A. DEFINISI Tranfusi Darah adalah pemindahan darah atau suatu komponen darah dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). Tranfusi darah merupakan prosedur yang dilakukan pada klien yang membutuhkan darah dan/ atau produk darah dengan cara memasukkan darah melalui vena dengan menggunakan set tranfusi
B. RUANG LINGKUP Panduan ini menjelaskan tentang pemberian darah/ produk darah
C. TATA LAKSANA 1. Indikasi Pemberian Darah dan/ atau Produk Darah a. Pemberian Tranfusi Sel Darah Merah 1) Tranfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Haemoglobin (Hb) < 7 g/dl, terutama pada anemia akut. Tranfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima. 2) Tranfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7- 10 g/dl, apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium. 3) Tranfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥ 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh : penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat). 4) Tranfusi pada neonates dengan gejala hipoksia pada kadar Hb ≤ 11 g/dL ; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi tranfusi adalah Hb ≤13 g/dL.
1
b. Pemberian Tranfusi Trombosit Tranfusi trombosit dapat digunakan untuk mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bial hitung trombosit <50.000/ uL, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/ uL. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan masing- masing. c. Pemberian Tranfusi Plasma Beku Segar (Fresh Frozen Plasma = FFP) Tranfusi FFP digunakan untuk : 1) Mengganti defisiensi faktor IX (hemophilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrasi faktor spesifik atau kombinasi. 2) Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam nyawa. 3) Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah tranfusi massif atau operasi pintasan jantung atau pada apsien dengan penyakit hati. 2. Skrining Donor Darah Pemeriksaan harus dilakukan secara individual (tiap individual bag atau satu unti plasma) dan tidak boleh dilakukan secara pooled plasma. Jenis pemeriksaan yang digunakan sesuai dengan standard WHO, dalam hal ini meliputi pemeriksaan atas sifilis, hepatitis B, hepatitis C dan HIV. Metode tes dapat menggunakan Rapid test, Automated test maupun ELISA hanya bila sensitivitasnya >99 %. Tranfusi darah merupakan jalur ideal bagi penularan penyebab infeksi tertentu dari donor kepada resipien. Untuk mengurangi potensi tranmisi penyakit melalui tranfusi darah, diperlukan serangkaian skrining terhadap faktor- faktor resiko yang dimulai dari riwayat medis sampai beberapa tes spesifik. Tujuan skrining adalah untuk memastikan agar persediaan darah yang ada sedapat mungkin bebas dari penyebab infeksi dengan cara melacaknya sebelum darah tersebut ditranfusikan. Saat ini, terdapat tiga jenis utama skrining yang
2
tersedia untuk melacak penyebab infeksi, yaitu uji Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA/ EIA), uji aglutinasi partikel, dan uji cepat khusus (Rapid Test). Dalam mempertimbangkan berbagai pengujian, perlu disadari data yang berkaitan dengan sensitivitas dan spesifitas masingmasing pengujian. Sensitivitas adalah suatu kemungkinan adanya hasil tes yang akan menjadi reaktif pada seorang individu yang terinfeksi, oleh karena itu sensitivitas pada suatu pengujian adalah kemampuannya untuk melacak sampel positf yang selemah mungkin. Spesifitas adalah suatu kemungkinan adanya suatu hasil tes yang akan menjadi non- reaktif pada seorang individu yang tidak terinfeksi, oleh karena itu spesifitas suatu pengujian adalah kemampuannya untuk melacak hasil positif non- spesfik atau palsu. ELISA (sering diganti dengan singkatan EIA) merupakan metode skrining yang paling kompleks, tersedia dalam berbagai bentuk dan dapat digunakan untuk deteksi baik antigen maupun antibodi. Bentuk pengujian yang paling sederhana dan paling umum digunakan adalah dengan memanfaatkan antigen virus yang menangkap antibodi spesifik yang berada dalam sampel tes.
