Paper Armada.docx

  • Uploaded by: Nuris Shoim
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Paper Armada.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,103
  • Pages: 7
Petkuq Mehuey: “Penjaga Hutan” dari Suku Dayak Wehea (Ditinjau dari Perspektif Laudato Si No. 32-38 tentang Pelestarian Keanekaragaman Hayati) Oleh: Octavianus de Santos/15027

Pengantar Kerusakan dan perusakan alam menjadi kekhawatiran dunia dewasa ini. Oleh karenanya, tema-tema tentang pelestarian alam dan lingkungan akhir-akhir ini manjadi isu yang hangat. Gejalanya nampak jelas dengan hutan yang menggundul, erosi, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, pemanasan global, hujan asam, naiknya permukaan laut, dan lubang ozon yang mengancam kehidupan masa depan manusia dan lingkungannya. Hal ini menunjukan bahwa setelah sekian lama dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, mulailah muncul keprihatinan pada nasib alam. Orang mulai menyadari perlunya meninjau kembali sikap dan perbuatannya kepada alam. Sebab ketika obsesi utama adalah semata-mata pertumbuhan, saat itu pula sikap dan perbuatan manusia terhadap alam cenderung berubah menjadi kesewenangan.1 Manusia dan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Pada awal penciptaan alam semesta, Tuhan melengkapi manusia dengan alam semesta dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia, daratan dan laut dengan segala isinya, matahari, bulan dan bintang yang memberikan energi dan penerangan bagi manusia (bdk. Kej 1:1-31). Manusia dalam hal ini berkewajiban untuk menjaga lingkungan hidupnya, memelihara, dan melestarikannya. Karena semuanya diperuntukan bagi manusia guna dimanfaatkan secara bijaksana. Saat manusia belum tergoda dengan konsumerisme duniawi seperti masyarakat tradisional di pedesaan, tumbuh nilai-nilai yang cukup bijaksana berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Ketika berbicara tentang “lingkungan”, kita mengacu pada suatu relasi yang khusus, yaitu antara alam dan masyarakat yang menghuninya. Hal itu mencegah kita untuk memahami alam sebagai sesuatu yang terpisah dari kita atau hanya sebagai kerangka kehidupan kita. Kita adalah bagian dari alam, termasuk di dalamnya, dan terjalin dengannya. 2 Di setiap masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia pada dasarnya memiliki kearifan dalam berinteraksi dengan alam. Awalnya dalam pemahaman religius magis, tetapi kemudian menjadi keterikatan bahwa alam telah memberikan hidup sehingga perlu dijaga dan dilestarikan. Maka dari itu penulis mengangkat suatu tema tentang bentuk pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat dayak Wehea. Ensiklik Laudato Si no. 32-383: Pentingnya Melestarikan Keanekaragaman Hayati Sumber daya bumi kerap dijarah oleh konsep ekonomi, perdagangan dan produksi jangka pendek. Hilangnya hutan dan vegetasi lainnya membawa serta hilangnya spesies yang dapat menjadi sumber daya yang sangat penting di masa depan, tidak hanya untuk makanan tetapi juga untuk penyembuhan penyakit dan penggunaan lainnya. Berbagai spesies mengandung gen yang bisa menjadi sumber daya kunci pada tahun-tahun mendatang untuk memenuhi kebutuhan tertentu manusia dan mengatur beberapa masalah lingkungan. Namun tidak cukup untuk memikirkan pelbagai spesies hanya sebagai sumber potensial untuk dieksploitasi, sambil melupakan fakta bahwa masing-masing memiliki nilai dalam dirinya 1

A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Kompas, Jakarta, 2006, hal. 123. Bdk. Paus Fransiskus, “Ensiklik Laudato Si”: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, (Terj.), Martin Harun OFM (Penerj.), Jakarta: Obor, 2015, art. 139, hal. 107. 3 Ibid., hal. 24-29. 2

