SKENARIO 2 BENJOLAN DI LEHER Seorang laki-laki 30 tahun datang ke poliklinik RS YARSI dengan keluhan timbul benjolan di leher kanan. Teraba atau diketahui oleh pasien sejak 3 minggu sebelumnya. Awalnya benjolan sebesar kacang tanah dan semakin membesar 1 minggu terakhir dengan ukuran sebesar telur puyuh. Demam, sering keringat malam hari dan penurunan berat badan (dari 65kg menjadi 50 kg) dialami oleh pasien. Tidak terdapat nyeri atau kesulitan menelan. Berdasarkan pemeriksaan dokter, disebut kemungkinan pembengkakakan kelenjar getah bening dan perlu dilakukan tindakan biopsi. Setelah dibiopsi didapatkan hasil pemeriksaan Patologi dengan suatu keganasan dengan sel dominan limfosit.
Pertanyaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1. Mengapa makin lama benjolan makin membesar? 2. Mengapa timbul demam dan keringat malam hari? 3. Mengapa tidak terdapat nyeri dan kesulitan menelan? 4. Mengapa benjolan hanya ada di leher kanan? 5. Mengapa berat badan pasien menurun? 6. Mengapa pada pemeriksaan patologi ditemukan sel dominan limfosit? 7. Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit tersebut? 8. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan selain biopsi? 9. Apa diagnosis kasus ini? 10. Apa tatalaksana pada penyakit ini?
Jawaban 1&6. Karena ada infeksi sehingga produksi limfosit meningkat → KGB membesar. 2. Sering berkeringat disebabkan karena hasil akhir dari metabolisme karbohidrat dan demam karena terkena virus. 3. Tidak nyeri karena belum mengenai saraf. Tidak sulit menelan karena benjolan tidak mengenai esofagus. 4. Karena belum terjadi metastasis. 5. Berat badan menurun karena sel kanker mengambil energi dari karbohidrat. 7. Genetik, paparan kimia, virus EBV, defisiensi imun, paparan lingkungan. 8. CT SCAN, USG, pemeriksaan darah, limfangiografi. 9. Limfoma maligna. 10. Kemografi, radiografi, immunografi.
Hipotesis Faktor resiko seperti genetik, paparan kimia, virus EBV, defisiensi imun, dan paparan lingkungan dapat menyebabkan limfoma maligna. Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu benjolan tanpa nyeri serta tidak adanya kesulitan menelan karena tidak mengenai saraf dan tidak terjadi di esofagus, demam karena terjadi infeksi, keringat malam karena hasil dari metabolisme karbohidrat, serta berat badan yang menurun karena sel kanker mengambil energi dari metabolisme tubuh. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis yaitu CT scan, USG, pemeriksaan darah, limfangiografi dan pemeriksaan patologi yang ditemukan limfosit dominan karena terjadi infeksi. Tatalaksana yang dapat diberikan adalah kemografi, radiografi, dan immunografi.
