Evaluasi Proyek Pemerintah dan Organisasi Berskala Kecil
Walter Castelnovo and Massimo Simonetta Università dell’Insubria, Como, Italy
[email protected]@ancitel.lombard
Disusun Oleh : Bahrul Ulum
Abstraksi Kompeknya konsep dan bidang dalam pemerintahan yang menyebabkan ada perbedaan cara pandang dalam menetapkan sebuah model evaluasi dampak proyek-proyek pemerintah. Dalam makalah ini, dijelaskan mulai dari definisi secara umum mengenai pemerintahan berbasis online / egovernment. Kami akan membahas sebuah model yang tepat bagi evaluasi sistem- e-government berdasarkan pada konsep nilai publik. Pada bagian akhir makalah ini kami akan menyarankan suatu pendekatan konsep nilai publik yang bersifat sentralistik terutama pada warga dan berbasis peran, sehingga kami dapat membedakan aspekaspek yang berbeda dari nilai publik pada masingmasing peran yang dimiliki warga dalam interaksi mereka dengan Administrasi Publik. Pendekatan yang kami sarankan akan digambarkan sebagai pertimbangan evaluasi proyek-proyek yang ditujukan bagi Pusat Pelayanan Lokal, seperti yang diminta oleh Italian Action Government Plan atau Rencana Tindakan Pemerintah Italia untuk inklusi kotamadya-
1. Pendahuluan Dalam beberapa tahun terakhir, ada begitu banyak sumber daya yang telah ditemukan untuk menunjang inovasi dalam Administrasi Publik. Tetapi, meskipun telah terdapat bermacam usaha yang dilakukan oleh banyak institusi (untuk contoh lihat eGEP (2006), belum ada suatu konsensus tentang cara menilai hasil-hasil investasi dalam proyek-proyek e-government. Di satu sisi, merupakan kenyataan bahwa tidak semua hasil proses inovasi e-government yang telah dilaksanakan telah terlihat hasilnya. Sebaliknya, kompleksitas konsep e-government itu sendiri menyulitkan dalam menetapkan suatu sistem evaluasi yang dapat diterapkan pada semua bidang yang tercakup dalam konsep tersebut (e-Demokrasi, e-Administrasi, e-Servis).
Menurut definisi ini, e-government dapat dianggap sebagai proses inovasi Administrasi Publik untuk mencapai bentuk-bentuk inovatif dari pemerintahan dan penguasaan melalui penggunaan ICT. Dalam hakekat ini, evaluasi dari suatu sistem e-government harus diarahkan pada kapasitasnya dalam meningkatkan seluruh performa organisasi yang mengadopsinya. Konsep nilai publik memberikan suatu sudut pandang menarik untuk evaluasi performa Administrasi Publik (Kelly, Mulgan, Muers (2002)). Tujuan makalah ini adalah untuk menjelaskan suatu pendekatan terhadap evaluasi sistem-sistem egovernment berdasarkan pada suatu sudut pandang nilai publik yang berpusat pada warga negara dan berdasar peran. Suatu pendekatan semacam ini, yang dijelaskan dalam bab 2, dimana pola penerapan akan di deskripsikan dalam suatu model yang dapat digunakan bagi evalusi proyek-proyek untuk inklusi kotamadya-Kecamatan dalam penyebaran e-
Italian Action Plan mewajibkan Organisasiorganisasi Pemerintah Lokal Skala Kecil (kotamadya-kecamatan dengan penduduk kurang dari 5000 orang yang mewakili 72% dari kotamadya-kotamadya di Italia) untuk menetapkan perjanjian-perjanjian kerjasama untuk aktivasi Pusat-Pusat Pelayanan Lokal atau Local Service Centres (LSC), berdasarkan pada model kerja sama antar komunal. Dalam Bab 3, kami akan membahas model kerjasama antar komunal. Salah satu unsur yang paling penting bagi suatu kerjasama antar komunal adalah manajemen proses yang mengarah pada aktivasinya. Untuk mengurangi resiko kegagalan akibat rancangan kerja sama yang tidak akurat, kami akan menyajikan suatu model standar untuk definisi kerjasama antar komunal yang
Terakhir, dalam Bab 4, kami akan membahas suatu pendekatan yang berdasar pada nilai publik terhadap evaluasi proses definisi suatu kerja sama antar komunal untuk manajemen inovasi yang melibatkan SLGOs. Secara lebih spesifik, kami akan mempertimbangkan bagaimana evaluasi kerjasama dapat bergantung pada nilai publik seperti yang dirasakan oleh warga-warga yang memainkan peran secara langsung yang dilibatkan dalam definisi dan manajemen kerjasama.
