Ketoasidosis Diabetik et causa Diabetes Melitus Tipe 1 pada Anak Alexandra Giacintya Bulan Bo 102016186 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Abstrak Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel B pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Komplikasi yang sering terjadi pada DM tipe 1 ialah Ketoasidosis diabetikum (KAD) yang terjadi karena akibat defisiensi insulin yang beredar dan kombinasi peningkatan hormone-hormon kontraregulator yaitu katekolamin, glucagon, kortisol, dan hormone pertumbuhan. Penatalaksanaan awal KAD yaitu terapi cairan, insulin, diet, pemantauan kadar glukosa, serta penatalaksanaan gejala simptomatis lain yang dirasakan. Selain itu perlu dilakukan tahapan pengobatan tentang penyakit, pemberian obat, pola makan dan gaya hidup. Pada pasien KAD umumnya setelah diberikan insulin dan terapi standar lainnya akan membaik, jika komorbid tidak terlalu berat.
Kata kunci : Diabetes mellitus, ketoasidosis diabetik
Abstract Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease characterized by chronic hyperglycemia and abnormal metabolism of carbohydrates, fats, and proteins caused by abnormalities in insulin secretion, insulin action, or both. Type 1 DM is caused by damage to pancreatic B cells by both autoimmune and idiopathic processes so that insulin production decreases and even stops. Complications that often occur in type 1 diabetes mellitus are diabetic ketoacidosis (KAD) which occurs due to circulating insulin deficiency and a combination of increased contracting hormone hormones namely catecholamines, glucagon, cortisol, and growth hormones. Early management of KAD, namely fluid therapy, insulin, diet, monitoring glucose levels, and managing other symptomatic symptoms that are felt. In addition, it is necessary to carry out the stages of treatment about diseases, drug administration, diet and lifestyle. In general KAD patients after being given insulin and other standard therapies will improve, if the comorbid is not too heavy.
Keywords: Diabetes mellitus, diabetic ketoasidosis
1
Pendahuluan Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan salah satu komplikasi akut diabetes yang sangat berhubungan dengan kualitas edukasi yang diberikan kepada seorang pengidap Diabetes Melitus (DM) tipe 2, sedangkan pada DM tipe 1, seringkali ketoasidosis merupakan pintu awal diagnosis. KAD juga lebih sering ditemukan pada anak yang lebih muda (usia < 2 tahun) terutama karena penanganan yang terlambat dan sosial ekonomi rendah sehingga memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan. Sekitar 80% dari pasien KAD telah diketahui mengalami penyakit diabetes sehingga pencegahan sangatlah penting dan berhubungan dengan beratnya keadaan saat datang ke rumah sakit. KAD adalah fenomena unik pada seorang pengidap diabetes akibat defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan hormone kontra regulator, yang mengakibatkan lipolysis yang berlebihan dengan akibat terbentuknya benda-benda keton dengan segala konsekuensinya.1,2
Anamnesis Didefinisikan sebagai sesi wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan kesehatan. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai. Dari anamnesis, pada penderita KAD dapat ditemukan riwayat diabetes atau bukan dengan keluhan poliuria, polidipsi, rasa lelah, kram otot, mual muntah, dan nyeri perut. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran sampai koma.1 Hasil anamnesis kasus; Anak perempuan 6 tahun dengan keluhan utama sesak sejak 1 jam SMRS, tampak mengantuk dan sakit perut sejak beberapa jam SMRS, diikuti dengan napas cepat dan dalam, bau napas seperti bau buah-buahan (fruity odor), penurunan berat badan dari 20 kg menjadi 14 kg, poliuria, polidipsi, polifagia, serta tidak demam.
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, penderita KAD didapatkan penurunan kesadaran bahkan sampai koma, pernafasan kusmaul dan meningkat, gejala asidosis, tanda-tanda dehidrasi yaitu turgor kulit menurun, mukosa mulut kering, kelopak mata cekung, ubun-ubun cekung, nadi meningkat/tak teraba, tekanan darah menurun serta oliguria, dengan atau tanpa disertai syok. Bisa juga ditemukan 2
nafas berbau aseton. Perhitungan berat badan sekarang, dan sebelum sakit terjadi penurunan yang signifikan.1,3 Hasil dari pemeriksaan fisik kasus: Keadaan umum
: tampak sakit berat, kesadaran somnolen
Tanda-Tanda Vital
: TD 80/50 mmHg, Nadi: 120x/menit, FP: 40x/menit, Suhu 37℃.
