Pajak Dan Zakat.docx

  • Uploaded by: Sabiir
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pajak Dan Zakat.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,226
  • Pages: 31
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembahasan terhadap integrasi zakat dan pajak sebenarnya telah menjadi perdebatan ulama terdahulu hingga sekarang, namun perdebatan tersebut muncul dalam bentuk yang berbeda. Abu Zahra misalnya, mengemukakan bahwa pajak-pajak itu sampai sekarang tidak memiliki nilainilai khusus yang dapat memberikan jaminan sosial. Itulah mula-mula yang menjadi tuntunan zakat. Zakat dapat memenuhi tuntutan pajak, akan tetapi pajak tidak mungkin dapat memenuhi tuntutan zakat, karena pajak tidak menanggulangi kebutuhan fakir miskin yang menuntut untuk dipenuhi. Zakat dan pajak sebagai sesuatu yang berbeda dan tidak dapat disatukan[1]. Di negara manapun ketentuan tersebut tetap berlaku selama dia menjadi seorang Muslim. Berbeda dengan pajak, masing-masing negara memiliki ketentuan dan undang-undang sendiri, yang mana satu negara dengan negara lain berbeda. Selain itu, zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus berlangsung. kewajiban zakat itu akan tetap berjalan selagi umat Islam ada di muka bumi. Kewajiban zakat tidak akan dihapus oleh siapapun, tidak berubah-ubah. Berbeda dengan pajak yang bisa dihapus, misalnya melalui pemutihan, atau berubah menurut kondisi satu negara dan sesuai dengan kebijakan pemerintahnya masing-masing[2]. Zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Mereka juga membenarkan kesulitan yang dibebani oleh umat Islam karena dualisme zakat dan pajak, akan tetapi hal ini sesuai dengan ketentuan syari’ah dan akan menjamin kelestarian kewajiban tersebut dan mengekalkan hubungan antar Muslim melalui zakat, sehingga zakat tidak dapat dihapus dan diganti nama pajak dan pajak tak dapat dihilangkan begitu saja[3]. Dalam pergulatan pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia, integrasi zakat dan pajak merupakan perbincangan baru yang selama satu dekade terakhir menjadi lebih sering diperbincangkan dan dibahas baik dalam kacamata hukum positif maupun hukum Islam. Perdebatan paling krusial terletak pada dasar pengelolaan zakat yang dianggap memiliki unsurunsur yang berbeda dengan pajak. Beberapa ulama yang mengeluarkan ijtihad syar’inya terkait dengan integrasi zakat dan pajak antara lain Masdar Farid Mas’udi[4], Didin Hafiddudin, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI)[5].

Masdar Farid Mas’udi mengungkapkan bahwa pemisahan lembaga zakat dan pajak adalah suatu hal yang sesat dan menyesatkan karena konsep zakat merupakan konsep pajak, zakat sebagai ruhnya dan pajak sebagai badannya. Oleh karena itu, lebih lanjut Masdar mengatakan bahwa orang yang membayar pajak harus diniati membayar zakat, dengan demikian double tax yang selama ini menjadi permasalahan klasik di masyarakat akan terselesaikan. Masdar melihat bahwa zakat dan pajak merupakan dua kewajiban yang bisa disatukan meski berangkat dari akar kewajiban yang oleh ulama konvensional dibedakan. Dengan mengabungkan atau menyatukan pajak dan zakat, berarti seorang Muslim yang membayar pajak (dengan spirit dan niat zakat) kepada pemerintah, maka gugurlah (terpenuhi) kewajiban agamanya[6]. Masdar menegaskan bahwa umat Islam yang telah membayar pajak, tidak wajib lagi membayar zakat. Hal itu kalau pajak yang dibayarkan itu telah diniatkan sebagai zakat. Sebab, bagi Masdar, secara batin zakat adalah komitmen spiritual manusia kepada Tuhannya, sedangkan secara lahir, zakat itu merupakan pajak yang merupakan komitmen sosial sesama manusia. Zakat dan pajak, dengan demikian adalah hal yang identik; ibarat zakat adalah ruh, dan pajak sebagai raga. Jadi, jika bagi Muslim, pajak berfungsi sebagai zakat, maka bagi non-Muslim pajak itu adalah pajak[7]. Sedangkan Didin Hafidudin berpendapat bahwa adanya dua pungutan yakni zakat dan pajak hal tersebut sah-sah saja sejauh digunakan untuk kemashlahatan dan tidak melenceng dari nilai-nilai islam. Meskipun didin lebih berpusat kepada sistem pengelolaan zakat yang harus di kelola secara profesional oleh lembaga pengelola zakat dan sah secara legalitas negara (pemerintah). Disisi lain, Didin juga berpendapat adanya kemungkinan zakat sebagai pengurang pajak[8]. MUI, sebuah lembaga ulama yang mempertahankan disparitas zakat dan pajak menegaskan bahwa umat Islam di samping berkewajiban membayar zakat, juga berkewajiban membayar pajak. Alasannya, zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar naṣ al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan pajak adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar ketetapan pemerintah yang dibenarkan oleh ajaran Islam berdasarkan prinsip kemaslahatan umum. Zakat merupakan kewajiban agama, sedangkan pajak merupakan kewajiban sebagai warga negara. Jadi, umat Islam diwajibkan menunaikan zakat sebagai realisasi perintah agama, sementara pajak wajib pula mereka lunasi sebagai realisasi ketaatan warga negara kepada negara bangsa. Dengan demikian, pendapat MUI ini melihat pembayaran zakat maupun pembayaran pajak adalah dua

hal yang berbeda, tapi sama-sama bersifat imperatif, dan karenanya wajib diamalkan keduaduanya oleh umat Islam secara terpisah. Dalam bingkai teologis, banyak orang sepakat bahwa zakat bukanlah bentuk kedermawanan. Bagi kaum muslim, yang terkena wajib zakat karena kelebihan harta yang dimilikinya, membayar zakat adalah menunaikan kewajiban. Sebab, sebagaimana di tegaskan dalam sumbersumber ajaran Islam, diantara harta yang dimiliki oleh seseorang ada hak milik orang lain, yaitu milik penerima zakat (mustahik) dengan kata lain membayar zakat adalah mengembalikan sebagian harta milik orang lain yang lebih berhak menggunakannya[9]. Meskipun demikian, diskursus tentang filantropi islam (kedermawanan dalam islam) yang berkembang dewasa ini di kalangan para akademisi, khususnya indonesia memasukan zakat sebagai salah satu unsur pokok. Pasalnya, pelaksananan pelaksananan zakat di indonesia bahkan di berbagai dunia islalm lainnya masih bersifat kerelaan alias berdasarkan kesadaran individu measing-masing. Seorang muslim yang tidak membayar zakat tidak akan mendapat konsekuensi sosiologis, politis ataupun hukum. Misalnya bentuk sanksi. Tidak membayar zakat dalam konteks indonesia, di anggap bukan sebuah pelanggaran hukum normatif yang mengharuskan adanya sanksi[10]. Dengan demikian, praktik zakat di indonesia dan negara muslim pada umumnya sangat berbeda bila dibandingkan dengan zaman rosulullah. Ataupun masa sahabat, ketika zakat merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal paling awal. Bentuk praktik zakat yang berbasis kerelaan seperti di atas berbeda dengan pelaksanann pajak. Tidak membayar pjak berarti tidak taat hukum, otomatis melanggar undang-undang yang berlaku. Seseorang yang tidak membayar pajak atau diketahui menggelapkan pajak secara normatif dapat dikenai sanksi oleh negara. Untuk itulah dalam dua dekade terakhir, keinginan untuk mengkompromikan praktik zakat dan pajak di indonesia sudah dikampanyekan oleh beberapa kalangan meskipun gagasan tersebut masih mengundang kontroversi[11]. Dari sisi ekonomi, pajak dan zakat tidak jauh berbeda, tapi dari sisi teologis jelas tidak sama. Zakat lebih merupakan satu bentuk ibadah yaitu bentuk peribadatan yang melibatkan harta benda (maliyah)

didalamnya,sedangkan

pajak

adalah

murni

bernilai

ekonomis.