SASARAN BELAJAR LI 1 MM Limfoma Maligna LO 1.1 Definisi LO 1.2 Etiologi LO 1.3 Epidemiologi LO 1.4 Klasifikasi LO 1.5 Patofisiologi LO 1.6 Manifestasi Klinis LO 1.7 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding LO 1.8 Tatalaksana LO 1.9 Komplikasi LO 1.10 Prognosis LO 1.11 Pencegahan
LI 1 MM Limfoma Maligna 1.1 Definisi Limfoma merupakan penyakit keganasan yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem limfatik dan imunitas tubuh. Limfoma terjadi akibat dari adanya pertumbuhan yang abnormal dan tidak terkontrol dari sel sistem imun yaitu limfosit. 1.2 Etiologi Faktor risiko Limfoma : 1. Usia Sebagaian besar Limfoma Hodgkin terjadi pada orang yang berusia 15-30 tahun dan usia diatas 55 tahun. Sedangkan Limfoma Non Hodgkin akan meningkat seiring usia, khususnya pada orang berusia lanjut, yaitu diatas 60 tahun 2. Faktor Genetik Risiko untuk terkena limfoma akan meningkat pada orang yang memiliki anggota keluarga inti (ayah, ibu, atau saudara kandung) 3. Pernah tertular virus Epstein-Barr Virus ini menyebabkan demam kelenjar. Orang yang pernah mengalami demam kelenjar lebih berisiko terkena Limfoma Hodgkin 4. Imunodefisiensi 5. Jenis Kelamin Limfoma lebih banyak menyerang pria ketimbang wanita 6. Paparan Kimia Beracun. [infodantin-limfoma] Limfoma Hodgkin (LH) Penyebab pasti dari limfoma Hodgkin (LH) hingga saat ini masih belum jelas diketahui namun beberapa faktor, seperti 1. Paparan infeksi virus 2. Faktor keluarga 3. Keadaan imunosupresi diduga
Limfoma Non Hodgkin (LNH) Pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit yang abnormal yang akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak terkontrol akibat : 1. Faktor keturunan 2. Kelainan sistem kekebalan
memiliki keterkaitan dengan 3. infeksi virus atau bakteria terjadinya LH. (HIV, HCV, EBV, 4. Pada 70% atau sepertiga dari Helicobacter Sp) kasus LH yang pernah 4. Toksin lingkungan dilaporkan di seluruh dunia (herbisida, pengawet dan menunjukkan adanya pewarna kimia). keterlibatan infeksi virus Pembelahan yang tak terkendali dari Epstein Barr (EBV) pada sel limfosit B dan T akibat mutasi sel Reed-Sternberg. [Robbins Basic menjadi sel ganas. [infodantin-limfoma] Pathology]
1.3 Epidemiologi Menurut data GLOBOCAN (IARC) tahun 2012, limfoma merupakan salah satu dari sepuluh penyakit kasnker terbanyak di dunia pada 2012. Limfoma pada penduduk laki-laki lebih tinggi dibandingkan penduduk perempuan. Baik penduduk laki-laki dan perempuan lebih banyak yang terkena Limfoma NonHodgkin, yaitu sebesar 6% pada penduduk laki-laki dan 4,1% pada penduduk perempuan, dibandingkan dengan Limfoma Hodgkin, yaitu sebesar 1,1% pada penduduk laki-laki dan 0,7% pada penduduk perempuan. Kematian akibat Limfoma Non-Hodgkin dan Limfoma Hodgkin cukup tinggi, yaitu mencapai setengah dari presentase kasus baru. Oleh karena itu, diperlukan deteksi dan penanganan lebih awal sehingga kemungkinan sembuh akan lebih besar dan dapat menekan jumlah kematian akibat limfoma.
1.4 Klasifikasi LIMFOMA HODGKIN Klasifikasi limfoma Hodgkin (LH) yang umum digunakan hingga saat ini yaitu klasifikasi histologik menurut REAL (Revised American Euro-pean Lymphoma)
dan WHO (World Health Organization) yang menglasifi-kasikan LH ke dalam 5 tipe. LH tipe nodular sclerosing.
LH tipe mixed cellularity.
LH tipe nodular sclerosing adalah tipe LH yang paling sering dijumpai, baik pada penderita pria ataupun wanita, terutama pada para remaja dan dewasa muda. LH tipe ini memiliki kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di supraklavikula, servikal dan mediastinum. Karakteristik histologik dari LH tipe nodular sclerosing adalah Adanya variasi dari sel Reed Stenberg yaitu sel lakuna yang merupakan sebuah sel besar yang memiliki sebuah inti multilobus, anak inti yang kecil dan multipel serta sitoplasma yang melimpah dan pucat Adanya fibrosis dan sklerosis yang luas dengan pita kolagen yang membagi jaringan limfoid ke dalam nodul-nodul berbatas dengan infiltrat seluler yang mengandung limfosit, eosinofil, histiosit dan sel lakuna. [Robbins Basic Pathology]
LH tipe mixed cellularity adalah tipe LH yang paling sering terjadi pada anak-anak dan penderita yang berusia ≥ 50 tahun serta mencangkup 25% dari keseluruhan kasus LH yang dilaporkan. Pria lebih dominan untuk menjadi penderita
dibandingkan dengan wanita dan LH tipe ini memiliki kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di abdomen dan limpa. Karakteristik histologik dari LH tipe mixed cellularity adalah sel Reed Sternberg yang berlimpah di dalam infiltrat inflamasi heterogen yang mengandung limfosit berukuran kecil, eosinofil, sel plasma dan makrofag. LH tipe ini juga yang paling sering menunjukkan manifestasi sistemik dibandingkan dengan tipetipe lainnya. [Robbins Basic Pathology]
LH tipe lymphocyte depleted.
