Partai Politik.docx

  • Uploaded by: Rii Fghf
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Partai Politik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,387
  • Pages: 25
PARTAI POLITIK DAN PARTISIPASI POLITIK Pendahuluan Partai politik dianggap sebagai salah satu atribut negara demokrasi modern ataupun merupakan sebagai sarana bagi warga negara (masyarakat umum) untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Selain itu partai politik juga merupakan salah satu prasyarat bagi suatu negara yang merdeka dan berdaulat sebagai salah satu sarana atau wadah menampung serta menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemerintah negaranya. Dalam tulisan ini akan dipaparkan penjelasan mengenai partai politik dan juga partisipasi politik. Penjelasan mengenai partai politik dan pasrtisipasi politik yang dimuat dalam tulisan ini, mencakup: sejarah perkembangan, definisi, fungsi, klasifikasi sistem kepartaian, tripologi partai politik, serta perkembangan partai politik di Indonesia. Berikut penjelasan mengenai partai politik.

 Sejarah perkembangan partai politik. Sekitar abad ke 18 negara-negara Eropa Barat, mulai muncul gagasan bahwa dalam penyelenggaraan politik, rakyat haruslah diikut sertakan, bermula dari gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik, partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah. Partai politik tersebut dimulai awalnya dari sebuah kelompok penting, pada akhir abad ke 18-an di negara Inggris dan Prancis kegiatan politik dipusatkan pada kelompok politik dalam parlemen yang bersifat elastis dan aritokrasi yang tujuannya mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-tuntutan raja. Sistem partai seperti ini hanya mengutamakannya kemenangan dalam pemilihan umum, dan tidak terlalu aktf pada saat diluar pemilu. Selain itu biasanya tidak ada pemungutan iuran, dan disiplin yang ketat. Partai semacam ini biasanya mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, yang terdiri dari berbagai kelompok politik dalam masyarakat dimana keikutsertaan mereka didasari atas adanya kesepakatan untuk memperjuangkan program tertentu. Contoh: Partai Republik dan Partai Demokrat. Selanjutnya perkembangan partai didunia Barat melahirkan partai_partai yang dibentuk diluar parlemen. Yang biasa disebut dengan partai kader, partai ideologi, atau partai asas. Dimana partai-partai ini bersandar pada suatu asas atau idologi tertentu, seperti: Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Partai-partai ini mempunyai disiplin yang ketat dan mengikat dalam mempertahankan pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan pimpinan. Pada masa menjelang Perang Duni I timbul klasifikasi partai yang bertolak dari perbedaan ideologi dan ekonomi, yaitu partai ”kiri” dan ’kanan”. Pembagian ini berasal dari revolusi Prancis ketika parlemen mengadakan sidang pada tahun 1879. saat sidang beralangsung, para pendukung raja dan srtuktur tradisional duduk sebelah kanan panggung ketua. Pada sebelah kiri, diisi oleh mereka yang menginginkan perubahan dan reformasi. Menjelang usai Perang Dunia II, timbul kecenderungan di negara-negara Barat untuk tidak lagi membedakan antara berbagai jenis partai (Kiri dan Kanan), karena disebabkan adanya keinginan pada partai-partai untuk menjadi partai besar dan menang dalam pemilihan umum. Tujuan partai itu adalah memperluas dukungan pemilih (electoral base)dengan cara mengendorkan sikap doktrinerm kaku, ekslusif menjadi fleksibel dan inklusif. Menurut Otto Kircheimer dinamakan de-ideologisasi[1]. Perkembangan selanjuttnya ialah timulnya partai modern menurut Otto Kircheimer disebut catchall party yaitu partai yang ingin mengimpun semaksimal mungkin dukungan dari berbagai macam

masyarakat dan dengan sendirinya lebih inklusif ini mencerminkan perubahan dalam keadaan politik dan sosial, terutama dengan kemajuan teknologi dan dampak dari televisi. Ciri kahasnya terorganisasi secara profesional dengan staf yang bekerja penuh waktu dan memperjuangkan kepentingan umum.

 Definisi Partai Politik Partai politik pada awalnya dibentuk atas dasar keinginan untuk menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai visi dan misi yang sama, sehingga pikiran dan orientasi mereka dapat dikonsolidasikan. Berangkat dari hal tersebut, dapat diuraikan bahwa partai politik merupakan kelompok terorganisir, dimana anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama, yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dengan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik [2]. Berikut pendapat beberapa pendapat para ahli ilmu klasik dan kontemporer mengenai definisi ilmu politik: Geovanni Sartor: Partai Politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan politik (A party is any political group that present at elections, and is capable of placing through elections candidates for public office)( G. Sartori, Parties ang Party system. Hlm :63) Edmund Burken: partai politik adalah sekelompok manusia yang secara bersama-sama menyetujui prinsip-prinsip tertentu untuk mengabdi dan melindungi kepentingan nasional (A political party is a group of men who had agreed upon a principal by which the nasional interest might be served) Roger H. Saltau: partai politik merupakan sekelompok warga negara yang sedikit banyak diorganisir secara ketat, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang bertujuan menguasai pemerintahan serta melaksanakan kebijakkan mereka (A political party is a group of citizen more or less organized, who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general politicos) Carl J. Friedrich: Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainyadan berdasarkan penguasaan ini, memberkan kepada partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (a poitical party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or montaining for its leader the control of a government, with the further objective of giving to members or the party, through such control idea and material benefits and advantages)[3]. Sigmund Neuman: Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views)[4].

 Fungsi Partai Politik Fungsi partai politik akan berbeda ditiap-tiap negara, baik negara demokrasi, negara otoriter, maupun negara berkembang. Fungsi di Negara Demokrasi a)

Sebagai Sarana Komunikasi Politik Partai politik bertugas menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah baik dalam penyampaian aspirasi masyarakat kepada pemerintah, ataupun menyebarluaskan kebijakan pemerintah.

b)

Sebagai Sarana Sosialisasi Politik Partai politik dapat membudayakan politik (mensosialisasikan politik) ditengah masyarakat, sehingga nantinya budaya politik ini akan terus menerus disampaikan hingga generasi berikutnya.

c)

Sebagai Sarana Rekrutmen Politik Partai politik berusaha untuk menarik masyarakat sebanyak-banyaknya, baik untuk dilatih sebagai calon pemimpin ataupun sebagai anggota biasa. Rekrutmen dapat dilakukan dengan cara kontak pribadi, persuasi dan sebagainya. d)

Sebagai Sarana Pengatur Konflik Partai politik dapat mengatsi konflik-konflik yang timbul ditengah masyarakat juga dapat menjadi penegah antara sesama masyarakat maupun pemerintah. Fungsi di Negara Otoriter Menurut paham komunis sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah partai komunis berkuasa dimana negara tersebut berkuasa. Tujuan dari partai komunis adalah membawa masyarakat yang modern dengan ideologi komunis, dan partai berfungsi sebagai pelopor revolusioner untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi partai komunis sebagai sarana komunikasi politik ialah menyalurkan informasi yang menunjang usaha pimpinan partai. Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik ialah melakukan pembinaan warga negara kearah kehidupannya dan cara berfikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai. Sebagai sarana rekruitmen politik adalah mengutamakan orang yang mempunyai kemampuan untuk mengabdi kepada partai. Fungsi di Negara Berkembang Pada dasarnya partai politik di negara berkembang diharapkan dapat mampu untuk menjalankan fungsi partai sebagaimana dilaksanakan dinegara yang sudah mapan kehidupan politiknya. Namun kenyataan nya partai politik dinegara berkembang dihadapkan pada permasalahan yang sangat berat, dan sering kali harapan yang ditujukan dan beban yang ditanggung oleh partai politik terlalu tinggidisebakan faktor kemiskinan dan ketidakstabilan. Seringkali partai politik dinegara bekembang kurang menjalankan fungsinya untuk menjembatani antara pemerintah dan masyarakat, seba dikarenakan adanya kesenjangan status sosial yang terlampu jauh. Bahkan pertikaian pun sering kali terjadi akibat ketidak mampuan dari partai politik menyampaikan pengertian kepada masyarakat dan ketidak mampuan untuk meredam gejala konflik tersebut. Sehingga dinegara berkembang, partai politik lebih banyak diharapkan perannya untuk mengembangkan integrasi nasional dan identitas nasional,namun peran serta partai politik seperti roda perpolitikan tidak ditinggalkan.

