Paper Miseal Tooy.docx

  • Uploaded by: Abraham Theodore
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Paper Miseal Tooy.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,443
  • Pages: 21
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masa remaja yang merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa harus dilalui setiap individu sebelum individu menjadi seorang dewasa yang matang, bertanggung jawab dan kreatif. Masa remaja juga merupakan masa transisi, masa dimana seseorang berada di suatu persimpangan antara apa yang diinginkan dan apa yang harus dilakukan. Secara kronolis usia remaja adalah berkisar antara 12/13-21 tahun.1 Penggolongan remaja menurut Thornburg terbagi dalam tiga tahap yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan remaja akhir (usia 17-21 tahun). Masa remaja awal umumnya individu telah memasuki masa pendidikan sekolah menengah tingkat pertama, masa remaja tengah pada jenjang pendidikan sekolah menengah atas dan remaja akhir umumnya sudah memasuki dunia peguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja.1 Menurut Erikson disebutkan bahwa tugas terpenting bagi remaja adalah mencapai identitas diri yang lebih mantap melalui pencarian dan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan sosial. Gangguan atau krisis identitas umumnya akan terjadi sebelum identitas diri terbentuk. Remaja mengalami krisis identitas karena merasa sudah terlalu besar untuk dikategorikan anak-anak, namun belum bisa dikategorikan dalam kelompok dewasa. Krisis identitas diri pada remaja menyebabkan banyak terjadi demoralisasi antara lain : kekerasan di kalangan remaja, bahasa dan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer group dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, menurunnya rasa hormat pada orang tua dan guru.2 Pentingnya pencapaian identitas diri pada remaja adalah untuk menetapkan langkah atau sebagai pijakan kuat bagi remaja dalam menjalani periode masanya untuk menjadi individu yang bertanggung jawab dan berkarakter sesuai dengan apa yang diyakininya benar. Pemikiran-pemikiran jangka panjang yang menyangkut perannya di masyarakat dan di kemudian hari, masa depan dan

1

pekerjaannya serta dirinya sendiri ini juga menjadi salah satu hal yang membawa remaja untuk mencapai identitas diri.3 Identitas diri jelas diperlukan individu agar dapat menjalankan kehidupannya. Individu yang tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai dirinya, akan lebih besar kemungkinannya hidup dalam ketidakpastian serta tidak mampu menyadari keunggulan maupun kekurangan yang ada pada dirinya. Individu tersebut akan menjadi individu yang tidak percaya diri dan tidak memiliki kebanggaan pada dirinya sendiri. Identitas diartikan sebagai cara hidup tertentu yang sudah dibentuk pada masa-masa sebelumnya dan menentukan peran sosial yang harus dijalankan.4 Seseorang akan mengevaluasi kembali pemahaman tentang sifat seseorang dengan melihat apa yang sebenarnya penting untuk seseorang berkaitan dengan identitas diri.5 Secara umum remaja dihadapkan pada permasalahan untuk menjawab atau setidaknya menghadapi pertanyaan identitas tentang pandangan dunia, arah karir, kepentingan, orientasi jenis kelamin, nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspirasi untuk masa depan. Remaja usia sekolah umumnya melakukan tindakan yang menunjukkan kenakalan remaja diantaranya melalui berbagai macam tindakan dan tingkah laku yang dilakukan, antara lain menunjukkan sikap kasar dalam bertindak , bersikap suka menentang apabila diarahkan, bersikap membantah apabila diperintah, minum-minuman keras, merokok, nongkrong dijalan, coretcoretan di tembok, cenderung berbuat sesuatu yang hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan merubah suasana sekehendak hatinya. Selain hal tersebut kondisi perilaku dan kepribadian anak-anak remaja usia sekolah dewasa ini sangat jauh dari yang diharapkan. Perilaku mereka cenderung menyimpang dari nilai-nilai ajaran agama, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya. Adanya anak-anak remaja usia sekolah yang terjerumus pada pergaulan bebas atau bahkan seks bebas, pemakai dan pengedar narkoba, terlibat dalam kasus-kasus kriminal, seperti pencurian, perampokan dan pemerkosaan. Hal ini menunjukkan betapa kondisi anak-anak remaja usia sekolah pada saat ini berada dalam masalah besar.6

