1. MM Eritrosit 1.1 Definisi Eritrosit adalah sel darah merah. Normalnya pada manusia berbentuk cakram bikonkaf yang berwarna kekuningan dan tidak berinti, mengandung Hb dan mengangkut oksigen. (Dorland, 29) Eritropoesis adalah proses pembentukan eritrosit (sel darah merah). Pada janin dan bayi proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang. 1.2 Eritropoesis
Sumsum tulang tidak hanya memproduksi SDM tetapi juga merupakan sumber leukosit dan trombosit. Di sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent tak berdiferensiasi yang secara terus menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah. (Sherwood, 2011) Ginjal mendeteksi penurunan/ kapasitas daraah yang mengangkut oksigen. Jika O2 yang disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal mengeluarkan hormon eritropoietin dalam darah yang berfungsi merangsang eritropoiesis (produksi eritrosit) dalam sumsum tulang. Tambahan eritrosit di sirkulasi meningkatkan kemampuan darah mengangkut O2. Peningkatan kemampuan darah mengangkut O2 menghilangkan rangsangan awal yang memicu sekresi eritropoietin. (Sherwood, 2011) 1.3 Morfologi Eritrosit berbentuk seperti piringan yang bikonkaf dengan cekungan di bagian tengahnya. Eritrosit mempunyai garis tengah 8 µm, ketebalan 2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk eritrosit yang bikonkaf menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi O2 menembus membran dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel memungkinkan O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior sel. (Sherwood, 2011) Membran eritrosit juga sangat lentur sehingga eritrosit dapat mengalami deformitas secara luar biasa sewaktu mengalir satu per satu melewati celah kapiler yang sempit dan
berkelok-kelok. Dengan kelenturan membran tersebut, eritrosit dapat menyalurkan O2 di tingkat jaringan tanpa pecah selama proses tersebut berlangsung. Ciri anatomik terpenting yang memungkin eritrosit mengangkut oksigen adalah adanya hemoglobin di dalamnya. (Sherwood, 2011) Eritrosit memiliki enzim penting yang tidak dapat diperbarui, yaitu enzim glikolitik dan enzim karbonat anhidrase. Enzim glikolitik berperan dalam menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mekanisme transpor aktif yang berperan dalam mempertahankan konsentrasi ion yang sesuai di dalam sel. Enzim karbonat anhidrase berperan dalam transpor CO2. Enzim ini dapat mengubah CO2 yang dihasilkan dari proses metabolisme tubuh menjadi ion bikarbonat (HCO3-), yaitu bentuk utama pengangkutan CO2 dalam darah. Eritrosit memperoleh energi dari hasil proses glikolisis karena eritrosit tidak memiliki mitokondria. (Sherwood, 2011) Fungsi sel darah merah:
Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2 ke seluruh tubuh. Berfungsi dalam penentuan golongan darah. Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah merah mengalami proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka hemoglobin di dalam sel darah merah akan melepaskan radikal bebas yang akan menghancurkan dinding dan membran sel patogen, serta membunuhnya. Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosothiol saat hemoglobin terdeoksigenasi, yang juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan melancarkan arus darah supaya darah menuju ke daerah tubuh yang kekurangan oksigen.