Di

indonesia perdebatan tentang konsep dan praktik zakat sudah mencuat sejak beberapa dasawarsa

silam yang menyangkut penentuan model penarikan zakat yang efektif , besaran zakat yang layak dan sesuai dengan kebutuhan zaman ketimbang sesuai dengan tradisi serta bagaimana bentuk pola pendistribusiannya[12]. Rumusan Masalah Perbedaan pendapat mengenai pengelolaan zakat dan pajak di Indonesia dan di negara muslim pada umumnya, menimbulkan konsep, pemikiran dan pendapat tentang zakat dan pajak yang menarik untuk diteliti. Sehingga dari pemaparan tersebut dapat dirumuskan permasalahan bagaimakah diskursus tentang zakat dan pajak pada masa kekinian dan implementasinya di negara muslim dan khususnya negara Indonesia. Kekhususan ini dilatarbelakani bahwa, meskipun indonesia tidak di sebut sebagai negara muslim, akan tetapi indonesia memiliki jumlah pendukuk mayoritas beragama islam[13]. Disisi lain, secara historis pengelolaan zakat indonesia sudah dijamin oleh negara dengan munculnya lembaga pengelola zakat yang lengkap, mewakili pemerintah (negara), swasta, maupun organisasi kemasyarakatan sampai kepada wilayah tersempit (RT)[14]. BAB II PEMBAHASAN

Konsep Zakat dan Pajak Pengertian Zakat Zakat menurut bahasa berasal dari kata zakaa, yang artinya bertambah dan berkembang sebagaimana ungkapan orang Arab zakaa al-jar’u, artinya pohon tersebut tumbuh dan berkembang. Sedangkan zakat menurut istilah sebagaimana ditulis oleh al-Mawardi dalam kitab al-Hawi, ialah pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu.[15] Hubungan pengertian zakat secara bahasa dan istilah sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, bertambah, berkembang dan bertambah, suci dan bersih (baik).[16] Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa kata yang sering

dipergunakan untuk zakat, yaitu shadaqah (benar), infaq (mengeluarkan sesuatu kebaikan selain zakat) dan hak (zakat merupakan hak para mustahik atau penerimanya). Syarat dan Harta Wajib Zakat Para ahli fiqih bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada orang yang merdeka, beragama Islam, baligh dan berakal, mengetahui bahwa zakat adalah wajib hukumnya, lelaki atau perempuan. [17] Sejalan dengan ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar umum pada setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, maka dalam penetapan harta menjadi sumber atau objek wajib zakat pun harus memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:[18]  Harta milik penuh (al-milku at-tam)  Berkembang (an namaa’).  Cukup nisbah.  Lebih dari kebutuhan pokok.  Bebas dari hutang.  Sudah satu tahun. Macam-Macam Zakat Zakat terbagi menjadi dua bagaian, yaitu: 1. Zakat Fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah pada bulan Ramadhan. Disebut pula dengan sedekah fitrah. Zakat ini diwajibkan pada tahun kedua hijriah, yaitu tahun diwajibkannya puasa, yang bertujuan untuk mensucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberikan makan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada Hari Raya Idul Fitri. 2. Zakat Harta (al-maal), yakni zakat yang dikeluarkan karena telah diperolehnya suatu harta kekayaan. Harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat digunakan menurut lazimnya. Sesuatu dapat disebut harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu:[19] a) Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun dan dikuasai.

b) Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan lazimnya. Sedangkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya meliputi:  Hasil pertanian  Harta terpendam, barang tambang dan kekayaan laut.  Emas dan perak.  Perniagaan dan perusahaan.  Binatang ternak.  Saham dan surat berharga.  Hadiah atau harta tidak terduga.

Landasan Hukum Zakat Hukum zakat bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai berikut: Al-Qur’an Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah ayat 267) As-Sunnah Dari Ibu Abbas: bahwa Nabi SAW mengutus Muadz ke Yaman, maka Nabi bersabda: “Ajaklah mereka (penduduk Yaman) untuk mengucapkan syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku (Muhammad) utusan Allah. Jika mereka menaati kepada hal itu, maka beritahukanlah bahwa Allah menwajibkan bagi mereka lima shalat fardhu dalam sehari semalan. Jika mereka telah maati kepada hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan adanya sedekah (zakat) atas harta mereka dan berikan kepada mereka yang miskin.’”

Hikmah Zakat Adapun beberapa hikmah zakat adalah sebagai berikut : Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT. Menolong, membantu dan membina para mustahik, terutama fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Pemerataan pendapatan masyarakat, sehingga mengurangi kesenjangan antara orang yang mempunyai limpahan harta dengan orang yang kekurangan hartanya. Pengertian Pajak Pajak adalah beban kewajiban yang harus ditanggung oleh masyarakat didalam suatu negara, baik hal itu bersifat personal maupun kelompok. Yang kegunaannya adalah untuk membiayai kebutuhan negara didalam pembangunannya. Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukakn

berbagai

jenis

perbelanjaan.

Pengeluaran-pengeluaran

untuk

membiayai

administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki infrastuktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan membiayai setiap kegiatan untuk menjaga keamanan negara merupakan pengeluaran yang tidak bisa dielakkan oleh pemerintah, dana tersebut terutama diperoleh dari pemungutan pajak.[20] Berdasarkan definisi pajak di atas, unsur-unsur yang melekat pada pengertian pajak adalah:[21] Pajak merupakan pungutan pemerintah. Secara paksa berdasarkan Undang-Undang. Sebagai penutup pengeluaran-pengeluaran umum. Tanpa ada jasa (prestasi) timbal balik secara khusus. Macam – Macam Pajak Menurut golongannya, secara garis besar berbagai jenis pajak-pajak yang dipungut pemerintah dapat dibedakan kepada dua golongan, yaitu:[22]

 Pajak Langsung, adalah jenis pungutan pemerintah secara langsung dikumpulkan dari pihak yang wajib membayar pajak.  Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang bebannya boleh dipindah-pindahkan kepada pihak lain. Sedangkan pembagian pajak menurut sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:[23] 1. Pajak Subjektif, adalah pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak, untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif berhubungan erat dengan keadaan matrialnya, yaitu yang disebut gaya pikulnya. 2. Pajak Objektif, adalah pajak yang pertama-tama memperhatikan kepada objeknya baik itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak, kemudian barulah dicari subjeknya (orang atau badan) yang bersangkutan lansung, dengan tidak mempersoalkan apakah subjek itu berkediatam di Indonesia atau tidak. Menurut lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi dua yaitu pajak negara (pajak pusat) dan pajak daerah.[24] 1. Pajak Negara, ialah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraanya dilaksanakan oleh departemen keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya. 2. Pajak Daerah, yaitu pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan pemerintah daerah masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan Rumah Tangga Daerah masing-masing.

