TANTANGAN DAN PELUANG AGRIBISNIS DOMESTIK DAN GLOBAL PADA KOMODITAS KARET Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Manajemen Agribisnis Lanjutan Dosen Pengampu: Dr. Nunuk Adiarni, MM
DISUSUN OLEH : Kelompok VIII Dananda Azizah (11170920000048) Syifa Ainun Balqis (11170920000059) Aghnia Laksmi Budianti (11170920000103) Kelas: 4A - Agribisnis
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019
KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami panjatkan puja sertasyukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan paper mengenai Tantangan dan Peluang Agribisnis Domestik serta Global Pada Komoditas Karet . Paper ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan tugas ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan paper ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki paper yang telah kami buat ini. Akhir kata kami berharap semoga Paper Tantangan dan Peluang Agribisnis Domestik serta Global Pada Komoditas Karet ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi kepada para pembaca.
Ciputat, 25 Maret 2019
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
BAB I ........................................................................................................................................................ 4 PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4 1.1 Latar Belakang............................................................................................................................... 4 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 5 1.3 Tujuan ........................................................................................................................................... 5 BAB II ....................................................................................................................................................... 6 PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 6 2.1 Peluang dan Tantangan Komoditas Karet ..................................................................................... 6 2.2 Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Usaha Karet ..................................................... 8 2.3 Era ICT dan Industri 4.0 dalam pengembangan Agribisnis ......................................................... 10 2.4 Konsep Integrasi Vertikal dan Horizontal Sistem Agribisnis ....................................................... 11 2.5 Environmental and Health Concerns .......................................................................................... 12 2.6 Connectivity and Networking ..................................................................................................... 14 2.7Risk and uncertainty .................................................................................................................... 15 2.8 Keilmuan dalam Agribisnis .......................................................................................................... 16 BAB III .................................................................................................................................................... 16 PENUTUP ............................................................................................................................................... 16 3.1 Kesimpulan.................................................................................................................................. 16 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 17
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Agribisnis mempunyai banyak sekali pengertian yang disampaikan oleh beberapa ahli, salah satunya adalah menurut Soekartawi (1993) yang mengatakan bahwa agribisnis berasal dari kata agri dan bisnis. Agri berasal dari bahasa Inggris, agricultural (pertanian). Bisnis berarti usaha komersial dalam dunia perdagangan. Dengan demikian, bisa dikatakan jika agribisnis merupakan semua kegiatan dalam bidang pertanian. Mulai dari industri hulu, usaha tani, indutri hilir sampai dengan distribusi produknya. Fungsi-fungsi agribisnis terdiri atas kegiatan pengadaan dan penyaluran saran produksi, kegiatan produksi primer (budidaya), pengolahan (agroindustri), dan pemasaran. Fungsi-fungsi tersebut kemudian disusun menjadi suatu sistem, di mana fungsi-fungsi di atas menjadi subsistem dari sistem agribisnis. Memandang agribisnis sebagai sebuah sistem yang terdiri atas beberapa subsitem. Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem. Agribisnis mencakup kegiatan pertanian, kehutanan, perikanan dan kelautan, peternakan, serta perkebunan. Komoditi
perkebunan
mempunyai
peranan
yang
penting
dalam
program pembangunan ekonomi Indonesia. Peranan ini semakin terasa dengan menurunnyas umbangan minyak dan gas (migas) terhadap devisa negara. Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas (91%) areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet rakyat dan pengembangan industri hilir.
Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/th. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Namun luas areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400 ribu hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubbermaupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya pemanfaatan lebih lanjut. 1.2 Rumusan Masalah 1. Peluang dan Tantangan komoditi karet Agribisnis di abad 21 2. Kebijakan dan strategi nasional pengembangan agribisnis komoditi Karet 3. Era ICT dan industri 4.0 dalam pengembangan agribisnis komoditi karet 4. Keterkaitan Vertikal dan Horizontal 5. Envioromental and Health concerns 6. Connectivity and Networking 7. Risk and Uncertainty 8. Keilmuan dalam Agribisnis
1.3 Tujuan 1. Mampu memahami Tantangan dan peluang agribisnis pada komoditi karet 2. Memahami kebijkan dan strategi nasional pengembangan agribisnis komoditi karet. 3. Memahami bagaimana cara mengembangkan komoditi karet. 4. Menjelaskan peran agribisnis dalam dunia ekspor pada komoditi Karet 5. Mengetahui Era ICT dan industri 4.0 dalam pengembangan agribisnis 6. Memahami keterkaitan vertikal serta horizontal komoditi karet 7. Mengetahui konekstivitas serta kerjasama Indonesia dengan global mengenai komoditi karet 8. Memahami resiko, ketidakpastian, serta keilmuan dalam agribisnis
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Peluang dan Tantangan Komoditas Karet 2.1.1 Peluang Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai prospek yang makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak bumi dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis. Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari produksi. Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik. Kayu karet juga akan mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan. Arah pengembangan karet ke depan lebih diwarnai oleh kandungan IPTEK dan kapital yang makin tinggi agar lebih kompetitif. Tujuan pengembangan karet ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan petani. Sasaran jangka panjang (2025) adalah: (a) Produksi karet mencapai 3,5 – 4 juta ton yang 25% di antaranya untuk industri dalam negeri; (b) Produktivitas meningkat menjadi 1.200 -1.500 kg/ha/th dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus; (c) Penggunaan klon unggul (85%); (d) Pendapatan petani menjadi US$ 2.000/KK/th dengan tingkat harga 80% dari harga FOB; dan (e) Berkembangnya industri hilir berbasis karet. Sasaran jangka menengah (2005-2009) adalah: (a) Produksi karet mencapai 2,3 juta ton yang 10% di antaranya untuk industri dalam negeri; (b) Produktivitas meningkat menjadi 800 kg/ha/th dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus; (c) Penggunaan klon unggul (55%); (d) Pendapatan petani menjadi US$ 1.500/KK/th dengan tingkat harga 75% dari harga FOB; dan (e) Berkembangnya industri hilir berbasis karet di sentra-sentra produksi karet. 2.1.2 Tantangan
tingkat produktivitas lahan karet yang masih rendah
Kendala utama dalam pengembangan karet alam adalah tingkat produktivitas lahan karet yang masih rendah. Jika dibandingkan dengan produsen utama karet alam, tingkat produktivitas lahan di Indonesia khususnya perkebunan rakyat baru mencapai 0,8 ton/ha/tahun, sedangkan perkebunan besar mencapai sekitar 1 ton/ha/tahun. Sebagai perbandingan, produktivitas lahan di India bisa mencapai sekitar 1,9 ton/ha/tahun sedangkan Thailand mencapai sekitar 1,6 ton/ha/tahun. Dengan produktivitas lahan yang hanya setengah dari negara produsen lainnya, posisi Indonesia sulit diharapkan menjadi market leader di pasar internasional walaupun memiliki luas lahan yang terbesar di dunia. Salah satu langkah meningkatkan produktivitas adalah melakukan sinergi antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar melalui pola plasma. Kemampuan manajerial baik produksi maupun pemasaran dari perkebunan besar akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas perkebunan rakyat disamping peremajaan lahan yang tidak produktif (sekitar 15% dari total luas lahan) yang menjadi syarat utama peningkatan produktivitas lahan.