 Klasifikasi Sistem Kepartaian Secara konvensional klasifikasi sistem kepartaian terbagi menjadi tiga bagian yaitu: a)

Sistem Partai Tunggal Memiliki pengertian dimana hanya ada satu partai yaang dominan diantara beberapa partai lainnya,

atau negara yang hanya memiliki satu partai. Sistem partai tunggal biasanya dipakai oleh negara-negara yang baru lepas, karena dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan-permasalahan yang dihadapi, sementara bentuk negara yang masih baru yang masih sulit untuk mengintegrasikan berbagai golongan , daerah serta suku yang beragam.

Fungsi partai ini meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Contoh negara yang memakai sistem partaitunggal adalah Afrika, China ,dan Kuba b)

Sistem Dwi-partai Sitem dwi-partai adalah sistem dimanaada dua partai diantara beberapa partai yang ada mempunyai

kedudukan yang dominan, karena berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergilir. Memiliki 3 syarat yang harus dipenuh dalam sistem dwi partai yaitu: 1.

Komposisi masyarakat bersifat homogen

2.

Adanya konsensus yang kuat dari masyarakat mengenai asa dan tujuan sosial dan politik.

3.

Adanya kontinuitas sejarah Contoh negara yang menggunakan sistem Dwi-partai adalah Inggris, Amerika Serikat, Filipina ,

Kanada, dan Seladia Baru c)

Sitem Multi-partai Sistem multi-partai merupakan sistem yang terdiri dari banyak partai, dimana setiap partai memiliki

kesempatan yang sama untuk menang dalam pemilihan umum. Sistem multi-partai biasanya dijumpai dinegara-negara yang mengakui adanya keanekaragaman budaya politik dalam masyarakat. Dalam sistem multi-partai, kekuasaan cenderung kepada badan legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Disisi lain partai oposisi kurang memainkan peran yang jelas, karena sewaktu-waktu bisa diajak berkoalisi dalam pemerintahan yang baru. Contoh dari negara multi-partai: Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia.

 Tipologi Partai Politik Tipologi partai politik adalah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria tertentu seperti; asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan tujuan. a.

Asas dan Orientasi berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik dibedakan menjadi 3 tipe yaitu:

Partai politik pragmatis, merupakan suatu partai yang mempunyai program dan kegiatan yang tidak terikat kaku pada suatu dokrin atau ideologi tertentu. Contoh partainya adalah partai demokrat dan partai republik di Amerika Serikat Partai politik doktiner, memiliki sejumlah program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran ideologinya.contohnya partai Komunis Partai politik kepentingan, merupakan partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu. Contohnya partai hijau di Jerman, Partai Buruh di australia, dan partai petani di Swiss. b.

Komposisi dan Fungsi Anggota berdasarkan komposisi dan fungsi anggotanya dibedakan menjadi 2 yaitu:

Partai Massa (lindungan), yaitu partai politik yang mengandalkan kekuatan pada jumlah anggota. Contohnya Partai Barisab Nasional di Malaysia, yaang terdiri dari etnis Melayu, China, dan India. Partai Kader merupakan partai yang sumber kekuatannya merupakan merupakan sumber anggota, ketatnya organisasi, dan kedisiplinan anggota. Contohnya partai komunis dan Nazi di Jerman. c.

Basis Sosial dan Tujuan berdasarkan basis sosialnya partai politik dibedakan menjadi 4 tipe:

Partai politik yang beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, seperti kelas atas, menegah dan bawah. Partai politik yang beranggotankan berasal dari kalangan kelompok kepentingan tertentu, seperti petani, buruh dan pengusaha. Partai politik yang anggotanya dari pemeluk agama tertentu, seperti Islam, Katolik, Protestan dan lainnya. Partai politik yang anggtanya berasal dari kelompok budaya tertentu, seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah tertentu. Berdasarkan tujuan partai dibedakan menjadi tiga, pertama partai perwakilan kelompok, kedua partai pembinaan bangsa, ketiga partai mobilisasi. Partisipasi Politik Partisipasi Politik menurut Budiarjo yakni kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalam memilih pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sedangkan menurut Huntington dan Nelson, Partisipasi Politik yakni kegiatan warganegara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Bentuk-bentuk

partisipasi

meliputi

partisipasi

politik

pasif

berupa

kegiatan

mentaati

peraturan/perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah dan partisipasi aktif yaitu mencakupi kegiatan warga negara mengajukan usulan suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik, dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan.[5] Kategori partisipasi politik ada empat, yaitu : -

Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.

-

Spektator, yaitu orang-orang yang setidak-tidakna pernah ikut dalam pemilihan umum.

-

Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik.

-

Pengritik, yaitu orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konfesional. Model Partisipasi Politik Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan keparcayaan kepada pemerintah tinggi maka partisipasi politik cenderung aktif. Apabila kesadaran dan kepercayaan sangat kecil maka partisipasi politik menjadi pasif dan apatis. Apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan terhadap pemerintah lemah maka perilaku yang muncul adalah militan radikal. Apabila kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan terhadap pemerintah tinggi maka partisipasinya menjadi sangat pasif. Budaya Politik Partisipan (Participant Political Culture) Budaya politik participan adalah Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi. Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan

kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima. Kebudayaan Subjek Partisipan (Subject Participant Culture) Peralihan dari budaya parochial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya subjek partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga Negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif. Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan itu dapat mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infra struktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan. Kebudayaan Parochial Participan (The Parochial Culture) Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini terlihat Negaranegara tersebut sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan. Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab.

 Kesimpulan Partai politik adalah organisasi resmi dimana anggotanya terdiri dari masyarakat yang mempunyai misi dan visi yang sama, orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama, dan keseluruhan dari anggota partai mempunyai tujuan yang sama. Untuk mewujudkan tujuan yang sa,ma tersebut, maka diperlukan adanya kekuasaan dan kedudukan politik. Partai politik dibentuk tidak hanya dengan tujuan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan tetapi juga bertujuan untuk bisa menjadi wadah penampung aspirasi dan pendapat masyarakat yang dilaksanakan melalui fungsinya sebagai jembatan antara yang memerintah dan yang diperintah. Ada

tiga sistem pengklasifikasian sistem kepartaian, yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem multi-partai. Jadi dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik yang ada.

TRIAS POLITICA (SISTEM PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENURUT UUD 1945) Oleh: Sella Anryani Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan menurut fungsinya dan ini ada hubungannya dengan doktrin Trias Politica. Ajaran Trias Politica diajarkan oleh pemikir Inggris yaitu John Locke dan pemikir Perancis yaitu de Montesquieu. Menurut ajaran tersebut:[1] a. Badan Legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk undang-undang b. Badan Eksekutif, yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang c. Badan Yudikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan mengadilinya. Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan yang sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara lebih terjamin. Ajaran Trias politica di luar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintahan dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat garis-garis dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli,yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat, dan Rusia. Aliran-aliran itu oleh Indonesia diperhatikan sungguh-sungguh dalam penguasaan ketatanegaraan ini, karena semata-mata untuk menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi. Pembagian kekuasaan pemerintahan RI 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tetapi pengaruhnya di dapat dari sejarah konstitusi di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem dari negara manapun, tetapi merupakan suatu sistem yang khas menurut kepribadian bangsa Indonesia. Namun sistem ketatanegaraan RI tidak terlepas dari ajaran Trias Politica, Montesquieu. Ajaran Trias Politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggungjawaban.