LH tipe lymphocyte depleted merupakan tipe LH yang paling jarang dijumpai dan hanya mencangkup kurang dari 1% dari keseluruhan kasus LH namun merupakan tipe LH yang paling agresif dibandingkan dengan tipe LH lainnya. LH tipe ini paling sering terjadi pada penderita dengan usia yang sudah lanjut dan seringkali dihubungkan dengan infeksi virus HIV/AIDS. Infiltrat pada LH tipe ini lebih sering tampak difus dan hiposeluler sedangkan sel Reed Sternberg hadir dalam jumlah yang besar dan bentuk yang bervariasi. LH tipe lymphocyte depleted dapat dibagi menjadi subtipe retikuler dengan sel Reed Sternberg yang dominan dan sedikit limfosit serta subtipe fibrosis difus di mana
LH tipe lymphocyte rich.
LH tipe nodular lymphocyte predominant.
kelenjar getah bening digantikan oleh jaringan ikat yang tidak teratur dan dijumpai sedikit sel limfosit dan sel Reed Sternberg. [Hematologi Klinik Ringkas: EGC] LH tipe lymphocyte rich mencangkup kurang dari 5% dari keseluruhan kasus LH. Karakteristik histologic dari LH tipe ini adalah adanya sel Reed Sternberg dengan latar belakang infiltrat sel limfosit serta sedikit eosinofil dan sel plasma yang dapat berpola difus atau noduler. [Hematologi Klinik Ringkas: EGC] LH tipe nodular lymphocyte predominant mencangkup sekitar 5% dari keseluruhan kasus LH. Karakteristik histologik dari LH tipe ini yaitu adanya variasi sel Reed Sternberg limfohistiositik (L & H) yang memiliki inti besar multilobus yang halus dan menyerupai gambaran berondong jagung (pop-corn). Sel Reed Sternberg L & H biasanya ditemukan di dalam nodul besar yang sebagian besar dipenuhi oleh sel B limfosit kecil yang bercampur dengan makrofag sedangkan sel-sel reaktif lainnya seperti eosinofil, neutrophil dan sel plasma jarang ditemukan. Varian sel ini juga biasanya tidak menghasilkan CD30 dan CD15 seperti sel Reed Sternberg pada umumnya melainkan menghasilkan CD20. [Robbins Basic Pathology]
LIMFOMA NON HODGKIN
Penggolongan histologik Limfoma Non Hodgkin merupakan masalah yang rumit. Perkembangan terkhir klasifikasi yang banyak digunakan dan diterima oleh pusatpusat kesehatan adalah berdasarkan /WHO terbaru (2008). B Cell Neoplasm Precursor B-cell neoplasm Precursor B-Acute Lymphoblastic Leukemia/lymphoblastic lymphoma Peripheral B-cell neoplasms B-cell chronic lymphocytic leukemia/small lymphocytic lymphoma B-cell prolymphocytic leukemia Lymphoplasmacytic lymphoma Mantle cell lymphoma Follicular lymphoma Extranodal marginal zone B-cell lymphoma or MALT type Nodal marginal zone B-cell lymphoma Splenic marginal zone lymphoma Hairy cell leukemia Plasmacytoma/ plasma cell myeloma Diffuse large B-cell lymphoma Burkitt’s lymphoma T Cell and putative NK Cell Neoplasm Precursor T-cell neoplasms Precursor T Acute Lymphoblastic Leukaemia/Lymphoblastic Lymphoma Peripheral T Cell and NK Cell Neoplasm T Cell chronic lymphocytic leukemia/prolymphocytic leukemia T-cell granular lymphocytic leukaemia Mycosis fungoides / Sézary syndrome Peripheral T-cell lymphoma, not otherwise characterized Hepatosplenic gamma/delta lymphoma Subcutaneous panniculitis-like T-cell lymphoma Angioimmunoblastic T-cell lymphoma Extranodal NK/T cell lymphoma, nasal type Enteropathy-type intestinal T-cell lymphoma Adult T-cell leukaemia/lymphoma Anaplastic large-cell lymphoma primary systemic type Anaplastic large-cell lymphoma primary cutaneus type M.Aggressive NK cell leukaemia Perbedaan Limfoma Hodgkin dan Non Hodgkin