Kendala lain yang menghambat perkembangan karet adalah hasil bahan baku (bokar) umumnya bermutu rendah sebagai dampak dari proses pengolahan dasar di level petani belum optimal dengan metode yang dapat mengurangi kualitas bahan (pencampuran dengan bahan penggumpal berkualitas rendah atau mencampur dengan beberapa bahan yang tidak direkomendasikan). Bersamaan dengan permasalahan kualitas bokar, pola pemasaran juga tidak berpihak ke petani dengan rata-rata harga di level petani hanya mencapai 60-75% dari harga FOB. Koordinasi dengan perkebunan besar diharapkan dapat menjembatani kendala transportasi terhadap kondisi lahan petani yang menyebar sehingga pemasaran lebih solid dan kontinuitas pasokan bagi pabrik pengolahan karet dapat lebih terjamin. Dari sisi industri pengolahan, kemampuan industri dalam negeri menyerap produksi karet alam masih rendah dan relatif stagnan dalam 5 tahun terakhir (sekitar 10-15% dari total produksi karet nasional). Industri ban merupakan industri yang dominan dalam menyerap pasokan karet dalam negeri dengan konsumsi mencapai sekitar 60% dari total konsumsi industri karet nasional. Industri lain yang menggunakan karet sebagai bahan baku antara lain industri sarung tangan, alas kaki, selang belt transmision. Selain industri ban yang merupakan industri besar, industri lainnya hanya bersifat industri berskala menengah dan kecil. Kemampuan modal dan pemasaran menjadi kendala dalam pengembangan industri menengah dan kecil tersebut. Selain kendala diatas, ketersediaan pasokan energi oleh pemerintah dalam hal ini juga menjadi
kendala sehingga kontinuitas dan skala produksi menjadi tidak optimal. Di level industri kecil, produk lebih dititikberatkan kepada komponen atau barang pendukung dari produk utama seperti spare parts dan komponen alas kaki yang diproduksi pabrikan besar. Pengembangan jenis produk karet lainnya dinilai cukup berat mengingat pengolahan karet membutuhkan modal dan teknologi yang cukup tinggi. Sebagai dampak dari belum optimalnya pengembangan industri selain industri ban, utilitas industri tersebut juga relatif rendah, bahkan industri sarung tangan hanya mencapai utilitas industri sebesar 40% dan alas kaki relatif lebih baik dengan utilitas sebesar 60%.
Disamping kendala produksi, kendala perdagangan internasional juga menghambat perkembangan karet dan industri berbahan karet. Mulai dari prosedur trading yang berbelit yang pada akhirnya menyebabkan biaya transaksi yang tinggi, permasalahan dumping dari negara lain hingga isu lingkungan yang menjadi prasyarat bagi pasar Eropa dan Amerika. Berbagai permasalahan perdagangan tersebut membutuhkan pemikiran dan kerjasama dari pelaku usaha dan pemerintah sebagai regulator sehingga pada akhirnya tidak menjadi hambatan dalam pengembangan karet yang menjadi salah satu unjung tombak devisa Indonesia
2.2 Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Usaha Karet
Kebijakan Pengembangan Agribisnis Berbasis Karet Untuk meraih peluang sebagai produsen karet dan produk karet terbesar di dunia, diperlukan kebijakan yang tepat dalam pengembangan agribisnis karet di Indonesia ke depan. Serangkaian kebijakan umum yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan ekonomi makro (terutama di bidang moneter dan fiskal) yang kondusif bagi pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet. Kebijakan ekonomi makro, terutama di bidang moneter dan fiskal hendaknya kondusif bagi terwujudnya pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet. Jajaran pemerintah, mulai dari pusat, propinsi dan kabupaten mempunyai kebijakan yang terintegrasi, harmonis dan sinergis dalam bidang moneter. Dalam bidang moneter diupayakan agar tersedia dana dari sumbersumber. Perbankan atau non perbankan yang dapat memberikan rangsangan dan dorongan bagi tumbuh dan berkembangnya usaha agribisnis karet yang kompetitif pada semua sub-sistem usaha agribisnis tersebut, terutama pada subsistem “on farm”. Untuk itu diperlukan inovasi dan kreasi di tingkat nasional maupun lokal dalam
