Patgul Laporan.docx

  • Uploaded by: Fery Haidir
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Patgul Laporan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,511
  • Pages: 4
Warna merupakan salah satu atribut penting pada produk gula merah karena merupakan salah satu indikator kualitas yang langsung dinilai oleh konsumen. Umumnya gula merah dengan warna yang lebih cerah dianggap memiliki kualitas yang lebih baik. Sedangkan menurut SNI 01-6237-2000, gula merah dengan kualitas yang baik memiliki kisaran warna antara coklat muda hingga coklat tua (Badan Standardisasi Nasional, 2000). The L*a*b*, or CIELab, color space is an international standard for color measurements, adopted by the Commission Internationale d’Eclairage (CIE) in 1976. L* is the luminance or lightness component, which ranges from 0 to 100, and parameters a* (from green to red) and b* (from blue to yellow) are the two chromatic components, which range from 120 to 120 (Papadakis, Abdul-Malek, Kamdem, & Yam, 2000; Segnini, Dejmek, & O¨ ste, 1999; Yam & Papadakis, 2004). Berdasarkan percobaan menggunakan colorimeter terhadap 6 sampel nira tebu yang berbeda bagiannya, yaitu nira tebu bagian atas(I), nira tebu bagian bawah(II) , nira tebu campuran(III), nira tebu bagian atas menggunakan kapur(IV), nira tebu bagian bawah menggunakan kapur(V), dan nira tebu campuran menggunakan kapur(VI). Pengukuran yang dilakukan adalah indeks warna a, b, L, dan Hue. Hasil analisi adalah sampel (I) memiliki nilai L = 36,88; a = 8,63; b = 16,60; c =18,71; H=62,53, sampel (II) memiliki nilai L = 34,29; a = 9,60; b =13,31; c = 16,41; H=54,21, sampel (III) memiliki nilai L = 31,20; a = 10,66; b =12,31; c = 16,28; H=49,11, sampel (IV) memiliki nilai L = 34,87; a = 7,14; b =9,92; c = 12,22; H=54,24, sampel (V) memiliki nilai L = 28,51; a = 7,87; b =8,82; c= 11,82 , H = 49,25, sampel (VI) memiliki nilai L = ; a = 8,63; b =18,71; c = 17,98; H=62,53. Menurut Indrie et al (2017), menunjukkan bahwa perlakuan bahan aditif berpengaruh nyata terhadap intensitas kecerahan (nilai L), indeks warna merah (nilai a), maupun indeks warna kuning (nilai b) pada produk produk gula merah tebu. Kombinasi penggunaan larutan kapur dengan gula pasir ataupun baking soda menyebabkan peningkatan intensitas warna merah dan kuning pada produk gula merah tebu. Gula semut adalah gula aren berbentuk bubuk yang dibuat dari nira palma, yaitu suatu larutan gula cetak palmae yang telah dilebur kembali dengan penambahan air pada konsentrasi tertentu (Zuliana, 2016). Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa atau pohon aren. Bahan yang digunakan dalam percobaan adalah gula merah yang dipanaskan. Terbentuknya aroma pada pembuatan gula semut akibat proses pamanasan karena karamelisasi dari gula serta reaksi Maillard yang menghasilkan flavour gula. Gula semut yang dibuat dengan cara pemasakan langsung memiliki aroma khas aren. Sedangkan gula semut yang dibuat dengan cara penguapan cairan nira terlebih dahulu memiliki aroma yang kurang tajam, karena suhu pada proses pemasakan kurang maksimal sehingga aroma tidak timbul ( Zuliana, 2016). Tekstur yang kering pada gula semut yang dihasilkan akibat pemasakan yang maksimal sehingga kadar air yang terkandung di dalam nira banyak yang menguap. Gula semut yang dibuat dengan cara penguapan cairan nira terlebih dahulu memiliki tekstur yang sedikit lembek/basah, hal ini disebabkan air yang terdapat di dalam cairan nira yang di masak membentuk air kristal sehingga kadar air yang terkandung di dalam gula semut masih tinggi dan tekstur gula semut yang dihasilkan lunak (Siti Zahrotun 2017).