2. e-Government dan Nilai Publik
Dalam pengertian luas, nilai publik mengarah pada nilai yang diciptakan oleh pemerintah lewat pelayanan-pelayanan, undang-undang, peraturan, dan tindakan-tindakan lain. Nilai publik memberikan suatu ukuran yang lebih luas daripada yang digunakan secara konvensional dalam literature manajemen publik baru, mencakup outcome atau hasil, alat-alat yang digunakan untuk menyampaikannya sebagaimana kepercayaan dan legitimasi. Nilai publik mencakup masalah-masalah seperti keadilan, etos atau jiwa suatu bangsa dan pertanggungjawaban (Kelly, Mulgan, Muers (2002)). Hubungan erat antara konsep nilai publik dan e-government telah ditunjukkan oleh Kearns (2004). Dalam suatu diskusi kritis tentang penekanan berlebihan yang diberikan terhadap pelayanan-pelayanan online sebagai unsur pusat unsur pusat dari sistem e-government, Kearns
Administrasi Publik ditujukan untuk menghasilkan nilai bagi para warga; dari perspektif ini, penggunaan ICTs untuk meningkatkan pemerintahan merupakan suatu alat untuk meningkatkan produksi nilai publik. Dengan demikian, suatu sistem e-government yang dihasilkan dari suatu proses inovasi teknologi dan organisasi secara tidak langsung dapat dievaluasi dengan peningkatan yang mungkin dari nilai publik yang diperoleh dari adopsi sistem tersebut. Karena e-government ditujukan untuk visi pemerintahan yang berpusat pada warga, demikian pula evaluasi suatu sistem e-government seperti yang dihasilkan nilai publik harus berdasarkan pada suatu pendekatan yang terpusat pada warga (Bannister (2002), Alford (2002)).
Dengan membahas nilai ICTs untuk Administrasi Publik, Bannister menggarisbawahi bahwa definisi nilai mencerminkan fakta bahwa para warga berinteraksi dengan Adminsitrasi Publik, oleh karena itu, dengan nilai publik, mereka memainkan peran-peran yang berbeda. Suatu klasifikasi yang mungkin dari peran-peran yang dilibatkan dalam produksi dan penggunaan nilai publik adalah sebagai berikut: 1. 2.
Warga layaknya sebagai warga: siapapun yang memiliki hak warga. Warga sebagai pembayar pajak: orang yang lewat pembayaran pajak, mereka membayar atau membiayai Administrasi Publik. 3. Warga sebagai pengguna/konsumen: orang yang “membeli” suatu pelayanan dari Administrasi Publik, yang dengan demikian memperoleh nilai pribadi (bagi dirinya sendiri). 4. Warga sebagai ahli waris: orang yang menerima suatu pelayanan dari Administrasi Publik tanpa harus membelinya. 5. Warga sebagai pengusaha: orang yang memperoleh keuntungan dari pelayanan Administrasi Publik sebagai subjek ekonomis. 6. Warga sebagai partisipan: orang yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan demokratis atau rumusan kebijakan. 7. Warga sebagai pembuat kebijakan: orang yang memainkan peranan pembuat kebijakan dalam Administrasi Publik. 8. Warga sebagai penyelenggara: orang yang bekerja untuk Administrasi Publik. 9. Warga sebagai agen delegasi: orang yang bekerja untuk atau atas nama Administrasi Publik tanpa menjadi seorang penyelenggara Administrasi Publik. 10. Warga sebagai supplier atau penyedia: orang yang sebagai subjek ekonomi, menyediakan barang dan jasa bagi Administrasi Publik.