Zakat dan Pajak dalam Pandangan Ulama Ulama berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban kaum Muslim atas harta selain zakat. Mayoritas fukaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya kewajiban kaum Muslim atas harta. Barang siapa telah menunaikan zakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah

kewajibannya. Dasarnya adalah berbagai hadis Rasulullah. Di sisi lain ada pendapat ulama bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat[25]. Jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan (dhârûrah), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dhâribah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi, Imam Mâlik, Imam Qurtûbi, Imam Syâthibi, Mahmûd Syalthûth. Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah usul fikih “mâ lâ yatîm al-wajib illa bihî fahuwa wâjib”[26]. Oleh karena itu pajak tidak boleh dipungut dengan cara paksa dan kekuasaan semata, melainkan karena ada kewajiban kaum muslimin yang dipikulkan kepada Negara, seperti member rasa aman, pengobatan dan pendidikan dengan pengeluaran seperti nafkah untuk para tentara, gaji pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pajak memang merupakan kewajiban warga Negara dalam sebuah Negara Muslim, tetapi Negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat)[27]: Penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak; Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara mereka yang wajib membayarnya. Para ulama yang mendukung diperbolehkannya memungut pajak menekankan bahwa yang mereka maksud adalah sistem perpajakan yang adil, yang selaras dengan spirit Islam. Menurut mereka, sistem perpajakan yang adil adalah apabila memenuhi tiga kriteria[28]: Pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar diperlukan untuk merealisasikan maqâshid al-syariah;

Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua orang yang mampu membayar; Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang karenanya pajak diwajibkan. Adapun karakteristik pajak (dharibah) menurut syariat, yang hal ini membedakannya dengan pajak konvensional adalah sebagai berikut[29]: Pajak bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional adalah selamanya (abadi); Pajak hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama; Pajak hanya diambil dari kaum Muslim, tidak kaum non-muslim. Sedangkan teori pajak konvensional tidak membedakan Muslim dan non-muslim dengan alasan tidak boleh ada diskriminasi; Pajak hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional, kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti PBB; Pajak hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih; Pajak dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori pajak konvensional, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan. Dalam buku pajak itu zakat, Masdar mengemukakan bahwasanya konsep pemungutan atas harta manusia (rakyat) oleh penguasa (pemerintah) pada awalnya sebagai upeti untuk raja (dharibah), kemudian mengalami perkembangan makna tidak lagi hanya sebatas sebagai upeti, akan tetapi ada imbal-jasa dengan pemerintah (jizyah), ada sebuah perjanjian yang memberikan jaminan

bagi rakyat yang telah memberikan hartanya untuk mendapatkan hak pengimbang yang sepadan dari penguasa. Rakyat mulai membuat perhitungan dengan negara atau penguasa atas pemungutan hartanya berupa perlindungan dan pelayanan umum (public services) yang diperlukan. Akan tetapi, konsep pajak dengan imbal-jasa dengan pemerintah (jizyah) ini, melahirkan adanya ketimpangan sosial. Kalangan kaya yang membayar pajak besar merasa berhak mendapatkan imbal-jasa kenegaraan yang besar, kalangan lain yang membayar pajak kecil harus puas dengan jasa kenegaraan yang kecil. Sementara itu, rakyat miskin yang tidak mampu membayar pajak karena kemiskinannya harus menerima nasib untuk tidak dipedulikan oleh negara, kecuali sekadar tetesan berkah (trickle down-effect) dari kedermawanannya belaka[30]. Pajak merupakan hal yang hanya menyangkut urusan duniawi, sedangkan zakat bukan saja masalah ḥabl min al-nās (hubungan antara sesama manusia), tetapi juga mengandung muatan ḥabl min Allāh (hubungan antara manusia dengan tuhan). Jika zakat disatukan dengan pajak, maka syari’at dari zakat akan hilang, dan menjadi tidak penting lagi, zakat bukan lagi suatu kewajiban melainkan akan terkesan sebagai suatu anjuran yang tidak bersifat memaksa bagi umat Islam. Agama tidak lagi dipandang sebagai etintas kelembagaan yang terpisah dari negara. Seperti halnya zakat sebagai spirit yang memasukkan ke dalam pajak sebagai badan, demikian pula agama; ia adalah spirit, ruh ilahiyat, yang harus merasuki dan membimbing arah dan jalannya negara sebagai sosok badaniah dan kelembagaannya yang profan[31]. Dengan demikian, konsep zakat sebagai spirit pajak tidak lain sebagai sebuah konsep spiritualisasi dan transendentalisasi kehidupan negara itu sendiri. Agama yang dianggap sebagai spirit negara adalah keruhanian universal yang bersifat inklusif, yakni komitmen pada keadilan semesta terutama bagi mereka yang lemah dan terpinggirkan. Siapapun mereka, dan apa pun agama dan keyakinan mereka. Oleh karena itu, masuknya spirit zakat ke dalam raga pajak, tidak perlu dipahami sebagai proses Islamisasi yang memojokkan penganut keyakinan atau agama lain. Pesan dasar yang sesungguhnya ingin disampaikan adalah: pertama, hendaknya rakyat tidak lagi membayar pajak semata-mata karena takut sanksi negara yang bersifat lahiriah dan bisa diakali, tetapi justru harus dihayati sebagai panggilan ilahiyyah yang suci. Appeal ini sifatnya personal, langsung pada kesadaran keimanan dalam lubuk hati setiap masyarakat sebagai pribadi-pribadi yang mandiri.

Kedua, kepada pihak pemerintah sebagai yang diberi wewenang untuk mengelolanya, hendaknya menyadari bahwa uang pajak yang ada di tangannya adalah amanat Allah yang harus di-taṣarrufkan untuk kemaslahatan segenap warga, terutama yang lemah dan tidak berdaya, apa pun agama dan keyakinanya. Memahami konsep kelembagaan zakat pada sosok pajak sudah barang tentu membawa implikasi pada kebutuhan rekonstruksi (tajdīd) karena banyak ajaran yang selama ini dianggap baku (qaṭ’ī) seperti, tentang jenis-jenis kekayaan yang harus dikenakan (māl zakawī), kadar tarif pajak (maqādir al-zakāh)[32]. Perdebatan mengenai hal ini mengarah pada dua arus utama perbedaan pendapat[33]: Pertama, ada kelompok yang berpandangan bahwa kebijakan zakat sebagai penghasilan bruto wajib pajak (tax deductible), sebagaimana yang dianut selama ini, merupakan pilihan yang paling tepat. Kedua, ada yang berpandangan bahwa kebijakan zakat sebagai pengurang pajak secara langsung (tax credit) merupakan langkah strategis dalam upaya menggali potensi zakat, sekaligus mengintegrasikannya secara lebih mendalam dalam perekonomian nasional. Paling tidak, ada dua argumentasi dasar yang memperkuat pernyataan kelompok kedua ini[34]. Argumentasi pertama, dari perspektif keuangan negara. Ketika ada proses sinergi dan integrasi zakat pada kebijakan fiskal, maka akan ada sejumlah manfaat yang akan didapat, yaitu, perluasan basis muzakki dan wajib pajak, serta membantu meringankan beban APBN dalam hal anggaran pengentasan kemiskinan. Melalui koordinasi yang baik antara otoritas zakat dengan otoritas pajak, maka identifikasi wajib zakat (muzakki) dan wajib pajak akan semakin luas, sehingga diharapkan pendapatan pajak dan zakat akan semakin meningkat. Hal ini secara empirik telah dibuktikan oleh Malaysia, di mana pendapatan zakat dan pajak justru semakin meningkat pasca pemberlakukan kebijakan zakat sebagai kredit pajak. Tidak ada trade off antara penerimaan pajak dengan zakat. Argumen kedua, dari perspektif distribusi ekonomi. Instrumen zakat ini diyakini akan menjadi alat redistribusi ekonomi yang efektif, di mana ia menjamin aliran kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin. Sehingga, economic growth with equity yang selama ini didengungdengungkan akan dapat terealisir dengan baik di lapangan. Secara ekonomi, aliran kekayaan dalam zakat ini akan mampu memberikan multiplier effect yang sangat besar. Pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak lebih tinggi lagi. Hal tersebut dikarenakan keberadaan zakat akan

