Panduan Teori Peserta Workshop Pit Idi Kuningan 2019.docx

  • Uploaded by: Ayu Wahyuni
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Panduan Teori Peserta Workshop Pit Idi Kuningan 2019.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,327
  • Pages: 8
PANDUAN TEORI PESERTA WORKSHOP PIT IDI KUNINGAN 2019

MODUL EPISTAKSIS

M. MATERI BAKU ANATOMI Hidung menerima suplai darah dari cabang a. karotis interna dan eksterna. Rongga hidung (kavum nasi) dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu kavum nasi anterior, posterior dan superior.1,2 Kebanyakan epistaksis berasal dari antero-inferior septum nasi yang dikenal dengan Little’s area, yang disuplai oleh pleksus Kiesselbach (gambar 1). Pleksus ini merupakan anastomosis dari tiga arteri terminal yaitu a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior serta a. palatina mayor.1-3 Kavum nasi bagian posterior disuplai oleh a. sfenopalatina, a. palatina desenden dan kontribusi kecil dari a. etmoid posterior.1,2 a.etmoid anterior

a. etmoid posterior a.sfenopalatina

a.palatina desendens

a.palatina

Gambar 1. Vaskularisasi septum nasi

ETIOLOGI Penyebab epistaksis dapat bersifat lokal maupun sistemik (tabel 1). Penyebab lokal biasanya berhubungan dengan masalah pada hidung, sinus paranasal dan nasofaring. Trauma merupakan penyebab tersering terjadinya epistaksis, pada anak sering disebabkan oleh trauma yang sederhana yaitu akibat mengorek hidung. Penyebab sistemik dapat disebabkan oleh kelainan kardiovaskular, kelainan hematologi dan penggunaan obat antikoagulan. Neoplasma juga sering menyebabkan epistaksis terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.2,4

Tabel 1. Etiologi epistaksis2,4 Penyebab lokal Sering Jarang Trauma wajah Mukosa kering Mengorek hidung Inhalasi kimiawi Benda asing Barotrauma Perforasi septum Sinusitis Deviasi atau spina Rinitis septum Lesi metastatik Polip hidung Angiofibroma juvenil Tumor sinonasal Iritasi lingkungan Tumor nasofaring Hemangioma hidung

Penyebab sistemik Sering Jarang Hereditary Hemorrhagic Tuberkulosis Telangiectasia (HHT) Mononukleosis Leukemia Demam scarlet Trombositopenia Demam reumatik Anti platelet (aspirin, Sifilis clopidogrel) Penyakit hepar Polisitemia vera Uremia Anemia aplastik ISPA Hemofilia Obat antikoagulan (heparin, warfarin) Defisiensi vitamin K Penyakit Von Willebrand

KLASIFIKASI Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: 1. Epistaksis anterior Sering pada anak dan biasanya berhenti sendiri. Perdarahan dapat berasal dari pleksus Kiesselbach (Little’s area) atau bagian depan konka inferior. Mukosa pada daerah ini sangat tipis dan melekat pada tulang rawan di bawahnya. Daerah ini mudah terpapar oleh udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi iritasi, laserasi atau kondisi patologik lainnya dan akan mempermudah terjadinya perdarahan. 2. Epistaksis posterior Epistaksis posterior dapat berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Perdarahan biasanya profus dan tidak mudah berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskuler lain.2,4,5 PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS I. Penatalaksanaan awal Persiapan pemeriksa sebagai tindakan pencegahan adalah menggunakan masker dan proteksi mata sebelum melakukan penatalaksanaan pada penderita epistaksis.9 Anamnesis diperlukan untuk mengetahui jumlah perdarahan, frekuensi dan lamanya perdarahan. Penyebab epistaksis dicari dengan menanyakan riwayat trauma dan penyakit lainnya pada kepala dan leher, riwayat hipertensi, arteriosklerosis, koagulopati, penyakit hepar dan riwayat pengobatan sebelumnya (misalnya: coumadin, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid), juga kebiasaan merokok dan minum alkohol.2 Penanganan awal dilakukan penilaian keadaan umum dan tanda vital dengan pendekatan CAB (circulation, airway, breathing), pada keadaan umum buruk segera lakukan akses intravena dan resusitasi cairan. Penderita epistaksis profus dan lanjut usia sebaiknya segera diberikan resusitasi cairan.9 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap diperlukan untuk mengetahui kadar hemoglobin (Hb) dan menilai status koagulasi darah. Kelainan profil pembekuan darah ditemukan pada 10% pasien epistaksis.2,4,7

Tindakan awal mengontrol perdarahan dengan menekan pada bagian cuping hidung selama 15 menit (gambar 3) atau kompres es pada dorsum nasi apabila perdarahan masih berlanjut. Berikan informasi pada penderita agar kooperatif pada saat dilakukan tindakan untuk menghentikan epistaksis.6