Pemeriksaan head to toe
:
Kepala dan wajah: mukosa mulut dan bibir tampak kering Leher
: dalam batas normal
Thoraks
: jantung; BJ I dan II regular, tidak ada gallop dan murmur paru; tidak ada retraksi, suara napas vesikuler
Abdomen
: turgor kulit kembali lambat
Ekstremitas
: akral dingin, nadi teraba lemah, mottled skin
Pemeriksaan Penunjang Untuk menentukan derajat KAD perlu dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan gula darah, analisis gas darah dan pemeriksaan keton darah (bhidroksibutirat). Nilai yang menunjukkan hiperglikemia dengan kadar glukosa serum yang berkisar dari 200 mg/dL sampai lebih besar dari 1000 mg/dL. Pada pH arteri <7,25, dan kadar bikarbonat serum < 15 meq/L. Kadar natrium serum dapat meningkat, normal, atau rendah bergantung pada keseimbangan natrium dan kehilangan air bebas. Namun, kadar natrium serum terukur, secara artifisial berkurang karena hiperglikemia. Hyperlipidemia juga dapat menjadi patokan penurunan natrium serum terukur. Kadar kalium dapat meningkat, normal, atau rendah bergantung pada lamanya KAD. Kadar nitrogen urea darah (BUN) dapat meningkat dengan adanya azotemia sekunder prerenal akibat dehidrasi. Leukosit biasanya meningkat dan dapat bergeser ke kiri walaupun tanpa infeksi.4 Didapatkan hasil dari skenario yaitu gula darah sewaktu >500 mg/dL ( hiperglikemi). Pada pemeriksaan analisis gas darah ditemukan pH 7,1 dan konsentrasi HCO3- 8 mEq/L (asidosis metabolik). Pemeriksaan elektrolit didapatkan Na 123 mEq/L , K 5 mEq/L, Cl 85 mEq/L, Mg 1 mEq/L. Untuk hasil urinalisis didapatkan glukosuria ( ++++ ), ketonuria ( +++ ), berat jenis urin 1.030.
3
Diferensial Diagnosis Ketoasidosis Diabetikum et causa Diabetes Melitus tipe lain Pada pasien DM tipe 2, KAD terkadang tidak ditemukan pencetus yang jelas dan setelah diberikan insulin dalam periode pendek keadaannya cepat membaik, bahkan tidak membutuhkan medikasi sama sekali. Pada DM Tipe 2 angka kejadian KAD jauh lebih rendah dibanding DMT1, terjadi hanya kurang lebih pada 25% kasus.1,4 DM tipe 2 paling sering terjadi karena resistensi insulin dan diikuti kegagaln pancreas untuk mengsekresi insulin secara adekuat. Prevalensi DM tipe 2 pada anak meningkat seiring dengan meningkatnya kasus obesistas pada anakyang cukup tinggi. Gejala klinisnya terdapat hiperglikemi sama seperti DM tipe 1. Tidak mudah membedakan DM tipe 1 dan DM tipe 2 pada anak. Mungkin anak dengan obesitas, mempunyai riwayat keluarga DM atau ditemukannya tanda sindrom metabolik dapat kita pikirkan menderita DM tipe 2. Diagnosis DM tipe 2 dapat kita lakukan dengan cara pemeriksaan laboratorium C-peptide.1
Pneumonia Infeksi saluran napas bawah akut (ISNBA) menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Terdapat berbagai bentuk ISNBA, yang paling sering dijumpai adalah dalam bentuk pneumonia. Pneumonia ini dapat terjadi secara primer atau merupakan tahap lanjutan manifestasi ISNBA lainnya seperti sebagai perluasan bronkiektasis yang terinfeksi. Pengertian pneumonia sendiri merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Disebut pneumonitis jika peradangannya terjadi karena proses non-infeksi.1 Malinformasi anatomi sistem pernapasan, perubahan imunitas sistemik atau lokal, dan pemajanan terhadap asap rokok yang didapat dari masyarakat, pasien dapat rentan terkena pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi (misalnya, bakteri, virus, jamur, dan organisme parasit), proses peradangan (misalnya, SLE, sarcoidosis, dan histiositosis), dan bahan toksik (misalnya, hidrokarbon, asap, jamur, bahan kimia, gas, isi lambung) yang terinhalasi atau teraspirasi. Penyebab paling lazim pada anak ialah infeksi virus; infeksi bakteri hanya menyebabkan 10-30% pneumonia pada pediatri. Virus tersering pada umur diatas 5 tahun ialah virus influenza, varisela, dan adenovirus, sedangkan bakteri tersering ialah Streptococcus pneumonia, dan Haemophilus influenzae.4 4