Peran-peran ini berkaitan dengan beberapa cara interaksi antara warga dan Administrasi Publik. Beberapa dari cara ini menyangkut hubungan antara Administrasi Publik dan subjek-subjek yang bersifat eksternal: mereka berkaitan dengan peran-peran di mana para warga menerima suatu nilai dari Administrasi publik sebagai pengguna pelayanan atau partisipan dalam proses-proses demokratis (pengguna/konsumen, ahli waris, pengusaha, partisipan). Sebaliknya, cara-cara interaksi lain menyangkut hubunganhubungan internal: mereka menyangkut hubungan antara Administrasi Publik dan warga yang memainkan peran langsung atau tidak langsung dalam proses produksi nilai (pembuat kebijakan, penyelenggara dengan tanggung jawab manajerial, penyelenggara tanpa tanggung jawab manajerial). Dalam peran-peran ini, warga menerima suatu nilai publik dari Administrasi Publik (dalam hal penghargaan politis atau ekonomis). Meskipun demikian, karena peranperan ini bertanggung jawab pada tingkat-tingkat yang berbeda untuk menjalankan fungsi organisasi, maka mereka juga dapat menerima suatu nilai publik, sebagai contoh dalam hal menjalankan fungsi yang baik dari Administrasi Publik. Pada dua jenis peran ini kita dapat menambahkan peran ketiga, yang mencakup peran-peran eksternal pada Adminsitrasi Publik namun dilibatkan pada tingkat-tingkat yang berbeda dalam produksi nilai publik, seperti kasus Pemerintahan berbasis Network. Contoh dari peran-peran
Tabel 1 Sebuah model berbasis peran dari interaksi antara warga dan administrasi publik
3. Kerja Sama Antar Komunal
Dengan mengadaptasi definisi dari OECD (2003), egovernment sama dengan suatu proses reorganisasi Administrasi Publik untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya lewat penggunaan ICTs. SLGOs seringkali kekurangan sumber daya yang diperlukan bagi inovasi manajemen. Pembagian sumber daya dan kompetensi merupakan salah satu kemungkinan bagi SLGOs untuk mengolah proses-proses inovasi teknologi dan organisasi yang dibutuhkan bagi penerapan sistem-sistem e-government. Untuk alasan ini Action Plan untuk difusi e-government di Italia menyediakan dana khusus untuk SLGOs yang menetapkan perjanjian kerja sama untuk aktivasi Local Service Centres (LSCs) atau Pusat-Pusat Pelayanan Lokal berdasarkan pada model kerja sama antar komunal untuk syarat pelayanan. (CNIPA(2005)).
Seperti yang biasa terjadi dengan kerja sama antar komunal, aktivasi dari LSC dengan suatu kesatuan SLGOs merupakan suatu operasi yang kompleks, yang harus direncanakan secara teliti, jika tidak akan beresiko gagal. Mengingat hasil dari suatu proses kerja sama, aktivasi dari suatu LSC mensyaratkan (Castelnovo, Simonetta (2006b)): 1. 2. 3. 4.
Definisi tujuan-tujuan kerja sama Definisi fungsi-fungsi yang ditugaskan pada LSC; Definisi tingkat-tingkat tanggung jawab; Definisi hubungan antara LSC dan SLGO s yang melekat padanya. 5. Definisi kondisi-kondisi untuk perlengkapan dan manajemen sumber daya yang dibutuhkan bagi berjalannya fungsi LSC.
Dari sudut pandang yang berorientasi pada proses, semua pengoperasian ini dapat dianggap sebagai unsur pokok dari dua jenis proses, definisi khas dari suatu kerja sama antar komunal: Proses-proses penyusunan struktur yang menetapkan bentuk institusi dan organisasi kerja sama, dengan menetapkan struktur-struktur kontrolnya dan tingkat tanggung jawab. Proses-proses seleksi bidang-bidang kegiatan: proses-proses yang menentukan kegiatankegiatan yang merupakan objek-objek kerja sama, dan sebagai konsekuensinya, hubungan antara kerja sama antar komunal dan lingkungannya.