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Identitas diri adalah ciri-ciri atau tanda-tanda khas yang dirasa atau diyakini benar oleh seseorang mengenai dirinya sebagai seorang individu. Erikson meyakini bahwa perkembangan identity pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan.7 Sementara gangguan identitas gender atau yang lebih dikenal dengan transeksual adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya. Dalam DSM-III-TR orang seperti itu diklasifikasikan sebagai transeksual, tetapi dalam DSM-IV-TR dan DSM-V istilah tersebut tidak digunakan dan mereka hanyalah dikategorikan sebagai orang yang memiliki gangguan identitas gender.8 Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.9 Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita. Fausiah berkata, identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.10 Konsep tentang normal dan abnormal dipengaruhi oleh factor social budaya, Perilaku seksual dianggap normal apabila sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap abnormal apabila menyimpang dari kebiasaan yang ada di masyarakat.9

3

B. Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Pembentukan Identitas Gender Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan peran gender. Pada tahap pertama, seorang anak mengembangkan kepercayaan tentang sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Tahap kedua, seorang anak mengembangkan keistimewaan gender, tentang bagaimana seorang anak laki-laki atau perempuan bersikap. Kemudian pada tahap ketiga adalah tahap dimana ia memperoleh ketetapan gender.7 Pada umumnya anak usia 2 tahun sudah dapat menerapkan label laki-laki atau perempuan secara tepat atas dirinya sendiri dan orang lain. Konsepnya tentang gender lebih didasarkan pada ciri-ciri fisik, seperti pakaian, model rambut, atau jenis permainan. Pada umumnya anak baru mencapai ketetapan gender pada usia 7 hingga 9 tahun.11 Tidak seorangpun mengetahui apa penyebab gangguan identitas gender. Teoretikus psikodinamika menunjuk pada kedekatan hubungan ibu terhadap anak laki-laki yang sangat ekstrem, hubungan antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya. Seperti halnya yang dikatakan pada kalimat pertama bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor penyebab gangguan identitas gender. Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun

data

yang

tersedia

tidak

dapat

mengatribusikan

munculnya

transeksualisme hanya kepada hormon. Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.7,9 Maka dari itu, para peneliti mencoba untuk memahami perkembangan gender dalam psikologi perkembangan dari segi biologis, kognisi, dan proses belajar dalam identitas gender.11

4

Oleh karena itu, peneliti akan menelaah satu persatu aspek agar untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing aspek terhadap perkembangan identitas gender:11 a. Faktor Biologis Sebenarnya belum ada temuan spesifik mengenai penyebab gangguan identitas gender. Meskipun tampaknya ada kemungkinan bahwa faktor biologis dapat menjadi penyebab gangguan tersebut. Peneliti bidang biologi percaya bahwa pilihan permainan dan mainan memiliki dasar dari hormone yang muncul pada saat masa prenatal, tepatnya ada atau tidak adanya hormone androgen saat anak didalam kandungan (hormone pembentuk maskulinitas). Salah satu kasus yang membuktikan teori biologi adalah kasus seorang anak berusia 7 bulan yang secara genetis dan hormonal merupakan anak laki-laki. Suatu ketika ia kehilangan penisnya saat menjalani operasi bedah rutin. Saat ia hampir berumur 2 tahun, orangtua anak tersebut merasa putus asa, dan atas saran dari para peneliti yang merupakan ahli di bidang identitas gender setuju untuk membesarkan anak mereka sebagai anak perempuan, mengganti namanya menjadi Brenda. Namun Brenda lebih memilih bermain dengan mainan anak laki-laki da pada usia 14 tahun menolak untuk tetap hidup sebagai seorang perempuan. Kemudian ayahnya memberitahu hal yang sebenarnya, dan dengan lega Brenda mengganti identitasnya menjadi laki-laki bernama David. Penelitian awal menunjukkan bahwa seperti halnya orientasi seksual, tingkat hormone testosterone atau estrogen yang agak lebih tinggi pada periode krisis tertentu dalam perkembangan dapat memaskulinkan janin perempuan atau memfemininkan janin laki-laki. Variasi dalam tingkat hormonal dapat terjadi secara alamiah atau disebabkan oleh obat yang diminum perempuan hamil. Tetapi para ilmuan belum menetapkan antara pengaruh hormonal prenatal dengan identitas gender di masa yang akan datang. Sebagai contoh, anak perempuan yang terpapar hormone androgen didalam kandungan lebih mungkin untuk menyukai mainan laki-laki

