PAPER SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAHAN DESENTRALISASI FISKAL DAN AKUNTABILITAS PEMERINTAH DAERAH TERHADAP TINGKAT KORUPSI DI PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA (2011 - 2015)
Disusun oleh: Luluk Lutfiana NIM: F1316069
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2017
0|Page
ABSTRAK DESENTRALISASI FISKAL DAN AKUNTABILITAS PEMERINTAH DAERAH TERHADAP TINGKAT KORUPSI DI PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA (2011 - 2015)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal dan akuntabilitas pemerintah daerah yang terefleksi dalam opini audit, skor evaluasi lakip, dan skor ekppd terhadap tingkat korupsi di pemerintah provinsi di Indonesia. Tingkat korupsi diukur dengan menghitung jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh organ prokurator di setiap provinsi, disesuaikan dengan ukuran populasi (kasus per 10.000 penduduk). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari BPK RI, laporan tahunan Kejaksaan RI, website Kemenpan-RB, keputusan Mendagri, dan Badan Pusat Statistik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh provinsi di Indonesia periode 2011 – 2015. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Analisis data menggunakan regresi linier berganda melalui SPSS versi 23.0. Hasil penelitian ini menunjukkan hanya variabel independen desentralisasi fiskal yang berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah. Variabel skor hasil evaluasi LAKIP, dan skor hasil evaluasi EKPPD tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.
1|Page
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui beberapa kebijakan, salah satunya membentuk institusi pemeriksa untuk mencegah penyalahgunaan dan ketidakefisienan penggunaan sumber daya. Fungsi pemeriksaan dapat dilaksanakan melalui proses audit yang berperan dalam memberikan informasi atau mendeteksi kecurangan, seperti adanya pengeluaran sumber daya publik yang berlebihan atau hilang (Olken, 2007). Rini dan Liska (2017) berpendapat, melalui pekerjaan audit, auditor merupakan elemen yang signifikan dalam mengurangi kecurangan dan korupsi. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya mampu menjadi tolak ukur kinerja serta media bagi suatu institusi yang berperan mengurangi kecurangan maupun
korupsi. Namun, beberapa tahun belakangan, opini wajar tanpa
pengecualian
(WTP) yang diberikan oleh BPK atas laporan keuangan Pemerintah Daerah marak menjadi sorotan. Hal ini disebabkan beberapa pemerintah daerah, kementerian atau yang mendapatkan opini WTP dari BPK masih terindikasi korupsi/suap yang dilakukan oleh pejabat pada instansi tersebut. Langkah penting dalam pemberantasan korupsi adalah dengan memperkuat akuntabilitas pada instansi-instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah. Melalui Instruksi Presiden (Inpres) nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, instansi-instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah diwajibkan untuk melaporkan aktivitasnya dalam pelaksanaan pemerintahan. Dalam Inpres tersebut dijelaskan bahwa akuntabilitas kinerja adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban periodik. Akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab. Termasuk apakah kinerja pemerintah telah ekonomis, efisien dan efektif dalam mencapai visi, misi dan tujuan organisasinya (Ikhwan, Subroto, dan Ghofar, 2016). Selanjutnya untuk meningkatkan akuntabilitas keuangan pemerintah, dikeluarkan paket undang-undang keuangan negara yaitu undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang 2|Page
Keuangan Negara, undang-undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan undang-undang nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara. Paket undang undang keuangan negara tersebut merupakan bentuk reformasi di bidang administrasi keuangan negara (Afriyanti, Sabanu, & Noor, 2015). Dalam rangka peningkatan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pemerintah
mengeluarkan
Peraturan
Pemerintah
nomor
56
tahun
2001
tentang
Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Tujuan
dari
akuntabilitas
penyelenggaraan
pemerintahan daerah tersebut adalah untuk mengetahui keberhasilan pemerintah daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah sesuai dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan, sebagai umpan balik dan rekomendasi bagi daerah untuk mendorong peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah (Afriyanti, Payamta, dan Sutaryo, 2015). Guna menjamin akuntabilitas pemerintah daerah, di Indonesia telah dibuat beberapa peraturan mengenai kewajiban pemerintah daerah dalam menyampaikan akuntabilitasnya secara berkala, yaitu pertama kewajiban untuk menyampaikan akuntabilitas keuangan berupa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), kedua kewajiban untuk menyampaikan akuntabilitas kinerja berupa Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan ketiga kewajiban menyampaikan akuntabilitas pelayanan publik melalui Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) (Ikhwan dkk, 2016). Dari opini audit yang dilakukan oleh BPK yang menunjukkan opini WTP semakin meningkat, hasil evaluasi LAKIP yang dilakukan oleh Kemenpan-RB yang menunjukkan skor cukup memadai, dan hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh Kemendagri yang sebagian besar menunjukkan skor tinggi, ternyata tidak merefleksikan penurunan tingkat korupsi. Tingginya korupsi di Indonesia skala internasional dapat dilihat dari Corruption Perception Index (CPI) 2016 yang dikeluarkan oleh organisasi Transparency International yang menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-90 dari 176 negara, dengan skor 37 dari rentang 0 – 100. Hal itu menggambarkan betapa berprestasinya korupsi di Indonesia. Adapun skor rata-rata negara kawasan Asia-Pasific adalah 44, dengan 3|Page
