Paper Asuransi

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Paper Asuransi as PDF for free.

More details

  • Words: 2,635
  • Pages: 12
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Asuransi atau dalam Bahasa Belanda “verzekering” berarti pertanggungan. Dalam suatu asuransi terlibat dua pihak, yaitu : yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian suatu kerugian yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya. Suatu kontra prestasi dari pertanggungan ini, pihak yang di tanggung itu, diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Uang tersebut akan tetap menjadi milik pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksudkan itu tidak terjadi. Sesuai dengan yang disebutkan dalam pasal 246 Kitab Undang – Undang perniagaan atau wetboek van koophandel, yang menentukan bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi. Kitab Undang – Undang Hukum Perniagaan (wetboek van koophandel) memuat pasal – pasal yang khusus mengenai asuransi kebakaran,yaitu pasal – pasal 287 sampai dengan 298. 2. Rumusan Masalah Permasalahan dari judul penulisan “Asuransi Kebakaran”, dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah cara menetapkan harga setelah terjadi kebakaran ? 2. Bagaimanakah harga nilai barang sebelum dan sesudah terjadinya kebakaran ?

1

3. Bagaimanakah sifat hukum dan akibat hukum dari perjanjian khusus dalam hal asuransi kebakaran ? 3. Tujuan Penulisan 3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan paper ini adalah untuk mengetahui bagaimana asuransi kebakaran dalam menangani kasusnya di Indonesia. 3.2 Tujuan Khusus Melihat pada tujuan umum diatas maka penulis paper ini mempunyai tujuan khusus, yaitu : 1. Untuk mengetahui lebih banyak mengenai asuransi kebakaran. 2. Untuk mempelajari mengenai asuransi kebakaran. 3. Untuk memenuhi tugas Hukum Asuransi.

2

BAB II PEMBAHASAN 1. Isi Polis Asuransi kebakaran Bagi asuransi kebakaran, menurut pasal 287 W.v.K., dalam polis harus dimuat pula : 1. Letaknya barang – barang tak bergerak yang dijamin, serta barang – barang yang menempel atau yang berdekatan (ligging en belending), 2. Pemakaian barang – barang yang dijamin itu untuk apa, 3. Sifat dan pemakaian bangunan – bangunan yang menempel atau yang berdekatan, sekedar ada berpengaruh pada hal jaminan ini, 4. Nilai harga dari barang – barang yang dijamin, 5. Terletaknya bangunan – bangunan dan tempat – tempat, di mana barang – barang yang bergerak dijamin berada atau disimpan, serta barang – barang yang menempel atau berdekatan dengan bangunan – bangunan dan tempat – tempat itu. Dalam hal ini barang – barang yang menempel atau berdekatan dengan barang yang dijamin maksudnya ialah seperti dalam pasal 287 W.v.K. yang harus dimuat khusus dalam polis asuransi kebakaran oleh pembentuk Undang – Undang diberi arti penting kepada letaknya bangunan yang dijamin atau letaknya tempat penyimpanan barang – barang bergerak yang dijamin. Disitu dikatakan, bahwa dalam polis harus disebutkan bangunan – bangunan apa yang menempel atau yang berdekatanh dengan barang – barang yang dijamin, dan juga harus disebutkan cara – cara pemakaian bangunan – bangunan itu. Meskipun disitu hanya disebutkan “bangunan” namun masih timbul pertanyaan, bagaimanakah halnya bila barang – barang yang dijamin, dikelilingi oleh tanah lapang atau pekarangan tanpa bangunan – bangunan di atasnya. Sudah selayaknya, pasal 287 harus ditafsirkan sesuai dengan maksudnya, tidak secara mementingkan kata – kata yang termuat di dalamnya. Maksud penyebutan bangunan – bangunan yang mengelilingi barang – barang yang dijamin, serta 3

