MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM
METODOLOGI STUDI TASAWUF
TASAWUF IMAM GHAZALI DI SUSUN OLEH : REZY FONANDA (150701124)
FAKULTAS SAINTEK JURUSAN ARSITEKTUR UIN AR-RANIRY
DAFTAR ISI Daftar Isi..................................................................................... ...........i Pendahuluan..................................................................1 1.1 Latar Belakang......................................................1 1.2 Rumusan Masalah.................................................1 1.3 Tujuan...................................................................1 Pembahasan..................................................................2 2.1
Pengertian Metodologi........................................2
2.2
Pengertian Ilmu Tasawuf.....................................2
2.3
Metode Ilmu Tasawuf..........................................3
2.4
Model Penelitian Tasawuf....................................4
2.5
tasawuf Imam Ghazali........................................5 a. riwayat Imam Ghazali..................................5-6 b.pemikiran tasawuf Imam Ghazali.................7-9 c.pandangan Imam Ghazali tentang syariat.....10
Kesimpulan..................................................................11 DaftarPustaka.................................................................. ....................12
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Tasawuf merupakan aliran dalam islam yang lebih mengutamakan soal-soal keperibadatan dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Menurut ajaran tasawuf manusia hidup di dunia ini hanyalah untuk melaksanakan peribadatan pada Allah dan berusaha mendekatkan diri padanya. Kecenderungan untuk dekat dengan Tuhan pada hakikatnya sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang membutuhkan ketenangan dan kebahagiaa, baik jasmani maupun rohani. Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dengan Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada dihadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk Ijtihad (bersatu) dengan Tuhan. Untuk mengakaji lebih dalam lagi tentang metodelogi, tujuan dan manfaat dalam ilmu tasawuf. Maka disusunlah makalah yang berjudul metode, tujuan dan manfaat dalam studi tasawuf. 1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Pengertian metodologi ?
1.2.2
Pengertian tasawuf ?
1.2.3
Bagaimana metode dalam studi tasawuf ?
1.2.4
Apa saja kah model studi tasawuf ?
1.2.5 tasawuf imam ghazali ? 1.2.6 Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali ? 1.2.7 Pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali ? 1.2.8 Pandangan Imam Al-Ghazali Tentang Syari’at ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk memahami metode dalam studi tasawuf.
1.3.2
Untuk mengetahui dan memahamitasawuf Imam Ghazali BAB II
2.1
PEMBAHASAN
2.1.1 Pengertian Metodologi Metodologi adalah ilmu-ilmu/cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji. Metodologi tersusun dari cara-cara yang terstruktur untuk memperoleh ilmu. Metodelogi penelitian dapat dilakukan dengan dua cara, yakni metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metodologi berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan "logos," kata metodos terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. logos artinya ilmu. Ilmu terdiri atas empat prinsip: keteraturan (orde), sebab-musabab (determinisme), kesederhanaan (parsimoni), pengalaman yang dapat diamati (empirisme) 2.1.2
Pengertian Ilmu Tasawuf
Istilah "tasawuf" yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Allah agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, dan mempunyai hubungan dengan filsafat, ilmu kalam, dan ilmu jiwa agama. Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari Tuhan. Tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang atau bagaimana cara kita mendekatkan diri kepada tuhan, tanpa adanya paksaan yang dating dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Jadi kesimpulannya, metodologi ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara kita untuk lebih dekat dengan Tuhan atau membuat rohani lebih bersih.
2.1.3 Metode Ilmu Tasawuf Adapun metode-metode Tasawuf jika dilihat dari pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya menjadi tiga macam, yaitu: 1. Tasawuf aqidah Yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (halhal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Syurga, dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka Tasawuf Aqidah berusaha melukiskan Ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satusatunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan zikir tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-‘Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamatNya (sifat-sifat-Nya). 2. Tasawuf ibadah Yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1.
Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama.
2.
Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua.
3. Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga. Jika tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’). Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan: 1.
Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis.
2.
Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa.
3.
Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.
4. Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di luar Allah SWT. Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir. 3. Tasawuf akhlaqi Yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain: *Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya yang buruk, sehingga ia menyesali perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik. *Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya; *Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya. *Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan. *Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat menunjuknunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan. 2.1.4 Model Penelitian Tasawuf a)
Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah, termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang”. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Ia bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf. b)
Model Mustafa Zahri
Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menyajikan tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah. c)
Model Kautsar Azhari Noor
Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul,
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya, berbeda dengan sifat manusia.
d)
Model Harun Nasution
Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalan garis besarnya saja. e)
Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan tasawuf, tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf. 2.1.5 Tasawuf Imam Ghazali A.
Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan sebutan Al-Gazel, lahir pada tanggal 17 Jumadil Awal tahun 450 Hijriah (1058 Masehi) di kota Thusi (Iran), memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad, adalah seorang ahli sains sekaligus ulama’ besar, tokoh tashawwuf terkemuka yang sangat terkenal, yang berhasil menyusun gagasan tashawwuf yang menciptakan kompromi antara syari’at dan hakikat atau tashawwuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I ataupun lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya besarnya yang amat terkenal, kitab, “Ihya’ ‘Ulumuddin”. Ayah beliau seorang fakir yang shalih, pengrajin kain shuf (kulit domba), selalu berkeliling mengujungi ahli fikih dan majelis ceramah nasihat dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya dan selalu berdoa diberi anak yang faqih dan ahli dalam ceramah nasihat. Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan ;“Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.” Setelahayahnya meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya ilmu sehingga habis harta peninggalan yang sedikit tersebut, Ia dan adiknya disarankan belajar pada sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka (465 H). Imam Al-Ghazali belajar fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di Thusi, kemudian pergi ke Jurjan belajar kepadaImam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat, selanjutnya pergi ke kota Naisabur berguru pada Imam Haramain Al Juwaini, sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat yang membuat kagum gurunya, Al Juwaini. Setelah Al Juwaini meninggal, ia pergi ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik, tempat berkumpul para ahli ilmu, menantang debat para ulama dan mengalahkan mereka, hingga Nidzamul Malik mengangkatnya jadi pengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad(484 H), disinilah beliau berkembang, mencapai kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi terkenal. Namun kedudukan dan ketinggian jabatantidak membuatnya congkak dan cinta dunia, dalam jiwanya berkecamuk perang bathin yang membuatnya senang menekuni ilmuilmu kezuhudan, la mengangkat saudaranya Ahmad sebagai penggantinya, lalu meninggalkan Bagdad, kemudian pergi naik haji ke tanah suci Mekah (488 H). Tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus, menziarahi Baitul Maqdis, kemudian kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah), tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar, melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau diminta tinggal di Naisabur untuk mengajar di madrasah An Nidzamiyah, beberapa tahun kemudian pulang ke negerinya mendirikan satu madrasah dan asrama untuk orang-orang shufi di samping rumahnya. Pada masa akhir hidupnya Imam Al-Ghazali menghabiskan waktunya mengajar para penuntut ilmu, beribadah, mengkhatam Al-Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, kembali mempelajari hadits sampai meninggal dunia. Berkata Imam Adz Dzahabi ; “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.” Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya) ; Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu
Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya, lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata ; “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).Beliau wafat di kota Thusi, hari Senin, 14 Jumada Akhir tahun 505 H, dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran. B. Suasana Pemikiran Imam Al-Ghozali
Dalam pemikiran al-ghazali mempunyai kaitan yang erat dari segi historis dengan pemikiran para pendahulunya, yang dinyatakan sendiri di dalam al-munqidz min al-dhalal dan diperoleh melalui isyaratnya di dalam tahafut al-falasifat. Di dalam bukunya al-munqidz min al-dhalal, al-ghazali secara eksplisit menyebut sumber-sumber pengetahuannya tentang tasawuf, yaitu buku-buku abu thalib al-maliki, al-muhasibi, dan pengalaman-pengalaman para sufi lainnya seperti al-junaidi al-baghdadi, al-syibli, dan abu yazid al-bushtami. Beliau hidup ketika pemikiran di dunia islam berada pada tingkat perkembangan yang tinggi. Dimana banyak bermunculan aliran-aliran terutama di bidang teolog. Setiap aliran menurut al-ghazali, mengklaim kebenaran pada dirinya, yang dengan sendirinya menempatkan aliran lain pada kedudukan yang tidak benar. Ada anggapan bahwa tasawuf adalah sebagaia bagian dari pemahaman yang muncul akibat perkenalan ummat islam dengan kebudayaan asing yang cenderung memiliki unsur mistik. Pandangan lain menganggap tasawuf sebagai sistem yan tg murni islami. Namun dalanm kenyataannya, kecenderungan kearah mistik timbul di kalangan sebagian masyarakat islam ketika penguaasa dianggap tidak lagi mencerminkan kesederhanaan hidup dan akhlak yang ada pada masa nabi. Usaha para sufi adalah mempertajam daya al-dzawq dengan membersihkan diri dari dorongan-dorongan duniawi untuk dapat bersatu dengan hakikat yang mutlak, tuhan. Persatuan dengan tuhan akan menyingkap segala rahasia dan hakikat-hakikat. Dalam pemikiran ummat isalam pada masa al-ghazali terdapat empat pemahaman yang secara umum mewarnai suasana pemikiran mereka, yaitu dari sistem pemahaman ilmu kalam, bathiniyyat, filsafat dan tasawuf. Keragaman sistem pemahaman ini disertai dengan kecenderungan monolitik melihat kebenaran. Hal ini jelas turut mempertajam batas antara sistem yang satu dengan sistem yang lain. Dari sudut yang lain, keadaan ini memperbesar kemungkinan munculnya kebingungan di kalangan sebagian masyarakat awam.
