Padang Lamun.doc

  • Uploaded by: Anonymous Q2STOr2DX2
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Padang Lamun.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 5,567
  • Pages: 20
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Padang Lamun Lamun

(seagrass)

merupakan

satu-satunya

tumbuhan

berbunga

(Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup teredam di dasar laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (Mann 2000). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat terjangkau oleh sinar matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar 1 – 12 meter dengan sirkulasi air yang baik (Mann 2000). Air bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat–zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 55 jenis lamun, di mana di Indonesia sekitar 12 jenis dominan yagn termasuk dalam 2 famili : (1) Hydrocharitaceae dan (2) Potamogetonaceae. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal antara lain : Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata dan Thalassodendron ciliatum (Bengen, 2001). Dua jenis lainnya Halophila spinulosa dan Halophila dicipiens tercatat hanya di beberapa lokasi saja. Tahun 2007, ditemukan jenis baru, Halophila sulawesi, di perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan (Kuo 2007). Penelitian terakhir menunjukkan ada sekitar 13 jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan Indonesia (Kuo 2007). Di samping itu, ada dua jenis yakni Halophila beccarii dan Ruppia maritima yang dipercaya terdapat di Indonesia, meskipun keberadaan keduanya hanya diketahui dari herbarium lama yang tersimpan di Herbarium Bogor). H. beccarii tanpa informasi yang jelas lokasinya, sedangkan R. maritima ditemuai di kawasan mangrove sekitar Ancol (Jakarta) dan Pasir Putih (Jawa Timur). Namun setelah itu tidak pernah ditemukan lagi di lapangan oleh para peneliti. Sampai beberapa dekade terakhir ini,

6

Thalassodendron ciliatum menunjukkan sebaran yang sangat khusus yakni hanya terdapat di perairan Indonesia bagian timur, di Maluku dan Nusa Tenggara. Tetapi menurut Tomascik et al. (1997) dan Kiswara et al (1985), jenis itu terdapat juga di Indonesia bagian barat yakni di perairan Kangean dan Kepulauan Riau. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya 2

dengan produktivitas primer berkisar antara 900 – 4650 g c/m /tahun. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustacea, moluska (Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp), ekinodermata (Holothuria sp, Synapta sp, Diadema sp, Arcbaster sp, Linckia sp) dan cacing (Polichaeta) (Bengen 2001). Lamun merupakan tumbuhan laut yang memiliki sebaran yang cukup luas. Zonasi sebaran lamun dari pantai ke arah tubir, perbedaan yang terdapat biasanya pada komposisi jenisnya (vegetasi tunggal atau campuran) maupun luas penutupannya. Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas, baik yang bersifat padang lamun tunggal maupun padang lamun campuran. Jenis yang membentuk komunitas padang lamun tunggal antara lain Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Thalassodendron ciliatum dan Enhalus acoroides. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska (Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp.,Linckia sp.) dan cacing (Polichaeta) (Bengen, 2001). Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, menurut hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut: Sebagai produsen primer Sedangkan menurut Philips & Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif. ekosistem lamun perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain:

7

1. Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui tekanan–tekanan dari arus dan gelombang. 2. Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi. 3. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun. 4. Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit. 5. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi. 6. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan. Selanjutnya dikatakan Philips & Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupuin secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk : 1. Digunakan untuk kompos dan pupuk 2. Cerutu dan mainan anak-anak 3. Dianyam menjadi keranjang 4. Tumpukan untuk pematang 5. Mengisi kasur 6. Ada yang dimakan 7. Dibuat jaring ikan 1. Penyaring limbah 2. Stabilizator pantai 3. Bahan untuk pabrik kertas 4. Makanan 5. Obat-obatan dan sumber baha kimia 6. Sumber bahan kimia. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran perahu yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Limbah pertanian, industri, dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur, lalu lintas perahu yang padat, dan lain-lain kegiatan manusia dapat mempunyai pengaruh yang merusak lamun.