menggenjot konsumsi dan invenstasi, di mana yang menjadi target utamanya adalah kelompok ḍu’afā. Melalui program distribusi zakat yang bersifat konsumtif, kebutuhan primer mustaḥik pada jangka pendek akan terpenuhi. Sedangkan melalui program zakat produktif, rumah tangga mustaḥik pada jangka panjang akan memiliki daya tahan ekonomi yang lebih baik. Persamaan dan Perbedaan Zakat dan Pajak Menurut Yusuf Qardhowi (2007), terdapat beberapa persamaan pokok antara zakat dan pajak, yaitu sebagai berikut : Adanya unsur paksaan. Seorang muslim yang memiliki harta yang telah memenuhi persyaratan zakat, jika melalaikan atau tidak mau menunaikannya, maka penguasa yang diwakili oleh para petugas zakat wajib memaksanya. Demikian pula halnya seorang yang sudah masuk kategori wajib pajak dapat dikenakan tindakan paksa kepadanya, baik secara langsung maupun tidak langsung jika wajib pajak melalaikan kewajiban membayar pajak. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah. Pengelolaan zakat bukan semata-mata dilakukan secara individual dari muzakki diserahkan secara langsung kepada mustahik, akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga yang khusus menangani zakat, yang disebut amil zakat. Sementara itu, pengelolaan pajak, diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri yaitu sebagai iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan perundangan dengan tidak mendapat prestasi kembali. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan. Sementara itu, perbedaan antara zakat dan pajak yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat persamaan di antara keduanya. Perbedaan yang mendasar antara zakat dan pajak adalah sebagai berikut (Yusuf Qardhowi, 2007) : Dari segi nama dan etiket, keduanya memberikan motivasi yang berbeda. Secara etimologis, zakat berarti bersih, suci, tumbuh, berkah, maslahat, dan berkembang. Artinya, setiap harta yang

dikeluarkan zakatnya akan bersih, tumbuh, berkah, dan Sementara itu, pajak berasal dari kata aldharibah, yang secara etimologis berarti beban (upeti). Dari segi hakikat dan tujuan. Zakat dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah, sementara pajak dikaitkan dengan kepatuhan kepada peraturan negara. Dari segi batas minimal dan ketentuannya. Zakat memiliki nishab dan persentase yang sifatnya baku, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga, berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam berbagai hadits Nabi. Sementara pajak, aturan besar dan pemungutannya bisa berubah-ubah sesuai jenis, sifat, dan cirinya serta kebijakan pemerintah. Dari segi kelestarian dan kelangsungannya. Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah. Dari segi penggunaan. Sasaran zakat telah terang dan jelas, yaitu digunakan untuk kepentingan mutahik yang berjumlah 8 asnaf, sedangkan pajak dapat digunakan dalam seluruh sektor kehidupan (pengeluaran umum negara), sekalipun dianggap sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran agama. Dari segi hubungan dengan penguasa. Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri. Dari segi maksud dan tujuan. Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak. Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah ibadat dan juga pajak sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, Negara memintanya secara paksa kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat. Zakat dan Pajak dalam Konteks Kekinia Pada dasarnya zakat wajib dikeluarkan terhadap lima jenis harta, yaitu nuqud (emas, perak, dan uang), barang tambang, dan barang temuan, harta perdagangan, tanaman dan buah–buahan, dan binatang ternak (unta, sapi dan kambing).[35]

Sekarang ini, modal dalam bentuk uang tidak hanya dikonsentrasikan kepada pengolahan tanah dan perdagangan, tetapi juga sudah mengarah kepada pendirian bangunan untuk disewakan, pabrik-pabrik, atau sarana transportasi udara, laut dan darat serta peternakan. Semua itu tidak wajib dikeluarkan zakatya kecuali pada income yang diperoleh, produksi yang dihasilkan, dan keuntungan yang didapatkan. Meskipun jumhur ulama’ kita tidak memberikan pernyataan atas wajibnya zakat untuk harta kekayaan seperti diatas, mereka mengatakan, ”Tidak ada zakat dalam real estate, perabot rumah tangga, alat-alat kerja, dan kendaraan,”. Akan tetapi, Wahbah Al-Zuhayly memandang bahwa zakat untuk harta kekayaan seperti itu perlu dikeluarkan, karena adanya sifat yang sama, yaitu adanya pertumbuhan pada harta kekayaan tersebut.” Hukum selalu dikenakan atas sesuatu yang memiliki illat yang sama.” Disamping itu, alasan lainnya ialah bahwa pewajiban zakat atas barang-barang tersebut juga mengandung hikmah yang amat banyak; antara lain penyucian diri orang yang memiliki harta kekayaan terebut dan penyamaan hak atas orang-orang yang membutuhkannya, serta adanya partisipasi orang tersebut dalam pengentasan kemiskinan.[36] Dalam pertemuan Cendekianwan muslim kedua, yakni Seminar mengenai pengkajian masalahmasalah keislaman kedua, yang diadakan pada 1385H/1965M, memutukan bahwa harta kekayaan yang tumbuh dan berkembang, yang belum ada nash atau ketentuan fiqh yang mewajibkan untuk dikeluarkan zakatnya, maka harta kekayaan berupa bangunan, pabrik, kapal, dan pesawat terbang, dan sebagainya, tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya yang diambil dari benda-benda tersebut, akan tetapi keuntungan bersihnya perlu dizakati jika keuntungan tersebut sudah mencapai nisabnya. Kalau harta kekayaan tersebut milik perusahaan patungan, maka harta yang dizakati bukan dari harta bersih perusahaan, melainkan harta bersih perorangannya.[37] Keputusan tersebut sesuai dengan riwayat dari Imam Ahmad yang berpendapat bahwa keuntungan bersih harta kekayaan seperti itu dikeluarkan zakatnya. Begitu pula menurut madzhab Maliki bahwa keuntungan bersih harta kekayaan itu wajib dizakati ketika keuntungan itu diterima.[38] Model zakat yang populer di masyarakat saat ini adalah zakat profesi/wiraswasta, profesi yang dimaksudkan adalah pekerjaan yang tidak terikat dengan Negara, seperti pekerjaan dokter,

insinyur, sarjana hukum, penjahit, tukang batu, dan pekerjaan lain. Dan juga pekerjaan yang terikat dengan Negara/pemerintah, yayasan atau badan usaha umum yaitu dimana pegawainya menerima penghasilan bulanan. Penghailan yang diperoleh wiraswasta atau pegawai negeri itu dikenal dalam fiqih dengan istilah al-mal almustafad[39]. Besarnya zakat yang harus dikeluarkan dari al-mal almustafad adalah 1/40 (seperempat puluh), yaitu berdasarkan nash-nash yang mewajibkan zakat pada uang, baik kepemilikannya telah berlangsung selama setahun penuh maupun belummencapai setahun. Jika seorang Muslim mengeluarkan zakat atas pendapatan profesi atau pekerjaannya ketika dia menerimanya, dia tidak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun. Dengan begitu, akan terjadi kesamaan antara pendapatan yang diperoleh melalui profesi-profesi seperti itu dan penghasilan para petani yang diharuskan mengeluarkan zakat tanaman dan buah-buahan ketika mereka memetik dan memanen tanamannya. Lain halnya dengan zakat, pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undangundang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Menyikapi kewajiban pajak berdasarkan undang-undang, terdapat beberapa pendapat di kalangan umat Islam dari yang setuju maupun yang tidak setuju, karena telah ada kewajiban zakat terhadap harta dan penghasilannya yang telah memenuhi syarat. Pro-kontra terkait dengan hal ini harus didudukkan pada proporsi yang semestinya agar terjadi mutual understanding yang membawa kemaslahatan bagi masa depan kesejahteraan umat Islam khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya.[40]