Limfoma Hodgkin Lebih sering terbatas pada satu kelompok kelenjar getah bening axial (leher, mediastinum, para aorta) Penyebaran secara berurutan pada kelenjar getah bening yang berdekatan Kelenjar getah bening mesenterium dan cicin waldeyer jarang terkena Sistem kelenjar ekstranodal jarang terkena
1.5 Patofisiologi LIMFOMA HODGKIN
Limfoma Non Hodgkin Lebih sering mengenai kelenjar getah bening perifer secara multiple Penyebaran tidak bersifat berurutan pada kelenjar berdekatan Kelenjar getah bening mesenterium dan cincin waldeyer lazim terkena Sistem kelenjar ekstranodal lazim terkena
Ekspresi gen dari EBV diduga memicu terjadinya transformasi dan pemrograman ulang dari sel-B limfosit menuju salah satu fenotif LH. Pada saat terjadinya infeksi primer, EBV akan masuk dalam fase laten di dalam memori sel-B limfosit sehingga EBV mampu bertahan sepanjang masa hidup sel-B limfosit. EBV kemudian mengkode produk gen EBNA-1 dan LMP-1 yang diduga berperan dalam proses transformasi memori sel-B limfosit. Produk-produk gen ini bekerja pada jalur sinyal intraseluler di mana EBNA-1 bekerja secara langsung de-ngan memberikan umpan negatif pada ek-spresi gen penekan tumor dan me-ningkatkan perkembangan tumor melalui umpan positif pada CCL22 yang kemudian memromosikan aktivasi sel-B limfosit. Pada saat yang bersamaan, produk gen LMP-1 meniru sinyal yang dihasilkan oleh CD40 yang bekerja untuk mengaktifkan jalur sinyal NF-kB, p38, PI3K, AP1 dan JAK-STAT dalam memromosikan kelangsungan hidup sel-B limfosit. Infeksi EBV juga diduga menjadi penyebab dari terjadinya mutasi genetik pada gen Ig yang mengkode reseptor sel-B limfosit di mana EBV kemudian mengkode gen LMP-2 yang mampu memrogram ulang sel-B limfosit matur menuju salah satu fenotif LH dan mencegah terjadinya proses apoptosis melalui aktivasi sinyal penyelamatan pada pusat germinal sel-B limfosit. Akibat dari adanya serangkaian proses tersebut di atas menyebabkan terjadinya ekspansi klonal yang tidak terkontrol dari sel-B limfosit yang kemudian akan mensekresikan berbagai sitokin, seperti IL-5 yang akan menarik dan mengaktivasi eosinofil dan IL-13 yang dapat menstimulasi sel Reed-Sternberg lebih lanjut untuk mengekspresikan CD30 (Ki-1) dan CD15 (LeuM1). CD30 merupakan penanda aktivasi limfosit yang diekspresikan oleh sel-sel jaringan limfoid yang reaktif dan ganas, sedangkan CD15 merupakan penanda dari granulosit, mo-nosit dan sel-T limfosit yang teraktivasi yang dalam keadaan normal tidak diekspresikan oleh sel-B limfosit. Orang dengan riwayat keluarga pernah menderita LH, terutama saudara kembar dan orang dengan gangguan sistem imun, seperti penderita HIV/AIDS juga memiliki resiko yang tinggi untuk menderita LH.
