PATOFISIOLOGI DEPRESI Gangguan depresi disebabkan karena faktor biopsikososial dan interaksi neurotransmiter yang mempengaruhi patofisiologi secara kompleks.[5,8] Neurotransmiter yang paling berperan pada depresi adalah neurotransmiter monoaminergik, yaitu serotonin (5-HT), norepinefrin (NE), dan dopamin (DA). Neurotransmiter lain yang dinilai berperan adalah glutamat (GLUT), asam aminobutirik gamma/gamma-aminobutyric acid (GABA) dan faktor neurotropik otak/brain-derived neurotrophic factor (BDNF).[5,8,9] Defisiensi Monoamin Penyebab turunnya neurotransmiter ini masih belum diketahui secara pasti. Hipotesis yang ada memperkirakan adanya reaksi kompleks lain yang mempengaruhi kaskade intraseluler monoamin. Proses ini diatur oleh sistem serotonergik dan noradrenergik yang memproduksi serotonin 1A (5-HT1A), serotonin 1B (5-HT1B), dan norepinefrin.[5,8,9] Serotonin dan norepinefrin disintesis dari triptofan dan tirosin, kemudian disimpan di dalam vesikel neuron presinaps. Neurotransmiter monoamin ini akan dikeluarkan ke celah sinaps, untuk kemudian bekerja pada neuron presinaps dan post-sinaps, sehingga dapat mengatur regulsi emosi. Fungsi regulasi emosi ini diatur oleh kesimbangan antara availabilitas dan aktivitas reseptor neutrotransmiter. Reseptor 5-HT1B terletak pada presinaps dan mengatur keluarnya serotonin dengan inhibisi/feedback inhibition, sedangkan reseptor 5-HT1A terletak pada neuron presinaps dan post-sinaps untuk mengatur fungsi serotonin. Pada gangguan depresi, availabilitas serotonin di celah sinaps menurun. Hal ini disebabkan karena sensitifitas reseptor yang menurun, sehingga tidak terjadi inhibisi pengambilan kembali/reuptake serotonin. Reseptor NE terletak pada presinaps dan berfungsi mengatur keluarnya norepinefrin dengan inhibisi. Pada pasien depresi, sensitifitas reseptor NE meningkat, sehingga kemampuan untuk mengeluarkan norepinefrin menurun.[8,9] Peranan sistem serotonegik ini belum sepenuhnya dimengerti dan masih diteliti. Peranan neurotransmiter lainnya pada depresi masih belum diketahui secara pasti. Diperkirakan terdapat gangguan pada protein G pada neuron post-sinaps, turunnya akumulasi AMP siklik (c-AMP), penurunanan protein pengikat elemen respon AMP siklik/cylic AMP response element-binding (CREB), defisiensi dopamin, dan defisiensi GABA.[5,8,9] Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal Aktifitas aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) ditemukan meningkat pada pasien dengan depresi, hal ini disebabkan karena produksi berlebih hormon pelepas kortikotropin/corticotropin releasing hormone (CRH). Pada saat mengalami stress, korteks serebri dan amigdala menerima sinyal dan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus mengeluarkan CRH dan pituitari mengeluarkan kortikotropin. Kortikotropin kemudian menstimulasi korteks adrenal dan mengeluarkan hormon kortisol. Hirperkortisolemia berkepanjangan menyebabkan supresi neurogenesis dan atrofi hipokampus.[8,9] Perubahan Struktur Otak Otak merupakan bagian terpenting dalam pengaturan perilaku dan emosi. Pada depresi terjadi perubahan struktur otak yang masih belum diketahui penyebabnya. Studi meta-analisis menunjukkan adanya peningkatan ukuran ventrikel lateral, peningkatan volume cairan
serebropsinal, dan penurunan volume ganglia basalis, talamus, hipokamus, lobus frontal, dan korteks orbitofrontal pada depresi.[10] Depresi juga dapat terjadi bila terdapat gangguan pada jalur frontostriatal di korteks prefontral dorsolateral, korteks orbitofrontal, kingulata anterior, kingulata dorsal, hipokampus, amigdala, dan sirkuit limbik.