Manifestasi klinik pneumonia virus adalah batuk, mengi, atau stridor, demam kurang menonjol dibandingkan dengan pneumonia bakteri. Sedangkan pneumonia bakteri biasanya disertai demam tinggi, menggigil, batuk, dan dispnea. Diagnosa definitif pneumonia memerlukan identifikasi organisme penyebab. Jika penyebab pneumonia adalah virus, lakukan PCR atau pewarnaan imunofluoresen sel epitel yang terinfeksi dengan mencuci nasofaring. Pengobatan pneumonia bergantung pada usia dan gambaran klinis pasien. Pneumonia pada anak usia 5-10 tahun sering kali disebabkan oleh S. pneumonia dan diobati dengan eritromisin atau klaritomisin.4 Asma Asma didefinisikan sebagai obstruksi reversibel saluran napas besar dan kecil sebagai akibat dari hiperresponsivitas terhadap berbagai rangsangan imunologis dan nonimunologis. Penyakit ini bersifat intermiten dan ditandai dengan episode berulang batuk, dada terasa sempit, dyspnea, dan mengi. Respons radang tipe alergi terjadi pada mukosa saluran napas pasien asma, yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus, tanda utama asma. Resiko perkembangan asma dihubungkan dengan meningkatnya kadar IgE serum dan hipersensitivitas terhadap alergen sepanjang tahun. Infeksi bakteri dan virus juga menambah peradangan saluran napas dan hiperreaktivitas bronkus. Edema mukosa, kontraksi otot polos, dan produksi mucus, merupakan proses patologis utama mendukung obstruksi saluran napas. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mendekati volume penutupan dan menyebabkan gas disaluran napas distal terperangkap. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas: ukuran saluran napas yang kecil, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, dan recoil elastic paru yang lebih lemah.4 Manifestasi klinik asma adalah mengi, batuk, dyspnea, takipnea, dan nyeri dada biasa terjadi selama eksaserbasi akut. Riwayat batuk menetap, batuk malam, batuk akibat olahraga, muntah pasca batuk dan batuk pasca pajanan udara dingin atau dengan tertawa memberi kesan adanya asma. Terdapat beberapa tujuan terapi asma secara menyeluruh ialah memulihkan gejala asma, mencegah atau mengurangi frekuensi gejala berulang, mempertahankan fungsi paru dan aktivitas normal (misalnya olahraga). Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas dan immunoglobulin E.4
5
Gastroenteritis Gastroenteritis merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Gastroenteritis sendiri merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau virus pada lambung atau saluran cerna. Gastroenteritis menunjukkan gejala klinis nyeri abdomen, mual, muntah, diare, kadang juga demam.1
Working Diagnosis Ketoasidosis Diabetikum et causa Diabetes Melitus Tipe 1 Ketoasidosis diabetik adalah suatu kondisi akut dan mengancam jiwa akibat komplikasi diabetes mellitus (DM) dengan ditemukannya penanda biokimia berupa trias hiperglikemia (gula darah >11 mmol/L; >200 mg/dL), asidosis (pH vena < 7,3 mEq/L atau bikarbonat <15 mEq/L) dan adanya ketonemia/ketonuria. Pada KAD terjadi defisiensi absolut ataupun relatif insulin yang menyebabkan terjadinya penurunan penggunaan glukosa (kelaparan intraseluler) pada jaringan yang kerjanya tergantung insulin seperti otot, hepar dan jaringan adiposa. Kelaparan intraseluler pada jaringan tersebut merangsang kerja hormon counterregulatory (glukagon, kortisol, hormon pertumbuhan, dan