New Zealand sebagai negara terbersih ke-2 secara global. Jumlah kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan selama 5 tahun terakhir juga meningkat dimana tahun 2011 jumlah kasus yang ditangani baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan berkisar 3000an kasus menjadi 5000-an kasus dan terus meningkat. Hasil pemantauan ICW atas tren penanganan kasus korupsi semester I tahun 2017 juga menyatakan bahwa keuangan daerah menjadi sektor yang masih menjadi sasaran pelaku korupsi dalam merampok uang negara. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena sejauh ini belum banyak penelitian yang menggunakan variabel desentralisasi fiskal dan akuntabilitas pemerintah daerah (keuangan, kinerja, dan pelayanan yang masing-masing diwakili oleh LKPD, LAKIP, dan LPPD) terkait pengaruhnya terhadap tingkat korupsi. Penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan referensi pelengkap terkait kajian mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti antara lain: 1. Apakah desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah provinsi di Indonesia? 2. Apakah opini audit berpengaruh terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah provinsi di Indonesia? 3. Apakah hasil evaluasi akuntabilitas kinerja pemerintah daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah provinsi di Indonesia? 4. Apakah hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah berpengaruh terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah provinsi di Indonesia?
4|Page
II. PEMBAHASAN A. Kajian Pustaka 1. Korupsi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi merumuskan 30 jenis tindak pidana korupsi yang terbagi dalam tujuh kelompok, yaitu: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan; dan gratifikasi. Tuanakotta (2010) menyatakan bahwa definisi korupsi dalam pendekatan sosiologi adalah penyalahgunaan wewenang pejabat untuk keuntungan pribadi. Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam pasal 2 UU Tipikor yaitu: (a) Setiap orang; (b) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi; (c) dengan cara melawan hukum; dan (d) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat korupsi yang diukur dengan menghitung jumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh organ prokurator di setiap provinsi, disesuaikan dengan ukuran populasi (kasus per 10.000 penduduk) (Liu dan Lin, 2012). Dalam hal ini jumlah kasus korupsi bersumber dari seluruh kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi pada setiap provinsi, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan. 2. Desentralisasi Fiskal Supriyadi, Armandelis, dan Rahmadi (2013) menyatakan desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan dan desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan fungsifungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat ketergantungan tersebut maka dilakukan dengan menggunakan ukuran apa yang disebut Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan rumus: (Tim Litbang Depdagri bekerjasama dengan Fisipol UGM 1991).
5|Page
3. Opini Audit Opini audit (Masyitoh dkk., 2015) merupakan pernyataan auditor atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan, sehingga opini audit dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan dan memberikan keyakinan bahwa informasi keuangan dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni: a. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) b. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion) c. Pendapat tidak wajar (adversed opinion), d. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion) 4. Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAN, 2003) adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik. Nilai evaluasi akuntabilitas kinerja mengidentifikasikan kemampuan instansi pemerintah untuk (http://evalrbkunwas.menpan.go.id): 1) Mengidentifikasikan kinerja yang harus dicapai sesuai dengan peran dan fungsi atau alasan keberadaan instansi pemerintah; 2) Menetapkan indikator keberhasilan kinerja yang dapat diukur dan relevan dengan kinerja yang ingin dicapai; 3) Merencanakan target kinerja; 4) Menyelaraskan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dengan dengan kinerja yang ingin dicapai; 5) Menyelaraskan alokasi anggaran dengan progam dan kegiatan yang akan dilaksanakan; 6) Mengerjakan kegiatan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang tersedia; 7) Melaporkan capaian kinerja selaras dengan apa yang telah direncanakan dan dilaksanakan sebelumnya. 8) Melakukan evaluasi untuk memberikan umpan balik dalam rangka meningkatkan kinerja. 5. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah selanjutnya disingkat EKPPD adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja 6|Page
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. EKPPD dilakukan untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kinerja berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik, dengan LPPD sebagai sumber informasi utama (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008). EKPPD menggunakan LPPD sebagai sumber informasi utama. LPPD provinsi dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri. Hasil evaluasi tersebut menjadi dasar untuk melakukan pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi (PP Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat).