1.6 Manifestasi Klinis Limfoma Hodgkin
Pasien biasanya mengalami adenopati yang tidak sakit terlokalisasi pada leher. Mediastinum dapat terserang (~2/3). (Harrison’s Handbook). Penyakit ini di awali pada nodus limfatik superfisial yang membesar, selanjutnya dapat menyebar pada struktur limfoid maupun non-limfoid. 1. Pasien ditemukan dengan limfadenopati mobile yang tidak sakit. Bagian leher dan mediastinum menjadi tempat yang sering terlibat. Pada pemeriksaan radiologi pada dada, jika ditemukan mediastinal shadow lebih dari 1/3, keterlibatan mediastinum diperkirakan besar. Daerah lymph node lain yang dapat terlibat bisa pada axila, inguinal, dan abdomen. 2. Diperkirakan
setengah
dari
pasien
mengalami
splenomegaly.
Hepatomegaly juga dapat terjadi 3. Gejala “B” diperkirakan terjadi pada 25-40%, gejala ini termasuk demam, penurunan berat badan (>10%) yang signifikan, keringat malam. 4. Gejala lain yang dapat terjadi dapat berupa, fatigue, pruritus, dan anemia. Pada stadium lanjut, LH dapat ditemukan pada liver, paru, traktus digestivus, dan CNS. Saat mengonsumsi alcohol, pasien dapat mengalami nyeri pada lymph node. Staging Ann Arbor Staging Untuk menentukan stadium dibutuhkan pemeriksaan diagnostic tambahan seperti: 1. Pemeriksaan fisik yang detil, termasuk lokasi nodus yang terlibat dan splenomegali. 2. Pemeriksaan radiologi dada untuk mengeluarkan keterlibatan dari mediastinum, pleura dan parenkim paru. 3. CT scan abdomen dan pelvis. 4. Riwayat gejala “B”.
5. Evaluasi hitung darah komplit, tes fungsi ginjal dan hati. 6. Biopsy sumsum tulang bilateral. 7. Histopatologi yang menentukan tipe penyakit dari Hodgkin.
Stage I (A or B)
I
Keterlibatan dari satu nodus regional
IE
Keterlibatan dari satu organ atau letak yang ekstralimfatik.
Stage II (A or B)
II
Keterlibatan dari dua atau lebih nodus regional pada sisi yang sama dari diafragma
IIE
atau dengan keterlibatan yang menular dari organ atau letak yang ekstra-nodul
Stage III (A or B)
III
Keterlibatan nodus regional pada kedua sisi diafragma.
IIIE
Dengan keterlibatan lokasi atau organ diluar ekstranodal
IIIS
Dengan keterlibatan spleen/limpa
IIIES Terdapat IIIE dan IIIS Stage IV (A or B)
IV
Mengani 1 organ ekstra limfatik, atau lebih tapi secara difus
A:
asimtomatik,
B:
gejala
konstitusional,
E:
keterlibatan
ekstranodus, S: splenomegaly)
Limfoma Non-hodgkin a. Demam, keringat malam, penurunan BB lebih jarang terjadi b. Ada keterlibatan orofaring, 5-10% pasien timbul di limfoid orofaring (cincin Waldeyer). c. Hepatosplenomegali d. Dapat mengenai organ lain seperti sumsum tulang, kulit, sal. Cerna, tulang, paru, chorda spinalis, otak dapat terkena sebagai komplikasi tingkat lanjut.