5

seperti mobil-mobilan daripada anak perempuan yang tidak terpapar androgen. Mereka juga lebih agresif secara fisik dibandingkan dengan anak perempuan pada umumnya. Kadar hormon seks juga diteliti pada orang dewasa yang mengalami gangguan identitas gender. Dalam suatu kajian terhadap beberapa penelitian semacam itu, mereka hanya menemukan sedikit, jika pun ada, perbedaan hormon pada laki-laki yang mengalami gangguan identitas gender, laki-laki heteroseksual dan laki-laki homoseksual. Studi yang lebih mutakhir menunjukkan hasil yang membingungkan bahwa beberapa perempuan yang mengalami gangguan identitas gender memiliki hormon laki-laki yang lebih tinggi, namun yang lain tidak. Namun jika memang benar kadar hormone berlebih yang tidak seharusnya pada seseorang bisa menyebabkan gangguan identitas gender, lalu mengapa seorang transeksual malah menggunakan hormone seks sebagai salah satu upaya untuk membentuk tubuhnya agar sesuai dengan lawan jenis yang menjadi harapannya. Salah satu alternatif yang digunakan untuk menangani kasus seorang heteroseksual adalah dengan terapi hormone, yakni mengharuskan seseorang untuk mengkonsumsi hormone tertentu. Dengan demikian, data yang ada tidak secara pasti mendukung penjelasan tentang transeksualisme pada orang dewasa bahwa hal itu semata-mata terkait dengan masalah hormon. Bahkan penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh abnormalitas kromosom dan perbedaan struktur otak terhadap seorang transeksual juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif. Harus disadari bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari proses biologis dan lingkungan yang saling berinteraksi.

b. Faktor Sosial dan Psikologis Peran lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan identitas gender. Misalnya ibu yang suka mendandani anak laki-lakinya seperti anak perempuan, contohnya memakaikan pakain perempuan. Wawancara dengan orangtua yang anak-anaknya menunjukkan tanda-

6

tanda gangguan identitas gender berulangkali mereka mengungkap bahwa mereka tidak mencegah, dan dalam banyak kasus jelas mendorong perilaku memakai pakaian lawan jenis. Dengan reaksi yang demikian, justru dapat memberikan kontribusi besar dalam konflik antara jenis kelamin dan identitas gendernya. Seorang anak laki-laki yang pada waktu kecil menunjukkan perilaku feminine akan mendapatkan perhatian lebih daripada anak perempuan berperilaku maskulin. Suatu hipotesis awal yang menyatakan bahwa perilaku feminine yang menetap pada anak laki-laki didorong oleh si ibu sebelum anak lahir. Ibunya sangat menginginkan anak perempuan. Perilaku tersebut (transeksual) dibentuk oleh gabungan dari faktor hormon, gen, skema kognitif, pendidikan dari orangtua dan lingkungan sosial, tradisi agama, dan budaya serta pengalaman. Lingkungan rumah yang memberi pengaruh kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan berkontribusi terhadap konflik antara anatomi seks anak dan identitas gender yang diperolehnya. Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki. Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki – laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria. Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya.

