan mikrobiologi filet ikan gurami selama penyimpanan terdiri dari respon 51
perubahan warna film indikator selama penyimpanan, respon perubahan warna film indikator dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan respon perubahan warna film indikator dengan TVBN pada filet ikan gurami selama penyimpanan, respon perubahan warna film indikator dengan TMA pada filet ikan gurami, dan respon perubahan warna film indikator dengan TPC pada filet ikan gurami selama penyimpanan.
4.4.1
Respon Perubahan Warna Film Indikator Selama Penyimpanan Respon indikator didefinisikan sebagai perubahan warna indikator akibat
adanya senyawa volatile yang dihasilkan oleh produk yang dikemas dan berinteraksi dengan senyawa sensor (indikator kimia). Pada penelitian ini respon film indikator dihitung sebagai ΔE, seperti yang dijelaskan oleh Pratama (2015), bahwa pengukuran warna secara instrumental diukur dengan menggunakan alat colour reader untuk menentukan koordinat warna L*, a*, b*. Perubahan parameter kimia dan mikrobiologi pada filet ikan gurami yang disimpan selama 36 jam pada suhu ruang (28C) memberikan perubahan warna pada film indikator. Film indikator yang diberi warna ekstrak antosianin daun erpa mengalami perubahan dari warna awal sehingga didapatkan warna akhir yang berbeda. Sedangkan blanko yang hanya berupa film indikator tanpa filet ikan gurami dalam kemasan tidak mengalami perubahan selama penyimpanan. Demikian juga dengan blanko filet ikan gurami yang dikemas dengan film yang tidak diberi warna ekstrak antosianin daun erpa juga tidak memberikan perubahan warna selama penyimpanan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pacquit et al. (2007), menerangkan bahwa indikator yang ditempatkan pada kemasan cerdas produk pangan nantinya molekul-molekul yang dihasilkan dari produk akibat aktivitas mikroorganisme pembusuk akan bereaksi dengan 52
senyawa indikator. Hal ini yang menyebabkan perubahan warna pada indikator. Grafik respon warna film indikator selama waktu penyimpanan dapat dilihat pada
ΔE
Gambar 18. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
ΔE
0
10
20
30
40
Jam
Gambar 18. Grafik Hubungan Respon Warna Film Indikator dengan Lama Waktu Penyimpanan Gambar 18. menunjukkan nilai dari perubahan warna yang terjadi pada setiap jam pengamatan. Jika dilihat pada grafik nilai perubahan warna naik turun hal ini terjadi karena untuk memperoleh nilai ΔE (total perbedaan warna) menggunakan angka dari hasil pengukuran L*(+ = lebih terang, - = gelap), a* (+ = merah, - = hijau), dan b* (+ = kuning, - = biru). Warna dari film indikator pada jam ke-0 yang berwarna merah berubah menjadi oranye kecoklatan pada jam ke 6 dengan nilai ΔE yaitu 12.884, sedangkan pada jam ke 12 berwarna oranye pekat dengan nilai ΔE sebesar 17.144. Kemudian pada jam ke 18 berubah warna menjadi oranye cerah dengan nilai ΔE yaitu 6.837. Pada jam ke 24 film indikator berubah menjadi oranye pudar kekuningan yaitu dengan nilai ΔE sebesar 15.916. Kemudian pada jam ke 30 berubah warna menjadi kuning keoranyenan dengan nilai ΔE sebesar 39.401. Dan terakhir pada jam ke 36 film indikator berubah menjadi warna kuning kehijauan dengan nilai ΔE sebesar 28.42. Menurut Pifferi dan Vaccari (1983), Antosianin adalah indikator alami dari pH 53
yang mana dalam media asam akan berwarna merah dan pada saat pH menjadi basa akan berwarna hijau sampai kuning.
4.4.2
Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan pH Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Perubahan pH pada filet ikan gurami memberikan pengaruh pada respon
warna film indikator yang diletakkan pada bagian dalam kemasan cerdas. Perubahan pH yang terjadi memberikan respon mulai yang awalnya berwarna merah, oranye kecoklatan, oranye pekat, oranye cerah, oranye pudar kekuningan, kuning keoranyenan, dan kuning kehijauan. Warna merah, oranye kecoklatan, oranye pekat, dan oranye cerah menandakan filet ikan gurami masih segar dan layak dikonsumsi. Sedangkan warna oranye pudar kekuningan, kuning keoranyenan, dan kuning kehijauan menandakan bahwa filet ikan gurami sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Grafik hubungan respon warna film indikator dengan nilai pH selama waktu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 19.