1.7 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding LIMFOMA HODGKIN ANAMNESIS a) Gejala konstitusional yang terdiri atas: Simtom B yang terdiri atas penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan terakhir, demam lebih dari 38 de-rajat Celcius dan berkeringat di malam hari Demam Pel-Ebstein yaitu demam tinggi selama 1 sampai 2 minggu lalu terdapat periode afebril selama 1 sampai 2 minggu kemudian demam tinggi muncul kembali. Pruritus yaitu rasa gatal pada sebagian atau seluruh tubuh. Rasa nyeri yang timbul di daerah limfa setelah meminum alkohol b) Nyeri dada, batuk, sesak napas serta nyeri punggung atau nyeri tulang. c) Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama, terutama pada LH tipe nodular sclerotic. PEMERIKSAAN FISIK a) Limfadenopati asimptomatik, yaitu pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, biasanya asimetrik dengan konsistensi yang padat kenyal seperti karet. Adapun predileksi kelenjar getah bening yang biasanya terlibat, yaitu leher (60-70%), axila (10-15%), inguinal (6-12%), mediastinum (6-11%), hilus paru, kelen-jar para-aorta dan retro-peritoneal. b) Splenomegali dan hepatomegali tetapi jarang bersifat masif. c) Sindrom superior vena cava dengan tanda dan gelajanya berupa distensi pada vena leher dan dinding dada, edema pada wajah dan ekstremitas atas, sesak napas dan sakit kepala pada penderita de-ngan limfadenopati mediastinum yang bersifat masif PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan hematologik, dapat ditemukan adanya anemia, neutrofilia, eosinofilia, limfopenia, serta laju endap darah dan LDH (lactate dehydrogenase serum) yang meningkat pada pemeriksaan darah lengkap. b) Pemeriksaan pencitraan, dapat ditemukan gambaran radiopaque dari nodul unilateral atau bilateral yang berbatas tidak tegas atau tegas serta konsolidasi pada pemeriksaan foto polos dada proyeksi Posterior Anterior (PA); gambaran hiperdens dari massa jari-ngan lunak multipel akibat agregasi nodul pada pemeriksaan CT scan dengan kontras di daerah thorax, abdomen atau pelvis. c) Pemeriksaan histopatologik, dapat ditemukan adanya sel Reed Sternberg dengan latar belakang sel radang pleomorf pada pemeriksaaan biopsi kelenjar getah bening. d) Pemeriksaan imunohistokimia, dapat ditemukan penanda CD15, CD20 atau CD30 pada sel Reed Sternberg. e) Pemeriksaan lainnya, seperti tes fungsi hati, ginjal dan paru, ekokardiografi dan eletrokardiografi digunakan untuk mengetahui a-danya tanda dan gejala keterlibatan organ lainnya selain kelenjar getah bening serta tes kehamilan pada penderita wanita muda Staging Limfoma Hodgkin (LH) berdasarkan Kritera Ann Arbor
LIMFOMA NON HODGKIN
ANAMNESIS Anamnesis Umum: Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ Malaise umum Berat badan menurun 10% dalam waktu 3 bulan Demam tinggi 38°C selama 1 minggu tanpa sebab Keringat malam Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar) Penggunaan obat-obatan tertentu Anamnesis Khusus: Penyakit autoimun (SLE, Sjorgen, Rheuma) Kelainan Darah Penyakit Infeksi (Toxoplasma, Mononukleosis, Tuberkulosis, Lues, dsb) PEMERIKSAAN FISIK Pembesaran KGB
Kelainan/pembesaran organ Performance status: ECOG atau WHO/karnofsky
PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Biopsi: 1) Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang paling representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal. Spesimen kelenjar diperiksa: Rutin: Histopatologi: sesuai kriteria REAL-WHO Khusus Imunohistokimia 2) Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK, Flowcytometri dan lain-lain) mungkin mencukupi untuk diagnosis