Faktor

keluarga

mungkin

hanya

berperan

dalam

mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormon seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal.12

7

C. Faktor-faktor Identitas Diri Remaja Individu yang sedang membentuk identitas diri adalah individu yang ingin menentukan siapakah dan apakah dirinya pada saat ini serta siapakah atau apakah yang individu inginkan di masa yang akan datang. Beberapa faktor penting dalam perkembangan identitas diri remaja. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:13 1. Rasa percaya diri yang telah diperoleh pada tahun-tahun pertama harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan. Hal-hal yang dapat mengurangi rasa percaya diri, baik itu dari segi jasmaniah,

segi

mental

maupun

sosial

haruslah

bisa

dihindarkan dengan seminimal mungkin. 2. Sikap berdiri sendiri telah dimulai pada tahun kedua dan ketiga ketika anak mulai menjelajahi lingkungan sekitarnya dan mulai banyak memperlihatkan keinginan. Dalam hal ini banyak orang tua maupun pendidik diharapkan tidak banyak memberikan larangan kepadanya yang bisa menghambat perkembangan dinamikanya.

Akan

tetapi

larangan

diberikan

karena

melindunginya dari bahaya atau kecelakaan. 3. Keadaan keluarga dengan faktor-faktor yang menunjang terwujudnya identifikasi diri. Perlu adanya suasana yang baik antara kedua orang tua dengan anak-anaknya yang menginjak usia remaja. Dengan adanya hubungan timbal balik yang harmonis maka akan terjadi identifikasi orang tua terhadap anaknya. Dari lingkungan keluarga ini pula maka remaja akan memperoleh sejumlah kebiasaan penyesuaian diri, yang memungkinkannya untuk segera menyesuaikan diri dengan sebagian situasi yang dihadapinya sehari-hari. 4. Kemampuan remaja itu sendiri, taraf kemampuan intelektual para remaja, menentukan derajat penanggapan mereka terhadap lingkungan. Hal ini penting justru dalam memilih tokoh-tokoh atau idola identifikasi dari lingkungan keluarga. Kemampuan intelektualitasnya

akan

8

menentukan

apakah

ia

dapat

memperoleh pengertian akan sifat-sifat dan pandangan yang patut diambilnya atau yang harus ditolaknya.

Menurut Santrock identitas diri dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:13 a. Pengaruh keluarga terhadap identitas Orang tua adalah tokoh yang berpengaruh dalam proses pencarian identitas pada remaja. Dalam studi-studi yang mengaitkan perkembangan identitas dengan gaya pengasuhan, ditemukan bahwa orang tua demokratis yang mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan akan mengembangkan identity achievement. Sebaliknya, orang tua otokratis,

yang mengontrol perilaku remaja dan tidak

memberikan peluang kepadanya

untuk

mengekspresikan

pendapat, akan mengembangkan identity foreclosure. Orang tua permisif yang kurang memberikan bimbingan dan membiarkan remaja

untuk

membuat

keputusan

sendiri,

akan

mengembangkan identity diffusion. Cooper mendefinisikan istilah-istilah ini sebagai berikut. 1) Individualitas

(individuality)

terdiri

dari

dua

dimensi: pernyataan diri atau kemampuan untuk memiliki dan mengomunikasikan sudut pandangnya, dan keterpisahan, atau penggunaan pola komunikasi untuk mengekspresikan perbedaan seseorang dari yang lain. 2) Keterjalinan

(connectedness)

terdiri

dari

dua

dimensi: mutualitas, yang mencakup sensitivitas dan penghargaan terhadap pandangan orang lain, serta permeabilitas, yang mencakup keterbukaan terhadap pandangan orang lain.