1

sendiri. Setiap tahun hilang ribuan spesies tanaman dan hewan yang tidak pernah akan kita kenal lagi, dan tidak pernah akan dilihat anak-anak kita, karena telah hilang untuk selamanya. Sebagian besar punah karena alasan yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Karena kita, ribuan spesies tidak akan lagi memuliakan Allah dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan mereka kepada kita. Barangkali kita terganggu ketika mendengar tentang kepunahan mamalia atau burung, karena mereka lebih terlihat. Tetapi agar berfungsi dengan baik, ekosistem juga membutuhkan jamur, lumut, cacing, serangga, reptil, dan aneka mikro organisme yang tak terhitung. Beberapa spesies yang jumlahnya kecil dan biasanya tak terlihat, memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan tempat tertentu. Tentu saja, manusia harus melakukan intervensi ketika geosistem memasuki keadaan kritis. Tetapi saat ini tingkat intervensi manusia dalam realitas alam yang sedemikian kompleks sudah sedemikian tinggi hingga bencana kontinu yang disebabkan oleh manusia, memerlukan suatu respons baru. Aktivitas manusia hadir di mana-mana, dengan segala risiko yang dibawa serta. Ini sering menciptakan lingkaran setan di mana intervensi manusia untuk menyelesaikan kesulitan itu, justru memperburuk situasi. Sebagai contoh, banyak burung dan serangga yang hilang akibat pestisida beracun yang dibuat oleh teknologi, bermanfaat untuk pertanian; hilangnya mereka akan harus diganti dengan intervensi teknologis lain yang mungkin akan menghasilkan efek berbahaya lainnya. Upaya para ilmuwan dan insinyur, yang mencoba untuk menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang dibuat oleh manusia merupakan hal terpuji dan kadangkadang mengagumkan. Tetapi, kalau kita amati dunia, terlihat bahwa tingkat intervensi manusia, sering dalam konteks kepentingan bisnis dan konsumerisme, sebenarnya membuat bumi kita kurang kaya dan indah, semakin terbatas dan kehilangan warna, sementara kemajuan teknologi dan barang-barang konsumsi terus berkembang tanpa batas. Kita tampaknya berpikir bahwa kita dapat menggantikan keindahan yang tak tergantikan dengan sesuatu yang kita buat sendiri. Dalam menilai dampak ekologis suatu proyek, biasanya dipertimbangkan efek atas tanah, air, dan udara, tetapi tidak selalu diadakan penelitian atas dampak terhadap keanekaragaman hayati, seolah-olah hilangnya spesies atau kelompok hewan atau tanaman tertentu tidak terlalu penting. Jalan raya, perkebunan baru, pagar-pagar, bendungan, dan bangunan lainnya, secara bertahap menduduki habitat, dan kadang-kadang memecahbelahnya hingga populasi hewan tidak dapat lagi bermigrasi atau bergerak bebas, sehingga beberapa spesies terancam punah. Ada pelbagai alternatif yang setidaknya dapat mengurangi dampak dari proyek ini, seperti penciptaan koridor biologis, namun hanya sedikit negara menunjukkan kepedulian preventif seperti itu. Ketika spesies tertentu dieksploitasi secara komersial, kurang diperhatikan faktor reproduksinya demi mencegah penurunan jumlahnya dan ketidakseimbangan ekosistem yang diakibatkan. Merawat ekosistem mengandaikan pandangan melampaui yang instan, karena orang yang mencari keuntungan cepat dan mudah, tidak akan tertarik pada pelestarian alam. Namun, biaya kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian egois itu jauh lebih tinggi daripada keuntungan ekonomis yang dapat diperoleh. Ketika spesies tertentu punah atau sangat terancam, nilainya tidak terhitung. Kita dapat menjadi saksi bisu ketidakadilan mengerikan, ketika kita mengira memperoleh keuntungan besar dengan membuat seluruh umat manusia, sekarang dan di masa depan, membayar biaya kerusakan lingkungan yang sangat tinggi. Beberapa negara telah maju dalam melindungi secara efektif tempat dan wilayah tertentu—di daratan dan di lautan—di mana ada larangan campur tangan manusia dalam bentuk apapun yang dapat mengubah wajah alam atau merombak keadaan aslinya. Dalam melestarikan keanekaragaman hayati, para ahli menekankan perlunya diberi perhatian khusus kepada kawasan yang paling kaya akan aneka spesies, dan akan spesies yang langka, atau kurang dilindungi, atau yang hanya ada di situ. Beberapa tempat membutuhkan perlindungan 2