ΔE 50
ΔE
40
y = 30,759x - 198,39 R² = 0,7011
30 20
ΔE
10
Linear (ΔE)
0 6,6
6,8
7
7,2
7,4
7,6
7,8
pH
Gambar 19. Grafik hubungan respon warna film indikator dengan nilai pH selama waktu penyimpanan Gambar 19. menunjukkan adanya hubungan antara nilai pH dengan respon perubahan warna (ΔE), yaitu seiring dengan adanya perubahan pH pada filet ikan gurami warna film indikator juga akan berubah mengikuti pH lingkungan. 54
Warna respon film indikator pada jam ke-6 adalah 12.884 dengan warna film indikator oranye kecoklatan dan nilai pH 6.96. Dimana filet ikan gurami masih layak untuk dikonsumsi. Pada jam ke-12 respon film indikator memberikan nilai sebesar 17.144 dengan warna film indikator oranye pekat dan nilai pH 6.88. Pada jam ini filet ikan gurami masih layak untuk dikonsumsi. Kemudian pada jam ke-18 filet ikan gurami juga masih layak untuk dikonsumsi dengan nilai pH 6.72 dan respon film indikator sebesar 6.837. Warna pada film indikator pada jam ke18 ini yaitu oranye cerah. Selanjutnya untuk jam ke-24 pH filet ikan gurami sebesar 7.11 dengan nilai respon film indikator sebesar 15.916 dan warna film oranye kekuningan menunjukkan bahwa filet ikan gurami sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Menurut Hadiwiyoto (1993), produk-produk perikanan yang sudah tidak segar dagingnya mempunyai nilai pH yang lebih tinggi dari pada yang masih segar (lebih basa). Hubungan antara nilai pH filet ikan gurami dengan respon warna film indikator jika dilihat pada grafik terlihat nyata, hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 yaitu 0.7011.
4.4.3
Hubungan Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TVBN Pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Respon warna film indikator ΔE terhadap kadar TVBN menunjukkan
korelasi yang lumayan bagus yaitu R2 0.6276. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TVBN pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 20.
55
ΔE (Respon Sensor)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 0,9018x - 5,9637 R² = 0,6276 ΔE Linear (ΔE)
0
10
20
TVBN
30
40
50
Gambar 20. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TVBN pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 20. menunjukkan hubungan antara ΔE dengan kadar TVBN, semakin meningkatnya kadar TVBN seiring dengan lamanya waktu penyimpanan menyebabkan film indikator berubah warna dari warna awal. Respon warna film indikator pada jam ke-6 berubah dari warna dari merah menjadi oranye kecoklatan dengan kadar TVBN 13.525 mg/ 100 g, dimana masih dibatas aman kadar TVBN untuk ikan konsumsi. Pada jam ke-12 film indikator berubah warna menjadi oranye pekat dengan kadar TVBN yaitu 23,615 mg/ 100 g, dimana ini juga masih batas aman untuk dikonsumsi. Kemudian pada jam ke-18 film berubah menjadi warna oranye cerah dengan kadar TVBN 26,585 mg/ 100 g bahan, dan jumlah ini juga masih dalam batasan aman untuk dikonsumsi. Pada pengamatan jam ke-24 film indikator berubah menjadi warna oranye pudar kekuningan dengan kadar TVBN sebesar 31,715 mg/ 100 g. Kadar TVBN pada jam ke-24 ini sudah melebihi batasan aman untuk dikonsumsi. Farber (1965), menyatakan bahwa level kadar TVBN 30 mg/ 100 g merupakan batas maksimum untuk produk-produk perikanan yang dinyatakan layak untuk dikonsumsi oleh manusia. Sehingga dapat diketahui bahwa filet ikan gurami dikatakan tidak aman dikonsumsi karena kadar TVBN yang melewati batas dan film indikator berwarna oranye pudar kekuningan. 56
4.4.4
Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TMA Pada Filet Ikan Gurami Perubahan kadar TMA yang cenderung meningkat dengan semakin
lamanya waktu penyimpanan berpengaruh terhadap perubahan warna pada film indikator dari warna merah menjadi oranye kecoklatan dengan kadar TMA sebesar 5,44 mg/ 100 g. Korelasi antara respon warna film indikator ΔE dengan kadar TMA filet ikan gurami lumayan bagus yaitu R2 0.6476. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TMA pada filet ikan gurami selama
ΔE
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 21.
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 2,0209x - 3,3643 R² = 0,6476 ΔE Linear (ΔE)
0
5
10
15
20
TMA
Gambar 21. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TMA pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 21. menunjukkan dengan semakin meningkatnya kadar TMA pada filet ikan gurami akan menyebabkan perubahan warna pada film indikator (ΔE) selama penyimpanan. Warna oranye kecoklatan menyatakan bahwa filet ikan gurami masih segar dan layak untuk dikonsumsi, sedangkan menuju warna kuning menyatakan filet ikan gurami sudah tidak layak dikonsumsi. Pada jam ke12 film indikator berubah menjadi warna oranye pekat dengan kadar TMA masih dibatas aman konsumsi yaitu 7,775 mg/100 g. Kemudian pada jam ke-18 film indikator berwarna oranye cerah dengan kadar TMA sebesar 9,95 mg/100 g, 57
yang mana kadar ini masih dalam batasan aman untuk dikonsumsi. Pada jam ke24 film indikator berubah warna menjadi oranye pudar kekuningan dengan kadar TMA yang sudah melebihi batas aman konsumsi yaitu sebesar 12,595 mg/100 g. Pandit et al. (2008), menyatakan bahwa batasan kadar TMA hasil perikanan aman untuk dikonsumsi yaitu sebesar 10 mg/100 g. Sehingga dapat diketahui bahwa filet ikan gurami dikatakan tidak aman dikonsumsi karena kadar TMA yang melewati batas dan film indikator berwarna oranye pudar kekuningan. Menurut Dalgaard (1995), trimethylamine (TMA) merupakan senyawa volatile penyusun TVBN disamping dimethylamine (DMA) dan ammonia (NH3). Hernandez et al. (2009), menyatakan bahwa senyawa-senyawa TMA, DMA, dan ammonia termasuk kedalam golongan basa lemah. Maka dari itu dengan adanya peningkatan kadar TMA akan mempengaruhi pH dari filet ikan gurami dan menyebabkan warna pada film indikator berubah.