B. Pembahasan 1. Statistik Deskriptif Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif diperoleh sebanyak 135 data observasi yang berasal dari jumlah sampel pemerintah provinsi. Tabel
tersebut
menunjukkan
statistik
deskriptif untuk seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian. Berdasarkan tabel tersebut, secara rata-rata jumlah tindak pidana korupsi untuk setiap 10.000 penduduk pada provinsi yang meliputi sampel adalah sebanyak 0,3191 kasus. Sehingga dapat dikatakan terdapat 3,191 kasus untuk setiap 100.000 penduduk di suatu provinsi. 2. Hasil Uji Asumsi Klasik a. Hasil Uji Normalitas
Sumber: Data diolah (2017)
7|Page
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa grafik histogram memberikan pola distribusi data yang normal, residual terdistribusi secara normal dan berbentuk simetris, tidak melenceng ke kanan atau ke kiri. Grafik normal P-Plot memberikan pola distribusi data yang normal, titik-titik menyebar dan berhimpit di sekitar garis diagonal. b. Hasil Uji Multikolonieritas
Sumber: Data diolah (2017)
Tampilan di atas menunjukkan nilai Variance Inflation Factor (VIF) kurang dari 10 dan nilai tolerance lebih dari 0,1. Model regresi bebas dari permasalahan multikolonieritas. c. Hasil Uji Autokorelasi Terlihat dalam tabel bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,101 lebih besar dari tingkat signifikansi 5% sehingga dapat disimpulkan hasil pengujian tidak adanya gejala autokorelasi dalam model penelitian.
d. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Terlihat pada gambar di atas bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model regresi ini tidak terjadi heteroskedastisitas.
Sumber: Data diolah (2017)
8|Page
3. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui angka koefisien korelasi (R) menunjukkan nilai sebesar 0,631. Sumber: Data diolah (2017)
Hal ini berarti sebesar 63,1% variabel dependen atau tingkat korupsi berhubungan kuat dengan variabel independen. Adapun Nilai adjusted R2 yang cukup kecil menandakan bahwa kemampuan variabel-variabel independen yaitu desentralisasi fiskal, opini audit, skor LAKIP, dan skor EKPPD kurang dapat menjelaskan variabel dependennya yaitu tingkat korupsi. Hal ini berarti 38% variabel tingkat korupsi dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya, sedangkan 62% lainnya dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar model regresi ini. 4. Hasil Pengujian Signifikansi Simultan (Uji F)
Sumber: Data diolah (2017)
Dari output SPSS di atas, diperoleh nilai F hitung 21,530 dengan nilai sig sebesar 0,000. Hal ini menandakan bahwa model regresi dapat digunakan untuk memprediksi tingkat korupsi karena nilai sig. < alpha = 5%. Selanjutnya mencari nilai F tabel dan membandingkan dengan nilai F hitung 21,530. Rumus mencari F tabel adalah (k; n-k), dengan k adalah jumlah variabel independen dan n adalah jumlah sampel penelitian. Dengan k = 4 dan n-k = 131, diperoleh nilai F tabel sebesar 2,43. Karena F hitung > F tabel (21,530 > 2,43) dan signifikansi < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara desentralisasi fiskal, opini audit, skor ev-lakip, dan skor ekppd secara simultan terhadap tingkat korupsi.
9|Page
5. Hasil Pengujian Signifikansi Parameter Individual (Uji t)
Sumber: Data diolah (2017)
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk variabel independen OPINI, EAKIP, DAN EKPPD di atas 5% yang berarti tidak berpengaruh terhadap variabel dependen. Hanya variabel DF yang berpengaruh terhadap variabel dependen. Variabel desentralisasi fiskal (DF) memiliki koefisien regresi sebesar -0,963 dengan nilai t hitung sebesar -8,861 dan tingkat signifikansi 0,000. Karena tingkat signifikansi di bawah 0,05 dan nilai koefisien regresi yang negatif menunjukkan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Karena tingkat signifikansi OPINI, ELAKIP, dan EKPPD di atas 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa opini audit tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi. Berdasarkan tabel maka model persamaan regresi berganda adalah sebagai berikut: KORUPSIi,t = 0,361 - 0,963 DFi,t + 0,010 OPINIi,t + 0,002 EAKIPi,t + 0,089 EKPPDi,t + ɛ Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa dari empat variabel independen yang dimasukkan dalam model regresi dengan signifikansi 5%, hanya variabel desentralisasi fiskal yang berpengaruh signifikan terhadap variabel tingkat korupsi, sedangkan tiga variabel lainnya tidak berpengaruh terhadap variabel tingkat korupsi.