Trias politica yang dipakai di Indonesia saat sekarang ini adalah pemisahan kekuasaan. Salah satu buktinya dalam hal membentuk undang-undang dimana sebelum adanya perubahan, undang-undang dibentuk oleh Presiden, namun setelah adanya perubahan, undang-undang dibentuk oleh DPR. Undangundang diubah satu kali dalam empat tahap. Saat ini Presiden dapat mengajukan rancangan undangundang. DPR selain memegang kekuasaan membentuk undang-undang dalam melakukan pengawasan memiliki:[2] a.

Hak angket, yaitu menanyakan kepada Presiden mengenai hal-hal yang mengganggu

kepentingan nasional. b. Hak interpelasi, yaitu untuk melakukan penyelidikan. Dalam menjalankan fungsi eksekutif, Presiden dibantu oleh wakil Presiden beserta mentri-mentri Presiden sebagai kepala negara memiliki kewenangan, untuk mengangkat duta dan konsul, menempatkan duta negara lain, pemberian grasi dan rehabilitasi, pemberian amnesty dan abolisi, memberi gelar dan tanda jasa. Sistem presidensil di Indonesia setelah amandemen UUD 1945, antara lain:[3] a. Adanya kepastian mengenai masa jabatan Presiden. b. Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan c. Adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi. PP dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan undang-undang, jadi suatu UU tanpa PP belum bisa dilaksanakan. Sedangkan Perpu dibuat untuk kepentingan negara. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan yang merdeka untuk ,menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diatur dalam pasal 24, 24A, 24B, 24C, 25, NKRI 1945 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.[4] Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah bebas dari intervensi ekstra yudisial. Tugas hakim yaitu menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dalam rangka mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila ajaran Trias Politica diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undangundang Dasar 1945 menganut ajaran tersebut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisahkan dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara. Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga yang diatur dalam UUD 1945. Organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu:[5] a. Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) b. Presiden c. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) d. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) f. Mahkamah Agung (MA) Sedangkan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu:[6] a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) b. Presiden c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

d. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) f. Mahkamah Agung (MA) g. Mahkamah Konstitusi (MK) Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang atau tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin perpisahan kekuasaan. PENGERTIAN SISTEM MULTI PARTAI Suatu sistem dikatakan menganut multipartai,apabila di dalam wilayah Negara tersebut terdapat lebih dari dua partai yang diakui secara konstitusional. Contoh Negara yang menganut sistem multipartai, antara lain Indonesia,Filipina,jepang,Malaysia,Belanda dan Prancis. Sistem multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Kata kunci dari sistem multipartai tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu, lebih dari dua partai politik. Umumnya sistem ini dianggap cara paling efektif dalam merepresentasikan keinginan rakyat yang beranekaragam ras, agama, atau suku. Dan lebih cocok dengan pluralitas budaya dan politik di banding dwi partai. Sistem ini dalam kepemerintahan parlementer cenderung menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, hingga badan eksekutif sering berperan lemah dan ragu-ragu. Sebab tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk menduduki kepemerintahan sendiri hingga memaksa untuk berkoalisi.. 1.2 SISTEM MULTIPARTAI DI INDONESIA Kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdapat pada pasal 28. Memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan berdasarkan hukum. asas tersebut terwujud dalam institusi partai politik. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mendefinisikan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi. Salah satu hasil reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan berpendapat dan berkumpul yang ditandai dengan banyaknya partai (multi partai) dengan berbagai asas dan ciri. Undang-undang

kepartaian telah membolehkan berdirinya partai dengan berbagai asas dan ciri dengan tetap harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai baru pun bermunculan dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai kesempatan untuk mempropagandakan "ide-ide" dan "program-program mereka". Ratusan partai telah berdiri dan berusaha mendaftarkan diri ke Departemen kehakiman untuk mendapatkan pengesahan. Tak ketinggalan media massa sebagai "alat pengarah dan penggiring massa" mengikuti gejala pluralitas partai itu pun dengan masing-masing menekankan dan menonjolkan partai atau tokoh partai yang cenderung didukungnya. Partai-partai yang begitu banyak dan masing-masing memiliki kepentingan sendiri Namun yang jelas, target partai-partai yang ada, apapun asas ciri dan warna partai itu, termasuk dalam hal ini partaipartai yang mengaku berasaskan Islam atau berbasis umat Islam, jelas adalah mendapatkan suara dan kekuasaan dalam pemilu mendatang untuk nantinya menyusun pemerintahan yang mendapatkan legitimasi. Partai apapun yang menang, sekalipun asas dan cirinya mengarah kekiri-kirian, partai itu akan dianggap layak memerintah. Sekalipun partai itu adalah partai yang menyerukan kepada ide-ide sekularisme dan gaya hidup kebebasan, jika mendapat suara terbanyak, pemerintahan partai itu harus ditaati. Itulah realitas multipartai yang ada dalam sistem demokrasi. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem multipartai telah berlangsung sejak pemilu pertama ada tahun 1955 dengan jumlah 178 peserta termasuk calon perorangan, Pemilu 1971 diikuti 10 Parpol, Pemilu 1999 diikuti oleh 48 Parpol, dan Pemilu 2004 diikuti oleh 24 parpol. Sementara pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 hanya diikuti 3 parpol. yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiganya merupakan hasil dari fusi (penggabungan) dari partai-partai yang menjadi peserta pada Pemilu 1971. PPP adalah hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba. Pemilu di masa orde baru ini sering disebut dengan sistem multipartai sederhana.

Di masa transisi politik saat ini, nampaknya sistem multipartai masih akan menjadi idola dan bertahan lama. Pasalnya, selain konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, para elit politik juga gemar menginstitusionaliosasikan dirinya kedalam bentuk parpol. Karena partai politik merupakan kendaraan untuk sampai ke tampuk kekuasaan.

1.3 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM MULTI PARTAI Semua sistem kepartaian pasti memiliki kelebihan dan kekurangan tak terkecuali sistem multi partai. Sistem multi partai merupakan salah satu praktek demokrasi dimana sistem ini muncul karena adanya kebebasan untuk bersuara dan mengeluarkan aspirasi dalam bentuk partai politik. Kelebihan sistem multi partai ini adalah: 1. Demokrasi berjalan dengan baik 2. Aspirasi rakyat mampu menciptakan suatu partai 3. Rakyat bebas bersuara

4. Adanya oposisi antara partai satu dan yang lainnya sedangkan kekurangannya antara lain adalah: 1. Menimbulkan persaingan tidak seha 2. Paling menjatuhkan antara partai satu dan yang lainnya. 3. Dapat menghambat kelancaran semua program kerja pemerintah. 4. Partai-partai politik dalam arti tidak sehat yang melakukan money politic (lobi-lobi) memberikan uang

dan

kepada rakyat agar memilih partai tersebut. Dari sini lah sifat-sifat para pemerintah

yang akan korupsi muncul. 5. Berujung pada permusuhan dan perpecahan di antara partai satu dan yang lainnya. 6. Pemerintah tidak fokus lagi terhadap rakyat, melainkan fokus bagaimana cara mempertahankan kekuasaan. 7. Adanya konflik SARA. 8. Kekuatan Partai politik satu dengan yang lainnya tidak akan terlalu jauh, sehingga muaranya akan kearah bagi-bagi kekuasaan. 9. Pemerintahan akan semakin Gemuk sebagai akibat dari banyaknya kepentingan partai yang harus diakomodir dan sulit menempatkan orang yang "benar ditempat yang benar". 10.

Biaya Politik yang sangat besar, karena adanya subsidi pemerintah kepada partai-partai.

Sebagai contoh ringan dalam pembuatan kartu suara, kalau partainya seperti sekarang ini, kemungkinan kartu suara akan selebar Tabloid dibanding dengan sedikit partai. Dari sisi ini saja sudah diboroskan keuangan Negara yang cukup besar. 11.