khusus karena sangat penting untuk ekosistem global, atau karena merupakan cadangan air penting dan dengan demikian menjamin bentuk-bentuk kehidupan lainnya. Sebagai contoh, paru-paru dunia yang kaya keanekaragaman hayati, yaitu wilayah Amazon dan cekungan Sungai Kongo, atau tempat-tempat air bawah tanah (aquifer) yang luas dan gunung es (gletser). Kita tahu betapa pentingnya semuanya itu bagi seluruh bumi dan bagi masa depan umat manusia. Ekosistem hutan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kompleks dan hampir mustahil dinilai sepenuhnya, namun ketika hutan tersebut terbakar atau ditebang untuk tujuan perkebunan, dalam waktu beberapa tahun spesies yang tak terhitung jumlahnya punah dan wilayah itu sering berubah menjadi lahan telantar dan gersang. Ketika berbicara tentang tempat-tempat ini, diperlukan sikap kritis yang seimbang karena kita tidak dapat menutup mata terhadap kepentingan ekonomis global yang sangat besar yang, dengan kedok melindunginya, dapat melemahkan kedaulatan negara masingmasing. Bahkan, ada “proposal internasionalisasi Amazon, yang hanya melayani kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan multinasional”. Kita tidak boleh lupa memuji komitmen lembaga-lembaga internasional dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang menarik perhatian publik terhadap masalah-masalah itu, bekerja sama secara kritis, dan menggunakan mekanisme desakan yang sah, untuk memastikan bahwa setiap pemerintah melakukan tanggung jawabnya sendiri yang tidak dapat dicabut, untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya alam negaranya, tanpa tunduk kepada kepentingan lokal atau internasional yang tidak sah. Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Wehea Kearifan lokal merupakan kemampuan suatu masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, secara baik dan benar, yang diperoleh dari generasi sebelumnya dan atau dari hasil interaksinya dengan masyarakat luar (Ahimsa-Putra, 2009). Sementara Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) menilai kearifan lokal sebagai tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbedabeda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Melihat dari definisi tentang kearifan lokal tersebut, maka pada masyarakat Dayak Wehea juga juga tampak adanya kearifan lokal terhadap lingkungan alam di sekelilingnya. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Wehea meliputi budaya benda (tangible) dan budaya non benda (intangible). Adapun kearifan lokal dari masing-masing sebagai berikut: 1. Kearifan lokal dalam budaya Tangible Dayak Wehea Pada jaman dahulu pola pemukiman suku Dayak Wehea sesuai dengan aturan adat yaitu tidak boleh melintang/memotong jalur. Rumah harus lurus dengan jalan. Bentuk atap 3