Gambar 1 merangkum proses-proses definisi dari suatu kerja sama antar komunal
DEFINISI KERJA SAMA ANTAR KOMUNAL
Proses-proses penyusunan struktur
Proses-proses seleksi bidangbidang kegiatan
Definisi bentuk institusional kerja sama
Seleksi bidang-bidang intervensi (proses primer vs. proses sekunder)
Definisi metode-metode di mana para partner dapat mengendalikan kerja sama
Definisi tingkat keadaan umum dari tingkat kegiatan yang dipindahkan pada kerja sama
Definisi-definisi tugas-tugas kewajiban dan tanggung jawab proses-proses yang merupakan objek kerja sama
Definisi tipologi atau bentuk kegiatan Definisi hubungan-hubungan dengan lingkungan
Definisi suatu kerja sama antar komunal antara SLGOs bertujuan untuk mencapai hasil-hasil yang lebih baik dari hasil-hasil yang dapat dicapai para anggota secara perseorangan. Dari sudut pandang nilai publik, ini berarti bahwa suatu jaringan kerja sama diharapkan akan menghasilkan lebih banyak nilai bagi para warga daripada yang dapat dihasilkan setiap anggota secara perseorangan. Dalam suatu pendekatan berbasis peran kita dapat memandang nilai ini dari perspektifperspektif yang berbeda, setidaknya sebanyak peran yang dijelaskan dalam tabel 1. Dalam memainkan peran-peran gabungan atau ganda, sebagai akibatnya, warga merupakan pihak berkepentingan ganda.
Prosesnya yang menurut gambar 1 menentukan suatu kerja sama antar komunal yang menentukan kondisi-kondisi untuk suatu manajemen kerja sama yang efektif dan efisien. Proses-proses semacam ini tidak memiliki pengaruh langsung pada nilai yang dirasakan oleh warga, karena mereka memiliki peran-peran eksternal. Bagi para pihak berkepentingan eksternal, proses-proses itu bersifat signifikan karena suatu definisi yang bagus dari kerjasama dapat menjamin kondisi operasional yang lebih baik bagi pengiriman pelayanan, dan mungkin saja, suatu jajaran penyediaan pelayanan yang lebih luas. Sebenarnya, dari sudut pandang para pihak berkepentingan eksternal, objek evaluasi harus merupakan hasil-hasil proses definisi, dan bukannya proses-proses itu sendiri.
Namun demikian, jika kerja sama mencapai tujuan menghasilkan nilai yang dirasakan oleh para pihak berkepentingan eksternal semacam ini, stabilitas dan kesinambungannya dalam waktu dapat dipertanyakan karena tidak adanya suatu kesamaan persepsi nilai oleh orang-orang yang memiliki peran-peran yang bersifat mengatur (pembuat kebijakan) atau peranperan manajerial (manajemen) dalam jaringan kerja sama. Kemungkinan evaluasi-evaluasi yang bertentangan oleh pihak berkepentingan internal dan eksternal mengakibatkan perlunya menunjuk elemenelemen yang dapat menentukan persepsi nilai juga bagi para pihak berkepentingan internal. Jika stabilitas kerja sama dianggap sebagai suatu elemen yang dapat menghasilkan nilai, maka evaluasi kerja sama dari sudut pandang nilai yang dirasakan oleh para pihak berkepentingan eksternal harus terkait pada evaluasinya dari sudut pandang yang dirasakan oleh para pihak berkepentingan internal.