1.4 Kadar Normal KATEGORI Bayi Usia 3 bulan Usia 1 tahun Usia 10–12 tahun Wanita Pria
JUMLAH ERITROSIT (juta/mL) 5,0 – 7,0 3,2 – 4,8 3,6 – 5,2 4,0 – 5,4 3,9 – 4,8 4,3 – 5,9
1.5 Kelainan Morfologi 1. Kelainan Ukuran Makrosit, diameter eritrosit ≥ 9 µm dan volumenya ≥ 100 fL Mikrosit, diameter eritrosit ≤ 7 dan volumenya ≤ 80 fL Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar 2. Kelainan Warna Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≥ 1/3 diameternya Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≤1/3 diameternya Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang, warnanya lebih gelap. 3. Kelainan Bentuk
Mikrosit: Biasanya pada Anemi Def Fe Diameter < 7 mikron, biasa disertai dengan warna pucat (hipokromia). Pada pemeriksaan sel darah lengkap didapatkan MCV yang rendah. Ditemukan pada: Anemia defesiensi besi, Keracunan tembaga, Anemia sideroblasik, Hemosiderosis pulmoner idiopatik, Anemia akibat penyakit kronik
Makrosit: Biasanya pada Anemi Def Vit 12/ Def asam folat Gambaran makrositik berarti volume eritrosit lebih besar dari normal. Dapat ditemukan pada penyakit anemia megaloblastik karena kurang vit.B12 atau asam folat, anemia setelah perdarahan akut, atau anemia karena penyakit hati kronik. Dari data pemeriksaan darah ditemukan MCV > 94 fl Anemia megaloblastik, Anemia aplastik/hipoplastik, Hipotiroidisme, Malnutrisi, Anemia pernisiosa, Leukimia
Basofilik Stipling: eritrosit dengan granula biru-hitam, granula ini dari kondensasi atau presipitasi RNA ribosom akibat dari defective hemoglobin synthesis
Hipokrom: eritrosit pucat ditengah >1/3nya, Normal 10
Kurangnya Hb, Pada anemia Def Fe
Eliptosit: eritrosit berbentuk oval (ovalosyt) atau lonjong (pensil cell/sel cerutu), Osmotic fragility meningkat, Distribusi kolesterol dalam membran akumulasi, Kolesterol dipinggir
Lakrimasit (Tear Drop Cell):
eritrosit berbentuk tetesan air
Target Cell: eritrosit yang gelap di tengah, Normal 2 disease
Akibat cytoplasmic aturation Defects dan liver
Crenated Cell: eritrosit dengan sitoplasma mengkerut, Terjadi karena hipertronik larutan pada saat pengeringan apusan
Stomatocyt: eritrosit pucat memanjang di tengah, Normal 5%, Akibat meningkatnya sodium dalam sel dan menurunnya potassium
Sferosit: eritrosit nampak pucat tebal,Akibat developmental
ditengah, defect
Bentuk
Sickle Cell: eritrosit yang memanjang dan melengkung dengan 2 katup runcing - Nama lain: Drepanocyt - Eritrosit yang mengalami perubahan bizarre muncul pada keadaan kurang oksigen di udara
lebih
kecil,
Acantocyt: - eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang runcing - Tonjolan tidak teratur - Akibat defisiensilow-dencity betha Lipoprotein
Burr Cell: - eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang tumpul teratur - Akibat passage through fibrin network 2. MM Hb 2.1 Definisi dan Fungsi Molekul hemoglobin memiliki 2 bagian, yaitu heme dan globin. Globin merupakan protein yang terbentuk dari 4 rantai polipeptida, yaitu 2 rantai alfa dan 2 rantai beta yang sangat berlipat-lipat. Gugus heme merupakan 4 gugus non protein yang mengandung besi, dengan masing-masing gugus terikat dengan satu rantai polipeptida pada bagian globin. Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan dengan secara reversibel dengan satu molekul O2. Karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2 dan berwarna keunguan jika mengalami deoksigenasi. (Sherwood, 2011) Menurut Depkes RI, fungsi hemoglobin antara lain: 1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-jaringan tubuh. 2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar. 3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia 2.2 Kadar Nornal Nilai Normal Hemoglobin Pria : 14 – 18 g/dl Wanita : 12 – 16 g/dl Bayi baru lahir : 16 – 25 g/dl Infant : 10 – 15 g/dl Young children : 11 – 14 g/dl Anak-anak : 12 – 16 g/dl 2.3 Biosintesis
