Pbl Blok 23 Genk....rhinitis Vasomotor.docx

  • Uploaded by: アイス
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pbl Blok 23 Genk....rhinitis Vasomotor.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,451
  • Pages: 14
Rhinitis Vasomotor pada Wanita 26 tahun

Gari Kharisma 102010131 B1

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

PENDAHULUAN Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.1 Rinitisvasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanyaedema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabilaterpapar oleh iritan spesifik.2 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dannon-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotorrinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig Emediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.1 Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehinggasulit untuk dibedakan.Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat,ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. 1,6Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguankeseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebihdominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yangberlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahansuhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktortadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.1,2

ANAMNESIS Anamnesis

yang

teliti

dapat

membantu

dalam

menentukan

penyebab

gagal

ginjal.Muntah, diare dan demam menandakan adanya dehidrasi. Adanya infeksi kulit atau tenggorokan yang mendahuluinya menandakan glomerulonefritis pascastreptokokus.2 1

A. Identitas merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien seperti data diri pasien seperti nama, tanggal lahir, umur, alamat, suku, agama, dan pendidikan. B. Keluhan Utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. C. Riwayat Penyakit Sekarang 

Sejak kapan muncul gejala tersebut?



Bagaimana perjalanan penyakit tersebut? Apakah semakin membaik atau semakin memburuk?



Apakah ada gejala penyerta?



Adakah faktor pemicunya?

D. Riwayat Penyakit Dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien pada masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami sekarang E. Riwayat Keluarga F. Riwayat Pengobatan G. Riwayat Sosial dan Ekonomi mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkahwinan, lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan di hidung: -

Menanyakan adakah hidung tersumbat?

-

Menanyakan adakah keluar ingus dari hidung? Encer/ kental? Berbau atau tidak? Frekuensinya?

-

Adakah bersin- bersin? Adakah pemicunya, misalnya debu atau udara dingin?

-

Adakah keluhan yang menjalar ke tempat lain, misalnya nyeri di pipi/ bawah kelopak mata, nyeri di dahi, sakit kepala (cephalgia)

-

Menanyakan adakah keluar darah dari hidung (epistaksis) ?

2

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan luar Inspeksi hidung Pemeriksaan luar terdiri dari inspeksi hidung untuk melihat adanya pembengkakan, trauma atau anomaly congenital. Apakah hidungnya lurus? apakah deviasinya melibatkan bagian atas, yang terdiri dari tulang, atau bagian bawah, yang terdiri dari tulang rawan? Periksa kedua lubang hidung luar. Apakah simetris?. Tiap pembengkakan atau deformitas harus dipalpasi untuk mencari nyeri tekan dan konsistensinya. Palpasi sinus Pada palpasi di daerah sinus frontalis dan maksilaris dipalpasi untuk mencari nyeri tekan dan konsistensinya. Pemeriksaan dalam Pada pemeriksaan dalam kepala pasien sedikit menengadah kedepan. Setelah posisi sesuai lakukan pemeriksaan posisi septum terhadap tulang rawan lateral pada tiap sisi. Periksalah vestibulum untuk melihat adanya peradangan dan septum anterior untuk melihat adanya deviasi atau perforasi. Warna membaran mukosa harus diperiksa. Membrane mukosa hidung normal berwarna merah pudar dan lembab dan mempunyai permukaan yang halus dan bersih. Mukosa hidung biasanya berwarna lebih gelap ketimbang mukosa mulat. Periksalah kemungkinan adanya eksudat, pebengkakan, perdarahan, atau trauma. Jika terdapat epistaksis, harus dilakukan pemeriksaan area little dengan seksama, untuk melihat adanya pelebaran pembuluh darah atau krusta. Periksa juga septum posterior untuk melihat adanya deviasi atau perforasi. Ukuran dan warna konka inferior harus dicatat. Kedua konka inferior jarang simetris.2 Pemeriksaan pembau hidung Pada pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan pada saraf pembaunya (N I). bahan yang digunakan biasanya bersifat aromatic dan tidak merangsang, seperti golongan minyak, sabun, kopi, tetapi tidak pada alcohol dan amonia. Sewaktu pemeriksaan, satu lubang hidung ditutup sementara itu bahan kita letakkan pada lubang hidung lain dan penderita diminta untuk menghirup/mencium dan sebaliknya, kemudian diminta mengidentifikasi bahan tersebut.2