Berdasarkan percobaan uji warna menggunakan colorimeter pada sampe gula semut dari kelapa dan aren, sampel gula semut kelapa tanpa gula pereduksi menghasilkan indeks warna L= 53,65; a= 11,47; b= 29,93; c= 32,06; H= 69,22, sampel gula semut kelapa dengan gula pereduksi 5% menghasilkan indeks warna L= 34,69; a= 12,77; b= 15,93; c= 20,41; H= 51,29, sampel gula semut kelapa dengan gula pereduksi 10% menghasilkan indeks warna L= 30,55; a= 10,11; b= 11,49; c= 15,30; H= 48,65, sampel gula semut aren tanpa gula pereduksi menghasilkan indeks warna L= 45,27; a= 12,03; b= 21,87; c= 24,96; H= 61,86, sampel gula semut aren dengan gula pereduksi 5% menghasilkan indeks warna L= 39,71; a= 11,84; b= 20,08; c= 23,31; H= 59,48, sampel gula semut aren dengan gula pereduksi 10% menghasilkan indeks warna L= 40,61; a= 15,48; b= 23,59; c= 28,21; H= 56,73. Penambahan gula pasir dan suhu pembibitan berpengaruh nyata terhadap indeks pencoklatan pada gula granular. sesuai persyaratan SII yang memperbolehkan warna kuning coklat Semakin banyak penambahan gula pasir, semakin besar pula terbentuknya kristal gula dalam proses kristalisasi, sehingga dapat mencegah terurainya sukrosa menjadi gula-gula sederhana yang dapat memperkecil terjadinya reaksi pencoklatan. Kecepatan pembentukan warna coklat dipengaruhi oleh sifat asam amino atau protein dan karbohidrat atau gula yang bereaksi, sedangkan faktor lain yang mempengaruhi terhadap reaksi pencoklatan adalah suhu, pH dan aktivitas air (Joseph HG and Layuk P 2012). Tingkat kekerasan merupakan salah satu faktor kualitas fisik penting pada produk gula merah. Menurut SNI 01-6237-2000, gula merah tebu dengan kualitas yang baik memiliki tekstur dan struktur yang kompak, berpasir lembut, serta tidak terlalu keras (Badan Standardisasi Nasional, 2000). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan bahan aditif yang berbeda, berpengaruh nyata terhadap tingkat kekerasan gula merah yang dihasilkan. Kombinasi penggunaan larutan kapur dengan gula pasir justru menghasilkan tekstur gula merah yang cenderung lunak. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa penambahan gula pasir justru mendorong terbentuknya gula reduksi. Kandungan gula reduksi yang tinggi inilah yang menyebabkan gula merah menjadi lunak dan bersifat higroskopis (Maharani et al., 2014). Peningkatan kadar protein akibat penambahan bahan aditif juga memiliki pengaruh terhadap tingkat kekerasan gula merah. Menurut Firmansyah dalam Hau et al. (2016), jumlah protein yang tinggi dapat menurunkan tingkat kekerasan gula merah. Berdasarkan uji kekerasan yang dilakukan pada gula merah tebu, sampel nira tebu bagian atas tanpa kapur memiliki nilai kedalaman penetrometer paling kecil sebesar 0,9mm/10 det yang menggambarkan gula merah yang dihasilkan paling keras dari sampel yang lain. Sedangkan yang paling tinggi nilai penetrometernya adalah sampel nira tebu bagian bawah menggunakan kapur. Hal ini menggambarkan sesuai dengan literatur, jumlah gula yang banyak dengan campuran kapur akan membuat tekstur gula merah cetak semakin lunak. Bahan tidak larut (ketidaklarutan) merupakan kandungan padatan yang tidak bisa larut (kotoran) yang terdapat dalam gula, dimana jika kadarnya tinggi akan mempengaruhi kandungan bahan lain dalam gula. Kadar bahan tak larut air pada gula semut yang dihasilkan dari sampel gula semut kelapa tanpa gula pereduksi, sampel gula semut kelapa dengan gula pereduksi