9

Seorang peneliti berpendapat bahwa “atmosfir keluarga yang mendukung individualitas dan keterjalinan merupakan hal yang penting bagi perkembangan identitas remaja”. Secara umum, riset yang dilakukan mengindikasikan bahwa pembentukan identitas ditingkatkan melalui relasi keluarga. Relasi keluarga ini harus memungkinkan individuasi, yang mendorong remaja untuk mengembangkan sudut pandangnya sendiri serta memungkinkan keterjalinan, yang memberikan keamanan dasar sehingga remaja dapat mengeksplorasi dan memperluas dunia sosialnya. Apabila keterjalinan kuat dan individuasi lemah, remaja sering kali memiliki status identity foreclosure, apabila terjalinan lemah, remaja sering kali memperlihatkan identity conffusion. Di samping itu, kondisi budaya juga bervariasi seiring dengan bagaimana individualitas dan keterjalinan ini diekspresikan. Sebagai contoh, dalam banyak tradisi keluarga, anak-anak perempuan dan laki-laki mengekspresikan ide-idenya kepada ayah secara tidak langsung melalui orang ketiga, dan tidak mengekspresikan secara langsung.

b. Identitas budaya dan etnis Erikson secara khusus peka terhadap peran budaya dalam perkembangan identitas. Menurut Erikson, “di berbagai penjuru dunia, kelompok etnis minoritas harus berjuang dalam mempertahankan identitas budaya dan sambil mencoba membaur dengan budaya yang dominan”. Menurut Erikson, “perjuangan untuk mencapai identitas etnik tersendiri di dalam budaya yang lebih besar ini telah menjadi daya pendorong bagi berkembangnya gereja yang terkemuka, kerajaan dan evolusi di sepanjang masa”. Seorang ahli mendefinisikan identitas etnik (ethnic identity) sebagai aspek yang menetap dari diri (self) yang mencakup penghayatan sebagai anggota dari sebuah kelompok etnik, bersama dengan berbagai sikap dan perasaan yang berkaitan dengan keanggotaan itu. Dengan demikian, untuk

10

remaja yang berasal dari kelompok minoritas etnis, proses pembentukan identitas telah menambahkan dua dimensi: pilihan di antara dua atau lebih sumber identifikasi kelompok etnisnya

dan

budaya

yang

dominan.

Banyak

remaja

menyelesaikan pilihan ini dengan mengembangkan identitas bicultural (bicultural identity). Artinya, melalui cara-cara tertentu, seseorang beridentifikasi dengan kelompok etnisnya dan melalui cara-cara lain beridentifikasi dengan budaya minoritas. Para peneliti telah menemukan bahwa identitas etnis cenderung meningkat seiring dengan usia, dan tingkat identitas etnis yang lebih tinggi berkaitan dengan sikap-sikap yang lebih positif, tidak hanya terhadap kelompok etnisnya sendiri namun juga terhadap anggota-anggota dari kelompok etnis lain.

c. Jenis kelamin Pemaparan

klasik

dari

Erikson

(1968)

mengenai

perkembangan identitas mencerminkan bahwa pembagian angkatan kerja berdasarkan jenis kelamin merupakan hal yang banyak dijumpai dimasa lalu. Menurut Erikson, laki-laki terutama berorientasi pada karier dan komitmen ideologi, sementara perempuan terutama berorientasi pada perkawinan dan pengasuhan anak. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, para peneliti menemukan bukti-bukti pendukung pendapatnya mengenai gender dalam identitas. Sebagai contoh, mereka menemukan bahwa identitas laki-laki lebih terfokus pada persoalan-persoalan yang menyangkut pekerjaan sementara identitas perempuan lebih terfokus pada persoalan-persoalan yang menyangkut perkawinan. Meskipun demikian, dalam beberapa dasawarsa terakhir, ketika para perempuan telah mengembangkan minta yang lebih kuat di bidang pekerjaan, perbedaan gender ini mulai berkurang.

11

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi identitas diri remaja adalah: pengaruh keluarga terhadap identitas, identitas budaya dan etnis, dan jenis kelamin.