3

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Uji laboratorium  Apusan hidung Apusan hidung untuk diagnostic pada kasus-kasus penyakit pada hidung biasanya diambil dari bawah konka inferior dengan evaluasi sitologi. Pada rhinitis vasomotor kadangkadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam secret. Pada rhinitis alergika kemungkinan besar ditemukan adanya sel eosinofil. Untuk membedakan dengan rhinitis infektif dapat dilakukan uji bakteriologi dalam sekret.  Uji klinis alergi 

Uji diet Uji diet yang dilakukan yaitu dimana pasien dilakukan uji makanan provokativ yang sebelumnya telah dilakukan pengekangan makanan selama 4-10 hari, setelah masa pengekangan selesai pasien di suruh memakan makanan dalam jumlah banyak. Biasanya pasien akan melaporkan perubahan-perubahan subjektif dan mengamati data objektif.



Uji in vitro Uji makanan sitotoksik digunakan sebagai uji skrining. Bilamana leukosit dari lapisan buffy coat plasma pasien dihancurkan oleh adanya antigen makanan, maka kepekaan dapat dicurigai.



Uji radio alergosorben Uji ini memerlukan inkubasi antibody pasien dengan antigen dalam konsentrasi tertentu yang terikat pada kertas radioaktif. Dapat mengukur kadar antibody IgE dan terbukti bernilai untuk hipersensitivitas tipe segera.2



Test-kulit Keuntungan dari tes ini aadalah sensitivitas yang lebih besar dan hasil yang didapat lebih cepat. Biasanya pada pemeriksaan ini, pasien akan dilakukan uji dengan alergan spesifik yang dimana jika respon positif maka alergan tersebut penyebab dari timbulnya rhinitis. Ada 3 macam tes kulit yaitu tes kutan, tes perkutan, tse intrakutan. Pada tes kulit selalu dilakukan control negative (larutan buffer) dan control positif (histamine).



Uji Kadar IgE serum

4

Imunoglobulin adalah kelompok protein yang dianggap sebagai antibodi. Selama reaksi alergi dan anafilaksis kadar IgE akan meningkat. Nilai rujukan pada dewasa : <40 mg/dL Kadar Ig E total dalam batas normal pada rhinitis vasomotor, sebaliknya pada alergika kemungkinan akan meningkat

2. Uji radiologi Radiogram sinus paranasalis tidak spesifik namun dapat terlihat penebalan lapisan mukosa dan terkadang pengumpulan secret. Bila ostia menjadi tersumbat akibat pembengkakan hebat maka suatu gambaran air fluid level atau bahkan bayangan opak total dapat nyata dalam rongga sinus. radiogram yang digunakan adalah Radiogram posisi Walters.2,3

DIAGNOSIS KERJA  Rhinitis vasomotor Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, beta blocker, aspirin, anti hipertensi, dekongestan).4 Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test kulit (skin test) biasanya negatif, demikian pula test RAST (radioallergosorbent test), serta kadar Ig-E total dalam batas normal. Kadangkadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret.4 5

DIAGNOSIS BANDING  Rhinitis alergika Meskipun insiden rhinitis alergika yang tepat tidak diketahui, tampaknya menyerang sekitar 10 persen dari populasi umum. Polip hidung dan sinusitis tampaknya meningkat pada penderita rhinitis alergika. Rhinitis alergika diduga melibatkan antibody reaginik, basofil, sel mast dan pelepasan zat mediator seperti histamine, prostalgadin dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinik. Gambran klinis dari rhinitis alergika secara khas dimulai pada usia yang muda dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal. Pemeriksaan fisik yang didapat pada kasus ini biasanya pada penderita memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sclera dan konjungtiva yang merah, pembengkakan sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan, secret hidung encer jernih, dan keriput lateral pada Krista hidung dan pada temuan laboratorium ditemukan adanya reaksi imunologik termasuk eosinofil yang meninggi dalam secret hidung dan darah tepi, dan peingkatan kadar serum IgE. Klasifikasi rhinitis alergi Dahulu rhitis alergi dibedakan dala 2 macam berdasarkan sifat berlangsung, yaitu: 1. Riniti alergi musiman, biasanya ini banyak dinegara yang memilik 4 musim. Di Indonesia sendiri tidak ada. 2. Rhinitis sepanjang tahun. Gejala pada penyakit ii timbul intermitten atau terus menerustanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergan inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergan ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergan dalam rumah dan diluar rumah. Pada alergan ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO tahun 2001, yaitu berdasarkan dibagi menjadi : 1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.4