Bagi para pemegang saham eksternal, evaluasi dari suatu kerja sama antar komunal tergantung secara eksklusif pada hasil-hasil yang dapat dicapainya, sedangkan untuk pihak berkepentingan internal merupakan hal yang penting pula melihat caranya disusun dan dikelola. Dari sudut pandang ini, bagi para pihak berkepentingan internal, nilai yang dihasilkan oleh suatu kerja sama antar komunal juga tergantung pada kualitas proses-proses definisinya. Tabel 2 menghubungkan proses-proses definisi dari suatu kerja sama antar komunal terhadap pihak berkepentingan internal yang terlibat di dalamnya. Keterlibatan pihak berkepentingan ditentukan dengan mempertimbangkan dua elemen: Partisipasi langsung dalam proses-proses penetapan kerja sama (sebagai contoh, pilihan bentuk institusional dari kerjasama secara eksklusif terserah pada pembuat kebijakan) Konsekuensi beberapa pilihan yang dibuat selama prosesproses definisi jatuh di atas suatu pihak berkepentingan tertentu (sebagai contoh, menentukan suatu bentuk kegiatan tertentu untuk kerja sama memiliki beberapa konsekuensi pada kegiatan para penyelenggara)
Tabel 2: Peran-peran yang dilibatkan dalam definisi kerja sama antar komunal
4. Nilai bagi para pihak berkepentingan internal
Kelly, Mulgan, Muers (2002) mengidentifikasi tiga sumber nilai publik bagi warga: pelayanan, hasil, dan kepercayaan. Pelayanan, hasil, dan kepercayaan dapat dianggap sebagai elemen-elemen yang menghasilkan nilai juga sebagai pertimbangan pihak berkepentingan internal yang terlibat dalam definisi dan manajemen suatu kerja sama antar komunal. Berdasarkan pada konsep-konsep ini, dalam seksi ini kami akan menggambarkan beberapa elemen yang dapat menghasilkan suatu nilai publik bagi para anggota kerja sama. Elemen-elemen semacam ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kerja sama dari sudut pandang nilai yang dirasakan oleh para anggotanya. Hubungan antara nilai publik dan pihak berkepentingan internal dapat dipertimbangkan dari dua sudut pandang: Evaluasi suatu kerjasama antar komunal yang eksis yang ditentukan melalui proses-proses seperti yang digambarkan dalam bab 3, Definisi suatu kerjasama antar komunal yang baru melalui proses-proses seperti yang digambarkan dalam bab 3.
Dua sudut pandang ini secara jelas berkaitan: menetapkan dari tahap definisi elemen-elemen mana bagi evaluasi kegiatan jaringan merupakan suatu cara mengurangi resiko konflik di masa mendatang yang mungkin terjadi antar partner. Menghasilkan nilai publik bagi warga lewat pelayanan-pelayanan tergantung pada tingkat kualitas yang disampaikan oleh Administrasi Publik. Kelly, Mulgan, Muers (2002) menetapkan kualitas pelayanan dalam hal: 1. 2. 3. 4. 5.
Ketersediaan pelayanan Tingkat kepuasan terhadap pelayanan Manfaat pelayanan yang ditawarkan Kejujuran syarat pelayanan Biaya
Pelayanan-pelayanan yang disampaikan pada warga oleh kerja sama atas nama para anggotanya dapat menyerupai banyak hal (semua pelayanan yang ditentukan selama tahap penentuan atau definisi melalui proses-proses seleksi bidang kegiatan). Sebaliknya, hanya ada satu pelayanan yang disampaikan secara langsung oleh kerja sama terhadap para anggotanya: produksi dan persediaan, untuk kepentingan pelayanan terhadap warga. Perlengkapan ketersediaan, kepuasan, manfaat, kejujuran dan biaya selanjutnya dapat diarahkan pada persepsi nilai oleh pihak berkepentingan internal yang berinteraksi dengan kerja sama. Tabel 3 menggambrakan perlengkapanperlengkapan ini dan menunjukkan beberapa elemen bagi evaluasi mereka.