penyebutan cara pemakaian bangunan – bangunan itu, ialah agar dapat dipikirkan sampai dimana terdapat risiko akan terbakarnya barang – barang yang dijamin itu.hanya dikelilingi oleh tanah lapang atau pekarangan tanpa bangunan, tetapi masih ada kemungkinan risiko terbakarnya barang – barang yang dijamin lebih besar, kalau misalnya di tanah lapang atau pekarangan itu tertumpuk barang – barang peledak. Dengan demikian, sesuai dengan maksud pasal 287 W.v.K. juga harus disebutkan dalam polis pemakain tanah lapang atau pekarangan yang mengelilingi barang – barang yang dijamin. Beberapa pasal dari W.v.K., adalah khusus mengenai asuransi kebakaran terhadap bangunan – bangunan, seeperti : pasal 288, 289 dan 293. menurut pasal 288 ayat 1, “apabila suatu bangunan dimasukkan asuransi kebakaran, maka ada dua jalan bagi asurador untuk mengganti kerugian yang diderita oleh terjamin.” Pertama, kerugian di ganti dengan uang tunai. Kedua, bangunan dibangun lagi dan biaya membangun itu dibayar oleh asurador sampai jumlah uang terjamin (verzekerde som). Tentang penggantian dengan uang tunai,ini sesuai dengan ayat 2 pasal 288 menegaskan, bahwa harus diperiksa berapa harga nilai bangunan sebelum terbakar dan berapa setelah terbakar. Kedua – duanya dihitung dalam jumlah uang tunai,dan selisihnya adalah kerugian yang harus diganti. Tetapi harus diingat, bahwa dalam polis ditetapkan semula suatu jumlah uang tertentu sebagaiuang terjamin (verzekerde som), yang merupakan maksimum uang yang harus dibayar oleh asurador. Menurut pasal 253 W.v.K., imbangan antara jumlah uang terjamin dan harga nilai sebenarnya dari barang yang dijamin, adalah mempengaruhi jumlah uang ganti kerugian yang in konkreto harus dibayar oleh asurador. 2. Harga nilai barang sebelum kebakaran Kesulitan mungkin timbul, apabila ternyata harga nilai bangunan sejak diadakan asuransi sudah merosot pada waktu ada kebakaran. Misalnya, suatu rumah dimasukkan dalam asuransi kebakaran pada satu tahun yang lalu dengan harga nilainya masih Rp 200.000,- tetapi pada waktu kebakaran terjadi, harganya hanya Rp 150.000,- . harga mana yang harus diambil ukuran?

4

Kalau dalam polis tidak disebutkan berapa harga nilai bangunannya, seperti yang dimaksud dalam pasal 273 W.v.K. (open polis), maka tidak ada kesulitan, karena tidak ada jalan lain daripada mengambil harga yang sudah merosot itu selaku ukuran. Lain halnya, apabila dalam polis harga sebesar Rp 200.000,- itulah yang harus diambil sebagai ukuran, kecuali jika asurador berpendapat, bahwa penilaiaan Rp 200.000,- itu terlalu tinggi. Dalam hal ini hakim leluasa dan tidak mesti apabila asurador dengan alasan meminta dari terjamin memberi keterangan lebih lanjut untuk dapat lebih membenarkan harga – harga nilai Rp. 200.000,- itu. Sebaliknya, menurut pasal 274 ayat 2, si asurador selalu harus diberi kesempatan untuk membuktikan, bahwa penilaiaan harga sampai Rp 200.000,- itu terlalu tinggi. Jadi biasanya harga nilai yang ditetapkan dalam polis, kini Rp 200.000,- dianggap sebagai harga nilai sebelum kebakaran terjadi. Masih akan timbul kesulitan lagi, apabila seperti dimungkinkan oleh pasal 253 ayat 2 W.v.K., bangunannya dimasukkan asuransi untuk jumlah uang yang kurang dari harga nilai sebenarnya, sedangkan harga sebenarnya itu tidak disebutkan dalam polis. Dalam hal ini, jumlah uang yang disebutkan dalam polis tidak merupakan harga yang sebenarnya, maka harga yang merosot tadi dapat diambil selaku ukuran. Sedangkan harga nilai barang setelah terjadi kecelakaan harga nilai itu selalu harus ditetapkan, tetapi karena semula tidak ada ketentuan tentang hal ini, sehingga harga sebelum terjadi kebakaran tidak ditetapkan. Cara menetapkan harga setelah terjadi kebakaran ialah penetapan ini dapat dilakukan dengan jalan menaksir harga dari sisa – sisa bangunan apabila dijual sebagai bekas bahan – bahan belaka ( afbraakwaarde). Apabila harga sisa – sisa bangunan itu berjumlah sedemikian rupa, sehingga dengan sisa – sisa itu masih dapat dibangun lagi, hanya dengan menambah beberapa bahan – bahan baru, maka harga dari sisa – sisa bangunan ini biasanya lebih tinggi daripada “afbraakwaarde”. Dan dengan demekian, kerugian yang harus diganti oleh asurador menjadi berkurang.