5%, sampel gula semut kelapa dengan gula pereduksi 10%, sampel gula semut aren tanpa gula pereduksi, sampel gula semut aren dengan gula pereduksi 5%, dan sampel gula semut aren dengan gula pereduksi 10% berturut – turut adalah 4,9%, 2,9%, 4%, 3,4%, 5,5%, dan 3,8%. Semua hasil yang diperoleh lebih tinggi dari syarat mutu pada SNI gula semut (SNI 01-3743-1995) yaitu maksimum 0,2%. Hal ini menunjukan proses pembuatan gula semut aren belum baik karena masih terdapat kandungan pengotor pada gula semut aren. Tingginya kadar padatan tak larut diduga karena ada bahan tambahan lain seperti tepung atau proses produksi yang masih kurang memperhatikan kebersihan alat. Keragaman bahan tidak larut pada gula aren kristal ditentukan oleh bahan-bahan lain non gula (impurities) seperti kotoran dari kayu bakar, yang ada pada gula aren cetak atau yang ikut masuk pada saat proses pengolahan gula semut. Bahan lain non gula (impurities) akan mempengaruhi kelarutan, dimana bahan tersebut tidak akan ikut larut, sehingga kelarutan gula tersebut menjadi berkurang (Susi 2013). Penentuan kadar gula pereduksi dilakukan dengan metode Luff Shcrool. Metode Luff Schoorl didasarkan pada proses reduksi Cu2+ menjadi Cu+ oleh gula . Larutan Luff Schoorl mengandung ion Cu2+. Gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa akan mereduksi CuO menjadi Cu2O (SNI 2004). Kadar gula pereduksi gula pasir dengan asam HCl, gula kelapa dengan asam HCl, gula aren dengan asam HCl, Gula pasir dengan asam tartarat, gula kelapa dengan asam tartarat, dan gula aren dengan asam tartarat berturut – turut 67,7; 47,2; 13,2; 84,9; 12,6; dan 5,4. Penggunaan asam untuk mempercepat proses pemutusan polisakarida ke molekul glukosa atau monosakarida. Semakin tinggi pH maka konstanta kecepatan reaksi semakin kecil, yang berarti bahwa reaksi semakin lambat. Begitu sebaliknya semakin rendah pH maka konstanta kecepatan reaksi semakin besar, yang berarti bahwa reaksi semakin cepat (Suwarno et al 2015). Menurut Muchaymien et al. (2014) semakin rendahnya gula pereduksi maka kecenderungan gula aren untuk menyerap air semakin rendah. DE adalah besaran yang menyatakan prosentase gula pereduksi, dinyatakan sebagai dekstrose yang terdapat dalam produk hidrolisis karbohidrat (pati). DE erat kaitannya dengan derajat polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. Unit monomer dalam pati adalah glukosa. Uji hidrolisat pati dilakukan pada pati tapioka dan sagu dalam bentuk maltodekstrin dan sirup glukosa menghasilkan DE dan DP berturut – turut (2,368;42,214), (0,206;484,2), (0,427;234), (1,293;77,333), (6,286;15,907), dan (4,155;24,064). Semakin tinggi DE larutan maka semakin tinggi pula kadar maltosa dan semakin rendah kadar dekstrin (Yunianta et al 2010). Pada konsentrasi pati rendah, laju reaksi pembentukan produk cukup tinggi, tetapi kenaikan laju reaksi semakin kecil dengan naiknya konsentrasi pati, dan pada konsentrasi pati tertentu, laju reaksinya cenderung konstan (Palav & Saetharman, 2006). Produk dekstrin hasil hidrolisa yang diperoleh tiap satuan waktu relatif tetap. Dengan demikian nilai DE yang dihasilkan dari hidrolisa pati dengan konsentrasi tinggi, lebih rendah. Gula pereduksi yang dihasilkan dalam percobaan masih memiliki persentase yang kecil. Menurut Eva dan Yunianta (2015), Semakin banyak ikatan glikosidik yang dapat dipecah akan menyebabkan jumlah gula reduksi meningkat.

Related Documents


More Documents from "RAHAYU Lestari"