Logika "lingkaran setan", semakin banyak partai semakin banyak pilihan. Semakin banyak

pilihan, akan semakin sulit memilih. Semakin sulit memilih semakin banyak yang tidak memilih. Semakin banyak Golput, semakin mundur arti sebuah demokrasi. Jadi Semakin Banyak Partai =Semakin Jelek Kualitas Demokrasi nya. Diakui atau tidak logika ini, anda bisa lihat sendiri carut marut partai politik di Indonesia. 12.

Banyak Uang yang di investasikan pada hal-hal yang "kurang produktiv" bagi masyarakat

banyak. Sebagi contoh ringan saja, anda boleh lihat, hitung dan analisa sendiri, berapa rupiah yang dihamburkan hanya untuk membuat sticker, baliho, spanduk, bendera dan iklan politik.

1.4 KRITIK TERHADAP SISTEM MULTIPARTAI Mengingat letak dan geografi wilayah Indonesia, diperlukan suara kesatuan membangun negeri ini untuk kesejahteraan seluruh rakyat dan kekuatan bangsa Indonesia. Bila tidak satu suara, maka goncangan didalam negeri akan sangat mempengaruhi eksistensinya di mata dunia umumnya dan khususnya dengan negara-negara tetangga. Bagaimana pengaruh pecahnya suara didalam negeri dapat dilihat dengan kondisi sosial dan politik yang terpecah-pecah atau terkotak-kotak terlebih karena dipengaruhi suku, ras dan agama serta golongan. Pencermatan pada pengaruh tersebut sangat urgen karena secara langsung akan mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik, keuangan dan keamanan.

Kebebasan membuat partai politik bagi siapapun memberi dampak lahirnya parpol primordial secara meluas karena tak ada batasan yang konseptual menjaga stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Pada era reformasi ini sejak lengsernya zaman orba tahun 1998, kehadiran parpol yang begitu banyak hampir didominasi parpol yang berlandaskan agama dan walaupun pada saat menjelang pilpres 2014 mengaku sebagai parpol nasionalis. Namun sangat disayangkan, telah tumbuh subur juga ormas-ormas yang bernafaskan agama tetapi tidak nasionalis pluralis. Dan sudah menjadi rahasia politik, bahwa ormas tertentu akan membina keberpihakan ke salah satu parpol atau parpol tersebut meraup suara dari ormas tertentu. Dan dalam politik, hal itu masih dianggap wajar-wajar saja sepanjang tidak memaksakan paham primordialisme atau perpecahan ditengah masyarakat. Tinjauan berikutnya adalah kondisi politik setelah pileg dan pilpres tahun 2004 hingga pada tahun 2009 dan saat ini. Berbagai suasana politik yang menelantarkan kepentingan rakyat banyak membuat rakyat semakin tak percaya kepada parpol yang ada, karena parpol yang menduduki senayan dan kekuasaan pemerintahan di negeri ini hanya mementingkan kemewahan jabatan dan kursi yang diduduki dan semakin santernya korupsi anggaran serta kebijakan yang pro kapitalisme. Padahal kekuatan negeri ini berawal dari kuatnya ekonomi rakyat mulai dari pedesaan hingga ke kota. Belum lagi adanya lobi-lobi elit politik untuk menenggelamkan kasus korupsi, musyawarah mufakat sulit didapat dan cenderung pertarungan suara antara parpol pemegang kekuasaan dengan oposisinya. 9 Parpol yang ada di DPR memberikan suhu politik yang tidak stabil, barter kebusukan parpolpun langgeng dipertontonkan sebagai usaha meredam keterkaitan parponyal pada kasus korupsi. Sampai kapan suhu politik yang tidak kondusif dan tidak berkualitas tersebut? Kata kunci yang mewaikili kesatuan atau nasionalisme adalah dengan segera membentuk Dua Partai. Dua Partai disamping hemat biaya, juga memberi pelajaran berpolitik lebih kondusif dan berkualitas. Kiblat parpol tidak pada ke kekuasaan semata, tetapi lebih fokus menunjukkan kualitas parpol dengan melihat kebijakan yang menaikkan kepercayaan rakyat. Bahwa parpol yang hanya dua saja dapat lebih fokus membangun kesejahteraan rakyat, mekanisme politik di perwakilan rakyat dapat lebih efisien dan efektif. Posisi Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dapat lebih fokus diawasi oleh legislatif. Keseriusan mengentaskan pengangguran dan kemiskinan bisa lebih kompetitif bagi kedua parpol, karena parameter keberhasilan parpol diuji dari kekuatan parpol itu sendiri sebagai parpol yang besar. Lain dengan Multi Partai, parpol kecil menjadi ladang suara bagi parpol yang kuat dan lobi-lobi yang ada sarat dengan uang atau kepentingan kekuasaan.Dengan sangat cermat dan cerdas, kita harus dapat menilai keberhasilan parpol dan bagaimana kita menjatuhkan pilihan diantara 2 yang terbaik di negeri ini. Sehingga akan memberi pelajaran politik yang baik juga bagi kita semua. Kita tidak lagi melihat kekuatan parpol dari uang yang dimiliki dan money politik, tetapi kita dapat hidup dalam suasana politik yang sistematis, efektif dan efisien serta transfaran. Karena secara tidak langsung parpol yang kalah sebagai opsisi akan mengontrol pemerintahan secara ketat dan berkualitas. Pengkaderan politisipun lebih mengarah kepada kualitas SDM dalam bersaing menduduki kursi atau jabatan di negeri ini, eksplisit menunjukkan kompetensinya ditengah bangsa dan negara ini. SDM yang diharapkan sebagai anak bangsa lahir dari persaingan yang transfaran dan tidak seperti dalam Multi Partai dimana SDM yang ada dalam partai-partai yang ada kebanyakan berasal dari latar belakang yang tidak potensial sebagai poltisi yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat dan hanya berusaha mendapatkan imbal balik yang dinilai dari pengeluarannya selama bersaing memperoleh suara.

KLASIFIKASI SISTEM KEPARTAIAN Menurut Prof. Miriam Budiharjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik yang ditulis beliau, Klasifikasi Sistem Kepartaian dapat digolongkan menjadi: 1. Sistem Partai Tunggal 2. Sistem Dwi Partai 3. SIstem Multi Partai Klasifikasi sistem kepartaian juga dapat digolongkan menurut komposisi dan fungsi keanggotaannya menjadi partai massa dan partai kader. Apabila dilihat dari sifat dan orientasi, maka parpol dapat digolongkan menjadi partai ideologi dan partai azas. Kelebihan dan Kelemahan Sistem Kepartaian Perbandingan kelebihan dan kekurangan sistem kepartaian akan dilihat dariklasifikasi Prof. Miriam Budiharjo, karena klasifikasi menurut Beliau adalah klasifikasi sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia. 1. Sistem Partai Tunggal Dalam sistem partai tunggal hanya ada satu partai yang berdiri di negara tersebut, atau hanya ada satu partai yang memiliki dominasi kuat diantara partai lainnya. Sistem partai tunggal diterapkan di beberapa negara Eropa Timur, Afrika, dan Cina. Sebuah negara yang menerapkan sistem partai tunggal membuat partai non dominan tidak berhak berkompetisi dengan partai dominan. Tidak ada partai lain selain sebuah partai dominan yang berhak menjadi pemimpin, atau diberikan toleransi bahkan jika berdiri partai oposisi maka partai tersebut bisa dianggap sebagai penghianat negara. Kelemahan SIstem Partai Tunggal 1. Tidak ada jaminan perlindungan HAM karena seluruh kekuasaan negara(legislatif, eksekutif, dan yufikatif) berada pada satu pelaksana kekuasaan yang ditaktor sehingga sangat mungkin pengusasa bertindak sewanang-wenang. 2. Tidak ada jaminan terwujudnya masyarakat yang sejahtera. 3. Tidak ada kontrol sosial 4. Tidak mengenal politik demokrasi 5. Tidak ada konstitusi yang bersifat filsafat negara demokratik, struktur organisasi negara, perubahan terhadap konstitusi negara dan HAM 6. Tidak ada kebebasan pers 7. Tidak ada pengakuan hak kebebasan berpendapat 2. Sistem Dwi Partai Dalam sistem partai ini ada dua partai yang berdiri di sebuah negara, atau hanya ada dua partai dominan dari beberapa partai di negara tersebut. Partai yang pertama adalah partai berkuasa yang memenagkan pemilu dan partai kedua adalah partai oposisi yang kalah dalam pemilu. Ada beberapa syarat agar sistem dwi partai dapat berjalan dengan baik yakni: homogen, konsensus dalam masyarakat tentang azas dan tujuan sosial yang pokok adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah. Negara yang menerapkan