8

Di tempat hilangnya padang lamun, perubahan yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu: 1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring-jaring makanan di daerah pantai dan komunitas ikan. 2. Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang bersifat planktonik. 3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun. 4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul 2.2. Kondisi Lingkungan Perairan Ekosistem Padang Lamun Beberapa kondisi lingkungan yang perlu diperhatikan dalam pengkajian ekosistem padang lamun adalah sebagai berikut : 2.2.1.Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di laut karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme dan pertumbuhan organism tersebut (Hutabarat dan Evans 1986). Suhu air permukaan di perairan Nusantara o

kita umumnya berkisar antara 28 – 31 C. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorology. Faktor – faktor yang berperan antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari (Nontji 2007). Pada kondisi cahaya cukup, kebanyakan lamun mempunyai suhu optimum o

untuk berfotosintesis sekitar 25 – 35 C. Tumbuhan lamun yang hidup di daerah o

tropis umumnya tumbuh pada daerah dengan kisaran suhu air antara 20 – 30 C, o

sedangkan suhu optimumnya adalah 28 – 30 C (Supriharyono 2009). Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses fisiologi, yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan, dan reproduksi. Proses – proses fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran suhu optimum (Dahuri 2003). Suhu yang tingi akan mengakibatkan banyaknya daun yang hilang dan menaikkan suhu sedimen. Kenaikan suhu sedimen akan menyebabkan tanaman lamun mati (BTNKpS 2008).

9

2.2.2 Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut dan gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang ini adalah arus yang disebabkan oleh pasang surut. Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati diperairan teluk dan pantai (Nontji 2007). Pergerakan air sangat menentukan pertumbuhnan tanaman air, baik yang mengapung maupun yang menancap di dasar perairan, seperti lamun. Pengaruh pergerakan air, khususnya terhadap pertumbuhan lamun antara lain terkait dengan suplai unsur hara, sediaan gas – gas terlarut, serta menghalau sisa – sisa metabolisme atau limbah. Kecepatan arus yang sangat tinggi dan turbulensi dapat mengakibatkan baiknya padatan tersuspensi yang berlanjut pada reduksi penetrasi cahaya ke dalam air atau turunnya kecerahan air. Kondisi ini dapat menyebabkan rendahnya laju produksi tumbuhan lamun (Supriharyono 2009). 2.2.3 Kecerahan dan kekeruhan Kekeruhan berkaitan erat dengan tipe substrat dasar dan partikel lain yang terlarut dalam air. Perairan dengan dasar substrat berlumpur cenderung memiliki kekeruhan yang tinggi. Pada daerah muara sungai tingkat kekeruhan lebih dipengaruhi oleh banyaknya bahan anorganik daripada bahan organik (Tinsley 1979). Pada perairan yang keruh, cahaya merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan dan produktifitas lamun (Hutomo 1997). Penelitian tentang faktor kekeruhan di padang lamun di perairan Grenyang. Teluk Banten, Jawa Barat, cenderung berfluktuasi dari 11.80 – 28.74 NTU. Hal ini berkaitan erat dengan tipe substrat, kedalaman air dan keadaan cuaca (angin dan gelombang). Pengaruh nyata dari kekeruhan terhadap pertumbuhan dan bobot Enhalus acoroides, dimana pertumbuhan tertinggi terdapat pada lokasi perairan yang dangkal. Mahida (1993) menjelaskan kekeruhan yang terjadi di kolom air disebabkan oleh bahan – bahan organik, jazat renik, dan lumpur dan kekeruhan ini dapat mengganggu penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom air dan berdampak langsung terhadap

10

aktifitas fotosintesis oleh organisme yang berada di dalam kolom air seperti lamun, sehingga jumlah produktifitas primer yang dihasilkan akan berkurang. 2.2.4 Padatan Tersuspensi Total (TSS) Padatan tersuspensi total atau TSS adalah bahan – bahan tersuspensi (diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0,45 μm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad – jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003). Pada perairan yang tingkat erosi dan sedimentasinya tinggi, sedimen (padatan tersuspensi) akan menghalangi cahaya matahari sehingga mempengaruhi pertumbuhan lamun, dan dalam jangka waktu yang lama kerapatan tanaman lamun akan menurun (BTNKpS 2008). Kekeruhan karena suspense sedimen dapat menghambat penetrasi cahaya dan secara otomatis kondisi ini akan mempengaruhi kehidupan lamun. Sedimen – sedimen halus, baik yang berasal dari erosi daratan pantai atau limpahan sungai maupun pengikisan dasar laut melayang – laying dan akhirnya mengendap di perairan tempat lamun tumbuh serta menempel pada permukaan daun lamun. Kondisi seperti ini dapat mengganggu kehidupan lamun (Suprihayono 2009). 2.2.5 Salinitas Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah berat semua garam (dalam garam) o

yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan /oo (permil). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji 2007). Salinitas juga merupakan faktor yang cukup penting bagi kehidupan tumbuhan lamun seperti halnya cahya dan suhu air. Secara umum salinitas yang optimum untuk o