Implementasi Diskursus Zakat dan Pajak di negara Muslim Saudi Arabia

Saudi Arabia atau dikenal sebagai Saudi Arabia adalah negeri yang istimewa. Karena di Saudi Arabia terdapat Ka’bah yang menjadi kiblat menghadapnya sholat umat Islam seluruh dunia. Di Saudi Arabia juga terdapat Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sebagai dua masjid paling istimewa dalam pandangan kaum muslimin di dunia. Melalui datangnya jamaah haji Saudi Arabia menghasilkan pendapatan besar, Saudi Arabia juga memiliki sumber minyak yang luar biasa. Dari penjualan minyak ini, Saudi Arabia dapat disebut sebagai negara yang kaya[41]. Meskipun begitu, tidak berarti di Saudi Arabia tidak ada orang miskin. Ketika terjadi gelombang Arab Spring di kawasan Timur Tengah, di beberapa negara arab terjadi gejolak tuntutan reformasi politik dari rakyatnya. Sebagian dari tuntutan itu berakhir dengan jatuhnya penguasa di negara-negara Timur Tengah. Mengantisipasi hal itu, Kerajaan Saudi Arabia mengeluarkan kebijakan pemberian subsidi bagi penganggur di Saudi Arabia. Setiap warga negara saudi arabia yang menganggur mendapatkan subsidi 2000 Riyal atau setara dengan Rp 4,5 juta per bulan. Selain pemberian subsidi, juga dikeluarkan kebijakan menutup hutang-hutang konsumtif warga negara oleh kerajaan saudi Arabia[42]. Di Saudi Arabia, zakat dikelola satu atap dengan pajak di bawah kementerian keuangan dengan nama Maslahtuz Zakat wad Dakhil. Zakat diwajibkan kepada individu dan perusahaan yang dimiliki oleh warga negara Saudi Arabia. Untuk zakat individu, kerajaan Saudi Arabia mempersilakan kepada warga negara Saudi Arabia, untuk menyalurkan zakat kepada mustahik langsung atau melalui yayasan sosial. Tetapi zakat perusahaan, harus dibayarkan kepada Maslahatuz Zakat yang dikelola oleh Kementerian Keuangan. Setiap perusahaan yang telah membayarkan zakatnya kepada Maslahatuz Zakat akan diberikan sertifikat sebagai tanda telah membayarkan zakat. Perusahaan-perusahaan yang memiliki sertifikat pembayaran zakat akan dimudahkan untuk perpanjangan izin usaha. Sebaliknya, perusahaan yang tidak memiliki sertifikat pembayaran zakat, tidak akan diperpanjang izinnya. Adapun perusahaan yang dimiliki bukan oleh warga negara Saudi Arabia diwajibkan membayar pajak. Jadi zakat dibayarkan oleh perusahaan milik muslim, sementara pajak dibayarkan oleh perusahaan milik non muslim[43]. Sistem penerimaan zakat yang dikembangkan Maslahatuz Zakat seperti penerimaan pajak di Indonesia. Zakat yang dihimpun oleh Maslahatuz Zakat disalurkan ke Kementerian Sosial Saudi Arabia untuk disalurkan kepada mustahik[44].

Salah satu keunggulan dalam pengelolaan zakat di Arab Saudi adalah pengumpulan zakat dan pajak telah menggunakan online system. Badan Zakat dan Pajak di negara tersebut memiliki pusat data dan informasi yang lengkap dan didukung perangkat ICT (Information and Communication Technology). Menurut keterangan pejabat setempat, sekitar 70 persen dari penerimaan Badan Zakat dan Pajak Arab Saudi saat ini berasal dari perusahaan perusahaan besar yang beroperasi disana. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Zakat Menurut Ibrahim bin Muhammad Al-Muflih, Direktur Badan Zakat dan Pajak, Kementerian Keuangan Arab Saudi adalah[45]: Badan Zakat dan Pajak melakukan pengumpulan zakat dan pajak dari pihak-pihak yang diwajibkan untuk membayarnya.Pembayaran zakat (2,5 persen) sifatnya wajib bagi perusahaan Arab Saudi dan pajak (20 persen atau sesuai dengan perjanjian bilateral Penghindaran Pajak Berganda) diwajibkan kepada perusahaan asing yang melakukan kegiatan usaha/bisnis di Arab Saudi. Badan Zakat dan Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian dan pengecekan atas harta kekayaan perusahaan dan jumlah zakat yang wajib ditunaikan atau nilai pajak yang mesti dibayarkan ke kas negara. Badan

Zakat

dan

Pajak

tidak

memiliki

kewenangan

untuk

menagih

zakat

dari

perorangan/individu. Bagi perorangan/individu kewajiban zakatnya diserahkan kepada masingmasing individu. Badan Zakat dan Pajak hanya memiliki kewenangan pengumpulan atau pemungutan. Dalam penyalurannya, untuk zakat disalurkan khusus kepada delapan asnaf sebagaimana ketentuan syariat melalui Kementerian Sosial Arab Saudi yang berkewenangan membiayai pengeluaran keamanan sosial. Sedangkan penerimaan pajak masuk ke dalam rekening penerimaan pajak. Pajak Dan Zakat di Indonesia Penetapan Undan-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1999) tentang pajak penghasilan dapat dipandang sebagai langkah maju menuju sinergi zakat dengan pajak. Upaya sinergi antara zakat dan pajak, setidaknya ada nilai prestasi yang perlu dibanggakan, karena Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 telah mengakui bahwa sesungguhnya zakat

adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim warga negara Indonesia yang mampu. Undang-undang ini memang tidak menyebut hukuman bagi yang melanggar kewajiban zakat, tetapi setidaknya pemerintah telah eksplisit bertanggungjawab memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat. Di samping itu juga pemerintah telah melibatkan diri lebih jauh dalam pengelolaan zakat dengan membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat sehingga pengelolaan dana zakat dapat lebih dipertanggungjawabkan[46]. Kemudian sebagaiman disebutkan dalam UU No. 38 Th. 1999 bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau LAZ akan dikurangkan tehadap laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan. Di dalam UU No. 17 Tahun 2000 juga ditetapkan, bahwa zakat atau penghasilan yang dibayarkan secara resmi oleh wajib zakat, orang pribadi pemeluk Islam atau wajib pajak badan dalam Negeri yang dimiliki kaum muslimin, dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Dengan kata lain, sebagaimana yang diatur dalam keputusan Dirjen Pajak No. KEP-542/PJ/2001 bahwa zakat atas penghasilan dapat dikurangkan atas penghassilan netto. Namun demikian disayangkan, sesungguhnya antara UU No. 17 Tahun 2000 dan Undangundang No. 38 Tahun 1999 tidak konsisten, sebab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam undang-undang No. 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan (zakat profesi)[47]. Padahal dalam UU No. 38 Tahun 1999 disebutkan bahwa zakat (tanpa embel-embel atas penghasilan) dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Sementara sangat jelas bahwa yang dimaksud zakat di dalam UU N0. 38 Tahun 1999 adalah semua harta yang wajib disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama, yang terrdiri atas, emas, perak, dan uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil pertambangan, hasil peternakan, hasil pendapatan jasa, serta rikaz. Hal lain yang patut disayangkan adalah bahwa Undang-undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) tidak mendapatkan sanksi yang seimbang antara pengelola dan muzakki. Dalam UUPZ disebutkan bahwa pengelola zakat yang terbukti lalai tidak mencatat atau mencatat tidak benar terhadap harta zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat, diancam hukuman kurungan