4.4.5
Respon Perubahan Warna Film Indikator Dengan TPC Pada Filet Ikan Gurami Peningkatan total bakteri pada filet ikan gurami yang disimpan selama 36
jam pada suhu ruang yaitu berkisar 4.53– 6.73 log cfu/g memberikan pengaruh pada respon warna film indikator yang diletakkan pada bagian dalam kemasan pintar. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TPC pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 22.
58
45 ΔE (Respon Sensor)
40 35
y = 12,316x - 52,091 R² = 0,6426
30 25 20
ΔE
15
Linear (ΔE)
10 5 0 0
2
4
6
8
TPC
Gambar 22. Grafik hubungan perubahan warna film indikator dengan TPC pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 22. menunjukkan bahwa selama penyimpanan terdapat kenaikan total bakteri (TPC) pada filet ikan gurami dan juga terdapat perubahan warna pada film indikator dari jam ke-0 yang awalnya berwarna merah menjadi oranye kecoklatan pada jam ke-6, oranye pekat pada jam ke 12, oranye cerah pada jam ke-18, berwarna oranye pudar kekuningan pada jam ke-24, kuning keoranyenan pada jam ke-30, dan berwarna kuning kehijauan pada jam ke-36. Sesuai dengan pernyataan Pacquit et al. (2007), yang menjelaskan bahwa pertumbuhan mikroorganisme memberikan pengaruh pada respon sensor. Total bakteri pada jam ke-6 berjumlah log 4.78 cfu/g dengan warna indikator oranye kecoklatan yang menandakan bahwa filet ikan gurami masih aman untuk dikonsumsi. Jam ke-12 film indikator berwarna oranye pekat dengan total bakteri log 5.16 cfu/g yang menandakan filet ikan gurami masih aman untuk dikonsumsi. Pada jam ke18 jumlah bakteri filet ikan gurami berjumlah log 5.53 cfu/g dengan warna film indikator oranye cerah. Pada jam ke-18 ini filet ikan gurami masih dalam batasan aman untuk dikonsumsi. Kemudian pada jam ke-24 film indikator berwarna oranye pudar kekuningan dengan total bakteri berjumlah log 6.18 cfu/g. Hal ini sesuai dengan SNI 01-2729.1-2006, yang menjelaskan bahwa batas maksimal 59
total bakteri untuk ikan dapat dikonsumsi yaitu berjumlah 5 x 105 (Badan Standar Nasional, 2006).
4.5.
Hubungan Perubahan Antara Parameter Kimia dan Mikrobiologi Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Hubungan perubahan antara parameter kimia dan mikrobiologi filet ikan
gurami selama penyimpanan terdiri dari hubungan perubahan tvbn dengan ph pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan perubahan tma dengan ph pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan perubahan tpc dengan ph pada filet ikan gurami selama penyimpanan, hubungan perubahan tvbn (total volatile base nitrogen)
dengan tma (trimethylamine) pada filet ikan gurami
selama penyimpanan, dan hubungan perubahan tvbn dengan tpc pada filet ikan gurami selama penyimpanan.
4.5.1
Hubungan Perubahan TVBN dengan pH pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Parameter kimia TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) dan pH filet ikan
gurami selama penyimpanan memiliki korelasi, hal ini dapat dilihat seiring dengan peningkatan kadar TVBN nilai pH dari filet ikan gurami juga akan meningkat. Grafik hubungan TVBN dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 23.
60
7,8 7,6
pH
7,4
y = 0,0022x2 - 0,0918x + 7,7578 R² = 0,9284
7,2
pH
7
Poly. (pH)
6,8 6,6 0
10
20
30
40
50
TVBN
Gambar 23. Grafik hubungan TVBN dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 23. menunjukkan TVBN dan pH filet ikan gurami memiliki korelasi selama penyimpanan. Hubungan TVBN dengan pH jika dilihat pada grafik cukup kuat, hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 0.9284. Semakin lama penyimpanan, maka kadar TVBN akan meningkat dan akan menyebabkan pH daging juga meningkat (lebih basa). Peningkatan kadar TVBN disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk yang menghasilkan metabolit yang bersifat basa, sehingga menyebabkan peningkatan pH pada produk hasil perikanan (Pacquit et al., 2007).
4.5.2
Hubungan Perubahan TMA dengan pH pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Parameter kimia TMA (Trimethylamine) dan pH filet ikan gurami memiliki
korelasi selama penyimpanan. Grafik hubungan TMA dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 24.