Sintesis heme Sintesis heme merupakan proses yang kompleks yang melibatkan banyak langkah enzimatik dan melibatkan 2 kompartemen, yaitu mitokondria dan sitosol. Sintesis heme terutama terjadi di dalam mitokondria. Proses ini diawali dengan kondensasi glisin dan succinyl-CoA yang kemudian diubah menjadi asam 5-aminolevulinik (ALA) oleh enzim asam δ-aminolevulinat (ALA) sintase. Kemudian, asam 5-aminolevulinik mengalami serangkaian reaksi pada sitoplasma sampai akhirnya menjadi Ko-proporfirinogen dan masuk kembali ke mitokondria dan menjadi protoprofirinogen. Kemudian, protoprofirinogen diubah menjadi protoporfirin dan bergabung dengan besi yang diangkut oleh transferin menjadi heme. Transferin mengangkut besi ke jaringan yang mempunyai reseptor transferin. Sintesis globin Globin merupakan protein yang terbentuk dari asam-asam amino yang disintesis di ribosom. Kelompok gen α-globin berada pada kromosom 16, sedangkan kelompok gen β-globin berada pada kromosom 11. Tabel Batas Kadar Hemoglobin Kelompok umur Anak 6 bulan – 6 tahun Anak 6 tahun – 14 tahun Pria dewasa Ibu hamil Wanita dewasa Sumber : WHO dalam arisman 2002
Batas nilai hb ( gr/dl) 11,0 12,0 13,0 11,0 12,0
Reaksi Antara O2 dan Hemoglobin Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, oksigen menempel pada Fe2+ dalam heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul oksigen secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk ferro, sehingga reaksi pengikatan oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi. Dengan reaksi : Hb + O2 ↔ HbO2 Bila tekanan O2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, O2 berikatan dengan hemoglobin. Sedangkan jika tekanan oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin (deoksihemoglobin). Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan % saturasi kemampuan hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2 yang memiliki bentuk signoid khas yang disebabkan oleh interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus heme pertama pada satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus heme kedua terhadap O2, dan oksigenase gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan seterusnya sehingga afinitas Hb terhadap molekul O2 keempat berkali-kali lebih besar dibandingkan reaksi pertama.
3. MM Anemia 3.1 Definisi Anemia merupakan penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). 3.2 Etiologi Anemia Anemia disebabkan oleh berbagai jenis penyakit, namun semua kerusakan tersebut secara signifikan akan mengurangi banyaknya oksigen yang tersedia untuk jaringan. Karena cacat sel darah merah (SDM) Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA. Karena kekurangan zat gizi Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang terjadi. Karena perdarahan Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi. Karena autoimun Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam
jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun. Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh: Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) Klasifikasi Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi eritrosit: A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV<80 fl; MCH <27pg) 1. Anemia defisiensi besi 2. Thalassemia 3. Anemia akibat penyakit kronik 4. Anemia sideroblastik B. Anemia Normokromik normositer 1. Anamia pascapendarahan akut 2. Anemia aplastik – hipoplastik 3. Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat 4. Anemia akibat penyakit kronik 5. Anemia mieloptisik 6. Anemia pada gagal ginjal kronik 7. Anemia pada mielofibrosis 8. Anemia pada sindrom mielodisplastik C. Anemia makrositer 1. Megaloblastik a. Anemia defisiensi folat b. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Nonmegaloblastik a. Anemia pada penyakit hati kronik b. Anemia pada hipotiroid c. Anemia pada sindroma mielodisplastik Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatognesis: A. Produksi eritrosit menurun 1. Kekurangan bahan untuk eritrosit a. Besi: anemia defisiensi besi b. Vitamin B12 dan asam folat : anemia megaloblastik 2. Gangguan utilisasi besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan jaringan sumsum tulang a. Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia aplastik/hipoplastik b. Penggantian oleh jaringan fibrotik/tumor: anemia leukoritroblastik/mieloptisik B. Kehilangan eritrosit dari tubuh
1. Anemia pasca pendarahan akut 2. Anemia pasca pendarahan kronik C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis) 1. Faktor ekstrakorpuskuler a. Antibodi terhadap eritrosit: i. Autoantibodi-AIHA (autoimmune hemolytic anemia) ii. Isoantibodi-HDN (hemolytic disease of the newborn) b. c. d. e.
