BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Penalaran hukum merupakan suatu aktivitas intelektual yang memungkinkan seseorang untuk berfikir logis berkaitan dengan hukum; Kekuatan pikir; Cara/hal menggunakan nalar; Pemikiran dengan cara berfikir logis. Dan seseorang yang berkecimpung didunia hukum harus mempunyai kemampuan dalam Penalaran Hukum (Legal Reasoning) yang baik, agar dalam melaksanakan layanan hukum tersebut dapat memberikan argumentasi atau alasan hukum yang baik dan jelas. Legal Reasoning adalah pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan suatu perkara/kasus hukum yang dihadapinya, bagaimana seorang Advokat memberikan argumentasi hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Legal Reasoning harus memahami sumbersumber- sumber hukum formil, yaitu undang-undang, kebiasaan dan adat, perjanjian, traktat, yurisprudensi tetap dan doktrin. Dan pada tulisan ini, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai model dari penalaran hukum itu sendiri berdasarkan aliran-aliran filsafat hukum yang ada. Penelusuran terhadap model dari penalaran hukum ini akan dikaitkan dengan aspek dari pencabangan filsafat itu sendiri, yaitu : Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis dalam penalaran ? 2. Bagaimana model penalaran hukum berdasarkan dari aliran-aliran filsafat hukum jika dilihat dari aspek Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis ?
BAB II Pembahasan
2.1 Ontologis, epistemologis, dan aksiologis Kata Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani. Kata Ontologi berasal dari kata “Ontos” yang berarti “berada (yang ada)”. Kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani artinya knowledge yaitu pengetahuan. Kata tersebut terdiri dari dua suku kata yaitu logia artinya pengetahuan dan episteme artinya tentang pengetahuan. Jadi pengertian etimologi tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa epistemologi merupakan pengetahuan tentang pengetahuan. Dan kata Aksiologi berasal dari kata “Axios” yang berarti “bermanfaat”. Ketiga kata tersebut ditambah dengan kata “logos” berarti”ilmu pengetahuan, ajaran dan teori”. Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya. Epistemologi adalah ilmu yang membahas secara mendalam segenap proses penyusunan pengetahuan yang benar. Sedangkan Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan mengenai apa yang dapat dikatakan ada dan bagaimana badan tersebut dapat dikelompokkan, terkait di dalam hirarki dan dibagi menurut persamaan dan perbedaan. Dalam melihat tujuan hukum dengan metode berpikir filsafat ontologi, maka hukum dapat dilihat mempunya tujuan sebagai sesuatu yang ada. sesuatu yang ada untuk mengatur hidup manusia. Mempertanyakan bentuk hukum seperti apa, sehingga tujuan tujuan hukum yang akan dicapai adalah bagaimana bentuk hukum yang akan diterapkan di suatu masyarakat. Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu
berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.1 Kajian Epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Jadi untuk mengetahui proses tersebut didapatkan dengan cara mengetahui beberapa hal, yaitu :
Metode dari pemikiran atau penelitian : a. Penelitian
Doktrinal,
yaitu
penelitian-penelitian
atas
ilmu
pengetahuan yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembangnya. b. Penelitian Non Doktrinal, yaitu penelitian yang berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya suatu ilmu didalam masyarakat.
Jenis proses penalaran hukum : a. Induksi, yaitu proses penalaran atau penarikan kesimpulan dimana benar
tidaknya
tesis
(pernyataan/proposisi)
ditentukan
oleh
pengalaman. b. Deduksi, yaitu proses penalaran yang bertolak dari generalisasi (hal yang umum) lalu kemudian dirumuskan kesimpulan yang lebih khusus.
1
Inu Kencana Syafii, Pengantar Filsafat, Cetakan-I; Bandung: Refika Aditama, 2004, hlm. 9.
Aksiologi merupakan metode berpikir yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Sehingga tujuan hukum jika melihat menggunakan metode berpikir filsafat aksiologi, maka hukum dilihat sebagai suatu nilai dan manfaat yang digunakan dengan sebenar-benarnya. Selain itu, tujuan hukum dapat dilihat sebagai pertanggungjawaban manusia atas perbuatan yang dilakukannya. Pada dasarnya Aspek Ontologis membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada “ dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan
pengetahuan.