selama-lamanya 3 bulan, dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000,-. Idealnya sanksi hukum tidak hanya dikenakan kepada pengelola zakat saja, tetapi juga kepada muzakki yang tidak melaksanakan kewajibannya. Inkonsistensi ini dapat terjadi dimungkinkan, karena: Kesalah-pahaman atau ketidak mengertian anggota legislatif terhadap pengertian zakat; Perbedaan pendapat atau alasan politik tentang sberapa jauh zakat berhak masuk dalam wilayah fiskal kenegaraan. Pemberlakuan zakat penghasilan sebagai pengurang penghasilan kena pajak jelas akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan dari sektor pajak. Semakin banyak umat Islam yang membayar zakat akan mengakibatkan semakin banyaknya pengurang penghasilan kena pajak. Sehingga apabila penghasilan kena pajak menjadi kecil dengan sendirinya pajak penghasilan yang diterima negara juga mengecil, padahal pada saat ini pemerintah justru sedang berusaha memaksimalkan penerimaannya dari sektor pajak[48]. Oleh karena itu pemerintah lebih meningkatkan Gerakan Sadar Zakat dengan menyempurnakan perangkat konstitusi dan merangsang masyarakat agar lebih taat membayar zakat. Dengan statemen konstitusi bahwa zakat dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak dalam perhitungan pajak penghasilan orang pribadi ataupun badan, setidaknya dapat memacu semangat masyarakat untuk membayar zakatnya melalui institusi yang sah, meskipun zakat itu sendiri belum bisa langsung dikurangkan dari pajak penghasilan. Hal ini tentunya perlu disosilisasikan kepada masyarakat secara luas agar masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Jika dalam ajaran Islam kaum muslimin yang beriman diwajibkan untuk mentaati Allah, rasul dan juga pemerintah (ulil amri). Maka dalam konteks kewajiban zakat selama belum ada pengaturan yang mengatur tentang pemisahan subyek zakat dan juga subyek pajak, umat Islam Indonesia tetap dibebankan untuk taat terrhadap aturan yang ada, yaitu UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan menggunakan paradigma bahwa zakat tidak sama dengan zakat, para ulama kemudian membolehkan umat Islam untuk membayar pajak di samping kewajiban untuk membayar zakat. Ketentuan zakat yang statis menyebabkan tidak memadainya dana zakat untuk memenuhi

kebutuhan pembangunan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, dimungkinkan ditariknya dana dari masyarakat melalui jalur pajak dan sumbangan sukarela lainnya. Di Indonesia dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 571 dan UU Pajak nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan memungkinkan rabat, yaitu pemotongan pajak penghasilan bagi mereka yang telah membayar zakat[49]. Walaupun belum sesempurna dibanding Undang-Undang Pajak dan Zakat yang ada di Malaysia misalnya atau negara Islam lainnya yang sudah maju. Hal mendasar yang amat diperlukan dalam rangka implementasinya adalah sebuah model penerapan pajak dan zakat yang baku, karena UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat masih belum maksimal dan terdapat kelemahan di dalamnya, di antaranya tidak ada cara penghitungan yang baku di samping beberapa kelemahan lainnya[50]. Misalnya dalam akuntansi pajak, tidak semua penghasilan merupakan objek pajak penghasilan. Beberapa bentuk penghasilan menurut akuntansi komersial sudah dibukukan sebagai penghasilan, tetapi dalam akuntansi pajak bukan merupakan penghasilan yang menjadi objek pajak penghasilan. Artinya, atas penghasilan tersebut tidak perlu lagi diperhitungkan PPh terhutangnya. Adapun bentuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tersebut berdasarkan pasal 4(3) UU PPh adalah berupa bantuan sumbangan, zakat, harta hibah, warisan, harta, pemberian natura dan kenikmatan dan lain sebagainya. Zakat yang diterima Bazis/Lazis yang disahkan oleh pemerintah bukan merupakan penghasilan bagi yang menerima, tetapi merupakan biaya pengurang penghasilan kena pajak bagi yang mengeluarkan zakat[51]. Perbedaan cara pandang antara seorang muslim dengan muslim lainnya dalam mengamini pajak akan berimbas kepada cara menghitung keduanya. Artinya, apabila kesepakatan menyatakan bahwa zakat sama dengan pajak, maka implikasinya adalah seorang muslim tidak perlu lagi membayar zakat setelah membayar pajak. Sedangkan apabila kesepakatan mengarah kepada adanya perbedaan antara zakat dan pajak, maka implikasinya adalah munculnya perdebatan tentang kewajiban membayar zakat setelah pajak atau malah sebaliknya[52]. BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Diskursus Zakat dan Pajak dalam konteks keuangan Publik Islam memberikan peluang untuk menjamin bahwa pengelolaan zakat dan pajak terutama di indonesia semakin terlembaga dan memiliki kekuatan hukum yang tetap. Integrasi pengelolaan zakat dan pajak oleh pemerintah ini adalah sangat logis karena adanya beberapa pertimbangan, di antaranya adalah: Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar pajak dan zakat; Menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila langsung menerima haknya dari para wajib zakat; Untuk mencapai efesiensi, efektivitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat; U Untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami. Nilai transendental zakat bisa menjadi pegangan moral pengelola zakat dan pajak sehingga meminimalisir terjadinya korupsi dalam pengelolaan dan nepotisme dalam pendistribusian. Meningkatkan nilai keimanan masyarakat. Dengan statemen konstitusi bahwa zakat dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak dalam perhitungan pajak penghasilan orang pribadi ataupun badan, setidaknya dapat memacu semangat masyarakat untuk membayar zakatnya melalui institusi yang sah, meskipun zakat itu sendiri belum bisa langsung dikurangkan dari pajak penghasilan. Hal ini tentunya perlu disosilisasikan kepada masyarakat secara luas agar masyarakat bisa memanfaatkan fasilitas zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Jika dalam ajaran Islam kaum muslimin yang beriman diwajibkan untuk mentaati Allah, rasul dan juga pemerintah (uli al-amri), maka dalam kontek kewajiban zakat selama belum ada pengaturan yang mengatur tentang pemisahan subyek zakat dan juga subyek pajak, maka umat Islam Indonesia tetap dibebankan untuk taat terrhadap aturan yang ada, yaitu UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Daftar Pustaka Abdad, M, Zaidi, 2003. Lembaga Perekonomian Umat di Dunia Islam, (Bandung : Angkasa).

Abu Zahrah sebagaimana dikutip M. Jamal Doa, Membangun Ekonomi Umat melalui Pengelolaan Zakat Harta, Pengumpulan Zakat dengan Sistem Administrasi perpajakan, Menghindari Pungutan Double Zakat dan Pajak, (t.t.p.: Nuansa Madani, 2001). Ahmad Juwaini, Diskursus Pajak & Zakat kekinian dan aplikasinya di negara muslim: Zakat di Saudi Arabia, artikel dalam ahmadjuwaini.com/2012/06/zakat-di-saudi-arabia. Diakses 21 September 2015. Ali Nuruddin Mhd. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada). Al-Qur’an Al-Karim. Arief Mufraini, 2008. Akuntansi dan Manajemen Zakat, Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, (Jakarta : Kencana), Cetakan ke-2. Bagir Al-Habsyi, Muhammad. 1999. Fiqh Praktis. Bandung:MIZAN. Bidihardjo, R. Soeroso, SH. 2000. Pengantar Ilmu Hukum Pajak.Bandung: PT. Rofido Utama. Bohari, H 2002. Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Diana, Anastasia dan lilies setrawati. 2004. Perpajakan Indonesia. Yogyakarta: ANDI YOGYAKARTA. Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2006. Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Zakat, (Jakarta: Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji Depag. RI). Djoko Muljono, 2009. Akuntansi Pajak, (Yogyakarta :C.V Andi Offset). Farid Masdar Mas’udi dkk. 2004. Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS Menuju Efektivitas Pemanfaatan Zakat Infaq dan Sedekah, (Jakarta : PIRAMEDIA). Farid Masdar Mas’udi, 2010. Pajak Itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, (Bandung: Mizan Media Utama). Hafidhuddin, DR. K.H. Didin, M.Si, 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press.