61
TMA pH 7,8 7,6 7,4 y = 0,0093x2 - 0,1525x + 7,4769 R² = 0,9152
7,2
pH Poly. (pH)
7 6,8 6,6 0
5
10
15
20
Gambar 24. Grafik hubungan TMA dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 24. menunjukkan korelasi antara kadar TMA dengan nilai pH filet ikan gurami selama penyimpanan. Hubungan TMA dengan pH jika dilihat pada grafik cukup kuat, hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 0.9152. Semakin lama penyimpanan,
maka
kadar
TMA
akan
semakin
meningkat
dan
akan
menyebabkan pH daging juga meningkat (lebih basa). Hal ini disebabkan karena TMA merupakan bagian dari senyawa TVBN yang memiliki sifat basa. Menurut Dalgaard
(1995),
TVBN
merupakan
senyawa
volatil
yang
terdiri
dari
trimethylamine (TMA), Dimethylamine (DMA), dan ammonia (NH3). Dimana senyawa-senyawa seperti trimethylamine (TMA), Dimethylamine (DMA), dan ammonia (NH3) ini masuk kedalam golongan basa lemah (Hernandez et al., 2009).
4.5.3
Hubungan Perubahan TPC dengan pH pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Parameter kimia TPC (Total Plate Count) dan pH filet ikan gurami
memiliki korelasi selama penyimpanan. Grafik hubungan TPC dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 25.
62
pH
7,7 7,6 7,5 7,4 7,3 7,2 7,1 7 6,9 6,8 6,7 6,6
y = 0,4506x2 - 4,8551x + 19,875 R² = 0,974 pH Poly. (pH)
0
2
4
6
8
TPC
Gambar 25. Grafik hubungan TPC dengan pH pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 25. menunjukkan korelasi antara nilai TPC dengan nilai pH filet ikan gurami selama penyimpanan. Korelasi antara keduanya terbilang sangat kuat, hal ini dapat dilihat pada nilai R2 yaitu 0.974. Apabila dilihat pada grafik maka dapat dilihat bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah bakteri maka semakin tinggi pula nilai pH (lebih basa). Hal ini disebabkan semakin lama penyimpanan, maka jumlah bakteri akan meningkat dan menghasilkan senyawa metabolit yang bersifat basa seperti TVBN, TMA, dan amonia yang merupakan hasil perombakan dari senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada daging, dengan begitu nilai pH akan naik (Qiu et al., 2014).
4.5.4
Hubungan Perubahan TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) dengan TMA (Trimethylamine) pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Parameter kimia TVBN (Total Volatile Base Nitrogen)
dengan TMA
(Trimethylamine) filet ikan gurami memiliki korelasi selama penyimpanan. Grafik hubungan TVBN dengan TMA pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 26.
63
45 y = 2,1816x + 3,4862 R² = 0,978
40 35 TVBN
30 25 20
TVBN
15
Linear ( TVBN)
10 5 0 0
5
10
15
20
TMA
Gambar 26. Grafik hubungan TVBN dengan TMA pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 26. menunjukkan adanya korelasi antara kadar TVBN dengan kadar TMA pada filet ikan gurami selama penyimpanan. Korelasi antara keduanya terbilang sangat kuat, hal ini dapat dilihat pada nilai R 2 yaitu 0.978. TMA merupakan senyawa volatil bagian dari TVBN sehingga dengan terjadinya peningkatan TVBN, maka kadar TMA juga akan meningkat. Menurut Dalgaard (1995), TVBN merupakan senyawa basa volatil yang terdiri dari trimethylamine (TMA), Dimethylamine (DMA), dan ammonia (NH3). Dimana senyawa-senyawa seperti trimethylamine (TMA), Dimethylamine (DMA), dan ammonia (NH3) ini masuk kedalam golongan basa lemah (Hernandez et al., 2009).
4.5.5
Hubungan Perubahan TVBN dengan TPC pada Filet Ikan Gurami Selama Penyimpanan Parameter kimia TVBN (Total Volatile Base Nitrogen) dengan TPC (Total
Plate Count) filet ikan gurami memiliki korelasi selama penyimpanan. Grafik hubungan TVBN dengan TPC pada filet ikan gurami selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 27.
64
TVBN
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 13,217x - 48,675 R² = 0,959 TVBN Linear ( TVBN)
0
2
4
6
8
TPC
Gambar 27. Grafik hubungan TVBN dengan TPC pada filet ikan gurami selama penyimpanan Gambar 27. menunjukkan korelasi antara kadar TVBN dan TPC filet ikan gurami selama penyimpanan. Ini dapat dilihat pada nilai R2 yaitu 0.959 yang berarti bahwa korelasi antara TVBN dan TPC sangat kuat. Semakin tinggi kadar TVBN maka akan semakin banyak pula jumlah mikroba psikrofilik yang tumbuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Qiu et al. (2014), yang menyatakan bahwa nilai-nilai TVB-N dari sampel filet ikan akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan mikroorganisme, menunjukkan senyawa-senyawa dasar yang mudah
menguap
terutama
yang
dihasilkan
dari
aktivitas
metabolik
mikroorganisme pembusuk.