Hipersplenisme Pemaparan terhadap bahan kimia Akibat infeksi bakteri/parasit Kerusakan mekanik
2. Faktor intrakorpuskuler a. Gangguan membran i. Hereditary spherocytosis ii. Hereditary elliptocytosis b. Gangguan enzim i. Defisiensi pyruvate kinase ii. Defisiensi G6PD (Glocuse-6 phospate dehydrogenase) c. Gangguan hemoglobin i. Hemoglobinopati structural ii. Thalassemia 3.3 MK Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome). Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun di bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala-gejala tersebut jika diklasifikasikan menurut organ yang terkena adalah sebagai berikut: 1. System kardiovaskular : Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak nafas, angina pectoris dan gagal jantung 2. System saraf : Sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel. 3. Sistem urogenital : Gangguan hati dan libido menurun 4. Epitel : Pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan halus 3.4 Pem. Penyaring 1. Tes penyaring Dikerjakan pada tahap awal pada tiap kasus anemia. Dalam pemeriksaan ini dapat dipastikanadanya anemia dan bentuk morfologinya. Pemeriksaannya meliputi : Kadar Hb Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) . Dapat mengetahui Hb, WBC, RBC, RDW Apusan darah tepi 2. Pemeriksaan rutin Untuk mengetahui kelainan pada sistem leukosit dan trombosit. Yang diperiksa adalah : Laju endap darah Hitung deferensial Hitung leukosit
3. Pemeriksaan sumsum tulang Jika dalam kasusnya terdiagnosis definitif. Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum. 4. Periksaan atas indikasi khusus Dikerjakan jika sudah mendapat diagnosis awal dan untuk mengkonfirmasi kebeneran dari diagnosis. Pemeriksaannya tergantung dari penyakitnya Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi transferin dan feritin serum Anemia megaloblastik : asam folat darah, vit B12 Anemia hemolitik: hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb A. Pemeriksaan laboratorium non-hematologik Faal ginjal Faal endokrin Asam urat Faal hati Biakan kuman B. Pemeriksaan penunjang lain Biopsi kelenjar dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi Radiologi : torak, bone survey, USG, skening, limfangiografi Pemeriksaan sitogenik Pemeriksaan biologi molekular (PCR dan FISH) 4. MM ADB 4.1 Definisi Anemia defisiensi besi terjadi ketika tubuh menyimpan besi terlalu rendah untuk mendukung sel darah merah yang normal (RBC) berproduksi. Besi yang tidak memadai diet, penyerapan zat besi terganggu, perdarahan, atau kehilangan zat besi tubuh dalam urin mungkin menjadi penyebabnya. Besi keseimbangan dalam tubuh biasanya diatur dengan hati-hati untuk memastikan bahwa besi yang cukup diserap dalam rangka untuk mengkompensasi kekurangan besi dalam tubuh. 4.2 Etiologi Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan penyerapan, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun : Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari: 1. Saluran cerna : Akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau OAINS, kanker lambung, kanker kolon, hemoroid, divertikulosis, dan infeksi cacing tambang 2. Saluran genitalia perempuan : Menorrhagia atau metrorhagia 3. Saluran kemih : Hematuria 4. Saluran napas : Hemototope Faktor nutrisi: Akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). Kebutuhan besi meningkat : Seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
Gangguan absorbsi besi : Gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
4.3 Patof Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kkebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferrin menurun dan kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gelaja lainnya. 4.4 MK Gejala umum anemia yang di sebut sebagai sindrom anemia di jumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ciri khas : Pucat Koilonychias : Kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris garis vertical mejadi cekung sehingga mirip seperti sendok Athrofipapil lidah : Permukaan lidah mejadi licin dan mengkilat di karnakan papil lidah menghilang Satomatitis angularis : Adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak bercak berwarna pucat keputihan Disfagia : Nyeri menelan di karnakan kerusakan hipofaring Atrofi mukosa geser
4.5 Diagnosis & DB Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: Kriteria diagnosis ADB menurut WHO: 1. Kadar HB kurang dari normal sesuai usia. 2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (N:32-25%) 3. Kadar Fe serum < 50 ug/dl (N:80-180ug/dl) 4. Saturasi Transferin < 15% (N:20-50%) Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen 1. Anemia hipokrom mikrositik 2. Saturasi transferin < 16%