Epistemologis
membahas
tentang
bagaimana
proses
memperoleh pengetahuan. Dan Aksiologis membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya.2
2.2 Model penalaran hukum berdasarkan dari aliran-aliran filsafat hukum jika dilihat dari aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Penalaran hukum bukan hanya sekedar berpikir teoritis, tetapi juga berpikir praktis untuk mengubah keadaan. Tentunya, sudut pandang penalaran hukum, akhirnya akan bermuara pada aliran-aliran filsafat hukum, yang tetap mengikuti aspek pencabangan filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Melalui pencabangan filsafat, penalaran hukum dapat kita temukan dibeberapa Mazhab atau Aliran yang antara lain: aliran hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan realisme hukum.
2
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke-X; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, hlm. 33.
Jadi pada dasarnya untuk membangun Filsafat Ilmu Hukum maka perlu akan menelusuri aspek yang terdiri dari:
Ontologi : eksistensi (keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-ilmu hukum.
Epistemologi : metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran ilmu-ilmu hukum.
Aksiologi : manfaat dari ilmu-ilmu hukum. Dan berikut akan dibahas mengenai model penalaran hukum berdasarkan dari aliran-
aliran filsafat hukum jika dilihat dari aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis : a. Aliran Hukum Alam Aliran ini disebut juga dengan aliran hukum kodrat atau Natural Law Theory , menurut aliran ini hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah (nomos), baik semesta alam, maupun hidup manusia. Hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi. Pemikiran hukum alam dikembangakan oleh beberapa pakar yang ada pada zaman Yunani dan Romawi. Diantara aliran hukum alam ada aliran Stoa yang diwakili oleh Zeno (320-250 SM), yang mempunyai ajaran sebagai berikut : 1. Alam ini diperintah oleh pikiran yang rasional. 2. Kerasionalan alam dicerminkan oleh seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkan menciptakan suatu natural life yang didasarkan pada reasonable living 3. Hukum alam dapat di identikan dengan moralitas tertinggi. 4. Basis hukum adalah aturan Tuhan dan keadaan manusiawi.
5. Penalaran manusia dimaksudkan agar ia dapat membedakan yang benar dari yang salah dan hukum didasarkan pada konsep-konsep manusia tentang hak dan kewajiban.3 Menurut ajaran-ajarannya yang telah dijelaskan diatas maka kita dapat temukan model penalaran hukum yang terdapat di aliran Hukum Alam atau Hukum Kodrat. Dimulai dari aspek Ontologisnya, yaitu hukum yang dalam hal ini asas kebenaran dan keadilan. Kemudian dari aspek Epistemologisnya, aliran Hukum Alam menggunakan metode Doktrinal-Deduktif. Dan untuk aspek Aksiologisnya adalah untuk mencapai keadilan b. Aliran Positivisme Hukum Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.4 Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu didalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas atas norma hukum bersumber pada kewenangan tersebut. Menurut aliran ini, hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari 3
Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang, SUHUD Sentrautama, hlm. 105
4
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang, 2013,
hlm. 132.
kewenangan yang formal atau informal dari lembaga yang berwenang untuk itu atau lembaga pemerintahan yang tertinggi dalam sebuah komunitas.5 Aliran ini berpandangan hukum identik dengan undang-undang, yaitu aturan yang beralaku. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Menurut aliran ini hukum itu merupakan perintah penguasa dan kehendak dari Negara. Sumber pemikirannya adalah logika, yaitu suatu cara berpikir manusia yang didasarkan pada teori-teori kemungkinan (kearah kebenaran).6 Jika kita melihat dari ajaran-ajarannya maka dapat kita telusuri model penalaran hukum yang ada didalam aliran Positivisme Hukum ini. Dari aspek Ontologis, keberadaannya dapat dikaitkan dengan norma-norma positif yang ada didalam sistem perundang-undangan. Kemudian untuk aspek Epistemologisnya, aliran ini menggunakan metode Doktrinal-Deduktif. Dan aspek Aksiologisnya adalah aliran ini dapat memberi kepastian dalam suatu sistem hukum. c. Aliran Utilitarianisme Aliran utilitarianisme merupakan aliran yang dipelopori oleh tiga eksponen utamanya yaitu Jeremy Bentham, John Stuar Mill, dan Rudolf von Jhering. Dengan memegang prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum. Baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian pula dengan perundang-undangan, baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut. Oleh karena itu, undang-undang yang memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.