pertumbuhan lamun berkisar antara 25 – 35 /oo. Namun toleransi terhadap salinitas sangat bervariasi di antara spesies lamun. Lamun yang hidup di daerah estuaria cenderung lebih toleran terhadap salinitas (euryaline) dibandingkan dengan spesies yang stenohaline, yaitu selamanya tinggal di laut atau di perairan yang hipersaline. Walaupun demikian banyak jenis lamun yang tumbuh baik pada o

salinitas berkisar antara 15 – 55 /oo dan dapat bertahan hidup pada kisaran 5 –

11

o

140 /oo. Salah satu jenis lamun Halophila ovalis lebih suka pada salinitas rendah dan beberapa genera seperti Halodule, Syringodium, dan Thalassia yang mempunyai daya toleransi baik terhadap salinitas sangat luas (Supriharyono 2009). 2.2.6 Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hydrogen. Menurut Nybakken (1992), kisaran pH yang optimal untuk kisaran air laut berkisar antara 7,5 – 8,5. Menurut Philip dan Menez (1988) in Argadi (2003), kisaran pH yang baik lamun adalah pada saat pH air normal, yaitu 7,8 – 8,5 karena pada saat tersebut ion karbonat yang dbutuhkan untuk proses fotosintesis oleh lamun dalam keadaan melimpah. Odum (1971) in Argadi (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan salah satu indikator kualitas air yang sangat penting dan mempunyai pengaruh langsung dalam pengaturan sistem enzim pada organism perairan. 2.2.7 Oksigen terlarut (DO) Kadar oksigen terlarut di perairan di pengaruhi oleh suhu, salinitas, dan turbulensi air. Kadar oksigen terlarut berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Kelarutan oksigen sangat penting bagi keseimbangan komunitas dan kehidupan organism perairan. Menurut Effendi (2003), perairan yang diperuntukan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/l mengakibatkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik. Sumber oksigen terlarut bisa berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35% serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Effendi 2003). 2.3

Peranan Ekosistem Padang Lamun

Lamun berperan dalam proses pembentukan sejumlah karbon organik yang nantinya akan dimanfaatkan melalui proses pemangsaan oleh herbivora maupun melalui proses dekomposisi dari serasah. Serasah yang mengendap akan dikonsumsi oleh fauna bentik, sedangkan partikel–partikel serasah yang ada

12

dalam kolom air dimanfaatkan oleh organisme filter feeder yang pada gilirannya akan menjadi mangsa hewan karnivora seperti ikan (Hutomo dan Azkab 1987). Sebagai penstabil substrat, lamun yang memiliki daun lebat dapat memperlambat gerakan air laut (meredam arus dan ombak), sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Daun lamun dapat menangkap sedimen halus melalui kontak, sehingga pada daun terdapat mikroorganisme (Azkab 1999). Daun lamun menyerap hara secara langsung dari air laut. Daun – daunnya mempunyai stomata yang terbuka dan ruang–ruang yang berisi udara untuk mengapung, tetapi tidak mempunyai banyak sistem serat untuk menopang seperti pada rumput daratan. Lamun memiliki akar dan rizoma berada di dalam substrat. Rizoma memiliki cadangan pati dalam jumlah yang cukup banyak, yang digunakan saat pergantian daun bila ada yang rusak. Biomassa bagian lamun yang berada di bawah subtrat (akar dan rizom) lebih besar dan berbeda nyata dengan biomassa yang berada di atas subtract. Akar lamun dapat menyerap unsur hara dan pada beberapa jenis terdapat tanda–tanda fiksasi N pada bintil–bintil akar (Sloan, 1993). Selain itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar substrat dan pada saat yang sama menjadikan air lebih jernih. Berbeda dengan tumbuhan laut lainnya, lamun mempunyai akar sejati, daun, sistem pengangkut internal (berupa pembuluh) yang mengangkut zat hara dan gas – gas. Lamun juga memiliki bunga, buah serta menghasilkan biji. Sistem pembuluhnya terdiri dari bagian dalam jaringan yang memiliki saluran – saluran dari akar sampai ke daun yang berfungsi sebagai alat transport air, unsur hara dan udara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Karena sistem pembuluh dan perakaran yang dimilikinya mennyebabkan daun lamun menjadi lebat dan hal ini bermanfaat dalam produktifitas ekosistem padang lamun. Sistem perakaran ini juga menyebabkan lamun dapat tumbuh pada subtrat berpasir dan lumpur yang memungkinkan pemanfaatan unsur hara di dasar perairan dalam jumlah yang tinggi, karena lamun mampu mendaur ulang nutrient kembali ke dalam ekosistem agar tidak terperangkap di dasar laut (Sloan 1993). Lamun berperan penting dalam mata rantai ekosistem biota–biota di wilayah pesisir. Ada hubungan interaksi (asosiasi) antara seagrass dengan hewan dan