Tabel 3: Evaluasi elemen-elemen dan indikator-indikator umum yang terkait
Dalam tingkatan definisi kerja sama antar komunal, perlengkapan ketersediaan, kepuasan, dan kejujuran dapat ditentukan dalam hubungannya dengan prosesproses seleksi bidang-bidang kegiatan dan definisi cara-cara di mana para anggota perseorangan dapat mengontrol kegiatan jaringan kerja sama. Dalam keadaan tertentu, perlengkapan-perlengkapan ketersediaan dan kepuasan dapat ditetapkan melalui adopsi perjanjian-perjanjian tingkat pelayanan yang sesuai, sedangkan perlengkapan kejujuran dapat dijamin melalui kontrol langsung atau tidak langsung yang digunakan para anggota perseorangan pada kerja sama. Perlengkapan yang terkait dengan biaya dapat dievaluasi, malahan, atas pertimbangan penentuan jumlah, para partner tunggal harus membayar untuk berfungsinya kerja sama. Dalam hal umum, hasil evaluasi kegiatan suatu institusi menyangkut evaluasi dampak tindakannya dengan referensi pada kebutuhan dan harapan warga.
Dari sudut pandang ini, suatu pendekatan berbasis peran dan juga hasil dapat ditetapkan dengan referensi peran-peran berbeda yang dapat dimiliki seorang warga. Evaluasi pemerintah sebagai pertimbangan mencapai hasil-hail yang diinginkan tampaknya hanya membutuhkan adopsi suatu visi yang difokuskan pada para pihak berkepentingan eksternal, karena ini menyangkut semua dampak kebijakan terhadap lingkungan. Namun demikian, dalam suatu makna konsep lingkungan yang lebih luas, lingkungan bagi suatu kerja sama antar komunal juga mencakup konsep lingkungan menurut konstitusi, yang dimaksudkan sebagai sistem Administrasi Publik lokal dan global. Dari sudut pandang ini, evaluasi hasil-hasil yang dicapai oleh suatu kerja sama antar komunal juga dapat dilaksanakan dengan referensi pada dampak-dampak yang dapat dimiliki kegiatannya pada lingkungan menurut konstitusinya.
Evaluasi ini mensyaratkan adopsi suatu susut pandang berbasis pihak berkepentingan internal. Dalam hal-hal ini, evaluasi kerja sama antar komunal mengenai hasil-hasil yang secara umum dapat menghasilkan nilai bagi pihak berkepentingan internal dapat dilaksanakan dengan pertimbangan kondisi-kondisi yang mencirikan kualitas suatu sistem lokal dari Administrasi Publik. Dalam keadaan tertentu, suatu jaringan kerja sama dari SLGOs dapat dievaluasi dengan referensi kemampuan kerja sama untuk meningkatkan:
Tingkat integrasi kebijakan dalam area-area teritorial yang homogen;
Kemampuan untuk berinvestasi dalam bentuk barang yang tidak diperoleh dapat secara perseorangan dengan administrasi-administrasi perseorangan.
Penyederhanaan organisasi dan operasional dari institusi tunggal yang membentuk jaringan;
Kekuatan yang berkaitan dengan kontrak dengan referensi pada para supplier dan administrasi-administrasi lain.
Kemampuan untuk memelihara hubungan-hubungan kerja sama dengan administrasi-administrasi, para supplier dan asosiasi-asosiasi lain;
Kemampuan untuk memainkan suatu peranan regulasi dalam sistem Pemerintahan yang berbasis Online, di mana organisasi-organisasi yang tidak masuk dalam sektor publik dalam dilibatkan dalam proses generasi nilai publik (Castelnovo, Simonetta(2006a)).