Hilman Latif, 2010. Melayani Umat Filantrofi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama). Kompilasi Hukum Islam, 2009. (Bandung : Nuansa Aulia), Cetakan Kedua. Lukman Hakim, 2008. Analisis Pendapat Yusuf Al-Qardawy Tentangmpajak Tidak Bisa Mengganti Zakat, Skripsi, Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah Iain Walisongo Semarang. Mhd. Ali,Nuruddin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebigakan Fiskal. Jakarta:PT RAJA GRAVINDO PERSADA. Moh Widodo, 2008. Zakat dan Pajak di Indonesia (studi perbandingan atas pemikiran m. Djamal Doa dan Didin Hafidudin, Skripsi, Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan KalijagaYogyakarta. Muhammad

Faqih,

Pengelolaan

Zakat

dan

Wakaf, artikel dalam https://prezi.com/lxpepzjjo2md/pengelolaan-zakat-dan-wakaf/, diakses 21 September 2015. Nasruddin Dan Dewani Romli, Diskursus Implementasi Zakat Dan Pajak Di Indonesia, Jurnal Al-‘Adalah Vol. X, No. 1 Januari 2011. Nur Diana, Ilfi. 2008. Hadis-Hadis Ekonomi. Malang:UIN-MALANG PRESS. Ridwan,Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal Wattamwil. Yogyakarta:UII Press. Soeroso Bidihardjo, SH. 2000. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT. Rofido Utama Saichul Hadi Permana, 2004. Pendayagunaan Zakat dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: Pustaka Firdaus). Subiyakto Indra Kusuma, 1998. Mengenal Dasar-Dasar Perpajakan, (Surabaya: Usaha Nasional Indonesia). Undang-Undang Zakat, No. 38 Tahun 1999. Ketentuan Umum pasal 1 ayat (2). Yusuf Qardawi. 2010. Hukum zakat, (Jakarta : Litera Antar Nusa).

Zusiana Elly Triantini, Integrasi Hukum Pajak Dan Zakat Di Indonesia Telaah Terhadap Pemikiran Masdar Farid Mas’udi, Jurnal Al-Akhkam, Volume 23, Nomor 2, Oktober 2013. [1] Abu Zahrah sebagaimana dikutip M. Jamal Doa, Membangun Ekonomi Umat melalui Pengelolaan Zakat Harta, Pengumpulan Zakat dengan Sistem Administrasi perpajakan, Menghindari Pungutan Double Zakat dan Pajak, (t.t.p.: Nuansa Madani, 2001). [2] Zusiana Elly Triantini, Opcit., hal. 186. [3] Ibid.,hal 186. [4] Masdar Farid Mas’udi adalah seorang cendekiawan yang rajin menulis secara serius dan tajam analisisnya. Dia memiliki dua teori: teori pertama, dimuat dalam buku Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam yang cukup kontroversial. Teori kedua, dikumpulkan dalam buku Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan. Dan terbaru Masdar menulis tentang Pajak itu Zakat yang juga menjadi salah satu buku kontroversial di kalangan sarjana syari’ah. Tulisan-tulisan lainnya, di samping terdapat pada beberapa buku gabungan para penulis, biasa dimuat di majalah Santri, Aula, Ulumul Qur’an, Studi Islamika, Pesantren, dan aktif menulis pada majalah ibu kota serta dalam beberapa media lainnya. Masdar adalah seorang pemikir yang mengidolakan ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb. Dialah mazhabnya dengan ciri khas lebih menekankan pemahaman maksud naṣ daripada bunyi naṣ. Adapun pemikir yang mempengaruhinya melalui bacaan yang disukai adalah Ali Syari’ati, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Azhar Ali, dan Hasan Hanafi. Disamping itu, Kyai Ali Ma’shummenjadi salah seorang yang berpengaruh bagi kebebasan berpikirnya. [5] Zusiana Elly Triantini, Integrasi Hukum Pajak Dan Zakat Di Indonesia Telaah Terhadap Pemikiran Masdar Farid Mas’udi, Jurnal Al-Akhkam, Volume 23, Nomor 2, Oktober 2013, Hal. 185. [6] Masdar Farid Mas’udi, 2010. Pajak Itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat, (Bandung: Mizan Media Utama). [7] Ibid. [8] Zusiana Elly Triantini, Integrasi., Hal. 193.

[9] Hilman Latif, 2010. Melayani Umat Filantrofi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama), hal. 46. [10]

Ibid.

[11]

Ibid.

[12]

Ibid., hal 47.

[13] Dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010 (BPS), jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 237,64 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 207,18 juta jiwa beragam islam (87,2 persen). Dilihat berdasarkan pulau, prosentase penduduk yang beragama islam terbesar ada di Pulau Jawa (95,6 persen) dan terkecil di Maluku dan Irian (37,1 persen). [14] Pada masa penjajahan Belanda, pelaksanaan ajaran Islam (termasuk zakat) diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905 yang menyatakan bahwa pemerintah tidak akan mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnnya kepada umat Islam termasuk dalam bentuk pelaksanaannya (pengumpulan dan distribusi). Kebijakan pengelolaan zakat di Awal kemerdekaan, pemerintah terkesan hanya melanjutkan kebijakan yang telah berlaku di masa kependudukan Belanda. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Surat Edaran Nomor : A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fithrah, Kementerian Agama tidak akan melakukan campur tangan terhadap pengelolaan zakat yang ada. Hingga pada tahun 1964, Kementerian Agama menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Bait al-Mal, tetapi kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden. Pada masa orde baru, Menteri Agama menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Zakat dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan surat Nomor: MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Hingga tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ). Namun, usulan ini tidak mendapat sambutan hangat dari presiden terpilih yang lebih memilih kebijakan pemusatan pengumpulan zakat melalui presiden sebagai amil nasional personal. Kebijakan ini tidak menuai

kesuksesan karena respon masyarakat untuk membayar zakat ke rekening presiden sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan pengumpulan zakat masih belum sebagian besar didominasi oleh sudut pandang yang sama yaitu gerakan masyakarat. Setelah kebijakan pemusatan yang tidak berhasil, presiden membentuk Yayasan Amal Bakti Pancasila pada tahun 1982 untuk dapat menarik dana sedekah, bukan zakat, dari pegawai negeri secara langsung sesuai dengan golongan. Penghimpunan dana ini digunakan untuk membangun masjid di seluruh nusantara. Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16/1989 tentang Pembinaan Zaat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain-lain. Dalam masa reformasi, setelah cukup mengalami perkembangan yang cukup panjang, pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang sebentar, pada tanggal 23 September 1999 atas persetujuan DPR telah mensahkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang yang mengatur zakat menjadi bukti munculnya era baru pranata agama untuk kesejahteraan yang juga masuk dalam ranah hukum positif Indonesia. Undang-undang ini mengatur terkait dengan teknis pengelolaan zakat. Dengan dibentuknya Badan Amil Zakat Nasional melalui Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 yang ditetapkan pada 17 Januari 2001, pengelolaan zakat nasional mulai berkembang di masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid. Terdapat pula gerakan-gerakan yang mengafirmasi kegiatan zakat yaitu dengan pencanangan Gerakan Sadar Zakat pada tanggal 2 Desember 2001 pada masa kepemimpinan presiden Megawati Soekarno Putri. Selanjutnya, pada masa kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 Oktober 2005 melakukan pencanangan Gerakan Infak dan Shadaqah Nasional serta mengukuhkan kepengurusan Baznas. Semakin besarnya animo masyarakat ini menunjukkan bahwa kekuatan pengelolaan zakat masih berada pada masyarakat sendiri. Dengan terbitnya SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 1991 dan Nomor 47 tahun 1991, formalisasi pengelolaan zakat di