3. Teknik Tranfusi Darah a. Sebelum ditranfusikan, periksa sekali lagi sifat dan jenis darah serta kecocokan antara darah donor dan penderita. Penderita dipersiapkan dengan pemasangan infus dengan jarum besar (16-18). Jarum yang terlalu kecil (23-25) dapat menyebabkan hemolisis. b. Tranfusi dilakukan dengan tranfusi set yang memiliki saringan untuk menghalangi bekuan fibrin dan partikel debris lainnya. Tranfusi set baku memiliki saringan dan ukuran pori- pori 170 mikron. Pada keadaan normal, sebuah tranfusi set dapat digunakan untuk 2 sampai 4 unit darah.
3
c. Vena terbaik untuk kanulasi darah adalah vena pada bagian dorsal tangan dan pada lengan atas. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan venaseksi untuk menjamin kelancaran dan kecepatan tranfusi. d. Waktu mengambil darah dari lemari es, perhatikan plasmanya. Jika ada tanda- tanda hemolisis (warna coklat atau hitam, keruh) jangan diberikan. Darah yang belum akan ditranfusikan harus tetap di dalam lemari es. Setelah darah sudah dikeluarkan dari lemari es harus didiamkan selama 30 menit, dan baru dapat ditranfusikan. e. Sebelum tranfusi, diberikan terlebih dahulu 50-100 ml NaCl fisiologik. Dengan tetesan hidrasi NaCl 20 tetes/ menit. Jangan menggunakan larutan lain karena dapat merugikan. Larutan dekstrose dan larutan garam hipotonik dapat menyebabkan hemolisis. Ringer l;aktat atau larutan lain yang mengandung kalsium akan menyebabkan koagulasi. Jangan menambahkan obat apapun ke dalam darah yang ditranfusikan. Obat- obatan memiliki pH yang berbeda sehingga dapat menyebabkan hemolisis, lagipula bila terjadi reaksi tranfusi akan sulit untuk menentukan apakah hal ini terjadi akibat obat atau akibat darah yang ditranfusikan. f. Jika sejumlah besar darah akan ditranfusikan dalam waktu yang singkat, maka dibutuhkan darah hangat, karena darah yang dingin akan mengakibatkan aritmia ventrikel bahkan kematian. Menghangatkan darah dengan air hangat hendaknya pada suhu 37-39 derajat Celsius. Karena bila lebih dari 40 derajat Celsius, eritrosit akan rusak. Pada 100 ml pertama pemberian darah lengkap hendaknya diteliti dengan hatihati dan diberikan perlahan- lahan untuk kemungkinan deteksi dini reaksi tranfusi.
4
g. Tranfusi set mengalirkan darah 1 ml dalam 20 tetes. Laju tercepat yang bisa tercapai adalah 60 ml per menit. Laju tranfusi tergantung pada status kardiopulmoner resipien. Jika status kardiopulmoner normal, maka dapat diberikan 10- 15 ml/kg BB dalam waktu 2- 4 jam. Jika tidak ada hemovolemia maka batas aman tranfusi adalah 1 ml/ kgBB/ jam (1 unit kurang lebih 3 jam) atau 1000 ml dalam 24 jam. Tetapi jika terdapat gagal jantung yang mengancam maka tidak boleh ditranfusikan melebihi 2 ml/kgBB/ jam. Karena darah adalah medium kultur yang ideal untuk bakteri, sebaiknya tranfusi satu unit darah tidak boleh melewati 5 jam karena meningkatnya resiko proliferasi bakteri. h. Kasus- kasus dengan perdarahan yang hebat kadang- kadang dibutuhkan tranfusi yang cepat sampai 6-7 bag dalam setengah jam. Setelah sirkulasi tampak membaik dikurangi hingga 1 bag tiap 15 menit.
5
D.
DOKUMENTASI 1. Informed consent pemberian darah/ produk darah 2. Catatan pemberian darah/ produk darah 3. Reaksi Tranfusi dilaporkan dalam surveilans indikator mutu.
6