Kepercayaan merupakan sumber nilai ketiga yang dijelaskan dalam Kelly, Mulgan, Muers (2002) dan mewakili suatu elemen penting bagi evaluasi kegiatan pemerintah; sebenarnya bahkan jika pelayanan-pelayanan dan target-target hasil dipenuhi, suatu kegagalan kepercayaan akan secara efektif merusak nilai publik. Dari sudut pandang ini, antara kepercayaan dan nilai publik tidak hanya memiliki suatu hubungan positif (tingkat kepercayaan yang tinggi dalam pemerintahan meningkatkan persepsi nilai publik yang dihasilkan). Dampak kepercayaan juga bisa berbentuk negatif: tidak adanya kepercayaan cenderung mengalihkan aspekaspek positif yang terkait dengan kualitas pelayanan dan pencapaian hasil. Dampak negatif yang potensial dari kepercayaan pada persepsi nilai bahkan lebih jelas jika nilai ditinjau dari perspektif pihak berkepentingan internal. Dalam suatu kerja sama antar komunal, tidak adanya kepercayaan antar anggota jaringan dapat mengarah pada gangguan kerja sama. Juga dalam kasus hasil-hasil yang terkait dengan kualitas pelayanan yang disediakan bagi warga dievaluasi dalam suatu cara positif. Kepercayaan antar anggota dapat dimaksudkan baik sebagai kondisi yang memenuhi syarat bagi kemungkinan itu sendiri untuk mengaktifkan suatu kerja sama antar komunal, dan sebagai elemen yang diperkuat oleh pengalaman positif, dapat menjamin stabilitas terhadap jaringan dengan meningkatkan rasa keanggotaan partnerpartnernya.
Terdapat literature yang luas tentang subjek kepercayaan antar partner dalam suatu jaringan kerja sama. Dalam makalah ini kami tidak bertujuan untuk membicarakan definisi khusus dari kepercayaan, tetapi kami akan membahas bahwa tingkat kepercayaan partner terhadap kerja sama dapat diukur secara tidak langsung dengan memperhatikan tingkat integrasi mereka dalam jaringan. Pada kenyataannya, semakin tinggi tingkat kepercayaan terhadap kerja sama, semakin besar kemauan partner untuk menyatu dengan jaringan. Serupa dengan ini, meraih tingkat integrasi yang erat dapat menentukan peningkatan kepercayaan partner terhadap jaringan melalui bentukbentuk kolaborasi yang semakin aktif. Dalam suatu jaringan partner di mana terdapat keinginan untuk mempertahankan otonomi, integrasi dapat dicapai dengan menentukan tingkat kemampuan beroperasi antar partner, terutama kemampuan beroperasi secara organisasi, atau kemampuan bekerja sama (Gompert, Nerlich (2002), Castelnovo, Simonetta (2006b)).
Clark, Jones (1999) menggambarkan empat perlengkapan yang merangkum aspek-aspek yang mencirikan kolaborasi antar organisasi: 1. Keadaan siap siaga: perlengkapan ini menggambarkan kesiapan organisasi untuk beroperasi antar partner. 2. Pemahaman: perlengkapan pemahaman mengukur banyaknya komunikasi dan berbagi pengetahuan dan informasi dalam organisasi dan bagaimana informasi digunakan. 3. Gaya memberi perintah: ini merupakan perlengkapan yang menggambarkan manajemen gaya memerintah suatu organisasi – bagaimana keputusan dibuat dan bagaimana peran-peran dan tangung jawab dialokasikan atau diserahkan. 4. Etos: perlengkapan etos menyangkut tentang sistem nilai dan budaya organisasi serta tujuan dan aspirasinya.
Perlengkapan-perlengkapan yang disebutkan oleh Clark dan Jones menggambarkan tingkat-tingkat yang berbeda dari kemampuan bekerja sama, yang dicirikan oleh suatu pertumbuhan tingkat integrasi antar partner.
Selama tahap definisi dari suatu kerja sama antar komunal, tingkat integrasi jaringan dapat ditentukan melalui proses-proses penyusunan struktur. Hal ini dapat dibuat dengan dua tujuan berbeda. Di satu sisi, tingkat integrasi antar anggota jaringan dapat ditentukan secara sederhana dengan membuktikan kondisi-kondisi terbaru dari keadaan siap siaga, Pemahaman, Gaya Memerintah, dan Etos yang mencirikan partner-partner potensial, agar tidak menghadapi kondisi integrasi yang tidak memungkinkan untuk bertahan. Di sisi lain, terpisah dari kondisi-kondisi yang mencirikan partner-partner tunggal sebelum definisi kerja sama, proses-proses penyusunan struktur dapat menentukan suatu tingkat integrasi tertentu sebagai suatu tujuan yang dapat dicapai.