limasan hanya boleh digunakan oleh raja. Selain rumah raja, ada juga rumah panjang. Rumah-rumah saling menyambung dindingnya sehingga seperti rumah panjang. Rumah panjang yang ada di Dayak Wehea berbeda dengan rumah panjang suku Dayak lainnya. Menurut wawancara dengan Bapak Ledjie Taq, dahulu maksimal tiga keluarga atau tiga rumah saja yang menyambung. Yang digabung adalah dindingnya saja, sehingga tiap dua rumah hanya mempunyai satu dinding. Namun saat ini bentuk rumah suku Dayak Wehea sudah berbeda dengan dahulu. Tiap keluarga mempunyai satu rumah. Pola pemukiman suku Wehea di Nehas Liah Bing sudah banyak yang memanjang/melebar/mempunyai bidang lebar di bagian depan namun masih banyak pula rumah yang memanjang ke belakang. Penggunaan bentuk atap limasan mulai dibuat oleh masyarakat yang bukan keturunan raja. Perubahan itu terjadi seiring dengan perkembangan jaman dan juga masuknya pengaruh agama disuku Dayak Wehea. Pada dasarnya rumah suku Dayak Wehea merupakan rumah panggung dari kayu ulin yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kaki, bagian badan dan bagian atap. Sedangkan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu bagian depan, bagian inti dan bagian dapur. Di samping itu dengan model rumah panggung ini, merupakan salah satu upaya mitigasi dari bencana banjir. Selain rumah masyarakat, disana terdapat rumah adat yang disebut rumah adat Eweang. Bentuk rumah adat eweang ini berbeda dengan rumah masyarakat biasa. Rumah adat ini diperuntukkan bagi kaum laki-laki untuk menggelar upacara memuja dewa dan leluhur supaya menjadi lebih dekat. Saat ini rumah-rumah yang ada di Desa Nehas Liah Bing menghadap ke jalan dan membelakangi Sungai Wahau. Pada jaman dahulu rumahrumahnya memanjang ke belakang, namun sekarang banyak rumah-rumah yang melebar ke samping. 2. Kearifan lokal dalam budaya intangible Dayak Wehea. Dayak Wehea masih terus mempertahankan budaya aslinya ditengah kehidupan modern. Proses kesenjangan antara generasi tua dan muda menjadikan kesadaran bahwa diperlukan suatu cara untuk tetap mengenalkan dan mewariskan adat istiadat kepada generasi muda. Pewarisan adat istiadat Dayak Wehea yang dahulu dilakukan di rumah adat (eweang) antara laki-laki ke laki-laki sudah tidak dilakukan lagi sejak masing-masing keluarga mempunyai rumah sendiri. Budaya baru itu menjadikan rumah adat— eweang — sebagai wilayah laki-laki, tempat para laki-laki Dayak Wehea hidup, berubah menjadi tempat yang kosong karena lakilaki mulai hidup dengan keluarganya di rumah “baru/tunggal‟. Eweang hanya ramai ketika ada kegiatan upacara adat. Kesenjangan budaya Dayak oleh pelaku budaya Dayak Wehea, menjadikan mereka melakukan pekhea (berembug). Salah satu hasilnya adalah menjadikan hutan lindung milik adat Wehea (Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen) sebagai media pengganti eweang di kampung. Saat ini, aturan tentang pengelolaan hutan lindung dilengkapi dengan dibentuknya kelompok penjaga hutan yang disebut dengan petkuq mehuey. Anggota petkuq mehuey terdiri dari laki-laki dari kelas umur yang berbeda, mulai yang masih muda sampai yang sudah tua. 10 sampai 15 Petkuq mehuey akan bertugas masuk hutan selama satu bulan untuk menjaga dan memelihara hutan. Penjagaan hutan lindung Wehea yang seluas 38.000 hektar ini walaupun sangat tertib dan disiplin, akan tetapi fleksibel. Tugas menjaga hutan lindung Wehea ternyata mempunyai maksud sebagai sarana transfer pengetahuan antara yang tua dengan yang lebih muda. Pengetahuan yang ditransfer berbagai persoalan kehidupan sehingga para generasi muda dapat mengetahui kembali tentang akar sejarah Wehea, tentang cara pengobatan, adat-istiadat dan pantangan adat, dan cara kehidupan adat, serta memahami hutan sebagai pendukung kehidupannya. Kegiatan 4