sistem dwi partai antara lain Inggris (Partai Buruh dan PArtai Konservatif), USA(Partai Republik dan Partai Demokrat), Jepan, dan Canada. Kelemahan Sistem Dwi Partai adalah terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan parta-partai kecil dengan adanya sistem pemilihan distrik Kelebihan Sistem Dwi Partai diantaranya: 1. Suara yang dihasilkan dama sistem distrik selalu mayoritas 2. Pemerintahan lebih stabil dan dapat berjalan sesuai masa jabatan 3. Pergantian pemerintah lebih normal dalam sistem pemilihan distrik 4. Program kebijakan pemerintah terlaksana dengan baik 5. Konstusi negara mengikat sistem dwi partai 3. Sistem Multi Partai Sistem Multi Partai merupakan sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia. Terdapat lebih dari dua partai yang berdiri dan dapat berkompetisi dengan sehat. Kelemahan Sistem Multi Partai antara lain: 1. Pemerintah tidak memiliki kestabilan karena banyknya partai membuat tidak adanya sebuah partai yang mampu mendukung pemerintahan dan harus melalui koalisi. 2. Pemerintah terkadang ragu dan banyak program yang kurang efektif 3. Sistem multi partai cenderung lamban dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi 4. Menurunkan fungsi nasionalisme terhadap negara 5. Belum pernah membentuk negara yang besar dan kuat Kelebihan Sistem Multi Partai antar lain: 1. Ada kebebasan untuk mendirikan partai hingga menjadi pemimpin parpol 2. Parpol melakukan kontrol sosial lebih banyak 3. Masyarakat diberi banyak pilihan partai yang sesuai dengan visi politik mereka PENGARUH SISTEM MULTI PARTAI TERHADAP STABILITAS POLITIK INDONESIA DI ERA DEMOKRASI LIBERAL Permasalahan yang Muncul dalam Sistem Multi Partai. Konflik-konflik yang terjadi antar partai di era Demokrasi Liberal seperti yang telah disinggung pada pendahuluan, menjadi permasalahan utama yang akan dibahas berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut, seiring dengan berlakunya sistem parlementer pada saat itu. Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan peran dan fungsi dari masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari segi ideologi, pemanfaatan isu nasional, dan hal ini terlihat jelas pada perjalanan masing-masing partai pada masa Demokrasi Liberal saat itu. Dengan menggunakan ideologi, sebuah partai mencoba untuk menyerang partai lainnya. Caranya adalah menghubungkan ideologi masing-masing dengan isu-isu nasional yang dianggap dapat mengurangi pengaruh bahkan menjatuhkan partai lainnya. Setiap partai mempunyai kelompok-kelompok sosial tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari pengaruh dan memperjuangkan ideologi masing-masing. Dinamika politik yang tidak stabil yang tergambar dengan sering terjadinya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik di atas. Untuk melihat bagaimana dinamika politik selama masa Demokrasi Liberal, antara lain dapat ditempuh melalui jumlah pergantian kabinet yang demikian cepat, dari kabinet

yang satu ke kabinet yang lain. Seperti dikutip oleh Arbi Sanit, selama Indonesia merdeka, tak kurang dari 25 kabinet yang telah memerintah Indonesia, selain itu ahli lain juga menghitung usia rata-rata dari 12 kabinet di era Demokrasi Liberal, tak lebih dari 8 (delapan) bulan[1]. Oleh karena itulah sistem multi partai dikatakan sebagai sumber konflik nasional pada saat itu, dikarenakan konsekuensi dari sistem tersebut yaitu terjadinya konflik horizontal antar partai yang membuat situasi politik yang tidak stabil. Salah satu definisi partai politik yang menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya konflik antar partai adalah definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties, yaitu sebagai berikut : “ Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda”[2]. Selain itu, dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik nasional, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut [3]: 1. Partai sebagai sarana komunikasi politik, 2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik, 3. Partai politik sebagai saran rekruitmen politik, 4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Ke-empat fungsi di atas akan coba dikaji sejauh mana partai-partai politik yang hidup di era Demokrasi Liberal dengan sistem multi partainya dapat berperan sebaik mungkin dengan menjalankan fungsi-fungsi di atas sebagai mana mestinya. Konflik Kepentingan di dalam Sistem Multi Partai Di era Demokrasi Liberal, sistem multipartai sangat mendukung terciptanya kehidupan demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik yang jumlahnya sangat banyak berperan penting dalam kelancaran proses demokratisasi. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sangat berperan penting dalam penyaluran kepentingan ini terhadap pemerintah. Empat partai besar saat itu mencerminkan begitu besarnya niat dari setiap massa partai untuk disalurkan aspirasinya. Empat partai besar tersebut adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mencoba menyalurkan aspirasi kaum nasionalis;Masyumi dan NU (Nahdlatul Ulama) menjadi wadah bagi umat Islam untuk menyalurkan kepentingannya; serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang merupakan wadah politik dari kaum Komunis yang saat itu juga menjadi bagian yang berpengaruh pada masyarakat Indonesia. (Lihat tabel pada akhir pembahasan yang menggambarkan peta kekuatan partai-partai politik dengan mengacu pada hasil Pemilu 1955). Pada kenyataannya peranan setiap partai dalam menyalurkan aspirasi pendukung masing-masing, dihadapkan kepada dua pilihan,yaitu berusaha untuk menggabungkan kepentingan-kepentingan dari seluruh partai atau memperjuangkan kepentingan masing-masing dimana konsekuensinya adalah terjadinya banyak konflik antar partai. Ideologi dari masing-masing partai yang sangat mempengaruhi jenis kepentingan yang mereka perjuangkan terkadang menjadi alat untuk saling menjatuhkan. Konflik antarpartai yang didasari oleh perbedaan ideology kemungkinan besar dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang diperoleh para pendukung partai dari partai politik masing-masing. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik bertanggung jawab untuk semaksimal mungkin memberikan pemahaman mengenai ideologi dari partai tersebut kepada masyarakat sehingga terbentuk sikap dan orientasi politik yang didasari oleh ideologi tersebut. Setiap partai politik berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Karena itu suatu hal yang wajar apabila terjadi konflik diantara Masyumi dan NU, karena proses sosialisasi politik