katekolamin) yang akhirnya menyebabkan gangguan metabolisme, hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi hipertonik, dan ketoasidosis. Selain akibat kelaparan intraseluler respons hormon counterregulatory juga dapat disebabkan oleh adanya stress-induced proinflammatory cytokines, sehingga terjadi lipolisis dan proteolisis yang merangsang produksi glukosa di hati dan ginjal serta oksidasi asam lemak oleh hati menjadi benda keton.5 Diagnosis ketoasidosis diabetik (KAD) ditegakkan jika terdapat: hiperglikemia yaitu kadar glukosa darah > 200 mg/dL (>11 mmol/L), Asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau HCO3 - <15 meq/L, dan ketonemia serta ketonuria. Untuk kepentingan tata laksana, KAD diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya asidosis dan dibagi menjadi: KAD ringan : pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L, KAD sedang : pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L, KAD berat : pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L.8
Epidemiologi Insidens KAD sangat bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Kejadian KAD tertinggi didapatkan di negara Uni Emirat Arab sebanyak 80% dari kasus DM dan terendah di Swedia sebesar 14%.5 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2013, terdapat sekitar 13-80% dari 65.000 anak yang berusia < 15 tahun dengan diagnosis KAD. Angka kejadian 6
KAD sebesar 15-70% di wilayah Eropa, Australia dan Amerika dan lebih tinggi lagi di negara berkembang. Insidensi KAD pada anak yang sudah terdiagnosis DM tipe 1 adalah sebesar 1- 10% per pasien tiap tahunnya.3 Anak di bawah 5 tahun lebih sering mengalami KAD saat diagnosis pertama, terutama jika disertai masalah sosial-ekonomi dan kendala akses pelayanan kesehatan. Pada DMT2 angka kejadian KAD jauh lebih rendah dibanding DMT1, terjadi hanya kurang lebih pada 25% kasus.5
Etiologi Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh : 1). Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi; 2). Keadaan sakit atau infeksi; 3). Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.1
Patofisiologi Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh defisiensi insulin. Defisiensi dari insulin menyebabkan adanya peningkatan glukosa dalam darah. Selain menyebabkan peningkatan kadar gula darah, defisiensi dari insulin juga menyebabkan hormone regulator lain sepertu gkukagon, katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal, serta menyebabkan gangguan penggunaan glukosa perifer dengan akibat hiperglikemik dan hiperosmolalitas. 1,7 Peningkatan lipolisis pun terjadi akibat defisiensi insulin. Peningkatan lipolisis yang disertai pembentukan benda keton dapat menyebabkan ketonemia dan keadaaan asidosis metabolic. Keadaan hiperglikemik dan asidosis ini menyebabkan dieresis osmotik dan terjadinya kehilangan elektrolit (lih. Gambar 1).7
7
Gambar 1. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik.5
Gejala Klinis Penegakkan diagnosis KAD salah satunya dapat dilihat dari gejala klinis KAD. Gejala klinis KAD pada anak yang dapat ditemukan adalah dehidrasi, dengan derajat yang bervariasi, dapat ditemukan takikardi, hipotensi, turgor kulit menurun dan syok, perubahan kesadaran dengan derajat yang bervariasi, mulai dari bingung sampai koma. Selain itu, terdapat mual, muntah, nyeri perut, pola napas Kussmaul, gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsi, serta penurunan berat badan. Gejala tidak khas yang menyerupai penyakit lain yaitu gastroenteritis, akut abdomen, keracunan, gangguan SSP, sindrom uremik, dan lain-lain.3
Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan KAD adalah menghentikan proses asidosis bukan hanya menurunkan kadar glukosa. Prinsip tata laksana KAD meliputi terapi cairan untuk mengkoreksi dehidrasi dan menstabilkan fungsi sirkulasi, pemberian insulin untuk menghentikan produksi benda keton yang berlebihan, mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit, mengatasi penyakit yang mendasari KAD serta monitor komplikasi terapi. Anak dengan KAD harus dirawat di tempat yang memiliki perawat terlatih dalam menangani KAD, memiliki panduan tata laksana KAD, memiliki laboratorium yang memungkinkan evaluasi pasien secara ketat. Indikasi perawatan di
8
ruang rawat intensif adalah KAD berat, risiko edema serebri, usia sangat muda (< 5 tahun), dan aritmia.6 Pada pasien kegawat daruratan, tatalaksana awal yang perlu kita lakukan adalah mengamankan airway, breathing, dan circulation pasien. Pengamanan airway dilakukan dengan mengamankan jalan napas pasien, jika diperlukan dapat dilakukan pengosongan lambung. Pengamanan breathing dilakukan dengan memberikan oksigen pada pasien dengan derajat dehidrasi berat atau jika terjadi syok pada pasien. Pengamanan circulation dilakukan dengan pemantauan jantung dengan EKG. Hal ini dilakukan untuk memantau adanya hiperkalemia atau hipokalemia.8 Terapi selanjutnya yang perlu dilakukan adalah penggantian cairan tubuh pasien. Pada penggantian cairan tubuh ini kita perlu menentukan derajat dehidrasi pasien. Selanjutnya, dapat digunakan tabel dibawah sebagai panduan untuk menghitung cairan yang diberikan. Perhitungan jumlah cairan menurut derajat dehidrasi ini dibagi rata untuk 48 jam. Selain dengan ini, diperlukan juga perhitungan cairan rumatan. Untuk menghitung cairan rumatan diperlukan berat badan pasien. Jumlah cairan rumat didapatkan dari 10 kgbb pertama x 100 ml, 10 kgbb kedua x 50 ml, dan sisa kgbb x 20 ml. Jumlah cairan rumat ini didapati untuk 24 jam, sehingga perlu dikalikan 2 untuk terapi cairan 48 jam (lih. Tabel.1).8 Jika pada pasien terjadi syok, maka pada terapi awal diberikan NaCl 0,9% sebesar 10-20 ml/kgbb/jam dan dapat diulang sampai syok teratasi. Jika pada awal telah diberikan cairan untuk penanganan syok, total cairan tubuh untuk terapi 48 jam dapat dikurangi dengan total cairan yang telah diberikan pada penanganan syok.8
Tabel 1. Perhitungan derajat dehidrasi pada bayi dan anak8 Pemberian insulin juga diperlukan untuk kasus KAD, karena penyebab dari kasus ini merupakan defisiensi insulin. Pemberian insulin ini bertujuan untuk menurunkan kadar gula darah serta menekan lipolisis dan ketogenesis. Insulin diberikan 0,05-0,1 U/kgbb/jam iv. Keadaan asidosis akan sendirinya teratasi dengan pemberian insulin dan cairan. Koreksi asidosis hanya 9
dilakukan pada pasien dengan asidosis berat yaitu pada pasien dengan pH darah < 6,9. Koreksi elektrolit dilakukan jika ada kelainan pada elektrolit terutama hipokalemia dan hiponatremia. Setelah itu dilakukan pemantauan pada pasien.8 Agar tata laksana KAD dapat berjalan dengan baik maka diperlukan pemantauan yang ketat. Selama fase akut pemantauan tanda vital dilakukan setiap jam. Pemeriksaan gula darah sewaktu dilakukan setiap jam dan bisa dikonfirmasi dengan pemeriksaan gula darah vena jika terdapat penurunan gula darah yang terlalu drastis.3
Prognosis Pada pasien KAD umumnya setelah diberikan insulin dan terapi standar lainnya akan membaik, jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada pasien KAD adalah karena penyakit penyerta berat yang datang pada fase lanjut. Kematian meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan beratnya penyakit penyerta.1