transformasi ini bukannya menghindari kebudayaan modern, akan tetapi diharapkan menghasilkan generasi muda Wehea yang maju tanpa meninggalkan akar budayanya, apalagi mereka sadar bahwa hutan merupakan tempat makan dan tempat hidupnya. Masyarakat Wehea tidak hanya berpikir masa kini, akan tetapi berusaha melestarikan miliknya kepada keturunannya. Mereka paham bahwa saat ini transfer kebudayaan lokal sulit dilakukan karena perubahan kepemilikan lahannya dan perubahan lingkungannya. Masyarakat Wehea yang berbasis tanah dan air yang sangat luas ini, sekarang hanya memiliki 38.000 hektar hutan dan beberapa lahan pertanian dan desa. Akibatnya, kebiasaan yang dahulu ada—yang merupakan bagian pembentukan karakter orang Wehea — sekarang sulit dilakukan dan ada yang menjadi hilang. Petkuq Mehuey ini menurut pengakuan Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq, dikuatkan dengan surat keputusan Lembaga Adat Desa nomor001/LAD NLB/X/ 2005 tentang perlindungan dan pemanfaatan terbatas Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen, yang selanjutnya dituangkan melalui SK Adat nomor 002/LADNLB/2005. Biasanya, tim pelindung hutan ini bergantian berjaga setiap satu bulan. Satu tim masing-masing 10 orang. Salah satu penjaga hutan, Le Jie Ding, mengakui, dengan jumlah penjaga hutan yang ada perbatasan di sisi barat dan timur tidak terpantau sehingga rawan disusupi perambah.4 Namun, saat ini dana bantuan penjagaan hutan menurun. Kondisi ini sangat menyusahkan Para Petkuq Mehuey yang menjaga hutan secara adat, karena dengan gaji sebesar Rp. 1,250.000 (Satu Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) per orang dengan uang makan sebanyak Rp 2.000.000 (Dua Juta Rupiah) untuk tiap kelompok selama 1 bulan, dianggap tidak cukup. Dikawatirkan anggota Petkuq Mehuey akan mengundurkan diri dan beralih menjadi bekerja di perusahaan sawit atau lainnya. Bila ini terjadi, maka penjagaan hutan lindung Wehea akan terbengkelai, dan kemungkinan akan musnah. Padahal hutan ini telah menjadi bagian dari dunia dan diakui oleh Negara. Sebenarnya, para Petkuq Mehuey tidak saja menjaga wilayah budayanya akan tetapi juga menjaga hutan lindung Wehea yang merupakan asset penting Kabupaten Kutai Timur, karena memiliki bio-diversity (keanekaragaman hayati) yang luar biasa dansebagai penyangga tiga sub DAS di daerah ini. Hasil penelitian The Nature Conservancy (TNC) di hutan lindung Wehea ada 12 hewan pengerat, 9 jenis primata,19 jenis mamalia, 114 jenis burung, 760 ekor lebih orangutan, owa-owa, beruangmadu, lutung merah. Dan 59 jenis pohon bernilai dan macan dahan. Kekayaan hutan lindung Wehea ini terbukti dengan pengakuan dunia serta adanya pengakuan Negara pada masyarakat Wehea dengan adanya pemberian KALPATARU. Hanya saja, piala Kalpataru ini ikut terbakar bersama-sama dengan seluruh rumah ketua adat Wehea-Bapak Ledjie Taq dan tiga rumah lainnya pada tanggal 25 Mei 2010. Di dalam SK 001/LAD-NLB/X/2005 tersebut pengelolaan hutan lindung Wehea diatur larangan menebang pohon untuk keperluan pribadi atau diperjualbelikan, termasuk larangan membuka lahan untuk kebun, ladang, atau peruntukkan lain dikawasan hutan. Hewan yang ada di dalam kawasan hutan tidak boleh diburu. Warga desa, hanya diperbolehkan menebang sesuai dengan kebutuhan. Perburuan, hanya boleh dilakukan ketika memperoleh izin dari Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea. Jika melanggar aturan itu, pelanggar akan diadili secara adat. Hukuman berupa dendalagi-lagi disesuaikan dengan nilai fisik kekayaan alam yang dirusaknya. Misalnya, hanya dibolehkan menebang satu pohon, tetapi malah menebang dua pohon. Maka, pelaku wajib membayar denda satu pohon yang ditebang tanpa 4

http://gerbangkaltim.com/perangi-pembalak-liar-hutan-wehea-dengan-petkuq mehuey.html, diakses tanggal 17 Maret 2018.