4.6
Perubahan Warna Film Indikator Ekstrak Antosianin Daun Erpa Selama Penyimpanan (Respon dari Kebusukan Filet Ikan Gurami) Dari penelitian ini diketahui bahwwa film indikator mengalami perubahan
warna yang jelas secara visual selama penyimpanan 36 jam dalam suhu ruang (28C). Perubahan warna film indikator sebagai respon dari kebusukan filet ikan gurami dapat dilihat pada Gambar 28. 65
JAM KE 0
JAM KE 24
JAM KE 6
JAM KE 12
JAM KE 30
JAM KE 36
JAM KE 18
Gambar 28. Perubahan warna film indikator sebagai respon dari kebusukan filet ikan gurami Gambar 28. menunjukkan bahwa film indikator dapat berubah warna seiring dengan kebusukan filet ikan gurami selama penyimpanan. Perubahan warna terjadi dari yang awalnya berwarna merah pada jam ke-0 berubah menjadi warna oranye kecoklatan pada jam ke-6, berwarna oranye pekat pada jam ke-12 dan berwarna oranye cerah pada jam ke-18. Kemudian pada jam ke-24 film indikator berubah menjadi warna oranye pudar kekuningan dan bewarna kuning keoranyenan pada jam ke-30. Selanjutnya terakhir berwarna kuning kehijauan pada jam ke-36. Berdasarkan kadar TVBN filet ikan gurami tidak aman untuk dikonsumsi pada jam ke-24 yaitu dengan kadar TVBN 31,715 mg/100 g dari batas maksimal 30 mg/100 g dan warna indikator berwarna oranye pudar kekuningan. Begitu juga jika dilihat dari jumlah TMA, TPC, dan nilai pH yang menunjukkan hasil bahwa filet ikan gurami dikatakan tidak aman untuk dikonsumsi pada jam ke-24 dengan nilai TMA, TPC, dan pH berturut-turut yaitu 12,595 mg/100 g dari batas maksimal 10 mg/100 g, 6,18 log dari batas maksimal 5,7 log. Cianti et al. (2013), menyatakan bahwa untuk menentukan tingkat kesegaran dari produk perikanan 66
dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran kadar TVBN, TMA, dan total bakteri. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa filet ikan gurami tidak aman untuk dikonsumsi (busuk) pada jam ke-24 dengan warna film indikator oranye pudar kekuningan.
4.7
Potensi Aplikasi Film Indikator Warna Ekstrak Daun Erpa Sebagai Kemasan Cerdas Film indikator
warna ekstrak daun erpa sangat
potensial untuk
diaplikasikan pada produk filet ikan. Film indikator warna ekstrak daun erpa dapat diaplikasikan dalam bentuk label yang ditempel
di bagian
dalam
kemasan filet ikan. Aplikasi film indikator warna ekstrak daun erpa ditempel dalam bentuk label bersamaan dengan pedoman warna film indikator, sehingga dapat di aplikasikan sebagai kemasan cerdas. Adanya pedoman warna pada film indikator dapat menjadi panduan bagi konsumen agar konsumen dapat melihat tingkat kerusakan produk hanya dengan melihat perubahan warna pada film indikator dan mencocokkannya dengan warna panduan. Panduan warna label indikator warna ekstrak daun erpa sebagai kemasan cerdas dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Panduan warna label indikator warna ekstrak daun erpa sebagai kemasan cerdas
67
5.
5.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah:
1.
Daun erpa (Aerva Sanguinolenta) memiliki kandungan total antosianin sebesar 71,47 mg/L.
2.
Ekstrak antosianin daun erpa dapat digunakan sebagai zat warna pada film indikator sebagai kemasan cerdas, karena ekstak antosianin daun erpa dapat berubah warna sesuai dengan kondisi kimia dan mikrobiologi dari lingkungan.
3.
Perubahan warna pada film indikator terjadi dari yang awalnya berwarna merah pada jam ke-0 berubah menjadi warna oranye kecoklatan pada jam ke-6, berwarna oranye pekat pada jam ke-12 dan berwarna oranye cerah pada jam ke-18. Kemudian pada jam ke-24 film indikator berubah menjadi warna oranye pudar kekuningan dan bewarna kuning keoranyenan pada jam ke-30. Selanjutnya terakhir berwarna kuning kehijauan pada jam ke-36.
5.2
Saran Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu, perlu dilakukan penelitian lebih
spesifik mengenai ekstrak antosianin daun erpa sehingga dapat tergali semua potensi dan fungsi yang ada di dalamnya. Kemudian juga perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan suhu refrigerasi atau beku karena mengingat produk perikanan dijual dalam bentuk dingin ataupun beku.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta : Kanisius. Afiesh.
2013.
Ikan
Gurame
gouramy).
(Osphronemus
http://afiesh.blogspot.com/2013/04/ikan-gurame-osphronemus-gouramy.html.
Diakses pada hari jumat, 8 juni 2018 pukul 03.00 WIB. Agustina, S., I. M. D. Swantara., dan I. N. Suartha. 2015. Isolasi Kitin, Karakterisasi, dan Sintesis Kitosan dari Kulit Udang. Jurnal Kimia. Vol. 9 (2) : 271-278.