yang mereka terima berbeda. Terlebih lagi bila dua partai yang berideologi berbeda akan sangat besar potensi konflik yang ada pada proses menjalankan peran masing-masing, contohnya antara PNI dengan Masyumi yang berbeda dalam hal yang menyangkut peran Islam dalam negara. PNI menuduh Masyumi menggunakan simbol-simbol Islam untuk menentang simbol-simbol nasionalis. Masyumi menyangkal tuduhan ini dengan menyatakan bahwa perjuangan partai untuk “negara berdasarkan Islam”itu bertentangan dengan Pancasila. Contoh lain antara PKI dengan tiga partai lainnya. PKI dengan semboyannya, yakni : “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”[4], mencoba mencari pengaruh dengan mengatas namakan diri sebagai partai yang memperjuangkan hakhak rakyat. rakyat. Konflik-konflik diatas jelas membuat situasi politik menjadi tidak stabil dan itu memang merupakan konsekuensi dari banyaknya partai pada saat itu. Fungsi lain dari partai politik yang juga dapat menyebabkan terjadinya konflik antar partai adalah sebagai wadah rekruitmen politik. Terkadang setiap partai politik cenderung mempunyai sasaran tersendiri berupa kelompok-kelompok sosial untuk direkrut menjadi anggota partai yang turut aktif dalam kegiatan politik partai. Kecendrungan ini berdampak kepada adanya suatu pengidentikkan suatu partai dengan sebuah kelompok sosial didalam masyarakat. Contohnya PKI yang identik dengan kelompok petani, karena memang sasaran utama dari rekruitmen politik yang dilakukan oleh PKI adalah kalangan petani. Masyumi identik dengan kelompok Islam modernis yang seringkali bertentangan dengan kelompok Islam konservatif yang identik dengan NU. Dan PNI pun dengan konsep nasionalismenya di identikkan dengan kaum elit pemerintah yang mempunyai prinsip mempertahankan jiwa-jiwa nasional. Adanya pemisahan secara extrim kelompok-kelompok sosial ini dapat memancing terjadinya konflik antar kelompok sosial tersebut sehingga sulit tercapai suatu integrasi secara sosial. Sama halnya dengan sulitnya tercipta integrasi politik disebabkan adanya konflik antar partai politik yang ada. Fungsi Partai Politik yang Tidak Terlaksana Selanjutnya, fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik sepertinya tidak dapat diperankan secara sempurna oleh partai-partai poltik yang ada pada era Demokrasi Liberal. Hal ini dapat dibuktikan dengan Merujuk pada kenyataan yang terjadi pada saat itu. Partai politik tidak memprioritaskan programnya kepada usaha untuk tercapainya integrasi nasional, melainkan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing. Ke-empat fungsi partai yang diperankan oleh partai-partai politik pada sistem multi partai sungguh cenderung mengacu pada terjadinya konflik. Namun hal ini tidak membuat sistem multi partai menjadi tidak relevan di suatu negara demokrasi, karena bila merujuk kepada definisi partai politik yang di kemukakan oleh Sigmund Neumann, maka apapun sistem yang digunakan, tetap tidak akan dapat merubah sifat dari partai politik itu sendiri, yaitu berusaha untuk meraih kekuasaan dan merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan antar partai yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, usaha

yang dapat dilakukan untuk meminimalisasikan potensi konflik adalah dengan mengadakan perubahan yang menyangkut cara-cara merebut dan mempertahankan kekuasaan, mencari dukungan dengan meninggalkan cara-cara yang mengarah kepada anarkisme, seperti tuduhan-tuduhan, tudingan-tudingan, dan lain-lain. Cara-cara yang digunakan hendaknya bersifat lebih kompromistis melalui jalur-jalur dialogis, sehingga perbedaan yang memang suatu hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi tidak menjadi dasar dari timbulnya perpecahan, melainkan menjadi landasan terciptanya integrasi nasional yang mantap.

2.1 Rasionalitas dan Irrasionalitas Sistem Multipartai Berakhirnya era Orde Baru ditandai, antara lain, dengan munculnya semangat membangun sistem multipartai, sebagai pengganti dari sistem partai Orde Baru yang bersifat semu dan ornamental. Sistem partai yang dikembangkan Orde Baru menempatkan setiap partai politik dibawah bayang-bayang kekuasaan Soeharto. Mereka tidak lebih daripada sekedar penghias wajah sistem kepartaian yang diklaim Orde Baru sebagai “ada”. Walaupun dalam kenyataan tak ada partai yang benar-benar mandiri selama Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto. Dalam posisi seperti ini, partai-partai politik dalam kenyataan nyaris gagal menemukan jati dirinya sebagai bagian sentral dari arus utama politik nasional. Ketika Soeharto lengser dan sistem multipartai dicanangkan pemerintah Habibie, muncullah segudang harapan bahwa iklim politik baru saja dibangunkembali dan membantu menemukan jati diri partai politik. Sejak keputusan untuk mencanangkan sistem multipartai mendapat dukungan penuh dari masyarakat pollitik Indonesia, partai-partai baru bermunculan tanpa dikomando bagai jamur di musim hujan. Banyaknya partai yang bermunculan menumbuhkan harapan sekaligus kecemasan. Sebagian masyarakat menyambut gembira dan penuh antusias dan dengan cepat menjadikan kemunculan partaipartai baru terbsebut sebagai kesempatan untuk menyalurkan kembali naluri politik yang selama ini bagai tersumbat oleh sistem politik Orde Baru yang refresif. Sebagian masyarakat lain sebaliknya, justru khawatir bahwa kemunculan partai-partai baru yang jumlahnya lebih dari angka seratus dalam jangka beberapa bulan semenjak bulan Mei 1998, akhirnya bukan memperlancar proses reformasi tapi justru sebaliknya, menggangu kelancaran reformasi. Kedua pandangan ini, baik yang pro maupun yang anti partai dalam jumlah besar, memiliki argumen yang cukup kuat. Bisa dimengerti bahwa jika semua ingin jujur maka sungguh sulit membayangkan mengelola sistem partai dengan jumlah yang fantastis. Akan tetapi, pada saat bersamaan, melarang masyarakat mendirikan partai, kecuali partai terlarang, pasti akan berhadapan dengan kemrahan publik. Oleh karena itu, pemerintah Habibie cenderung membiarkan tumbuhnya partai-partai baru yang menuntut pemikiran akal sehat sesungguhnya sudah melampaui kemampuan sisitem partai pada umumnya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, akan merupakan sebuah ketololan jika gejala ini tidak mendapatkan perhatian secukupnya. Kalangan para ahli dituntut untuk sedikit demi sedikit mensosialisasikan dampak positif dan negatif dari pertumbuhan partai politik yang tampak tidak terkendali akhir-akhir ini. Dampak positif dari pertumbuhan partai yang sedemikian luar biasa akan memberikan suasana keterbukaan yang sungguh-sungguh, dalam arti bahwa masyarakat benar-benar menikmati iklim keterbukaan ini dan memanfaatkannya lewat pembentukan partai-partai politik. Kebutuhan untuk menyalurkan kepentingan secara resmi dan terbuka yang selama ini terlambat secara sistematis sekarang mulai sedikit terobati. Apakah pertumbuhan sistem multipartai mengandung potensi negatif? Persoalan ini merupakan bagian dari studi partai politik yang pada umumnya kuarang menarik minat khalayak umum, khususnya mereka yang sedang dimabuk oleh impian membangun partai politik. Bagi para aktivis partai yang secara mendadak berubah dari warga negara biasa menjadi politisi dalam waktu yang amat singkat dengan sendirinya merupakan agen-agen pembawa virus negatif dari sistem multipartai yang baru tumbuh. Tingkat keawaman mereka dalam berpolitik sering kali masih terlalu tebal sehingga ketika harus mengelola partai