3) Tidak diperlukan penentuan stadium dengan laparotomi B. Laboratorium: 1) Rutin Hematologi: Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED, hitung jenis Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah Analisis urin : urin lengkap Kimia klinik: SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total, albumin-globulin Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin Gula Darah Sewaktu Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg) 2) Khusus Gamma GT Serum Protein Elektroforesis (SPE) Imunoelektroforesa (IEP) Tes Coomb B2 mikroglobulin C. Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina illiaca dengan hasil spesimen 1-2 cm D. Radiologi Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT Scan thorak/abdomen. Bila hal ini tidak memungkinkan, evaluasi sekurangkurangnya dapat dilakukan dengan : Toraks foto PA dan Lateral dan USG seluruh abdomen. E. Konsultasi THT Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi F. Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal) Jika dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping pemeriksaan rutin lainnya. G. Konsultasi jantung Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung Staging Limfoma Non Hodgkin (LH) berdasarkan Kritera Ann Arbor
Keterangan : A : Tanpa gejala konstitusional B : Dengan gejala konstitusional E : Keterlibatan ekstranodal
1.8 Tatalaksana
Limfoma non hodgkin a. Indolen Stadium 1 – 2 Radioterapi kemoterapi dengan radioterapi raditerapi extended (untuk mencapai nodul yang berseblahan) kemoterapi saja Stadium 2-3-4
wait and see (observasi). untuk yang asimptomatik Rituximab (antibodi monoklonal anti CD20) Purin nucleoside analog Alkylating agent oral (siklofosfamid, klorambusil) Antibodi monoklonal radioaktif Kemoterapi intensif diikuti dengan transpalantasi sumsum tulang Radioterapi paliatif untuk tumor besar (bulky)
b. Agresif Stadium 1A-2A (non bulky) Doksorubisin
Involved field radiotherapy Kombinasi kemo dan radioterapi memberikan hasil lebih baik darpada kemo saja Stadium 1 – 2 (bulky) – 3 – 4
Chop generasi 1 M-BACOD, MACOP-B, dan ProMACE-CYtaBOM oleh the Inter Group Study LNH intermediate/high grade refrakter
Yang gagal mencapai complete respond diberikan terapi salvage dengan radioterapi
Limfoma Hodgkin
Radioterapi (extended field radiotherapiy,involved field radiotherapy) Kemoterapi Keduanya dilakukan berdasarkan stagingnya.
1.9 Komplikasi Adanya metastase ke jaringan sekitar secara limfogen dan hematogen merupakan komplikasi pada Limfoma Malignum
1.10 Prognosis Angka kesintasan 5 tahun keseluruhan menurut SEER berdasarkan data yang diambil dari 2006-2012 untuk LNH adalah 70,7 %.
1.11 Pencegahan 1.
Dukungan Nutrisi Status gizi merupakan salah satu faktor
yang berperan penting pada
kualitas hidup pasien kanker. 2. Rehabilitasi Medik pada Pasein Kanker Limfoma Rehabilitasi
medik
mengoptimalkan
pengembalian
gangguan
kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman & efektif, sesuai kemampuan fungsi yang ada. Pendekatan rehabilitasi medik dapat diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan dapat dilakukan pada berbagai tahapan & pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi kanker : preventif, restorasi, suportif atau paliatif. 3. Edukasi Topik Edukasi kepada Pasien Kondisi 1. Kemoterapi
Informasi dan Anjuran saat Edukasi
Efek samping kemoterapi yang mungkin muncul (CPIN, dsb)
Latihan yang perlu dilakukan untuk
menghindari
ganggaun
kekuatan otot 2. Nutrisi
Edukasi jumlah nutrisi, jenis dan cara pemberian
nutrisi
sesuai
dengan
kebutuhan 3. Lainnya
Anjuran
untuk control
pengobatan
rutin
pasca
DAFTAR PUSTAKA
Dessain,
S.K.
2009.
Hodgkin
Disease.
[serial
online].
http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview Ford-Martin,
Paula.
2005.
Malignant
Lymphoma.
[serial
online].
http://www.healthline.com/galecontent/malignant-lymphoma/ Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. “Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari dan Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC Reksodiputro, A. dan Irawan, C. 2006. “Limfoma Non-Hodgkin”. Disunting oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition. Philadelphia: Elsevier & Saunders Vinjamaram,
S.
2010.
Lymphoma,
Non-Hodgkin.
[serial
online].
http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma. Swiss Med Wkly (134) : 472-480.