Komplikasi Sebagian besar kematian pada DMT1 disebabkan oleh komplikasi KAD. Angka kematian di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris bervariasi antara 0,15-0,31%. Edema serebri menjadi penyebab kematian terbesar sekitar 21-24%. Tingkat kesadaran pada KAD dipantau dengan menggunakan skala koma Glasgow. Penilaian SKG merupakan salah satu parameter klinis adanya edema serebri (lih. Tabel 2).5
Tabel 2. Skala Koma Glasglow.5 Terminologi edema serebri merujuk pada peningkatan jumlah cairan di dalam jaringan otak (edema) yang menyebabkan peningkatan volume jaringan otak. Edema yang terjadi dapat berupa vasogenik akibat kerusakan sawar darah otak, edema sitotoksik akibat gangguan metabolik atau 10
edema osmotik akibat hiponatremia. Patogenesis awal terjadinya edema serebri sangat kompleks dan progresifitasnya belum sepenuhnya dipahami. Namun diperkirakan edema serebri terjadi melalui beberapa mekanisme antara lain akumulasi solut intraseluler, peran vasopressin dan atrial Natriuretic factor. Faktor risiko demografik yang meningkatkan risiko edema serebri antara lain usia yang muda, penderita baru DM, serta durasi gejala yang lama. Edema serebri paling banyak ditemukan pada DMT1 dan sekitar 10-25% mengalami gejala sisa seperti gangguan motorik, kehilangan penglihatan, kehilangan memori, dan kejang.5
Pencegahan Mencegah terjadinya KAD merupakan suatu langkah yang sangat penting bagi penderita DM. Ketosis merupakan keadaan sebelum terjadinya KAD sehingga apabila ditemukan pasien dalam fase ketosis biasanya keadaan klinisnya lebih ringan dan penatalaksanaannya lebih mudah.1 Tata laksana DMT1 yang komprehensif akan menurunkan kejadian berulangnya KAD. Berulangnya KAD pada anak dan remaja lebih disebabkan karena menolak penyuntikan insulin atau bosan melakukan penyuntikan dan akibat kurangnya pemahaman tentang DMT1 oleh orangtua dan keluarga lainnya. Infeksi (tanpa muntah dan diare) sangat jarang sebagai penyebab berulangnya KAD pada pasien yang telah memiliki pemahaman yang baik tentang tata laksana DM. Berikut terdapat tabel strategi untuk pencegahan KAD.1,5
Tabel 3. Strategi pencegahan KAD.1
11
Kesimpulan Ketoasidosis diabetes adalah kasus kegawatdaruratan yang dimana merupakan komplikasi dari diabetes mellitus tipe 1. Pada ketoasidosis diabetes terjadi kegagalan metabolisme glukosa sehingga benda keton dalam darah meningkat. Secara umum, bila tertangani, prognosis KAD baik.
Daftar Pustaka 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I, Simadibrata MK, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 6th ed.Jakarta; departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran indonesia. 2017.h. 2377-82 2. Yati NP, Tridjaja B. Panduan praktik klinis ikatan dokter anak Indonesia. Ketoasidosis dan edema serebri pada diabetes mellitus tipe-1. IDAI; 2017. h. 2-9 3. Riduan RJ, Mustofa S. penatalaksanaan KAD dan DM tipe-1 pada anak usia 15 tahun. Jurnal Medula Unila: April 2017;7(2).h.114-22 4. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatri. Jakarta: EGC; 2010 5. Pardade SO, Djer MM, Soesanti F, Ambarsari CG, Soebadi A. Tatalaksana berbagai keadaan gawat darurat pada anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak; 2013.h.71-82 6. Ketoasidosis
diabetik
pada
anak
dan
remaja.
Diunduh
dari
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/EN17_KetoasidosisDiabetik-Q.pdf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Pada tanggal 27 November 2018. 7. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatric Rudolph. Volume 3. Jakarta: EGC; 2007 8. Tridjaya B, Yati NP, Faizi M, dkk. Konsensus nasional penanganan diabetes melitus tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009
12