politik mereka bagai raja yang tak pernah berusaha keras menjadi raja. Akibatnya, partai-partai baru pada umumnya kurang mengakar dan mengandung dalam dirinya berbagai penyakit organisasional. Analisis ini bukanlah dimaksudkan untuk mengerutkan semangat partai baru, namun justru untuk memompa semangat para aktifis agar dalam mendirikan dan mengembangkan partai-partai perlu memperhatikan pengalaman negara lain, agar kesalahan bangsa lain bisa dihindarkan atau ditekan serendah mungkin. Dan harapannya dimasa depan akan terbentuk sebuah sistem partai yang rasional dan meninggalkan irrasionalitas sistem multipartai yang antara lain ditandai dengan jumlah partai yang fantastis dan kualitas partai yang sangat patut dipertanyakan. Menurut Timothy J. Power, pertumbuhan dan perkembangan sistem multipartai akan melalui dua tahapan utama. Tahapan pertama adalah tahap permulaan yang rentang waktunya tidak menentu antara lima hingga sepuluh tahun. Pada tahap ini banyaknya partai baru yang tumbuh seringkali tidak rasional karena kegamangan simultan yang menghinggapi masyarakat politik. Sedangkan tahapan kedua melibatkan pelembagaan partai yang kuat yang berlangsung setelah thap pertama berakhir . Pada tahap ini masyarakat pada umumnya baru mulai sadar betapa penting membangun sistem partai yang kuat dan terlembaga yang disitu jumlah partai menjadi rasional. Kebutuhan untuk memasuki tahapan kedua dari sistem multipartai biasanya akan meningkat dengan sendirinya jika persoalan-persoalan sudah yang tumbuh pada tahapan pertama sudah sedemikian besar pengaruhnya sehingga alterfnatif yang diperlukan adalah menuju tahap perkembangan sistem multipartai kedua, yakni, memperkuat sistem partai. 2.2 Problem Irrasionalitas Sekalipun Indonesia pernah menikmati pengalaman mengembangkan sistem politik multipartai, penundaan sistem tersebut selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru membuat sistem multipartai dewas ini bagaikan pengalaman politik yang benar-benar baru dan cukup terasa asing bagi sebagian besar pelaku politik, baik yang sedang berkuasa maupun oposisi. Irrasionalitas partai-partai baru juga terlihat cukup jelas pada proses pembentukan partai-partai baru di Indonesia. Cukup banyak diantara elite-elite partai-partai baru pada umumnya kurang memiliki pengalaman politik konkret. Mereka muncul dari sektor-sektor kehidpan non-partai namun terlalu yakin akan mampu mengendalikan kendaraan politik. Lemahnya kohesifitas partai-partai baru dengan mudah dapat dideteksi pada munculnya kepengurusan kembar. Dalam kasus lain, tidak jarang dari sebuah organisasi massa yang besar dan berpengalaman muncul beberapa partai sekaligus. Atau Organisasi nonpolitik yang tiba-tiba berubah bentuk menjadi partai-partai politik. 2.3 Menuju Sistem Partai Rasional Mengarahkan reformasi politik menuju pembangunan sistem multipartai yang rasional dalam artian sistem partai yang “kuat” dan “berwibawa” merupakan salah satu jalan keluar yang cukup wajar. Pertama, titiik-titik lemah yang cukup transparan pada permulaan sistem multipartai harus mendapat fokus perhatian para aktiis partai. Titik-titik lemah tersebut terletak pada pola rekrutmen anggota partai dan rekrutmen calon anggota legislatif tidak harus terdiri dari orang yang sama. Jika di masa Orde Baru pengurus teras partai selalu mendapatkan prioritas dalam nominasi calon anggota legislatif, dalam era multipartai ini proses nominasi harus dilakukan secara terbuka. Pembedaan antara pengurus partai dan caleg dalam kaitan ini harus didasarkan pada pertimbangan kualitas pemikiran, penampilan calon, dan pengalaman organisasi. Dengan sendirinya,

loyalitas, dedikasi, keterampilan organisasi tidak lagi cukup untuk menentukan siapa yang patut untuk didominasikan dan direkrut kedalam daftar calon anggota legislatif. Penekanan pada kualitas dan penampilan pribadi caleg ini semakin tak terelakkan sebagai antisipasi terhadap penerapan sistem pemilihan distrik. Kedua, peningkatan kualitas pribadi sebagaimana disebut diatas berkaitan langsung dengan caleg sebagai wakil rakyat yang tidak sekedar mewakili partai sebagi induk organisasi caleg bersangkutan. Caleg dengan kualitas pribadi dan penampilan yang sangat tinggi, diharapkanakan mampu memahami posisinya sebagai wakil rakyat. Indikator dari kemampuan ini antara lain dapat diukur dari keterbukaan dirinya terhadap perubahan-perubahan di lingkungan politik dan kemampuannya melakukan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat. Caleg yang artikulatif dan handal dalam pembentukan pendapat umum merupakan jaminan bagi tumbuhnya anggota legislatif yang benar-bener representatif. Sementara calaon yang tidak arkulatif sebagaimana sebagian besar dari anggota DPR era Orde Baru akan menenggelamkan makna representatif dan ia akan berperan besar dalam mematikan fungsi representatif dari DPR. Ketiga, dari sudut kelembagaan partai politik dituntut untuk memahami makna pemerintahan koalisi sebagai persyaratan mutlak dan tak dapat ditawar-tawar dari sistem multipartai. Kabinet koalisi ini pada hakikatnya merupakan cermin langsung dari heterogenitas masyarakat Indonesia yang hingga kini masih terbelah-belah ke dalam berbagai jenis primordial. Lebih jauh dapatlah dikatakan bahwa kebutuhan mutlak untuk membangun kabinet koalisi memerlukan kemampuan partaiuntuk mengembangkan naluri kerja sama yang tidak hanya didasarkan pada kebutuhan untuk memenangkan pemilu, tetapi juga harus didasarkan pada pertimbangan strategis berupa nilai-nilai dasar dan kebijaksanaan masing-masing partai. Keempat, sistem multipartai menuntut konsistensi antara sistem partai dan sistem pemilihan yang akan menghasilkan sistem tersebut. Pada dasarnya demokrasi konsensus merupakan sistem multipartai dengan bentuk sistem pemilihan proporsional. Sistem ini berfungsi untuk menjaga keragaman partai dengan tujuan utama memberi jalan selebar-lebarnya bagi setiap partai, baik besar maupun kecil, untuk mendapatkan kursi di DPR. Ini bisa diartikan bahwa penerapan sistem didtrik akan menghalangi kemajemukan indonesia karena partai-partai kecil akan terlindas oleh partai-partai besar. Jika pertentangan pendapat antara kelompok pro dan anti sistem distrik menjadi tak terhindarkan, maka diperlukan jalan tengah untuk mengurangi pembuangan energi nasional secara sia-sia. Jalan tengah ini diperlukan mengingat besarnya potensi konflik yang terkandung dalam tubuh bangsa ini sebagaimana tercermin pada serangkaian tindak kekerasn kolektif yang memakan koraban rakyat kecil seperti peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, Bayuwangi dan tragedi bulan Mei 1998. Jalan tengah tersbut berupa penggabungan sistem pemilihan distrik dan proporsional. Walhasil sistem campuran menghargai eksistensi minoritas. Kelima, syarat terakhir yang harus dipenuhi bagi perubahan ke arah sistem multipartai yang mapan dan rasional adanya kesadaran partai-partai politik yang kuat. Kesadaran ini cukup mahal harganya mengingat Orde Baru gagal menciptakan kesadaran kolektif komunitas-komunitas tapi justru mempertajam polarisasi kelompok tersebut. Hal ini terbukti dengan berakhirnya era Orde Baru maka polarisasi antarkomunitas segera tercermin pada banyaknya partai-partai bermunculan. Meskipun dengan bermunculan partai-partai akan ada potensi konflik. Mengingatkan masyarakat bahwa sistem partai yang kuat dan berwibawa menuntut tumbuhnya partai-partai yang kuat sebagai persoalan fundamental bangsa ini bukanlah persoalan sederhana. Akan tetapi, mengingat dampak strategis dari kegagalan pengembangan sistem partai yang kuat pernah dialami

bangsa ini pada era demokrasi liberal, maka menjadi kewajiban setiap elit partai untuk segera memahami persoalan ini dan mengkomunikasikannya kepada para pendukung masing-masing. Partai yang amat banyak jelas merupakan rintangan besar bagi pengembangan partai-partai yang kuat dan secara langsungakan berpengaruh bagi proses pembentukan sistem multipartai yang kuat dan mandiri. Sementara dengan mengurangi jumlah partai hingga jumlah yang cukup rasional akan mempermudah proses menuju pembentukan partai-partai yang kuat dan mandiri. Partai-partai yang kuat an mandiri inilah yang akan menentukan dan menopang bangunan sistem multipartai yang rasional, kuat, dan berwibawa.

Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (Huntington,dkk, 1994:4).

Partisipasi politik menjadi salah satu aspek penting suatu demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.

Definisi kelompok kepentingan Kelompok kepentingan atau interest group adalah kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Kelompok ini tidak berusaha menguasai pengelolaan pemerintahan secara langsung, melainkan hanya memiliki keinginan agar kepentingan mereka didengarkan oleh pemerintah.