6

Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergan penyebabnya dan eliminasi. 2. Antihistamin relative cocok untuk cepat mengatasi gejala seperti serangan bersin, hipersekresi dan gatal pada hidung 3. Cromoglycat mencehag degranulasi sel mastosit dan granulasi basofil. Kerjanya adalah mencegah. Oleh karena itu, obat ini harus dipakai secara konstan. Tidak ada efek samping yang dikenal. 4. Operatif Bila suadah terjadi hipertrofi berat pada konka inferior yang dimana tidak berhasil jika dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. Komplikasi  Polip hidung  Otitis media efusi yang sering residitif pada anak-anak  Sinusitis paranasal  Rhinitis simplek Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering di temukan pada manusia. Sering juga disebut sebagai selesma, common cold, flu. Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus coxsackie dan virus ECHO. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun dan lain-lain). Pada stadium prodormal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala. Mukosa hidung tampak merah dan bengkak. Bila terjadi infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi mukopurulen. Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis simpleks, selain istirahat dan memberikan oabt-obatan simtomatis seperti analgetika, antipiretika, dan obat dekongestan. Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri.

7

Istilah common cold lebih menjelaskan suatu kompleks gejala daripada suatu penyakit tertentu. Umumnya masyarakat menganggap “flu” diawali dengan sumbatan hidung, secret yang berlebihan, bersin-bersin, sedikit batuk, dan kelemahan umum dengan atau tanpa nyeri kepala. Suhu tubuh.4 ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI Etiologi dan patofisiologi yang belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rhinitis vasomotor : Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan terjadinya rinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.5 Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang dikeluarkan sel – sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang meyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus rinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rinitis vasomotor. Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi tersebut adalah ; perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan psikis).5 8

Mekanisme terjadinya rinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan merangsang sel – sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktorii. Kemudian berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor. Dari penelitian binatang telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya, memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menim bulkan vasokonstriksi hidung. Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika. Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai udema dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rinitis alergika dengan rinitis vasomotor, maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas, yang 9

menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada pokoknya, reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigen – antibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom.5 EPIDEMIOLOGI Adanya kemiripan gejala antara rinitis vasomotor dan rinitis alergika menyebabkan dokter umum sebagai primary care sering tidak tepat dalam menegakkan diagnosa pada rinitis vasomotor tidak ditemukan adanya skin tes yang (-) dan tes allergen yang (-). Sedangkan yang alergik murni mempunyai skin tes yang (+) dan allergen yang jelas. Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia < 20 tahun, sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada usia > 20 tahun dan terbanyak diderita oleh perempuan. Berdasarkan epidemiologinya, kurang lebih 58 juta penduduk amerika menderita rinitis alergika, 19 juta menderita rinitis non-alergika dan 26 juta menderita rinitis type campuran.4

GAMBARAN KLINIS Pada rhinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi. Pada keadaan normal factor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun gejala yang dominan adalah hidung yang tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang diseratai dengan gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini disebabkan dalam 3 golongan, yaitu 1) golongan bersin 10

(sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid yang topical; 2) golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan anti kolinergik topical; dan 3) golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteriod topical dan vasokonstriktor oral.4,5

PENATALAKSANAAN Secara umum penatalaksaan dari rintisi vasomotor ini dapat di bagi menjadi 3 kelompok besar : 1. Non bedah dan non mendikamentosa Jika penyebabnya sudah deketahui, terapi yang sebaiknya adalah pencegahan yaitu menghindarinya dan jika belum diketahui penyebabnhya membersikhan mukosa rongga hidung secara teratur dapat membantu . 2. Medikamentosa Beberapa medikamen yang bias digunakan antara lain : a) Antihistamin Obat-obat antihistamin akan sangat membantu penderita dengan golongan rinorea. Obat ini bekerja menekan pelepasan mediator-mediator sel mast, sehingga dapat mengurangi kongesti dan pembentukan secret. Obat antihistamin generasi pertama selain bersifat antihistamin juga bersifat antikholinergik. b) Anti kolinergik Obat-obat golongan anti kolinergik juga efektif pada penderita golongan rinorea. Contoh golongan obat ini adalah Ipratropium bromide, efek samping yang ditimbulkannya adalah penglihatan kabut, konstipasi, dan retensi urin. c)