mengupayakan tersedianya dana bagi pengembangan usaha agribisnis karet. Dukungan pendanaan dari perbankan diharapkan akan kembali pulih sebagaimana sediakala, karena usaha agribisnis karet masih cukup prospektif dan tingkat profitabilitasnya cukup memadai, serta sifat dari arus tunainya (cash flow) berkelanjutan. Di bidang fiskal, pemerintah di semua tingkatan hendaknya memiliki kebijakan yang kondusif bagi pengembangan usaha agribisnis karet, yaitu pembebanan pajak dan pungutan lainnya yang rasional, baik menyangkut besaran yang dibebankan, maupun prosedur penerapannya. Pemerintah memikirkan dampak jangka panjang dalam penetapan retribusi ataupun pungutan-pungutan lainya dalam usaha agribisnis karet. 2. Kebijakan industri (industrial policy) yang memberi prioritas pada pengembangan klaster industri (industrial cluster). Arah kebijakan industri
(industrial
policy)
memberikan prioritas
pada
pengembangan klaster industri (industrial cluster), yaitu kebijakan yang didasari atas kepentingan jauh ke depan, berorientasi pada nilai tambah domestik dengan proses produksi yang efisien dan efektif dan terintegrasi dalam semua tingkatan/subsistem mulai subsistem hulu (on farm), pengolahan, pemasaran dan jasa pendukung lainnya 3. Kebijakan perdagangan internasional (international trade policy) yang netral namun antisipatif baik secara sektoral, domestik, maupun antar negara dalam kerangka mewujudkan suatu perdagangan yang lebih bebas dan lebih adil (freer and fairer trade) dan dinamis dalam merespon perkembangan pasar. 4. Kebijakan pengembangan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, telepon, pengairan) di daerah-daerah yang kondusif bagi keberlangsungan usaha agribisnis yang efisien dan efektif. Kebijakan dalam pengembangan infrastruktur agribisnis karet diupayakan pada upaya konsolidasi dan optimalisasi pendayagunaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya infrastruktur yang ada (software maupun hardware), antara lain kawasan-kawasan pembangunan terpadu yang pernah diperkenalkan dan disosialisasikan 5. Kebijakan pengembangan kelembagaan (institutional policy) baik lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan sumberdaya manusia, dan penyuluhan, serta pengembangan kelembagaan dan organisasi petani.
6. Kebijakan pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan secara efisien dan bijaksana. 7. Kebijakan pengembangan pertumbuhan agribisnis karet di daerah. 8. Kebijakan ketahanan pangan dikaitkan dengan sistem dan usaha agribisnis karet.
2.3 Era ICT dan Industri 4.0 dalam pengembangan Agribisnis
Pada era digital seperti saat ini, dunia pertanian dipenuhi dengan isu revolusi industri 4.0,
dimana
pertanian
diharapkan
dapat
melibatkan
digital
dalam
proses
pengembangannya. Salah satu tujuan revolusi industri 4.0 di sektor pertanian adalah meningkatkan produktivitas pertanian secara efektif dan efisien. ada era revolusi industri 4.0 ini, sumber daya manusia diharapkan mampu mengembangkan pertanian dengan peralatan-peralatan berbasis digital untuk memaksimalkan pekerjaan manusia (petani) itu sendiri. Revolusi industri 4.0 dalam sektor agrikultur ternyata lebih dominan terjadi di Eropa. Hal ini disebabkan oleh adanya bencana demografi, yaitu keadaan dimana jumlah penduduk yang berusia produktif lebih sedikit dibanding penduduk yang berusia nonproduktif. Oleh karena itu, tenaga mereka digantikan dengan teknologi. Sebaliknya, di Indonesia, kita mengalami bonus demografi. Pertanian tradisional masih banyak ditemukan di berbagai wilayah. Itulah sebabnya revolusi industri 4.0 pada pertanian Indonesia belum terlalu dirasakan. Sistem pengalihan teknologi dari tradisional menjadi modern dalam pengelolaan pertanian belum mampu diterima secara luas oleh para petani yang masih banyak memilih menggunakan peralatan tradisional dibanding peralatan teknologi canggih. Selain karena keterbatasan biaya, keterbatasan pengetahuan juga menjadi faktor yang menghambat laju teknologi untuk merambah sektor pertanian secara luas. Di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan edukasi yang cukup bagi para petani agar dapat memajukan sektor pertanian di era revolusi industri 4.0 ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan mungkin berupa memberikan penyuluhan besar-besaran dan melakukan demo penggunaan alat pertanian yang dilengkapi dengan teknologi modern.