D. Diagnosis Gangguan Identitas Gender Kriteria diagnostik gangguan identitas gender adalah: Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap gender lain: 1. Berkeinginan

kuat

menjadi

anggota

gender

lawan

jenisnya

(berkeyakinan bahwa ia memiliki identitas gender lawan jenisnya) 2. Memilih memakai baju sesuai dengan stereotip gender lawan jenisnya 3. Berfantasi menjadi gender lawan jenisnya atau melakukan permainan yang dianggap sebagai permainan gender lawan jenisnya 4. Mempunyai keinginan berpartisipasi dalam aktivitas permainan yang sesuai dengan stereotip lawan jenisnya 5. Keinginan kuat mempunyai teman bermain dari gender lawan jenis (dimana biasanya pada usia anak-anak lebih tertarik untuk mempunyai teman bermain dari gender yang sama). Pada remaja dan orang dewasa dapat diidentifikasikan bahwa mereka berharap menjadi sosok lawan jenisnya, berharap untuk bisa hidup sebagai anggota dari gender lawan jenisnya 6. Perasaan yang kuat dan menetap ketidaknyamanan pada gender anatominya sendiri atau tingkah lakunya yang sesuai stereotip gendernya. 7. Tidak terdapat kondisi interseks. 8. Menyebabkan kecemasan yang serius atau mempengaruhi pekerjaan atau sosialisasi atau yang lainnya. 9. Gangguan identitas gender dapat berakhir pada remaja ketika anak – anak mulai dapat menerima identitas gender. Tetapi juga dapat terus berlangsung sampai remaja bahkan hingga dewasa sehingga mungkin menjadi gay atau lesbian. Sementara itu, PPDGJ-III gangguan identitas gender atau jenis kelamin pada remaja yang termasuk adalah Transseksualisme. Berikut

12

pedoman diagnostik gangguan identitas jenis kelamin transseksualisme menurut PPDGJ-III adalah:14 

Untuk menegakkkan diagnosis, identitas transseksual harus sudah menetap selama minimal 2 tahun, dan harus bukan merupakam gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia, atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom



Gambaran identitas tersebut: -

Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan rishi, atau ketidak-serasian, dengan anatomi seksualnya

-

Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan

Selain itu, gangguan identitas gender pada DSM-V menggunakan istilah gender disforia. Berikut pedoman diagnostik gender disforia pada Remaja dan Dewasa menurut DSM-V adalah:8 

Pengalaman yang bertolak belakang antara gender yang diekspresikan dan gender yang ditujukan, terjadi sudah kurang lebih selama 6 bulan, dengan manifestasi minimal dua dari berikut ini: 1) Ketidakcocokan yang bermakna dalam satu gender yang diekspresikan dan karakteristik seks primer dan/atau sekunder (atau pada remaja muda, karakteristik seks sekunder yang diantisipasi) 2) Keinginan yang kuat untuk menyingkirkan karakteristik seks primer dan/atau sekunder karena ada ketidakcocokan bermakna dengan pengalaman/ekspresi pada satu gender (atau pada remaja muda, disebut keinginan untuk mencegah

13

perkembangan dari karakteristik seks sekunder yang diantisipasi) 3) Keinginan yang kuat untuk karakteristik seks primer dan/atau sekunder terhadap gender yang berlawanan 4) Keinginan yang kuat untuk menjadi gender yang berlawanan (atau gender yang berbeda dari yang saat ini) 5) Memiliki keinginan kuat untuk diperlakukan sebagai gender yang berlawanan (atau gender yang berbeda dari yang saat ini) 6) Adanya kepercayaan diri yang kuat bahwa ia memiliki sifat atau karakteristik perasaan dan reaksi yang menggambarkan gender yang berlawanan (atau gender yang berbeda dari yang saat ini) 

Kondisi ini di asosiasikan dengan ketidakmampuan akibat distress yang signifikan secara klinis dalam kehidupan sosial, pekerjaan, atau dalam are fungsi penting lainnya.

E. Terapi10,12,15 1. Mengubah Tubuh Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untuk mengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan. Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin. Keuntungan operasi perubahan kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual

14

tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi.