Association of Official Analytical Chemyst (AOAC). 1995. Official Method of Analysis of The Association of Offial Analytical of Chemist. Arlington,: The Association of Official Analytical Chemyst, Inc. Arikunto, S. 1983. Prosedur Penelitian. Jakarta: Pt. Bina Aksara. Aryani, N., Azrita., A. Mardiah., dan H. Syandri. 2017. ,QÀXHQFH RI )HHGLQJ 5DWH RQ WKH Growth, Feed Effciency and Carcass Composition of the Giant Gourami (Osphronemus goramy). Pakistan. Journal Zoology. Vol. 49(5) : 1775-1781. Badan
Standardisasi Nasional. 2006. Syarat Ikan Segar-Bagian SNI 01-2729.1-2006. Jakarta : Standar Nasional Indonesia.
1:
Spesifikasi.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. Pengujian Nilai Organoleptik. SNI 01-2346.1-2006. Jakarta : Standar Nasional Indonesia. Badan Standarisasi Nasional. 2013. Kitosan ± Syarat Mutu dan Pengolahan. SNI 7949 : 2013. Jakarta : Standar Nasional Indonesia. Hal. 1-14. Badan Standarisasi Nasional. 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur dan susu, serta hasil olahannya. SNI 2897 : 2008. Jakarta :. Standar Nasional Indonesia Hal. 2-6. Buttler, B. L., P. J. Vergano., dan R.F Testin. 1996. Mechanical and barrier properties of edible chitosan films as affected by composition and storage. Journal Food Science. Vol. 61(5) : 953 - 955. Cianti, L., C. Lorini., F. Santomauro., P. Bavazzano., A. Perico., A. Colzi., and G. Bonaccorsi. 2013. An Evaluation of Fish Freshness a Proposal for a New Index. Ital. Journal Food Science. Vol. 25 : 339-344. Dalgaard, P. 1995. Qualitative and Quantitative Characterization of Spoilage Bacteria from Packed Fish. International Journal of Food Microbiology. Vol. 26 : 319-333.
Darwono.
2016.
Beras
Plastik
Bekas. http://theholisticleadership.blogspot.com/2016/02/beras-plastik-bekas.html?m=1. Diakses pada hari jumat 8 juni 2018 pukul 03.46 WIB.
Day, B. P. F. 2008. Active Packaging of Food. In : Smart Packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods. Willey John (Eds). 75-96, England John Wiley & Sons Ltd.
69
Eskin, N. A. M. 1990. Biochemistry of Food Second Edition. San Diego: Academic Press, Inc. Eskin, N. A. M., dan D. S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability : Chemical, Biochemical, Microbiological Changes. Washington DC : CRC Press.
Fachry, A. R., dan A. Sartika. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang Dan Limbah Kulit Ari Singkong Sebagai Bahan Baku Pembuatan Plastik Biodegradable. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 18(3) : 1-9.
Farber, L. 1965. Freshness test. In Fish As Food. Borgstrom G (Editor). New York: Academic Press. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Farha, I. F., dan N. Kusumawati. 2012. Pembuatan Membran Komposit Kitosan-PVA dan Pemanfaatannya pada Pemisahan Limbah Pewarna Rhodamin-B. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa. Hal. 69-75.
Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Qulaity Changes in Fresh Fish. Huss HH (Editor). Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nation. Hal. 348 Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Yogyakarta: Liberty. Hartatik, Y. D., L. Nuriyah., dan Iswarin. 2011. Pengaruh Komposisi Kitosan terhadap Sifat Mekanik dan Biodegradable Bioplastik. Jurnal Fisika FMIPA Universitas Brawijaya Malang. Hayati, E. K., U.S. Budi., dan R. Hermawan. 2012. Konsentrasi Total Senyawa Antosianin Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa L.) : Pengaruh Temperatur dan Ph. Jurnal Kimia. Vol. 6(2) : 138-147. Hernandez, M.D., M. B. Lopez., A. Alvarez., E. Ferrandini, B. G. Garcia., and M. D. Garrido. 2009. Sensory, physical, chemical and microbiological changes in aquacultured meagre (Argyrosomus regius) fillets during ice storage. Food Chemistry. Vol. 114 : 237±245. Hodgkinson, N., dan M. Taylor. 2000. Thermoplastic poly (vinyl alcohol) (PVOH). Journal Material World. Vol. 1(8) : 24-25. Huri, D., dan F.C. Nisa. 2014. Pengaruh Konsentrasi Gliserol dan Ekstrak Ampas Kulit Apel Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Edible Film. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 2(4) : 29-40. Ilham., Hardoko., dan B. B. Sasmito. 2018. Pengaruh pH dan Lama Ferementasi Kitosan dengan Trichoderma viride Terhadap Produksi Glukosamin. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya Malang.
Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan Jilid 1. Teknik Pendinginan Ikan. Jakarta: CV. Paripurna. Inggrid, H. M., dan H. Santoso. 2015. Aktivitas Antioksidan dan Senyawa Bioaktif Dalam Buah Stroberi. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan. 70
Irianto, H. E., dan S. Giyatmi. 2014. Prinsip Dasar Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Modul Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hal. 1-52. Jabarsyah, A. 2015. Perbedaan Laju Perkembangan Rigor Mortis Beberapa Jenis Ikan. Jurnal Harpodon Borneo Tarakan. Khalafalla, F. A., F. H. M. Ali., and A. R. H. A. Hassan. 2015. Quality improvement and shelflife extension of refrigerated Nile tilapia (Oreochromis niloticus) fillets using natural herbs. Beni-suefuniversity Journal of Basic nad Appiled Science. Vol 4 : 33-40.