5

3. Kewajiban terjamin membangun kembali Si terjamin tidak hanya berhak, melainkan berkewajiban untuk membangun kembali. Dan untuk itu ia harus menerima sejumlah uang tunai dari asurador. Uang tunai harus betul – betul dipergunakan untuk membangun kembali. Dan asurador berwewenang untuk mengawas – awasi itu. Dalam hal ini dapat ditentukan tenggang waktu tertentu pembangunankembali itu harus selesai. Hakim dapat turut menetapkan tenggang waktu ini kalau ada perselisihan. Apabila perlu, karena dikhawatirkan si terjamin tidak akan memenuhi kewajibannya untuk membangun kembali dalam waktu yang telah ditentukan, hakim atas tuntutan asurador dapat menuntut si terjamin untuk mengadakan jaminan. Jaminan ini dapat berupa uang tunai yang oleh terjamin harus dibayarkan kepada suatu Bank dan tentunya ditujukan untuk kalau perlu, digunakan bagi ganti kerugian kepada asurador, apabila tidak dilakukan pembangunan kembali dan sehingga asurador menderita kerugian. Kalu dilihat, pokok pangkal persoalan ialah pasal 288 ayat 1 yang menentukan, bahwa bangunan dapat dibangun kembali sampai biaya tidak lebih dari jumlah uang terjamin (verzekerdesom), atau yang disebutkan dalam polis.asurador harus membayar tidak hanya ¾ dari jumlah uang si terjamin. Jadi makna dari pasal – pasal tersebut, ialah, mencegah si terjamin untuk membangun secara mewah, akan diperkaya. Maka maksimum ¾ dari biaya membangun kembali ini, hanya berlaku apabila biaya itu melebihi taksiran dalam polis, pada umumnya bahwa yang diganti asurador ialah kerugian yang nyata. Asuransi kebakaran mengenai barang – barang bergerak tentang hal ini ada pasal 295 W.v.K yang berbunyi : 1. Apabila diadakan asuransi kebakaran tentang barang – barang bergerak dan barang – barang dagangan yang disimpan dalam sebuah rumah atau gudang, maka hakim leluasa untuk memerintahkan si terjamin mengangkat sumpah untuk menguatkan keterangannya apabila alat – alat bukti yang dimaksudkan dalam pasal – pasal 273, 274, dan 275 tidak cukup kuat.

6

2. Kerugian dihitung dari harga nilai barang – barang yang dijamin pada waktu kebakaran terjadi. Kita mulai dengan meninjau ayat 2. Di situ selaku kerugian hanya menyebutkan harga nilai barang – barang pada waktu kebakaran terjadi, sedangkan dalam pasal 288 ayat 2 tentang asuransi mengenai bangunan. Yang dinamakan kerugian ialah perbedaan harga bangunan sebelum kebakaran dan harga bangunan sesudah kebakaran. Pasal 259 ayat 2 ini, hanya melihat pada keadaan, bahwa barang – barang yang dijamin itu tidak ada yang tergolong. Memang dalam hal ini, kerugian yang diderita oleh terjamin adalah harga nilai barang – barang itu pada waktu kebakaran terjadi. Tetapi apabila barang – barang itu masih ada sisanya yang berhaga, maka tidak boleh tidak, kerugian yang diderita itu, adalah perbedaan antara harga barang – barang itu sebelum dan sesudah ada kebakaran. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada perbedaan antara asuransi bangunan dan asuransi barang – barang bergerak. Ayat 1 pasal 295 W.v.K. menunjukkan pada pasal – pasal 273, 274, dan 275, yaitu mengenai asuransi bangunan disitu diperbedakan antara polis yang menyebutkan harga nilai barang yang dijamin, (pasal 274) dan polis yang tidak menyebutkan hal itu (pasal 273). Menurut pasal 259 ayat 1, perbedaan antara asuransi bangunan dan asuransi barang – barang bergerak ialah, bahwa asuransi barang – barang bergerak hakim leluasa mengambil sumpah pada si terjamin. Dari isi pasal 290 W.v.K., dapat dilihat, bahwa dalam asuransi kebakaran. Disitu disebutkan sebagai contoh : angin taufan, api, kelalaian, kesalahan pelayanan si terjamin sendiri atau tetangga, musuh, perampok dan sebagainya, dan bagaimana kebakaran itu dapat dikira – kirakan atau tidak, biasa atau luar biasa. Yang disamakan dengan kebakaran sesuai dengan pasal 291 W.v.K. menyebutkan bencana – bencana lain yang disamakan dengan kebakaran dalam asuransi kebakaran, yaitu apabila yang terbakar itu rumah tetangga, tetapi akibatnya, sebagaian dari rumahnya menjadi rusak, misalnya oleh air yang dipergunakan untuk memadamkan api, atau sebagian dari rumah itu diambi; oleh pencuri – pencuri, atau kerusakan sebagai akibat tindakan alat – alat pemerintah yang bermaksud menolong kebakaran tersebut.