5 6
Suparman Usman, Op.cit., hlm. 108 Ibid, hlm.109
Utilirianisme berangkat dari titik tolak yang sama dengan positivisme hukum yang memaknai hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan. Jika ajaran dari aliran ini dituangkan dalam putusan hakim, maka putusan tersebut tidak sekedar mengacu pada kepastian semata, melainkan juga kemanfaatan bagi pihak-pihak terkait dalam arti luas. Model penalaran yang ada didalam aliran Utilitarianisme hampir sama dengan aliran Positivisme Hukum. Aspek ontologisnya mengacu kepada norma positif yang ada didalam sistem perundang-undangan. Kemudian aspek Epistemologisnya, aliran ini menggunakan metode Doktrina-Deduktif yang diikuti dengan metode Nondoktrinal-Induktif. Dan aspek Aksiologisnya adalah tercapainya keadilan yang diikuti oleh kemanfaatan. d. Aliran Sejarah Berdasarkan inti teori Von Savigny, semua hukum asal mulanya terbentuk dengan cara, walau tidak seluruhnya tepat, seperti kaidah kebiasaan, bahasa dibentuk, yaitu mula-mula ia berkembang melalui kebiasaan dan keyakinan rakyat, kemudian ilmu hukum; jadi dimana-mana oleh kekuatan-kekuatan intern yang bekerja diamdiam, bukanlah melalui kemauan sewenang-wenang dari pembuat undang-undang.7 Doktrin-doktrin pokok dari aliran Sejarah sebagaimana diutarakan oleh Savigny dan para pengikutnya, dapat ambil kesimpulan bahwa Hukum itu ditemukan, bukan dibuat. Pandangan terhadap kekuatan dari karya manusia adalah pesimis. Pertumbuhan hukum pada hakekatnya adalah suatu proses yang tidak disadari dan organis. Dan maka dari itu perundang-undangan dikatakan tidak begitu penting jika dibandingkan dengan kebiasaan.
7
20-21
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm.
Dengan
demikian
berdasarkan
ajaran-ajaran
tersebut
kita
dapat
menyimpulkan bahwa jika dilihat dari aspek Ontologis maka aliran Sejarah menekankan hukum merupakan pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan. Pola perilaku yang terlembagakan mengonrol secara normatif perilaku individu dan masyarakat, sesuai dengan asas bahwa: Fakta yang berulang-ulang terjadi akan mengikat secara normatif (Die Normatieve des Faktischen). Kemudian untuk aspek Epistemologis, aliran ini menggunakan metode Nondoktrinal-Induktif yang diikuti Internalisasi Doktrinal-Deduktif. Dan untuk aspek aksiologis, model penalaran aliran Sejarah menggabungkan sekaligus antara kemanfaatan (pola penalaran nondktrinalinduktif) dan keadilan (hasil pola penalaran doktrinal-deduktif atas nilai-nilai yang terinternalisasi). e. Aliran Sociological Jurisprudence Aliran ini termasuk kepada aliran sosiologis yang memandang hukum sebagai kenyantaan sosial. Kalau aliran positivis melihat “law in books”, maka aliran sosiologis memandang “law in action”. Aliran Sociological Jurisprudence antara lain dipelopori oleh Roescoe Pound. Inti pemikiran aliran ini adalah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya hukum itu harus merupakan percerminan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Roescoe Pound membedakan antara sisologi hukum (sociology of law) dengan sociological jurisprudence. Sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi yang mempelajari pengaruh-pengaruh masyarakat apada hukum. Sedangkan sociological jurisprudence adalah cabang ilmu hukum, yaitu aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Sociological jurisprudence mempunyai cara pedekatan yang bermula dari hukum
kemasyrakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya, yaitu pendekatan dari masyarakat ke hukum. Sumber pemikiran aliran ini adalah logika dan pengalaman. Aliran ini mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam masyarakat). Menurut aliran ini hanya hukum yang mampu mengahaadapi ujian akal dapat hidup terus. Yang menjadi unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pertanyaanpertanyaan akal yang berdiri diatas pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mengesahkan 8undang-undang dalam masyarakat dan dibantu oleh kekuasaan dalam masyarakat itu. Berdasarkan ajaran tersebut maka kita dapat lihat bahwa aspek Ontologis dari aliran ini adalah putusan hakim. Kemudian untuk aspek Epistemologisnya menggunakan metode Nondoktrinal-Induktif yang diikuti dengan DoktrinalDeduktif. Dan untuk aspek Aksiologisnya adalah adanya kemanfaatan dan kepastian. f. Aliran Realisme Hukum Pandangan aliran Realisme dalam kontek hukum, melihat bahwa hukum itu dipandang dan diterima sebagaimana apa adanya, tanpa identitasi dan spekulasi atas hukum yang bekerja dan berlaku. Aliran Realisme hukum merupakan satu sub aliran (pecahan) dari aliran positivisme hukum yang dipelopori antara lain oleh John Chipman. Roescoe Pound melalui pendapatnya bahwa aliran hukum itu merupakan a tool of social engineering dapat digolongkan kepada aliran ini. Aliran realisme hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
8
Suparman Usman, Op.cit., hlm.114
1. Realisme bukanlah suatu aliran/madzhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum. 2. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan dari pada hukum. 3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyilidikan agar penyelidikan itu mempunyai tujuan maka hendaknya9 diperhatikan adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak observer da tujuan kesusilaan. 4. Realisme tidak mendasarkan pada konsep hukum tradisonal karena realisme bermaksud melakukan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi dalam peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. Berdasarkan keyakinan ini, realisme menciptakan penggolongan perkara dan keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnyan dan jumlah pengglongan yang ada pada masa lampau. 5. Gerakan Realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibatnya. Jika kita melihat dari yang sudah dijelaskan diatas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa aliran Realisme pada aspek Ontologisnya mengacu kepada manifestasi makna-makna simbolik para pelaku social. Kemudian untuk aspek Epistemologi, aliran ini menggunakan metode Nondoktrinal-Induktif. Dan untuk aspek Aksiologisnya adalah akan menimbulkan kemanfaatan.
9
Ibid ,hlm. 117
BAB III Penutup 3.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas maka kita dapat mengambil beberapa poin kesimpulan, yang terdiri dari :
Aspek Ontologis membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ ada “ dengan perkataan lain bagaimana hakikat obyek yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Epistemologis membahas tentang bagaimana proses memperoleh pengetahuan. Dan Aksiologis membahas tentang nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Dengan membahas ketiga unsur ini manusia akan mengerti apa hakikat ilmu itu. Tanpa hakikat ilmu yang sebenarnya, maka manusia tidak akan dapat menghargai ilmu sebagaimana mestinya.
Melalui pencabangan filsafat, penalaran hukum dapat kita temukan dibeberapa Mazhab atau Aliran yang antara lain: aliran hukum alam, positivisme
hukum,
utilitarianisme,
mazhab
sejarah,
sociological
jurisprudence, dan realisme hukum.
Jadi pada dasarnya untuk membangun Filsafat Ilmu Hukum maka perlu akan menelusuri aspek yang terdiri dari: Ontologi : eksistensi (keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-ilmu hukum. Kemudian Epistemologi : metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran ilmu-ilmu hukum. Dan Aksiologi : manfaat dari ilmu-ilmu hukum.
Daftar Pustaka
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, 1990, Disiplin Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, SUHUD Sentrautama, Serang.
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang.
Jujun S. Suriasumantri, 1990, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan keX, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Inu Kencana Syafii, 2004, Pengantar Filsafat, Cetakan ke-I, Refika Aditama, Bandung.