Dalam kasus ini, definisi tingkat integrasi akan digabungkan dengan individuasi proses-proses organisasi, yang mana sekali dilaksanakan, akan membawa pada tingkat integrasi yang diinginkan. Dalam evaluasi kerja sama antar komunal, menguji kondisi-kondisi keadaan siap siaga, pemahaman, gaya Memerintah, dan Etos dapat bermanfaat untuk memperkenalkan tingkat integrasi yang mencirikan jaringan pada saat itu. Karena integrasi antar partner sangat terkait dengan tingkat kepercayaan terhadap jaringan oleh subjek0subjek yang terlibat dalam evaluasinya (pembuat kebijakan dan para manajer sebagai pihak berkepentingan), menguji subsistensi kondisi integrasi; atau menguji kekuatan mereka, merupakan suatu indikasi tentang nilai yang ditentukan oleh kegiatan
Tabel 4: Rangkuman model referensi kemampuan beroperasi antar partner secara organisasi (Clark, Jones (1999))
5. Kesimpulan Dalam makalah ini kita telah menggarisbawahi aspek-aspek umum dari suatu pendekatan terhadap evaluasi kerja sama antar komunal yang berbasis pada visi konsep nilai publik yang terpusat pada warga dan berbasis peran. Adopsi perspektif memungkinkan untuk menyaring deskripsi nilai publik dan untuk menyatukan proses evaluasi dan juga sudut pandang yang pada umumnya tidak dianggap penting. Dalam seksi 2 kami telah memperkenalkan beberapa peran yang dapat dipertimbangkan dalam definisi suatu pendekatan berbasis peran terhadap konsep nilai publik dan yang berkaitan dengan beberapa cara interaksi antara warga dengan Administrasi Publik. Beberapa dari cara ini menyangkut tentang warga yang memainkan suatu peran langsung atau tidak langsung dalam proses produksi nilai (pembuat kebijakan, penyelenggara dengan tanggung jawab manajerial, penyelenggara tanpa tanggung jawab manajerial). Bahkan memelihara suatu pendekatan yang terpusat pada warga, dengan memperhatikan peran-peran ini, merupakan hal yang mungkin untuk menentukan secara relevan dalam perspektif nilai publik dan juga sudut pandang, para warga dapat mengadopsinya karena mereka memainkan peran yang internal terhadap Administrasi Publik. Dalam Bab 3, peran internal telah terkait dengan beberapa kegiatan yang relevan bagi definisi dan manajemen bentuk-bentuk yang berbeda dari kerja sama antar komunal bagi syarat pelayanan (berdasarkan pada analisis konteks Pemerintah Lokal di Italia).
Akhirnya dalam bab 4, kami membahas beberapa elemen evaluasi yang terkait dengan tiga area kualitas pelayanan, evaluasi hasil, dan peningkatan kepercayaan, yang pada umumnya dianggap menjadi tiga sumber Nilai Publik. Dalam seksi ini, kualitas pelayanan, hasil-hasil atau outcome, dan kepercayaan telah diperhatikan dari sudut pandang peran-peran internal yang terlibat dalam definisi dan manajemen suatu kerja sama antar komunal. Ini membentuk dasar suatu model untuk evaluasi kerja sama berbasis nilai yang dirasakan oleh para anggotanya. Pendekatan yang dijelaskan dalam makalah ini merupakan pendekatan yang umum dan dapat digunakan untuk mengevaluasi bentuk kerja sama antar komunal apa saja bagi syarat pelayanan. Italian Action Plan atau Rencana Tindakan Pemerintah Italia bagi inklusi kotamadyakotamadya kecil dalam penyebaran pemerintahan berbasis online mengasumsikan model kerja sama antar komunal karena model SLGOs dapat mengambil jalan untuk mengelola proses-proses inovasi teknologi dan organisasi yang disyaratkan oleh E-government. Dari sudut pandang ini, pendekatan evaluasi yang digambarkan dalam masalah ini juga dapat diterapkan pada evaluasi proyek-proyek Egovernment yang melibatkanSLGOs.