Patogenesis Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Bila kuman masuk kedalam tubuh maka tubuh akan bereaksi dengan mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae, disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.1 Sebenarnya leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, ataupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, sehingga mempengaruhi timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.3 Seseorang yang terinfeksi M.leprae gejala klinis yang akan timbul tergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepramatosa.2 a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid Pada MH tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas seluler tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang – kadang bersatu membentuk sel datia Langhans, bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.3 Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan darah kemudian mencapai target dari basal antara lain :2 1. Sel Schwann saraf tepi 2. Sel endotel pembuluh darah 3. Sel pericytes pembuluh darah 4. Sel monosit dan makrofag Apabila imunitas seluler penderita tersebut tinggi ditandai dengan uji lepromin yang positif maka dalam waktu yang singkat sel-sel radang akan datang ke sekitar makrofag atau sel Schwann tersebut. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan kuman M. leprae. Namun, efek samping dari peradangan tersebut akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat. Peradangan yang terjadi hanya sekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah sehingga lesinya sedikit dan asimetris, berbatas tegas karena dibatasi oleh sel radang, kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan yang menyebabkan keringat berkurang, kulit kering dan rambut kulit tidak ada.2 b. Patogenesis MH tipe lepramatosa Pada MH tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultifkasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.1 Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negative, maka proses fagositasis yang terjadi lemah, sehingga kuman akan bermultiplikasi lebih banyak di dalam sel makrofag atau sel Schwann. Makrofag akan berubah menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil. Apabila kuman basil sudah terlalu banyak Foam cell akan pecah sehingga kuman basil akan keluar, lalu di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman
basil akan masuk kedalam aliran darah dan menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan anestesi yang lama terjadi.2 c. Patogenesis MH tipe Borderline Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa dapat berubah tipe karena merupakan tipe yang tidak stabil.2
Patofisiologi Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.3 Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa organism tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. 3 Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. 3 Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri.3
Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.3
Manifestasi Klinis Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita. Bila imunitas seluler baik akan tambah gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya jika sistem imunitas seluler rendah memberikan gambaran lepromatosa. Manifestasi klinis penyakit MH pada pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Gejala dan keluhannya tergantung pada : multifikasi dan diseminasi kuman M.leprae
respon imun penderita terhadap kuman M.leprae
komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Ada 3 tanda kardinal, jika salah satunya ada, tanda tersebut telah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit MH ini.
1. lesi kulit yang anestesi
2. penebalan saraf perifer
3. ditemukan M.leprae (bakteriologis positif)
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi
5
kelompok
berdasarkan
gambaran
klinis,
bakteriologis,
histopatologis, dan imunologis.4 1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman MH. 2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit MH. Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
tempat-tempat penebalan saraf.
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat terjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabutserabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki. Tabel X.X Klasifikasi Morbus Hansen3 Madrid
Ridley-Jopling
WHO
Tuberkuloid
Tuberkuloid polar (TT)
Pausibasiler (PB)
Tuberkuloid Indefinite (Ti) Borderline Tuberkuloid (BT) Borderline
Mid Borderline (BB) Borderline Lepromatous (BL) Lepromatous indefinite (Li)
Lepromatosa
Lepromatosa polar (LL)
Multibasiler (MB
Gambar X.X. Soliter, Anestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy, yang telah ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick perception pada sentral lesi tidak ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika dibandingkan dengan kulit sekitarnya yang normal.1
Gambar X.X beberapa lesi Borderline leprosy (BT), ysng memiliki konfigurasi anular yang inkomplit dengan papul satelit. bandingan dengan TT lesi, lesi in lebih kurang eritema. 1
Gambar X.X. lesi multiple pada pasien dengan borserline lepromatous leprosy (BL). lesi annular dengan ukuran bervariasi dan distribusi asimetris.1 Multibasiler berarti mengandung lebih banyak kuman yaitu tipe LL< BL, dan BB, sedangkan pausi basiler berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT dan I.
Tabel X.X Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pusibasiler
Tabel X.X Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler3
Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di obati dengan regimen MDT-TB.3 Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak tersedia di lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf terkena. Tabel X.X Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19953 PB 1.Lesi kulit (makula yang datar,
papul
yang
meninggi, infiltrat, plak
MB 1-5 lesi
> 5 lesi
Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris
Distribusi simetris
Hilangnya sensasi yang
Hilangnya
jelas
kurang jelas
Hanya satu cabang saraf
Banyak cabang saraf
eritem, nodus)
saraf (menyebabkan hilangnya 2.Kerusakan
sensasi/kelemahan
otot
yang
oleh
dipersarafi
saraf yang terkena)
sensasi
DAFTAR PUSTAKA 1. Delphine J. Lee, Thomas H. Rea, &Robert L. Modlin. 2012. Leprosy dalam Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Eighth Edition. New York: Mc Graw Hill. Hal 2253-2263 2. Diagnosis dan Pencegahan Kecacatan Kusta dalam Kumpulan Makalah Simposium dan Workshop. FK UNAND, 2011 3. Menaldi, Sri L. 2016. lmu Penyakit Kulit & Kelamin Edisi VII. Jakarta. FKUI 4. Kosasih A, dkk. 2007. Kusta dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI. Hal 73-88