3. Nilai FEP > 100% Ug/dl eritrosit 4. Kadar feritin serum < 12 ug/dl Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, feritin serum dan FEP) harus dipenuhi. Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui: 1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH, dan MCHC yang menurun Red cell distribution width (RDW) > 17% 2. FEP meingkat 3. Feritin serum menurun 4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16% 5. Respon terhadap pemberian preparat besi Retikulosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV meningkat 1%/hari 6. Sumsum tulang Tertundanya maturasi sitoplasma Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB. Diagnosis banding Pemeriksaan lab
ADB
Thalasemia minor
Anemia kronik
MCV
↓
↓
N/↓
Fe serum
↓
N
↓
TIBC
↑
N
↓
Saturasi transferin
↓
N
↓
FEP
↑
N
N/↑
Feritin serum
↓
N
↓
penyakit
*FEP : Free Erithrocyte Protophoyrin Diagnosis banding yang lainnya adalah dengan anemia sideroblastik dan keracunan timbal. Cara membedakan ADB dengan thalasemia salah satunya dengan MCV ⅀ 𝐸𝑟𝑖𝑡𝑟𝑜𝑠𝑖𝑡 Jika hasilnya : < 13 menunjukkan thalasemia minor > 15 menunjukkan Anemia Defisiensi Besi 4.6 Tatalaksana Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana terapi yaitu : 1. Terapi kausal Terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan monorhagia. 2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacemen therapy).
Terapi besi oral Terapi oral merupakan terapi yang paling efektif, aman dan murah. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (paling efektif). Dosis yang dianjurkan 3 x 200 mg. Pemberian ferrous sulphat 3 x 200 mg memberikan absorpsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai 3x normal. Contoh obat lainnya adalah ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous succinate serta entric coated. Efek samping utama nya adalah gangguan gastrointestinal ( mual, muntah serta konstipasi. Lama nya pemberian oral besi 3-6 minggu atau setelah kadar hemoglobin normal. Terapi besi parental Indikasi pemberian besi parental adalah intoleransi terhadap pemberian besi oral, kepatuhan terhadap obat yang rendah, gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi, penyerapan besi terganggu seperti adanya gastrektomi, keaadan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian oral, kebutuhan besi yang besar dalam waktu yang singkat, defisiensi besi fungsional relatif akibat eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia adalah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru ada iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. 3. Pengobatan lain Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani. Vitamin C : diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi. Transfusi darah : jenis darah yang di berikan adalah PRC ( packed red cell) untuk mengurangi bahaya overload. 4.7 Pencegahan a. Pendidikan kesehatan : - Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja dan pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang. - Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu penyerapan gizi. b. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik yang paling sering dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal dengan antihelmentik dan perbaikan sanitasi. c. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Profilaksis di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita dengan memakai pil besi dan folat. d. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi. 4.8 Komplikasi Pada Anak Kecil Komplikasi yang paling ditakutkan adalah proses pertumbuhan dan perkembangan mereka yang terhambat. Tanpa nutrisi dan oksigen yang cukup, perkembangan mental, intelektual dan kemampuan kognitif anak bisa terhambat. Energi dan kemampuan anak untuk beraktivitas fisik juga berkurang jika sedang mengalami anemia. Pada akhirnya, semua ini bisa berdampak buruk pada fungsi emosi dan sosial mereka. Perilaku dan performa akademik anak pun lebih tertinggal dibanding anak-anak seusia yang tidak mengalami anemia. Selain itu, anemia juga menyebabkan turunnya pertahanan kekebalan tubuh. Anak yang menderita anemia pun menjadi rentan terserang berbagai macam infeksi.
Pada Wanita Hamil Anemia defisiensi besi pada wanita hamil sangat berkaitan dengan angka kematian ibu. Anemia pada wanita hamil patut diwaspadai. Komplikasi yang dialami wanita yang sedang hamil bisa berakibat fatal, baik pada ibu maupun janinnya. Anemia pada wanita hamil bisa mengakibatkan: Pertumbuhan bayi yang terhambat. Kelahiran bayi secara prematur. Bayi terlahir dengan berat badan rendah. Bayi menjadi lebih rentan terserang infeksi ketika lahir. Kematian bayi dalam kandungan bisa terjadi pada kondisi anemia yang parah. 4.9 Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemia hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.