7

Seringkali suatu bangunan dibebani suatu hipotik. Artinya pemilik bangunan itu mempunyai hutang uang kepada seorang kreditur, dan untuk menjamin pembayaran kembali hutang itu, bangunan tersebut dibebani dengan hipotik. Dengan demikian, apabila utangnya tidak dibayar, sedangkan seharusnya mesti dibayar, maka bangunan tadi dapat dijual lelang dan si pemegang hipotik mempunyai hak didahulukan untuk dibayar piutangnya dari uang pendapatan penjualan lelang tadi. Pendeknya, bangunan itu merupakan jaminan bagi si berpiutang untuk mendapatkan pembayaran kembali piutangnya. Dengan begitu, apabila bangunan itu terbakar, hilanglah jaminan tersebut. Sedangkan apabila bangunan itu dimasukkan asuransi, uang asuransi dibayarkan kepada si berutang yang leluasa untuk memakai uang itu secara yang ia kehendaki. Mudah dapat dimengerti, bahwa dengan demikian si pemegang hipotik akan dirugikan. 4. Sifat hukum dan akibat hukum perjanjian khusus dari pasal 297 W.v.K. Sifat hukum dan akibat hukum yang konkrit dari perjanjian khusus pasal 297 W.v.K. ini, sama sekali tidak disebutkan dalam pasal 297 dan pasal 298. Dengan demikian, dibuka kemungkinan bagi para ahli hukum untuk berlainan pendapat tentang hal ini. Menurut Dorhout Mess dan Nolet Trenite dulu banyak para penulis ahli hukum, seperti Diephuis, Kist, Asser van Heusden berpendapat, bahwa dengan perjanjian khusus ini hak deitur terjamin kepada asurador dialihkan kepada kreditur pemegang hipotik. Jadi sifat hukum dari perjanjian khusus ini adlah seperti cessie suatu piutang. Nolst Trenite menyebutkan beberapa konsekwensi dari pendapat ini, ialah sebagai akibat hukum dari perjanjian khusus ini harus diindahkan, misalnya : a). Si debitur sama sekali tidak ada hubungan lagi dengan asurador, sedangkan ada kemungkinan piutang si kreditur lebih banyak dari uang asuransi. Akibatnya si kreditur terpaksa memperhitungkan dengan asurador hal kerugian pada debitur terjamin, tanpa diikat oleh ketentuan – ketentuan hukum antara debitur terjamin dan asurador. Ini mungkin sekali akan merugikan si asurador, yang tentunya tidak dikehendaki oleh pembentuk undang – undang.