Berbicara tentang revolusi industri 4.0, ada dua proses yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan teknologi mobile untuk meningkatkan kualitas sektor pertanian, yaitu proses on farm dan off farm. 1. Dalam proses on farm, aplikasi digital digunakan untuk mengontrol tanaman dari jarak jauh, sehingga pengawasan terhadap tanaman dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun,contohnya pada penggunaan kamera CCTV pada produksi karet. Cara lain yang mulai digencarkan saat ini adalah penggunaan kamera drone untuk mengawasi lahan pertanian. 2. Untuk proses off farm, aplikasi digital dapat digunakan dalam proses pemasaran dan penelusuran rantai distribusi komoditi karet ke. Dengan adanya penelusuran, transparansi pada rantai produksi pertanian akan menjadi lebih baik. Kementerian Pertanian merupakan garda terdepan dalam sektor pertanian Indonesia yang harus selalu siap menyikapi perkembangan teknologi, terutama dalam revolusi industri 4.0 seperti saat ini. Kementerian Pertanian telah memiliki tugas perencanaan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045. Tiga perencanaan yang dimaksud adalah: 1. Pengembangan teknologi untuk memproduksi hasil yang berbeda dengan teknik-teknik baru 2. Teknologi digunakan untuk meningkatkan efisiensi dalam rantai makanan, dan 3. Adanya pengembangan kolaborasi teknologi dan aplikasi lintas industri. Beberapa inovasi yang mulai dikembangkan oleh Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian adalah cloud computing, mobile internet, dan artificial intelligence yang digabung menjadi mesin pertanian yang lebih canggih dan modern, seperti traktor tanpa operator, pesawat drone untuk mendeteksi unsur hara dalam tanah, dan robot grafting. Teknologi tersebut diharapkan dapat membuat produksi pertanian di Indonesia khususnya komoditi- komoditi unggul seperti sawit, karet dan lainnya agar dapat berjalan lebih efektif.
2.4 Konsep Integrasi Vertikal dan Horizontal Sistem Agribisnis 1. Vertikal : keterpaduan sistem komoditas secara vertikal yang membentuk suatu rangkaian pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistem komoditas tersebut, mulai dari
produsen/penyedia input/saran produksi pertanian, distributor input/sarana produksi pertanian, usaha tani, pedagang pengumpul, pedagang besar, usaha pengolahan hasil pertanian (agroindustri) pedagang pengecer, eksportir, sampai dengan konsumen domestik dan luar negri. 2. Horizontal : terselenggara apabila terdapat keterkaitan yang erat antarlini komoditas pada tingkat usaha yang sama atau antarpara pelaku dalam suatu komoditas yang sama.
Konsep integrasi Vertikal dan Horizontal pada Komoditas Karet
2.5 Environmental and Health Concerns
A. Dampak Aktifitas Perkebunan Terhadap Lingkungan Meskipun harga karet alam secara global mengalami fluktuasi kuat dalam lima belas tahun terakhir, harganya cenderung terus meningkat, karena alternatif karet sintetis bukan merupakan tandingan lateks alami. Insentif keuangan ini, serta perluasan kelapa sawit, telah menyebabkan perkebunan karet meluas di luar zona kenyamanan tropis di Indonesia dan menuju ke pinggiran Asia Tenggara. Hal tersebut telah membawa kekayaan bagi sebagian orang, tetapi tidak semua, kata para peneliti. Mengingat lahan marginal sering terlalu kering, terlalu miring, terlalu tinggi, terlalu basah, terlalu dingin, terlalu berangin, atau kombinasi dari semuanya, perkebunan karet memerlukan peningkatan jumlah input berupa pupuk, pestisida dan tenaga kerja untuk mempertahankan tingkat produksi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim akan membuat 70% dari areal perkebunan saat ini dan 55% dari areal perkebunan di masa depan, akan sangat buruk untuk tanaman karet. Mata pencaharian petani kecil menghadapi ancaman tambahan dari fluktuasi harga, hilangnya ketahanan pangan dan penyempitan sumber pendapatan.