Pengertian Kelompok Kepentingan (Interest Group) Dan Fungsinya

Masyarakat bergabung untuk kepentingan serta keuntungan warganya dan kelompok ini tempat menampung saran, kritik dan tuntutan kepentingan bagi anggota masyarakat serta menyampaikannya kepada sistem politik yang ada seperti kepada anggota Legislatif yang memiliki kedudukan sebagai wakil rakyat.

Dengan beranggapan bahwa suara satu orang ( misalnya dalam pemilihan umum ) sangat kecil pengaruhnya, maka masyarakat mulai berfikir bagaimana cara agar suara mereka didengarkan oleh pemerintah yaitu dengan melalui kegiatan menggabung dengan orang lain yang memiliki pemikiran dan kehendak yang sama menjadi suatu kelompok, maka kelompok tersebut berharap agar pemerintah lebih terpengaruh dengan adanya jumlah massa yang besar.

Pengertian kelompok kepentingan menurut Gabriel Almond Dalam penjelasan yang telah diutarakan Gabriel Almond dalam bukunya, beliau berpendapat bahwa kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang bertujuan dan berusaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, tanpa menghendaki untuk duduk di jabatan publik.

Kelompok kepentingan ini berbeda dengan partai politik, karena tujuan atau orientasi partai politik adalah menduduki jabatan publik seperti menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, sedangkan kelompok kepentingan hanya bertujuan untuk memperjuangkan suatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga negara agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan masyarakat.

Baca juga : Artikulasi Kelompok Kepentingan Dan Tujuan Kelompok Kepentingan

Fungsi politik dalam kelompok kepentingan Dalam pendapat Gabriel Almond, setiap sistem politik haruslah memiliki fungsi dan struktur politik tertentu. Fungsi politik adalah fungsi input dan fungsi output, adapun penjelasan kedua fungsi politik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Fungsi input Fungsi input adalah suatu fungsi dimana input dilakukan untuk menyerap aspirasi masyarakat seperti keinginan membangun akses jalan kesuatu desa yang sebelumnya sangat sulit diakses, sehingga menyusahkan masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Fungsi output Fungsi output adalah suatu fungsi dimana objek atau produk yang dikeluarkan oleh pemerintah misalnya kebijakan atau keputusan yang dapat dirasakan masyarakat luas, contohnya adalah seperti kebijakan membangun jalan yang dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, agar masyarakat dapat meningkatkan pendapatan mereka.

Suatu kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah dapat menguntungkan maupun merugikan masyarakat, tergantung dengan bagaimana cara masyarakat menyikapi kebijakan tersebut. Kepentingan dan kebutuhan rakyat dapat dipenuhi, namun tidak dapat sepenuhnya terpenuhi karena pemerintah tidak hanya memikirkan satu daerah saja melainkan daerah-daerah yang memerlukan perhatian khusus, misalnya daerah tertinggal atau daerah perbatasan.

Oleh karena itu rakyat tidak boleh sepenuhnya menekan pemerintah untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi masyarakat sebaiknya memikirkan bagaimana memberikan solusi kepada pemerintah tentang suatu hal.

Kelompok Kepentingan

Kelompok kepentingan adalah sekelompok manusia yang mengadakan persekutuan yang didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan ini dapat berupa kepentingan umum atau masyarakat luas ataupun kepentingan untuk kelompok tertentu. Contoh persekutuan yang merupakan kelompok kepentingan, yaitu organisasi massa, paguyuban alumni suatu sekolah, kelompok daerah asal, dan paguyuban hobi tertentu.[1]

Kelompok kepentingan bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu “kepentingan” dengan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai didalamnya atau instansi yang berwenang maupun menteri yang berwenang.[2]

Tugas Pengantar Politik A. Perbedaan Kelompok Kepentingan dengan Partai Politik Kelompok kepentingan (interest group) ialah sejumlah orang yang memiliki kesamaan sifat, sikap, kepercayaan dan/atau tujuan, yang sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan. Sebagai kelompok yang teroganisasi, mereka tidak hanya memiliki system keanggotaan yang jelas tetapi juga memiliki pola kepemimpinan, sumber keuangan untuk membiayai kegiatan, dan pola komunikasi baik ke dalam maupun ke luar organisasi. Kelompok kepentingan adalah sekumpulan individu yang mempunyai kepentingan yang sama dengan latar belakang, aliran, pekerjaan, status sosial dan pemahaman yang berbeda dan tidak berbadan hukum. Salah satu contoh kelompok kepentingan adalah kelompok yang ingin menjatuhkan suatu rejim pada sebuah negara yang berbuat otoriter dan sewenang-wenang, disitu banyak aliran, organisasi politik, organisasi masa, mahasiswa berkumpul menjadi sebuah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan akan selalu ada baik itu dalam negara, dalam partai politik, dalam organisasi profesi, dan bahkan dalam tubuh angkatan bersenjata yang secara hierarkis tidak memungkinkan. Kelompok kepentingan berbeda dengan partai politik dan kelompok penekan (pressure group). Kelompok kepentingan, sesuai dengan namanya memusatkan perhatian pada bagaimana mengartikulasikan kepentingan tertentu kepada pemerintah sehingga pemerintah menyusun kebijakan

yang menampung kepentingan kelompok. Jadi, ia lebih berorientasi kepada proses perumusan kebijakan umum yang dibuat pemerintah. Kelompok penekan secara sengaja mengelompokan diri untuk suatu tujuan khusus setelah itu bubar dan secara khusus pula berusaha mempengaruhi atau menekan para penjabat pemerintah untuk menyetujui tuntutan mereka. Dengan demikian, perbedaannya lebih pada cara dan sasaran. Dalam masyarakat begitu banyak kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Untuk itu diperlukan upaya untuk memadukan berbagai kepentingan menjadi beberapa alternative kebijakan umum yang dijadikan sebagai keputusan politik. Fungsi ini dilakukan oleh partai politik. Fungsi lain yang membedakan partai politik dan kelompok kepentingan terletak pada partai politik yang berfungsi pula untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah sebagai sarana untuk memperjuangkan alternative kebijakan umum menjadi keputusan politik. Kelompok kepentingan tidak memiliki fungsi yang terakhir ini walaupun secara tidak langsung juga ikut memberikan dukungan pada calon atau partai tertentu. Partai politik ialah organisasi yang mempunyai kegiatan yang bersinambungan. Artinnya masa hidupnya tak tergantung pada masa jabatan atau masa hidup para pemimpinnya. Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideology tertentu. Dalam masyarakat terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acap kali bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga yang murah tetapi bermutu, antara dan sebagainya. Untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan maka partai politik dibentuk. Kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi berbagai alternative kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Itulah yang dimaksud dengan fungsi pemaduan kepentingan. Partai politik juga berfungsi sebagai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik di negara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam system politik demokrasi. Partai politik juga berbeda dengan kelompok penekan atau kelompok kepentingan. Kelompok ini bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu “kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapat keputusan yang menguntungkan atau menghindari keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menempatkan wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai. 1. Partai sebagai sarana komunikasi politik a. Menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Pendapat itu digabungkan dengan pendapat/aspirasi/kepentingan kelompok lain (interest aggregation). Lalu diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur atau perumusan kepentingan (interest articulation). b. Memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga partai politik menghubungkan antara yang memerintah dan yang diperintah

2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik, proses penyampaian norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai berusaha menciptakan gambaran bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Di samping menanamkan solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggotanya menjadi manusia yang sadar tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. 3. Partai sebagai sarana rekruitmen politik , mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. 4. Partai sebagai sarana pengatur konflik, dalam suasana demokrasi persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan soal wajar. Jika sampai terjadi konflik partai politik berusaha untuk mengatasinya.

Related Documents

Partai Politik.docx
June 2020 17
Partai Politik
November 2019 45
Surat Partai
November 2019 11
Undangan Rapat Partai Pan
October 2019 38

More Documents from "JUM'AN BASALIM"