Kristoffersen, S., T. Tobiassen., M. Esaiassen., G.B. Olsson., L.A. Godvik., M.A Seppola ., dan R. Olsen. 2006. Effects of pre-rigor filleting on quality aspects of Atlantic cod (Gadus morhua L.). Aquaculture Research 37: 1556-1564. Kwaadsteniet, M. D., K.T. Doeschate., dan L.M.T. Dicks. 2008. Characterization of the structural gene encoding Nisin F, a new lantibiotic produced by a Lactococcus lactis subsp. lactis isolate from freshwater catfish (Clarias gariepinus). Applied and Environmental Microbiology. Vol. 74(2) : 547±549. Liviawaty, E., dan E. Afrianto. 2014. Penentuan Waktu Rigor Mortis Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) Berdasarkan Pola Perubahan Derajat Keasaman. Jurnal Akuatika. Vol. 1(1) : 40-44. ISSN 0853-2532. Mega, O., Warnoto dan D. B. Castika. 2009. Pengaruh Pemberian Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc) Terhadap Karakteristik Dendeng Daging Ayam Petelur Afkir. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu. Hal. 106 ± 112. Moeksin, R., dan S. Ronald. 2009. Pengaruh Kondisi, Perlakuan dan Berat Sampel Terhadap Ekstraksi Antosianin dari Kelopak Bunga Rosela dengan Pelarutaquadest dan Etanol. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 16(4) : 11-18. Nirmala, K., Y. Hadiroseyani., dan R. P. Widiasto. 2012. Penambahan Garam dalam Air Media yang Berisi Zeolit dan Arang Aktif pada Transportasi Sistem Tertutup Benih Ikan Gurami (Osphronmus goramy Lac.). Jurnal Akuakultur Indonesia. Vol. 11(2) : 190-201. Noviadji, B. R. 2014. Desain Kemasan Tradisional dalam Konteks Kekinian. Jurnal Fakultas Desain. Vol. 1(1) : 10-21. Ojagh. S. M., M. Rezaei., S. H. Razavi., and S. M. H. Hosseini. 2010. Effect of chitosan coatings enriched with cinnamon oil on the quality of refrigerated rainbow trout. Food Chemistry. Vol. 120 : 193±198. Pacquit, A., J. Frisby., D. Diamond., K. T. Lau., A. Farrell., B. Quilty., and D. Diamond. 2007. Development of a Smart Packaging for The Monitoring of Fish Spoilage. Talanta. Vol. 102(2) : 466-470. Pacquit, A., K. T. Lau., H. McLaughlin., J. Frisby., B. Quilty., and and D. Diamond. 2006. Development of a Volatile Amine Sensor for The Monitoring of Fish Spoilage. Talanta. Vol. 69 : 515-520.
Pacquit, A., K. Crowley., dan D. Diamond. 2008. Smart Packaging Technologies for Fish and Seafood Products. In : Smart Packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods. Willey John (Eds): 75-96, England : John Wiley & Sons Ltd. 71
Pandit, I. G. S., N. T. Suryadhi., I. B. Arka., dan N. Adiputra. 2008. Pengaruh Peyiangan dan Suhu penyimpanan Terhadap Mutu Kimiawi, Mikrobiologi dan Organoleptik Ikan Tongkol (Auxis tharzard, Lac). Fakultas Pertanian Universitas Marwadewa. Progam Pascasarjana Universitas Udayana. Peterson, J. 2007. Cooking : Fish. London : Ten Speed Press. Hal. 265-269. Pifferi. P. G., A. and A. Vaccari 1983. The Anthocyanins of Sunflower : II a Study of The Extraction Process. Journal of Food Technology. Vol. 18. Hal. 629. Prasetyo, A. E., A. Widhi., dan Widayat. 2012. Potensi Gliserol dalam Pembuatan Turunan Gliserol Melalui Proses Esterifikasi. Jurnal Ilmu Lingkungan Vol. 10(1) : 26-31. Pratama, F. 2015. Analisa Hasil Pertanian (PTH 243). Penuntun Praktikum Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Hal. 20-22. Purwani, E., dan S. W. N. Hapsari. 2011. Pengaruh Ekstrak Jahe (Zingiber officinale) Terhadap Penghambatan Mikroba Perusak pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Kesehatan. Vol. 4(1) : 80-91. Purwanti, A. 2010. Analisis Kuat Tarik dan Elongasi Plastik Kitosan Terplastisasi Sorbitol. Jurnal Teknologi. Vol. 3(2) : 99-106. Purwanti, A., dan M. Yusuf. 2013. Upaya Peningkatan Kelarutan Kitosan dalam Asam Asetat dengan Melakukan Perlakuan Awal pada Pengolahan Limbah Kulit Udang Menjadi Kitosan. Seminar Nasional : Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi. Hal. 198202. Poeloengasih, C. D., dan D. W. Marseno. 2003. Karakteristik Edible Film Komposit Protein Biji Kecipir dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. 14(3) : 224-232. Qiu, X., S. Chen., G. Liu., and Q. Yang. 2014. Quality enhancement in the Japanese sea bass (Lateolabrax japonicas) fillets stored at 4 C by chitosan coating incorporated with citric acid or licorice extract. Food Chemistry 162 : 156±160. Rahardjo, K. K. E., dan S. B. Widjarnako. 2015. Biosensor pH Berbasis Antosianin Stoberi dan Klorofil Daun Suji Sebagai Pendeteksi Kebusukan Fillet Daging Ayam. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3(2) : 333-344. Respati, H., dan Santoso, B. 1993. Petunjuk Praktis Budi Daya Ikan Gurami. Yogyakarta : Kanisius. Rio.