Lingkungan juga ikut menderita. Lonjakan permintaan karet membuat lahan yang berharga dan dilindungi, dikonversi menjadi perkebunan karet. Hal ini secara drastis akan mengurangi stok karbon, produktivitas tanah, ketersediaan air, dan keanekaragaman hayati. Kondisi ini sangat tragis dan memiliki kesempatan kegagalan yang tinggi. Pemantauan ekspansi karet secara luas dan keberlanjutan ekonominya, akan terbukti penting untuk perencanaan penggunaan lahan dan intervensi kebijakan. B. Dampak Aktifitas Pabrik Terhadap Lingkungan
Dampak Lingkungan Bau busuk menyengat terjadi disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk yang
melakukan biodegradasi protein di dalam bokar menjadi amonia dan sulfida. Kedua hal tersebut terjadi karena bahan pembeku lateks yang digunakan saat ini tidak dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Kemudian bau busuk tersebut dibawa terus sampai ke pabrik karet remah dan di pabrik yang menjadi sumber bau busuk tersebut adalah
berasal dari tempat
penyimpanan bokar, kamar gantung angin (pre-drying room), dan mesin pengering (dryer). Hal ini menyebabkan masyarakat sangat terganggu terhadap bau busuk, ini menandakan bahwa masyarakat yang tinggal sekitar pabrik karet mengalami tekanan dari lingkungan tempat tinggal sehingga kenyamanan masyarakat sekitar terganggu
Dampak Sosial Hubungan sosial industri dan komunitas Iokal telah menciptakan Fragmentasi di
komunitas. Terdapat dua kelompok yaitu Penduduk lama (pekerja pabrik dan bekas pekerja pabrik) dan pendatang. Keduanya berbeda pandangan dan sikap dalam merespon keberadaan pabrik. Dalam waktu yang cukup lama telah terjadi konflik yang bersifat laten antar komunitas itu sendiri dan antara komunitas pendatang dengan pihak pabrik
Dampak Ekonomi Hubungan ekonomi industri dan komunitas lokal ditemukan masalah. Karena biasanya
perusahan karet merupakan industri padat modal dan teknologi yang sedikit menyerap tenaga kerja. Sementara itu sebagian kecil tenaga kerja lokal hanya ditampung sebagai buruh harian tetap dan lepas. Upah kerja mereka relatif rendah dan menempati perumahan yang tak terawat
dan kumuh. Tenaga kerja borongan, jumlahnya Iebih banyak yang didatangkan dari luar komunitas.
2.6 Connectivity and Networking
Bahan baku karet Indonesia menjadi primadona di beberapa negara di dunia. Produksi karet alam Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Ekspor karet ini menjangkau hingga ke-lima benua besar yang ada di dunia yaitu Asia, Afrika, Australia, Amerika, dan Eropa dengan pangsa utama di Asia dan total ekspor sebanyak pada tahun 2017 sebanyak 3,2 Juta Ton . Pada tahun 2017, lima besar negara pengimpor karet alam Indonesia adalah United States, Japan, China, India, dan Korea Dengan adanya ekspor bahan baku karet ke berbagai negara besar menyebabkan meningkatnya koneksivitas serta jaringan/ kerjasama negara Indonesia dengan berbagai perusahaan. Indonesia banyak melakukan kerja sama dengan perusahaan atau industri- industri besar, contohnya yaitu industri otomotif negara kedua terbesar di Amerika Selatan ini tepatnya berada di Argentina. Perusahaan Fate, sebagai salah satu dari 5 (lima) besar perusahaan penghasil ban kendaraan bermotor di Argentina, mengimpor sekitar 18.000 ton bahan baku karet per tahun yang mana hampir 90%-nya diimpor dari Indonesia. Perusahaan Fate mengimpor karet berstandarkan SIR-20 (Standard Indonesian Rubber-20) dari berbagai perusahaan di Indonesia seperti Kirana Megatara Group, PT Asia Rubberindo, PT Felda Indo Rubber, dan sebagainya. Nilai impor bahan baku karet dari Indonesia tersebut diperkirakan mencapai US$ 18 juta pada tahun 2016. Sejumlah perusahaan kolaborasi Asing-Nasional saat ini juga tengah membangun kerjasama dengan Indonesia. Dengan cara membangun perkebunan karet di Kalimantan untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku karet alam perusahaan ban merek Achilles. Sementara itu produsen Petrokimia Indonesia, Chandra Asri Petrochemical, dan produsen ban asal Prancis, Compagnie Financiere Michelin juga telah mengumumkan rencana untuk mengembangkan tanaman karet sintetis di Indonesia dan masih banyak lagi. 2.7 Risk and uncertainty