10 | P a g e
III. PENUTUP
A. Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal (melalui PAD), akuntabilitas pemerintah daerah (melalui opini audit, skor hasil evaluasi LAKIP, dan skor hasil evaluasi EKPPD) terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah (menggunakan kasus per 10.000 penduduk). Data sampel pengamatan sebanyak 135 pengamatan pemerintah provinsi di Indonesia selama periode 2011 – 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya variabel independen desentralisasi fiskal yang berpengaruh terhadap variabel dependen (tingkat korupsi pemerintah daerah). Variabel skor hasil evaluasi LAKIP, dan skor hasil evaluasi EKPPD tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah. B. Rekomendasi Penelitian mengenai tingkat korupsi pemerintah provinsi di masa yang akan datang diharapkan mampu memberikan hasil penelitian yang akan lebih berkualitas, misalnya dengan: 1. Menggunakan variabel lain yang diduga memiliki keterkaitan denagn tingkat korupsi 2. Melakukan pemisahan kategori opini menjadi WTP, WDP, TW, DAN TMP agar memberikan hasil penelitian yang lebih rinci.
11 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA Afriyanti, D., Sabanu, H. G., & Noor, F. 2015. Penilaian indeks akuntabilitas instansi pemerintah. Jurnal Tata Kelola & Akuntabilitas Keuangan Negara, Vol. , No. 1, hal 21–42. Arifianti, H; Payamta, dan Sutaryo. 2013. Pengaruh pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (studi empiris pada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia). Simposium Nasional Akuntansi XVI, hal 2477 – 2505. Badan Litbang Depdagri RI dan FISIPOL – UGM. 1991. Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Tingkat II Dalam Rangka Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggung Jawab. Jakarta. Badan Pemeriksa Keuangan. 2011. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester II Badan Pemeriksa Keuangan. 2011. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester I Badan Pemeriksa Keuangan. 2012. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester II Badan Pemeriksa Keuangan. 2012. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester I Badan Pemeriksa Keuangan. 2013. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester II Badan Pemeriksa Keuangan. 2013. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester I Badan Pemeriksa Keuangan. 2014. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester II Badan Pemeriksa Keuangan. 2014. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester I Badan Pemeriksa Keuangan. 2015. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester II Badan Pemeriksa Keuangan. 2015. Ikhtisar hasil Pemeriksaan Semester I http://evalrbkunwas.menpan.go.id/index.php/site/propinsi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hasil Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas dan Zona Integritas Tahun 2011 – 2015. Ikhwan, A. N; B. Subroto; dan A. Ghofar. 2016. The Influence Of Accountability On CleanCorruption Perception In Local Government. Jurnal Akuntansi dan Pendidikan, Vol. 5, No. 2, (Oktober), hal 129 – 146. Kejaksaan Republik Indonesia. 2011. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2011. Kejaksaan Republik Indonesia. 2012. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2012. Kejaksaan Republik Indonesia. 2013. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2013. Kejaksaan Republik Indonesia. 2014. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2014. Kejaksaan Republik Indonesia. 2015. Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia 2015. 12 | P a g e
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 10421 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional Tahun 2015 Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 251 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional Tahun 2012 Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 2818 Tahun 2013 Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional Tahun 2011 Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 – 4761 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional Tahun 2013 Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 800 – 35 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional Tahun 2014 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2011. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2012. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2013. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2014. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Tahun Anggaran 2015. Lembaga Administrasi Negara RI. 2003. Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta. Liu, J. And B. Lin. 2012. Government Auditing and Corruption Control: Evidence from China’s Provincial Panel Data. China Journal of Accounting Research, Vol. 5. hal. 163-186. Masyitoh, R; R. Wardhani; dan D. Setyaningrum. Pengaruh Opini Audit, Temuan Audit, dan Tindak Lanjut Hasil Audit terhadap Persepsi Korupsi pada Pemerintah Daerah Tingkat II Tahun 2008-2010. Simposium Nasional Akuntansi 18 Medan Olken, B. A. 2007. Monitoring Corruption: Evidence from a field experiment in Indonesia. Journal of Political Economy, Vol. 115 No. 2, hal 200-249. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
13 | P a g e
Rini dan Liska D. 2017. Analisis Hasil Audit Pemerintahan dan Tingkat Korupsi Pemerintahan Provinsi di Indonesia. Jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4, No. 1, hal 73-90. Supriyadi, Armandelis dan S. Rahmadi. 2013. Analisis Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Bungo. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah. Vol. 1 No. 1. ISSN: 2338- 4603 Theodorus M. Tuanakota. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat
14 | P a g e