2. Ganti Kelamin Sebelum tindakan operasi kelamin ada beberapa hal yang harus diperhatikan individu. Ada beberapa tahap yang harus dialaui sebelum tindakan operasi kelamin dilakukan. Tahap – tahap tersebut adalah: 1) Memastikan kemantapan dalam mengambil keputusan. Jika terdapat delusi paranoid dalam memutuskan mengganti kelamin, maka ahli bedah harus menolak permintaanya 2) Orang yang ingin merubah dari pria menjadi wanita, estrogennya ditingkatkan untuk menumbuhkan karakteristik alat kelamin sekunder wanita. Sedangkan pada wanita yang ingin menjadi pria, hormon

androgennya

ditingkatkan

untuk

mengembangkan

karakteristik alat kelamin sekunder pria 3) Sebelum operasi diwajibkan hidup selama satu tahun sebagai orang dari gender lawan jenisnya untuk memprediksi penyesuaian setelah operasi. Untuk orang yan mengganti kelamin dari pria menjadi wanita, penis dan testis dibuang. Kemudian jaringan dari penis digunakan untuk membuat vagina buatan. Jika dari wanita menjadi pria, ahli bedah membuang organ kelamin internal dan meratakan payudaranya dengan membuang jaringan lemak

3. Pengubahan Identitas Gender Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan

15

transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender.

16

BAB III KESIMPULAN

Identitas diri adalah ciri-ciri atau tanda-tanda khas yang dirasa atau diyakini benar oleh seseorang mengenai dirinya sebagai seorang individu. Erikson meyakini bahwa perkembangan identity pada masa remaja berkaitan erat dengan komitmennya terhadap okupasi masa depan. Sementara gangguan identitas gender atau yang lebih dikenal dengan transeksual adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang pria atau wanita dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya. Dalam DSM-III-TR orang seperti itu diklasifikasikan sebagai transeksual, tetapi dalam DSM-IV-TR istilah tersebut tidak digunakan dan mereka hanyalah dikategorikan sebagai orang yang memiliki gangguan identitas gender. Pentingnya pencapaian identitas diri pada remaja adalah untuk menetapkan langkah atau sebagai pijakan kuat bagi remaja dalam menjalani periode masanya untuk menjadi individu yang bertanggung jawab dan berkarakter sesuai dengan apa yang diyakininya benar. Pemikiran-pemikiran jangka panjang yang menyangkut perannya di masyarakat dan di kemudian hari, masa depan dan pekerjaannya serta dirinya sendiri ini juga menjadi salah satu hal yang membawa remaja untuk mencapai identitas diri. Identitas diri jelas diperlukan individu agar dapat menjalankan kehidupannya. Individu yang tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai dirinya, akan lebih besar kemungkinannya hidup dalam ketidakpastian serta tidak mampu menyadari keunggulan maupun kekurangan yang ada pada dirinya. Individu tersebut akan menjadi individu yang tidak percaya diri dan tidak memiliki kebanggaan pada dirinya sendiri. Identitas diartikan sebagai cara hidup tertentu yang sudah dibentuk pada masa-masa sebelumnya dan menentukan peran sosial yang harus dijalankan (Rumini dan Sundari, 2004: 74). Seseorang akan mengevaluasi kembali pemahaman tentang sifat seseorang dengan melihat apa yang sebenarnya penting untuk seseorang berkaitan dengan identitas diri. Kebanyakan anak mengalami sekurang-kurangnya tiga tahap dalam perkembangan peran gender. Pada tahap pertama, seorang anak mengembangkan

17

kepercayaan tentang sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Tahap kedua, seorang anak mengembangkan keistimewaan gender, tentang bagaimana seorang anak laki-laki atau perempuan bersikap. Kemudian pada tahap ketiga adalah tahap dimana ia memperoleh ketetapan gender. Tidak seorangpun mengetahui apa penyebab gangguan identitas gender. Teoretikus psikodinamika menunjuk pada kedekatan hubungan ibu terhadap anak laki-laki yang sangat ekstrem, hubungan antara ibu dan ayah, dan ayah yang tidak ada atau jauh dari anaknya. Seperti halnya yang dikatakan pada kalimat pertama bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti faktor penyebab gangguan identitas gender. Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun

data

yang

tersedia

tidak

dapat

mengatribusikan

munculnya

transeksualisme hanya kepada hormon. Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif. Maka dari itu, para peneliti mencoba untuk memahami perkembangan gender dalam psikologi perkembangan dari segi biologis, kognisi, dan proses belajar dalam identitas gender. Teori psikodinamika dan teori belajar lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak – anak. Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine dipengaruhi oleh hormon seks fase – fase tertentu dalam perkembangan prenatal. Individu yang sedang membentuk identitas diri adalah individu yang ingin menentukan siapakah dan apakah dirinya pada saat ini serta siapakah atau apakah yang individu inginkan di masa yang akan datang. Seorang peneliti berpendapat bahwa “atmosfir keluarga yang mendukung individualitas dan keterjalinan merupakan hal yang penting bagi perkembangan

18

identitas remaja”. Secara umum, riset yang dilakukan mengindikasikan bahwa pembentukan identitas ditingkatkan melalui relasi keluarga. Relasi keluarga ini harus

memungkinkan

individuasi,

yang

mendorong

remaja

untuk

mengembangkan sudut pandangnya sendiri serta memungkinkan keterjalinan, yang memberikan keamanan dasar sehingga remaja dapat mengeksplorasi dan memperluas dunia sosialnya. Di samping itu, kondisi budaya juga bervariasi seiring dengan bagaimana individualitas dan keterjalinan ini diekspresikan. Sebagai contoh, dalam banyak tradisi keluarga, anak-anak perempuan dan laki-laki mengekspresikan ide-idenya kepada ayah secara tidak langsung melalui orang ketiga, dan tidak mengekspresikan secara langsung. Sementara itu, untuk kriteria diagnosis yang dapat dipakai dapat menggunakan beberapa modalitas ketetapan yang sudah ditetapkan oleh institusi. Di Indonesia yang sering digunakan adalah PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa). Namun seringkali juga digunakan ketentuan dari Amerika, yaitu DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Sementara untuk terapi yang dapat dilakukan disini berupa psikoterapi. Dapat dilakukan usaha-usaha berupa mengubah tubuh, berganti jenis kelamin, dan mengubah identitas gender yang bersangkutan. Namun tentu sebelum melakukan hal tersebut di atas pasien harus memiliki keyakinan dalam mmengambil keputusan.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Dariyo A. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. 2004. h: 13-4. 2. Hurlock, Elisabeth, B. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga. 1993. h: 209. 3. Sumiati E, Nasution ML. Pengetahuan dan Sikap Remaja tentang identitas Diri Remaja pada Siswa SMA Kartika 1-2 Medan. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 2012: 30-4. 4. Rumini, Sri, Siti. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2004. h: 74. 5. Lizza, John P. Multiple Personality and Personal Identity Revisited. The British Journal for the Philosophy of Science. 199: 263. 6. Arkan A. Strategi Penanggulangan Kenakalan Anak-anak Remaja Usia Sekolah. Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI, Kalimantan, Volume 4 No. 6. 2006. 7. Yusuf S. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Cetakan Keempat. Bandung: PT. Remaja. 2004. h: 201. 8. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders.5th edition. 2013. American Psychiatric Publishing.. 9. Nevid, Jeffrey S, et al. Psikologi abnormal jilid dua edisi kelima. Jakarta : Erlangga. 2002. 10. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Binarupa Aksara Publisher. 2010. 11. Papalia, Diane E, Olds, Sally Wendkos, Feldman, Ruth Duskin. Human Development. Jakarta: Salemba Humanika. 2009. 12. Durank VM, David H, Barlow. Psikologi Abnotmal. Yoryakarta: Pustaka Pelajar 2006. 13. Santrock JW. Adolesence : Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga. 2003.

20

14. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta:PT Nuh Jaya. 2013. 15. Kusumawardhani A, Husain AB, Adikusumo A, dkk. Buku Ajar Psikiatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2013.

21

Related Documents

Paper Miseal Tooy.docx
April 2020 6
Paper
August 2019 42
Paper
October 2019 41
Paper
August 2019 43
Paper
November 2019 26
Paper
December 2019 25

More Documents from ""