C. Sumber Pemikiran Imam Al-Ghazali Sebagai seorang muslim, al-ghazali senantiasa mendasari pandangan-pandangannya pada alqur’an al-karim dan hadits, baik secara langsung maupun tidak. Seperti pemikir-pemikir muslim lainnya, pendasaran pemikirannya kepada al-qur’an dan hadits, terlihat lebih banyak tidak bersifat langsung, khusus yang berkaitan dengan konsep manusia. Artinya, ketika berhadapan dengan teks-teks al-qur’an dan hadits tidak dalam keadaan kosong. Di dalam dirinya kecenderungan dan pikiran-pikiran dasar yang selanjutnya mempengaruhi pemahamannya terhadap teks-teks al-qur’an dan hadits. Kecenderungan dan pikiran dasar itu,
pada prinsipnya adalah milik yang menjadi ciri khas pemikirannya. Namun demikian tidak berarti bahwa ia terlepas dari pemikiran-pemikiran yang ada sebelum atau yang berkembang pada masanya. Pandangannya yang lain berasal dari filsafat yunani--melalui filosof-filosof islam—tentang pokok-pokok keutamaan (ummahat al-fadha’il). Sumber lain yang turut memberikan sumbangan kepada pemikirannya adalah pandangan dan pengalaman para sufi. Pandangan tasawuf yang paling utama tampak pada al-ghazali adalah penempatan al-dzawq diatas akal yang diikuti sikapnya yang memperkecil arti kehidupan dunia bagi manusia dalam upaya mencapai kesempuranaan diri. Pandangannya yang lain bersumber dari para filosof adalah logika dan etika. Di dalam al-muqidz, ia menyatakan bahwa logika termasuk didalam kelompok ilmu yang semestinya tidak diingkari, sebab, tidak ada hubungannya dengan dasardasar keimanan. Sikapnya tehadap logika, pada dasarnya sama dengan sikapnya terhadap etika, yang meliputi bahasan pada sifat-sifat jiwa, akhlak, jenis-jenis dan pembagian, serta cara memperbaiki dan menyempurnakannya. Dari berbagai sumber yang disebutkan, tampaknya, pikiran-pikiran al-ghazali terbentuk. Betapapun ia menentang para filosof dalam tahafut al-falasifah, ia tetap banyak mengambil pandangan-pandangan mereka, terutama yang menyangkut jiwa, hakikat manusia. Dari tasawuf, ia banyak banyak mengambil cara pendekatan diri kepada tuhan, yang sekaligus merupakan tujuan hidup. Dari ilmu kalam asy-‘ariyah ia mengambil pandangan tentang kekuasaan mutlak tuhan.
D. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali Di dalam hal ilmu tasawuf al-ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan al-qur’an dan sunnah nabi ditambah dengan doktrin ahlus sunnah wal jamaah. Dari faham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof islam, sekte ismailiyah, aliran syiah, ikhwan as-shafa, dan lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari faham ketuhanan aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf al-ghazali benar-benar bercorak islam dan termasuk kedalam tokoh tasawuf akhlaqi. Corak tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dalam karya-karyanya, seperti ihya’ ulum al-din, minhaj al-‘abidin, mizan al-amal, bidayah al-hidayah, mi’raj al-salikin, ayyuhal walad. Dalam tasawuf, cara yang ditempuh untuk menemukan hakikat, menurut al-ghazali, terdiri atas dua tahap, yaitu ilmu dan amal, ilmu yang dimaksud disini adalah pengetahuan tentang konsep dan langkahlangkah yang harus ditempuh dalam tasawuf, seperti zuhud, faqr, tawakkul, mahabat, ma’rifat, dan sebagainya. Selain itu diharuskan pula mengetahui syari’at, ilmu ‘aqliyyat keimanan yang kuat terhadap tiga dasar keimanan. Yang dimaksud dengan amal adalah mengalami secara langsung konsep dan langkahlangkah yang harus dilalui tadi, ilmu dan amal harus menyatu. Kelihatannya al-ghazali menganggap bahwa pada sistem pemahaman lainnya ada keterpisahan antara ilmu dan amal, khususnya pada filsafat dan ilmu kalam. Kesan ini terlihat pada pernyataan al-ghazali bahwa para sufi adalah arbab al-ahwal (orang-orang yang memiliki pengalaman langsung), bukan ashab al-aqwal (orang-orang yang hanya berbicara). Ketika ia menguji tasawuf, pada dasarnya ia tidak menghadapi persoalan tentang validitas sumber pengetahuan yang digunakan tasawuf, sebab sebelumnya ia telah yakin adanya intuisi (al-dzawq) sebagai
.sumber pengetahuan diatas akal. Yang menjadi persoalan adalah penyelesaian konflik bathin antara memasuki pengalaman tasawuf dan mempertahankan kedudukan dan fasilitas kehidupan duniawinya.
Menurut al-ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain allah dan selalu mengingat allah. Al-ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa syathahat mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan tuhan, dan menyatakan bahwa allah dapat disaksikan. Kedua, syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri. Dengan demikian ia menolak tasawuf dan filsafat meskipun ia mau memaafkan al-hallaj dan yazid al-bushtami. Al-ghazali sangat menolak paham hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada allah (taqarrub ila allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-nya. Ma’rifat menurut versi al-ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Oleh karena itu, al-ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia islam. Dialah yang mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu kalam, yang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan. Al-ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk mengolah rasa dan jiwa sehingga sampai kepada ma’rifat yang membantu menciptakan sa’adah.
1. pandangan al-ghazali tentang ma’rifat Menurut al-ghazali, sebagaimana dijelaskan oleh harun nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia allah dan mengetahui peraturan-peraturan tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Selanjutnya, harun nasution juga menjelaskan pendapat alghazali yang dikutip dari al-qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya tuhan, qalb akan mengetahui rahasia-rahasia tuhan dengan sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah, ketiganya akan menerima iluminasi (kasyf) dari allah. Pada waktu itu pulalah, allah menmurunkan cahaya-nya kepada sufi sehingga yang terlihat sang sufi hanylah allah. Disini, sampailah ia ke tingkat makrifat. Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab. Ringkasnya, ma’rifat menurut al-ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat ulama/mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawas auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari allah sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara nabi dan wali. Namun keduanya sama-sama memperoleh ilmu melalui allah.
2. pandangan al-ghazali tentang as-sa’adah Menurut al-ghazali
kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi dan melihat allah. Di dalam kitab kimiya’ as’adah, ia menjelaskan bahwa as-sa’adah atau (kebahagian) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaan-nya. Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat allah. Melihat allah merupakan kenikmatan agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia.
Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan lainnya. Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang.
KESIMPULAN
Adapun metode metode Tasawuf jika diliat dari pembagian Tasawuf yang ditinjau dari lingkup materi pembahasannya menjadi tiga macam, yaitu: a.
Tasawuf Aqidah
Yaitu ruang lingkup pembicaraan Tasawuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (halhal yang ghaib), yang unsur-unsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Syurga, Neraka dan sebagainya. b.
Tasawuf Ibadah
Yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. c.
Tasawuf Akhlaqi
Yaitu Tasawuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. B. Manfaat mempelajari tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan abadi. C. Secara garis besar tujuan tasawuf adalah ma’rifatullah (mengenal Allah secara mutlak dan lebih jelas. Tasawuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada Allah. Namun taswuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas diatur oleh AlQur’an dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman ataupun tata cara yang dilakukan. D. al-ghazali adalah seorang tokoh tasawuf akhlaki yang sangat besar jasanya dalam mengembangkan ilmu tasawuf dan sebagai pembela bagi umat islam pada zamannya. Dari seluruh pandangannya yang telah banyak diuraikan oleh para penulis dan pada pembahasan ini, kelihatan bahwa orisinalitas al-ghazali yang sesungguhnya terletak pada penggabungan dari berbegai pemikiran yang tidak lepas dari pengaruh-pengaruh pemahaman yang berasal dari ilmu kalam (asy’ariyah) dengan syara’, filsafat, bathiniyyat, dan tasawuf, yang menjadikan satu system tersendiri.