2016. Alam Anggrek. Erpah. http://alamanggrek.blogspot.com/2016/07/erpah.html?m=1. Diakses pada hari jumat 8 juni 2018 pukul 03.52 WIB.
Ritonga, M. J. 2005. Riset Kehumasan. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia. Robertson, G. L. 2006. Food Packaging ± Principles and Practice. Second edition, CRC Press, Boca Raton, FL, USA. Rogers, J. F., R. C. Cole., dan J. D. Smith. 2004. An illustrated guide to fish preparation tropical product. Insitute London. Saanin, Hasanuddin. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Binacipta. Bandung. Hal. 24-39.
72
Santoso, W. E. A., dan T. Estiasih. 2014. Kopigmentasi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas Var.Ayamurasaki) dengan Kopigmen Na-Kaseinat Dan Protein Wheyserta Stabilitasnya Terhadap Pemanasan. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 2(4) : 121127. Saputra, E., dan Nurhayati, T. 2014. Teknik Pengawetan Fillet Ikan Nila Merah dengan Senyawa Anti Bakteri Asal Lactobacillus Acidophilus dan Bacteria Bifidum. ComTech. Vol. 5(2) : 1021-1030. Saputra, E., K. H. Pramono., A. A. Abdillah., M. A. Alamsjah. 2015. An Edible Film Characteristic of Chitosan Made from Shrimp Waste as a Plasticizer. Journal of Natural Sciences Research. Vol. 5(4) : 118-124. Sarastani, D.,S. T. Soekarto., T. R. Muchtadi., D. Fardiaz., dan A. Apriyantono. 2002. Aktivitas Antioksidan Ekstrak dan Fraksi Ekstrak Biji Atung (Parinarium glaberrimum Hassk.). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. 8(2) : 149-156. Schonberger, H., A. Maumann., W. Keller. 1997. Study of Microbial Degradation of Polyvinyl Alcohol (PVA) in Wastewater Treatment Plants. Jerman : American Dyestuff Reporter. Hal. 364-372. Seafast Center. 2012. Merah-Ungu Antosianin. Pewarna Alami Untuk Pangan. Kajian Bahan Pewarna Alami. Hal. 23-43. Septiana, A. T., dan A. Asnani. 2012. Kajian Sifat Fisikokimia Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum Duplicatum Menggunakan Berbagai Pelarut dan Metode Ekstraksi. AGROINTEK. Vol. 6(1) : 22-28. Sheftel, V. O. 2000. Indirect Food Additives and Polymer : Migration and Toxicology. Boca Raton London New York Washington, DC : Lewis Publisher. Hal. 736-737. Shit, S. C., dan P. M. Shah. 2014. Edible Polymers: Challenges and Opportunities. Journal of Polymer. Hal. 1-13. Silva, J. L., G. R. Ammerman., dan S. Dean. 2001. Processing channel catfish. SRAC Publication No.183. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Suardi, Didi. 2015. Potensi Beras Merah untuk Peningkatan Mutu Pangan. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 24(3) : 93-100. Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Sukmadinata, N. S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya. Sulistiyati, T. D., dan E. Suprayitno. 2014. Influence of Freezing and Pasteurization of The Physical Condition of The Plastik (PE, PP, and HDPE) as Selar Fish Packaging (Selaroides leptolepis) in Sendang Biru, Malang, East Java, Indonesia. Journal of Biodiversity and Environmental Sciences (JBES). Vol. 5(6) : 282-288. Suptijah, P., Y. Gushagia., dan D. R. Sukarsa. 2008. Kajian Efek Daya Hambat Kitosan Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangasius Hypopthalmus) Pada Penyimpanan Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol. 11(2) : 89-101. Susanto, H. 1989. Budidaya Ikan Gurame. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 11-16. 73
Suzery, M., S. Lestari., dan B. Cahyono. 2010. Penentuan Total Antosiain dari Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus Sabdariffa L) dengan Metode Maserasi dan Sokshletasi. Jurnal Sains dan Matematika (JSM). Vol. 18(1) : 1-6. Tingting, L., L. Jianrong ., H. Wenzhong., and L. Xuepeng. 2013. Quality Enhancement in Refrigerated Red Drum (Sciaenops ocellatus) Fillets using Chitosan Coating Containing natural Preservatives. Food Chemistry. 138: 821±826. Trisnawati, E., D. Andesti., dan A. Saleh. 2013. Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Kepiting Sebagai Bahan Pengawet Buah Duku Dengan Variasi Lama Pengawetan. Jurnal Teknik Kimia. Vol. 19(2) : 17-26. Warsiki, E., R. Nofrida., dan I. Yuliasih. 2013. Pemanfaatan Ekstrak Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) untuk Label Cerdas Indikator Warna. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). Vol. 18(1) : 15-19.
74