Gambar 3. Penekanan pada cuping hidung II. Evaluasi Hidung Persiapan alat meliputi lampu kepala, spekulum hidung, pinset, alat penghisap (suction), alat kauter dan tampon hidung. Evaluasi hidung dilakukan dengan membersihkan bekuan darah pada kavum nasi dan bila perlu berikan anestesi lokal yang mengandung vasokonstriktor menggunakan kapas atau disemprotkan pada mukosa kavum nasi, terutama septum anterior (Little’s area).4 Preparat anestesi lokal yang sering digunakan adalah campuran lidokain (0,5%, 1% atau 2%) dengan adrenalin (1/200.000), larutan kokain topikal (2% atau 5%), pasta kokain (10%), atau campuran lidokain (5%) dengan fenilefrin (0,5%). Pemberian kofenilkain mempunyai efek dekongestan selama 6 menit dan anestesi maksimum setelah 9 menit, yang dapat memfasilitasi dan memberikan kenyamanan pada pasien. Sedasi ringan dengan diazepam dosis rendah dapat diberikan pada pasien hipertensi atau ansietas.4 Pemeriksaan menggunakan endoskopi bisa dilakukan dengan endoskopi fleksibel ataupun endoskopi rigid untuk mengevaluasi kavum nasi sampai nasofaring. Endoskopi rigid lebih disarankan karena lebih mudah membersihkan bekuan darah dan tindakan kauterisasi secara bersamaan.4 III. Kontrol Perdarahan Tujuan penanganan epistaksis adalah untuk mengevaluasi perdarahan aktif dan mencari lokasi serta penyebab perdarahan.3 Apabila perdarahan berhenti dan pasien stabil, pasien dapat dipulangkan dan disarankan untuk mengoleskan vaselin pada septum anterior 3 kali sehari selama 10 hari. Apabila sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi dengan lampu kepala, dapat dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi. Bila alat nasoendoskopi tidak tersedia atau tidak dapat dilakukan, dapat dipasang tampon hidung ringan/tidak padat secara hati-hati untuk mencegah terjadinya laserasi mukosa sehingga dapat memicu koagulasi dan mengontrol perdarahan.4

IV. Penatalaksanaan konservatif epistaksis anterior 1. Kauterisasi secara kimiawi dengan panduan endoskopi Kauter kimia menggunakan AgNO3 dengan tekanan ringan pada lokasi perdarahan selama 5-10 detik. Zat ini akan bereaksi dengan mukosa hidung yang menimbulkan kerusakan lokal secara kimiawi. Selain itu, dapat diberikan elektrokauter di bawah anestesi lokal dengan memberikan energi termal pada pembuluh darah hidung (gambar 4).2,4

Gambar 4. Kauterisasi kimia dengan menggunakan endoskopi 2.

Kauterisasi elektrik (elektrokauter) dengan panduan endoskopi Teknik ini dilakukan apabila perdarahan lebih hebat dan lokasinya lebih posterior. Tindakan ini lebih efektif dengan panduan endoskop kaku. Terapi setelah perdarahan berhenti yaitu irigasi hidung dengan garam fisiologis. Pemberian analgetik non steroid tidak disarankan, serta tidak boleh dilakukan manipulasi dengan cara dikorek. Topikal vasokonstriktor digunakan apabila terjadi rekurensi epistaksis ringan.5

Gambar 5. Kauterisasi kimia dengan menggunakan endoskopi

3.

Hemostatik lokal yang bisa diresorbsi Gelfoam atau Surgicel ditempatkan pada daerah yang mengalami perdarahan. Bahan ini bisa digunakan pada kasus koagulopati untuk menghindari trauma pada saat dilakukan pemasangan atau pelepasan tampon hidung.4

4.

Tampon anterior Bahan tampon anterior dapat berupa Nasal kateter – epistat/xomed, Nasal tampon merocel/ netcel sponge (gambar 7) atau Rol tampon (gambar 6). Apabila dalam 48-72 jam tidak terjadi perdarahan, tampon hidung dapat dilepas dan hidung dievaluasi dengan nasoendoskopi.3,4

Gambar 6. Pemasangan rol tampon pada kavum nasi

Gambar 7. Pemasangan merocel pada kavum nasi Komplikasi pemasangan tampon hidung meliputi cedera pada mukosa atau kartilago septum (nekrosis dan perforasi), sinusitis, sinkop dan yang paling jarang sindrom syok sepsis. Tampon hidung dapat dioleskan dengan salep antibiotik topikal untuk mencegah terjadinya toxic shock syndrome. Penggunaan antibiotik profilaksis sistemik selama pemasangan tampon direkomendasikan untuk mencegah terjadinya sinusitis.2 V. Penatalaksanaan konservatif epistaksis posterior 1. Tampon posterior Epistaksis yang tidak bisa ditanggulangi dengan tampon anterior dilakukan tampon posterior. Tampon dapat berupa tampon Bellocq (gambar 8), balon Brighton atau kateter Foley yang diinflasi dengan 3-4 ml air atau udara yang diletakkan pada koana posterior. 4 Tampon bellocq dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan. Cara pemasangan tampon bellocq pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini dikaitkan 2 benang tampon bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon

yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut dipotong setinggi uvula. Kegunaannya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.7

Gambar 8. Pemasangan tampon Bellocq Selain itu, dapat dengan menggunakan balon Brighton yang terdapat pada anterior dan posterior hidung (gambar 9). Tampon ini cukup populer karena mudah penggunaannya tetapi hati-hati jangan over inflasi karena balon bisa berubah letaknya.4

Gambar 9. Balon Brighton pada kavum nasi Selama penggunaan tampon posterior penderita harus dilakukan monitoring oksigenasi, balans cairan serta kontrol nyeri dan pemberian antibiotik. Komplikasi yang dilaporkan setelah pemasangan tampon posterior adalah perdarahan kembali atau epistaksis persisten (75%),

nekrosis alar akibat tekanan (40,1%), sinusitis akut (34,9%), efek samping respirasi (20,4%) dan sindrom syok toksik (1,3%).2,3

Related Documents


More Documents from ""