5

izin. Demikian halnya dengan perburuan. Aturan sama. Namun, jika secara adat tidak selesai, dibawa ke proses hukum negara. Selain itu, ada beberapa aturan dari Badan Pengelola Hutan bahwa tanaman buah harus ditebang, serta tidak diijinkan untuk memelihara ternak. Padahal, menurut Bapak Ledjie Taq, pohon buah-buahan sangat penting bagi hutan itu. Pertama buahnya dapat dikonsumsi para petkuq mehuey. Tentunya hal ini untuk menjagakeseimbangan makan —terutama kebutuhan vitamin C, dan A, dan kebutuhan pertumbuhan lainnya. Ledjie Taq menyampaikan bahwa pohon buah-buahan sangat penting, karena dengan adanya buah, maka binatang akan datang mengkonsumsi, sehingga ada ketersediaan makanan bagi petkuq mehuey selama di hutan. Tentunya yang akan diburu adalah binatang yang tidak dilindungi. Kearifan lokal masyarakat Wehea tentang hutan sepertinya tidak dipahami oleh penentu kebijakan kehutanan. Kehidupan masyarakat Dayak Wehea di Kecamatan Wahau, menjadi penyangga tiga sub DAS (daerah aliran sungai) di Kutai Timur, Kalimantan Timur, yaitu Sungai Sub-DAS Seleq, Sungai Sub-DAS Melinyiu dan Sungai Sub-DAS Sekung — Yang ketiganya bermuara sungai Mahakam (Sagaria, 2010). Yang artinya masyarakatDayak Wehea juga menjaga kehidupan masyarakat di kabupaten Kutai Timur. Tanpa disadari, mereka juga menjadi penjaga, pemelihara, dan mengkonservasi Kabupaten Kutai Timur. Kesimpulan Hutan dibabat, masyarakat melarat, masa depan gelap. Ungkapan ini mungkin terasa berlebihan bagi banyak orang, khususnya mereka yang tidak memahami secara utuh budaya suku Dayak. Mungkin akan langsung muncul sanggahan berupa pertanyaan: “Apakah benar ketika hutan dibabat, masyarakat melarat dan masa depan gelap?” Bagi masyarakat Dayak Wehea memang ada keterkaitan yang sangat erat, bahkan tidak terpisahkan antara hutan dan manusia sebagai jaminan hidup dan kelanjutan hidup di masa depan. Masyarakat Dayak Wehea meyakini jika hutan terjaga baik, maka kesejahteraan akan dialami, sebab dari hutanlah mereka bisa memperoleh segala-galanya yang diperlukan untuk menopang hidup. Hutan adat merupakan sumber mata pencarian yang akan terus dipertahankan karena tanpa keberadaan hutan, maka masyarakat adat akan punah. Tanah ulayah dan hutan adat merupakan milik bersama warga masyarakat adat. Sebagaimana yang dikatakan oleh ketua adat Dayak Wehea, bapak Ledjie Taq: “Budaya dan alam adalah kekayaan utama yang dimiliki orang Dayak Wehea. Jika kami tidak menjaganya dan mewariskannya kepada anak cucu kami sejak dini, maka kami tidak akan bisa mewariskan apapun” (Wihardandi, 2012). Adat istiadat di Nehas Liah Bing masih dijalankan hingga sekarang, mulai dari budaya yang berupa benda (tangible) maupun yang non benda (intangible). Apabila adat istiadat tersebut tidak dilakukan, maka dipercaya akan banyak kejadian yang tidak dikehendaki terjadi. Demikianlah mereka melestarikan keanekaragaman hayati dengan adat istiadat yang ada dalam keyakinan suku Dayak Wehea. Budaya yang merupakan benda, yang masih dilestarikan terkait dengan bentuk rumah tinggal, rumah adat dan pola pemukiman. Upacaraupacara terkait dengan pertanian, perlindungan hutan dan pendewasaan diri merupakan budaya non benda yang masih tetap dipertahankan kelestariannya.

6

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Sri. 2009. Pelatihan Metodologi Penelitian Kearifan Lokal tentang Pangan. Pusat Studi Kebudayaan. Yogyakarta. Andi M. Akhmar dan Syarifuddin. 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan, PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua. Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar. Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Penerbit: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas,Yogyakarta. Fransiskus, Paus. 2015. “Ensiklik Laudato Si”: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, (Terj.). Martin Harun OFM (Penerj.). Jakarta: Obor. Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Lingkungan Hidup. Kompas, Jakarta.

Sumber dari Website http://gerbangkaltim.com/perangi-pembalak-liar-hutan-wehea-dengan-petkuqmehuey.html, diakses tanggal 17 Maret 2018. Wihardandi, Aji. 2012. Dayak Wehea: Kisah Keharmonisan Alam dan Manusia. Dalam http://www.mongabay.co.id/2012/04/16/dayak-wehea-kisah-keharmonisan-alam-danmanusia/, diakses tanggal 17 Juli 2018.

7

Related Documents

Paper
August 2019 42
Paper
October 2019 41
Paper
August 2019 43
Paper
November 2019 26
Paper
December 2019 25
Paper
June 2020 17

More Documents from ""