Secara umum dalam berusaha tani selalu dihadapkan pada masalah risiko dan ketidakpastian. Masalah iklim seperti musim kemarau panjang, hujan yang tidak menentu, masalah serangan penyakit tanaman yang sulit diduga sebelumnya, masalah bencana alam seperti banjir, gempa dan letusan gunung merapi, masalah kekurangan air irigasi atau air hujan atau masalah lain adalah contoh betapa kehidupan tanaman ini sebenarnya tunduk pada aspek risiko dan ketidakpastian, (Soekartawi dalam Abdullah, 1993). Dengan demikian usahatani karet juga dihadapkan pada masalah risiko iklim, hama penyakit dan produksi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan para petani. Pertanian karet bukanlah pertanian tanpa resiko. Faktor musim dapat mempengaruhi produksi getah yang dihasilkan tanaman karet. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.000-2.500 mm/tahun dengan hari hujan berkisar 100-150 hh/tahun. Lebih baik lagi jika curah hujan merata sepanjang tahun. Sebagai tanaman tropis karet membutuhkan sinar matahari sepanjang hari, minimum 5-7 jam/hari (Syakir, 2010 : 3). Selain itu fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit tanaman/organisme pengganggu tanaman (OPT). Hal ini merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan pohon karet. (Balitklimat, 2011) Pada musim panas produksi karet lebih baik karena getah yang dihasilkan merupakan hasil sampingan yang diproduksi oleh pohon karet untuk beradaptasi pada musim panas sehingga getah yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik dan dapat menaikkan harga jual. Sedangkan pada musim hujan yaitu curah hujan yang tinggi menyebabkan kualitas getah yang dihasilkan tidak begitu baik. Getah yang dihasilkan pada musim hujan mengandung air, kualitas panennya juga tidak bagus akibat getah karet bercampur air sehingga getah menjadi rusak dan dapat menurunkan harga jual. Faktor musim tersebut dapat berdampak pada kehidupan ekonomi petani karet. Pada musim panas petani dapat memenuhi kebutuhan pokonya sehari-hari yaitu makan, perlengkapan sehari-hari, uang belanja anak, dan lain sebagainya. Sedangkan pada saat terjadi
musim hujan petani karet mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari. Pada saat musim panas petani karet bisa melakukan penyadapan setiap hari dan pendapatan yang normal sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Meskipun harga karet mengalami penurunan petani karet masih tetap bisa memperoleh pendapatan. Sedangkan, pada musim hujan intensitas penyadapan karet terganggu bahkan sampai tidak bisa melakukan penyadapan. Pada saat ini petani karet hanya memperoleh pendapatan yang sedikit sehingga berdampak pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ditambah lagi dengan terjadinya penurunan harga karet.
2.8 Keilmuan dalam Agribisnis
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/32541629/IDENTIFIKASI_DAMPAK_AKTIFITAS_PENG OLAHAN_KARET_TERHADAP_LINGKUNGAN http://www.litbang.pertanian.go.id/special/komoditas/b4karet http://scholar.unand.ac.id/18318/2/BAB%20I.pdf https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/56619/6/2012and_BAB%20I%20Pend ahuluan.pdf BPS Statistik Karet Indonesia 2017.