Indonesia semakin terjamin. Begitu pula dengan pihak lain yang muncul sebagai sebagai lembaga amil zakat, seperti Badan Usaha Milik Negara, seperti BAMUIS BNI (1968), LAZ YAUMIL PT Bontang LNG (1986), dan Baitul Maal Pupuk Kujang (1994). Masyarakat madani pun juga melakukan gerakan yang juga menjadi tonggak penting dalam perkembangan pengelolaan zakat. Gerakan-gerakan ini muncul sebagai perwajahan semangat masyarakat untuk mengumpulkan lebih banyak lagi zakat mengingat jumlah penduduk muslim Indonesia yang sangat besar serta belum adanya kejelasan lembaga atau institusi formal yang mengampu pengelolaan zakat secara terpusat. Adapun lembaga zakat yang muncul seperti Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan Peduli Ummat (1999). [15] Tim Institut Manajemen Zakat, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat), 2002 [16] DR. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Si, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press), 2002, hal. 2 [17] Institut Manajemen Zakat, Panduan Zakat Praktis, Op. Cit., hal. 37 [18] Drs. H. Hasan Rifai Al-Faridy, Panduan Zakat Praktis, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika), 2004, hal. 8 [19] Dompet Sosial Peduli Umat, Risalah Zakat, (Jakarta: DSPU), hal 9-10 [20] H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-4, 2003, hal. 2 [21] Ibid. [22] M Fakhri Husein, Achmad Tjahjono, Op. Cit., hal 7 [23] R. Soeroso Bidihardjo, SH, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: PT. Rofido Utama, 2000), cet. ke-4, hal. 74 [24] Achmad Tjahjono, Op. Cit., hal.10

[25] Difirmankan Allah dalam Q.S. Al-Baqarah 177; Q.S. Al-An‘âm 141; Q.S. Al-Mâ‘ûn 4-7; Q.S. Al-Mâidah 2; Q.S. Al-Isrâ’ 26; Q.S. Al-Nisâ’ 36 dan Q.S. Al-Balad 11-18. [26] Nasruddin Dan Dewani Romli, Diskursus Implementasi Zakat Dan Pajak Di Indonesia, Jurnal Al-‘Adalah Vol. X, No. 1 Januari 2011, Hal 87. [27] Didin Hafiduddin, 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 51-65. [28] Ibid. [29] Ibid. [30] Masdar Farid Mas’udi, 2010. Pajak .., hal 85. [31] Ibid. [32] Ibid. [33] Zusiana Elly Triantini, Integrasi.., Hal. 194. [34] Ibid. [35] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam perekonomian modern, (Jakarta:Gema Insani Pers, 2002),.hlm 126. [36] Al-Zuhayly, Wahbah, Zakat kajian berbagai madzhab, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1995),hlm.82. [37] Didin Hafidhuddin, Zakat…., hal. 273 [38] Ibid.hlm 274. [39] Dapat dikatakan bahwa al-mal almustafad sampai setahun, berdasarkan pada pendapat sebagian sahabat (Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Mu’awiyah). Sebagian tabiin (al-Zuhri, al-Hasan al-Bashri, dan Makhul), serta pendapat Umar bin Abdul Aziz, alBaqir, al-Shadiq, al-Nashir, Dawud al-Zhahiri [40] Muda Markus, Perpajakan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2010), h. 58.

[41] Ahmad Juwaini, Diskursus Pajak & Zakat kekinian dan aplikasinya di negara muslim: Zakat di Saudi Arabia, artikel dalam ahmadjuwaini.com/2012/06/zakat-di-saudi-arabia. Diakses 21 September 2015. [42] Ibid. [43] Ibid. [44] Tahun 2012 jumlah perusahaan Saudi Arabia yang membayarkan zakat melalui Maslahatuz Zakat mencapai lebih dari 400.000 perusahaan. Total dana yang dihimpun Maslahatuz Zakat adalah lebih dari 1000 Trlyun Rupiah per tahun. Angka ini mencapai lebih dari 70 % APBN Indonesia. [45] Muhammad

Faqih,

Pengelolaan

Zakat

dan

Wakaf, artikel dalam https://prezi.com/lxpepzjjo2md/pengelolaan-zakat-dan-wakaf/, diakses 21 September 2015. [46] Nasruddin Dan Dewani Romli, Diskursus..,Hal 87. [47] Undang-undang Pajak No. 17 Th. 2000, Pasal 9 huruf g. [48] Nasruddin Dan Dewani Romli, Op.Cit., Hal. 88. [49] Pengurangan zakat dari laba/pendapatan kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak, begitu penjelasan dari pasal tersebut. Secara eksplisit, undang-undang tentang perzakatan termaktub dalam undang-undang Nomor 38 Tahun 1999. Akan tetapi dalam kaitannya antara zakat dan pajak, tercantum secara jelas pada pasal 14 (3), yang mana disebutkan bahwa “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” lihat (Kompilasi Hukum Islam, 2009. (Bandung : Nuansa Aulia), Cetakan Kedua, hal. 208.

[50] Pandangan Yusuf Qardhawi misalnya melihat beberapa perbedaan pokok antara zakat dan pajak, yang menyebabkan keduanya tidak mungkin secara mutlak dianggap sama, meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa persamaan di antara keduanya. Diantara perbedaannya adalah makna, hakikat dan tujuannya, batas nisab dan ketentuannya, kelestarian dan kelansungannya, sasaran pengeluarannya, hubungannya dengan penguasa dan dari sisi objek dan persentase dan pemanfaatan. Lihat penjelasannya dalam Nuruddin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen dalam Kebijakan Fiskal, hal. 33-41.Di samping model pemikiran Yusuf Qardhawi di atas, terdapat pula pandangan yang melihat antara zakat dan pajak dipersamakan secara mutlak, yaitu sama status hukumnya, tata pengambilannya maupun pemanfaatannya. [51] Sebagai contoh, PT Dayatindo membayar zakat 2,5 % dari hartanya atau senilai Rp 10.000.000,- kepada Lazis “Amanah” yang pendiriannya telah disetujui oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama), dan atas zakat tersebut diberi tanda terima. Bagi Lazis “Amanah”, zakat tersebut bukan merupakan penghasilan, tetapi bagi PT. Dayatindo merupakan biaya. Dalam Djoko Muljono, 2009. Akuntansi Pajak, (Yogyakarta :C.V Andi Offset), hal. 31-32. [52] Mufraini, Arief, 2008. Akuntansi dan Manajemen Zakat, Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, (Jakarta : Kencana), Cetakan ke-2. Hal. 42.

Related Documents


More Documents from ""

Islamic Finance 1.docx
April 2020 8
Pajak Dan Zakat.docx
April 2020 7