Kortikosteroid Kortikosteroid topical dapat menekan reaksi radang local yang disebabkan oleh vasoaktif mediator dengan cara menghambat phospholipase A2, mengurangi aktivitas reseptor Ach, dan mengurangi jumlah basopil, mast sel, dan eosinofil di mukosa rongga hidung. Obat-obat golongan kortikosteroid topika ini tidak bias digunakan secara singkat. Paling tidak 1-2 minggu penggunaan obat ini baru akan terlihat hasilnya. Contoh obat golongan ini adalah Beclomethasone, Flunisolide, Fluticasone. Budesonid dapat digunakan 2 x sehari dengan dosis 100-200 mcg/hari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian sedikitnya 2 minggu. 11

Saat ini terdapat obat kortikosteroid topical baru dalam larutan aqua seperti Futikason Propionat dengan pemakaian cukup 1x sehari dengan dosis 200 mcg. Beberapa efek samping penggunaan obat ini adalah erithema ringan,rasa terbakar, mukosa menjadi kering, epistaksis dan kandidiasis nasofaring.4,5 d) Dekongestan Penggunaan dekongestan secara oral ditujukan untuk mengatasi kongesti dari pembuluh darah di mukosa rongga hidung. Contohnya adalah Pseudophedrine, Phenylpropanolamine, Phenylephrine, dan Oxymetazoline (bentuk spray hidung). Obat-obat golongan ini bekerja sebagai agonis alpha reseptor sehingga akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah di mukosa rongga hidung. Pada penggunaan dekongestan topical seperti pada Oxymetazoline, harus berhati-hati sebab dapat menyebabkan suatu renitiss medikamentosa, yaitu suatu rebound kongesti, jika digunakan lebih dari 5 hari, Efek samping dekongestan oral antara lain insomnia, mudah terangsang (irritability) dan kesulitan berkemih (khususnya pada pria dewasa). Kontraindikasi penggunaan obat ini adalah mereka dengan tekanan darah tinggi. Pada penderita dengan tekanan darah normal, obat golongan ini tidak mempengarui tekanan darahnya.4,5 e) Diatemi Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau larutan trikloroasetat pekat. 3. Operatif Tindakan operatif dilakukan bila tindakan terapi secara konservatif atau medikamentosa belum memuaskan. Tindakan operatif yang dianjurkan antara lain :  Elektrokauterisasi konka  Konkhotomi parsial konka inferior yang memberikan efektivitas mengurangi keluhan sampai dengan 88,9%  Frozen section konka  Vidian neurectomy, cara ini merupakan prosedur yang sangat efektif untuk menghentikan gejala rhinitis vasomotor, terutama pada kasus yang sangat berat dan tidak hilang dengan pengobatan konservatif dan sudah menghabiskan biaya yang cukup besar serta menggangu kualitas hidup. Namun operasi ini tidak mudah 12

dan juga dapat menimbulkan komplikasi seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi, neuralgia, dan anastesis supraorbital dan anastesis palatum.

KOMPLIKASI 1. Sinusitis 2. Eritema pada hidung sebelah luar 3. Pembengkakan wajah 4. Polip hidung

PROGNOSIS Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan tibatiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.

KESIMPULAN Rinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang bukan merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya obstruksi hidung dan rinorea. Etiologinya dipercaya sebagai akibat ketidakseimbangan saraf otonom pada mukosa hidung sehingga terjadi pelebaran dan pembengkakan pembuluh darah di hidung. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini disebabkan dalam 3 golongan, yaitu 1) golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid yang topical; 2) golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan anti kolinergik topical; dan 3) golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteriod topical dan vasokonstriktor oral. Rinitis vasomotor sering ditemukan pada usia awitan > 20 tahun dan terbanyak diderita oleh perempuan. Diagnosa rinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan skin test mengingat kemiripan gejala yang juga dimiliki oleh rinitis alergika. Rinitis alergika mempunyai hasil skin test yang (-) dan test allergen yang (-).

13

DAFTAR PUSTAKA 1. Sri Herawaty , Sri Rukmini. Buku ajar ilmu penyakit THT untuk mahasiswa kedokteran gigi. Jakarta : penerbit buku Kedokteran EGC. 2005 : 40-41 2. Mark H Swartz. Buku ajar diagnostic. Harjanto effendi, Huriawati, editors. Jakarta : penerbit buku Kedokteran EGC. 2003 : 140-142. 3. Swartz MH. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2004. H.125 4. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis Vasomotor. In :Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta : FK UI ; 2010. h. 135-7 5. Broek Pvd, Debruyne F, Feenstra L, Marres HAM. Hidung dan Sinus Paranasal. In : Iskandar N. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. Edisi 12. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2010. H.107-17

14

Related Documents