8

b) Apabila secara cessie si kreditur pemegang hipotik menjadi kreditur pula dari asurador dan kemudian uang asuransi dibayarkan kepada kreditur, maka piutangnya lenyap dan juga lenyaplah hipotiknya. Kalau dengan uang asuransi itu, rumah yang terbakar dibangun kembali dengan izin si kreditur, maka hipotik yang sudah lenyap itu, tidak dapat hidup kembali. Dan ini tentunya merugikan si kreditur. Hal ini tidak dikehendaki. c) Apabila piutang si kreditur belum tiba waktunya untuk dibayar pada waktu rumahnya terbakar, maka si kreditur akan mendapat pembayaran dari uang asuransi yang sebetulnya belum berhak ia terima. Jika membaca pasal 297 W.v.K. seolah – olah di situ disebutkan, bahwa uang asuransi akan menggantikan piutang si kreditur pemegang hipotik, sedangkan dalam pasal itu secara tegas pula dikatakan, bahwa yang diganti dengan uang asuransi itu ialah jaminannya berupa hipotik dan bukan piutangnya. Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa sekarang para ahli hukum tidak mengikuti pendapat kuno tadi. Begitupun yurisprudensi di Negeri Belanda. Pand atau gadai sebagai sifat hukum baik Dorhout Mess maupun Nolst Trenite mengambil alih pendapat Mr. T.D.E. van Ossenbruggen, bahwa sifat hukum dari perjanjian khusus pasal 297 W.v.K. ini, ialah hak si terjamin untuk mendapatkan pembayaran uang asuransi dari asudor digadaikan (pand) oleh si debitur terjamin kepada kreditur. Dengan demikian si kreditur mendapat dua macam jaminan, yaitu : 1) Berupa hipotik 2) Berupa pand atas hak si debitur terjamin pada pembayaran uang asuransi Penggadaian suatu hak ini, dimungkinkan oleh pasal 1153 B.W. Dengan sifat hukum ini, tidak ada konsekwensi – konsekwensi yang tidak dikehendaki oleh pembentuk undang – undang. Akibat hukum sifat pand, masih menjadi persoalan, apakah asuransi harus diserahkan kepada kreditur pemegang hipotik untuk dipegang sebagai pand ataukah uang asuransi itu tetap dipegang oleh asurador, sehingga beres perhitungannya dengan si kreditur pemegang hipotik. Nolst Trenite menyetujui pendapat pertama dan kedua dari van Ossenbruggen.

9

Dan pendapat kedua lebih disetujui karena si debitur terjamin, kalau perlu, masih leluasa untuk menggugat si asurador agar membayar uang asuransi itu. Dan gugatan ini akan mendapat kesulitan, apabila uang asuransi sudah berada di tangan si kreditur pemegang hipotik.

10

BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan dari permasalhan yang telah dijabarkan di depan, maka didapat kesimpulan sebagai berikut : a.

Penetapan harga setelah terjadi kebakaran dapat dilakukan dengan jalan

menaksir harga dari sisa – sisabangunan apabila dijual sebagai bekas bahan – bahan belaka. b.

Harga barang sebelum dan sesudah terjadi kebakaran berbeda karena

dalam hal ini jumlah uang yang disebutkan dalam polis tidak merupakan harga yang sebenarnya, maka harga yang merosot tadi dapat diambil selaku ukuran. c.

Sifat hukum dan akibat hukum dari perjanjian khusus dalam hal asuransi

kebakaran ialah pand atau gadai sebagai sifat hukum agar hak si terjamin untuk mendapatkan pembayaran uang asuransi dari asurador digadaikan (pand) oleh si debitur terjamin kepada si kreditur sedangkan akibat hukumnya debitur terjamin masih mempunyai hak untuk menggugat asurador agar membayar uang asuransi itu dan gugatan ini akan mendapat kesulitan apabila uang asuransi sudah berada di tangan si kreditur pemegang hipotik. 2. Saran - saran Saya selaku penulis mengharapkan agar asuransi kebarakan yang ada di Indonesia, dalam tahun – tahun kedepan bisa lebih baik lagi. Segala aspek yang terkait lebih diperhatikan dan tidak ada lagi kerugian di pihak manapun terhadap asuransi kebakaran di Indonesia.

11

DAFTAR PUSTAKA -

Prodjodikoro, Wirjono, S.H.Dr.Prof. “Hukum Asuransi di Indonesia”, PT Djaya Pirusa, Jakarta 1982.

-

Sri Rejeki, S.H. Dr “Hukum Asuransi “Pembentukan Persetujuan Asuransi”, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.

12

Related Documents

Paper Asuransi
June 2020 28
Asuransi V.pptx
December 2019 40
Asuransi Pendidikan
May 2020 35
Asuransi Ayariah
May 2020 27
Sejarah Asuransi
June 2020 6