13

tumbuhan air lainnya. Komunitas hewan padang lamun dibagi berdasarkan struktur mikro habitatnya dan pola kehidupannya dalam empat kelompok yaitu: 1). Kelompok pertama, yaitu biota yang hidup di daun lamun terdiri atas : a. Flora epifitik, mikro dan miofauna yang hidup di dalamnya, seperti protozoa, foramifera, nematoda, polychaeta, rotifer, tardigrada, copepoda dan arthoproda. b. Fauna sesil, seperti hydrozoa, actinia, bryozoa, polychaeta dan ascidia. c. Epifauna bergerak, merayap dan berjalan di daun seperti gastropoda, polychaeta, turbellaria, crustacean dan beberapa echinodermata. d. Hewan – hewan yang bergerak tetapi beristirahat di daun lamun seperti mysidacea, hydromedusa, cephalopoda dan syngnatidae. 2). Kelompok kedua, yaitu biota yang menempel pada rimpang seperti polychaeta dan amphipoda. 3). Kelompok ketiga, yaitu spesies bergerak yang hidup pada perairan di bawah tajuk daun lamun, seperti ikan, udang,dan cumi – cumi. Hewan – hewan yang bergerak cepat ini dibagi lagi dalam empat kategori berdasarkan periode mereka tinggal di padang lamun yaitu (a) penghuni tetap, (b) penghuni musiman (c) pengunjung temporal dan (d) peruaya yang tidak menentu. (4) Kelompok keempat, yaitu hewan–hewan yang hidup pada sedimen dan di dalam sedimen seperti epifauna dan infauna bentos. Lamun merupakan salah satu produsen primer yang ada di perairan laut dangkal dan sebagai daerah asuhan atau perlindungan bagi kelangsungan hidup berbagai biota. Hal ini mendorong berbagai spesies untuk mencari makan di daerah ini. Howard et al. (1989) diacu in Keough dan Jenkinsn (1995) mengelompokkan organisme yang beasosiasi dengan padang lamun sebagai berikut : 1. Algae mikroskopis seperti perifiton yaitu organismee bersel tunggal yang menempel pada daun lamun. 2. Algae mikroskopis yang tumbuh di daun lamun. 3. Infauna bergerak, yaitu hewan yang hidup di dalam sedimen di sepanjang rimpang lamun.

14

4. Epifauna bergerak, yaitu hewan yang berukuran kecil, berasosiasi dengan permukaan sedimen dan sering ditemukan diantara serasah lamun, batang atau daun lamun. 5. Epifauna sesil, yaitu organisme yang menempel secara permanen pada batang atau daun lamun. 6. Fauna epibentik, yaitu hewan yang berukuran besar, bergerak dan berasosiasi dengan padang lamun. Sedangkan menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif. Ekosistem lamun di perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain : a. Menstabilkan dan menahann sedimen–sedimen yang dibawa melalui tekanan– tekanan dari arus dan gelombang. b. Daun–daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi. c. Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang berkembang biak di padang lamun. d. Daun–daun sangat membantu organisme–organisme epifit. e. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi. f. Memfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan. Dengan menggunakan metode oksigen Lindeboom dan Sandee (1989) mendemonstrasikan bahwa produksi primer kotor (gross primary production) berbagai komunitas lamun di Laut Flores berkisar 1230 sampai 4700 mg C. m 2

-1

-

-2

-1

.hari sedangkan konsumsi untuk respirasi berkisar 860 – 3900 mg C. m . hari . -2

Produksi bersihnya (net primary production) berkisar 60 – 1060 mg C. m . hari -1

-2

, atau setara dengan produksi tahunan sebesar 387 g C.m . Produksi primer oleh

epifit dapat pula memberikan sumbangan yang bermakna, sampai sebesar 36 % dari laju produksi primer di suatu komunitas lamun.

15

2.4

Pola Habitat dan Ancaman pada Ekosistem Lamun

Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0.5 – 10 m, tetapi sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lamun lebih banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah Ugahari (Barber 1985). Habitat lamun dapat dipandang sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dipandang sebagai suatu proses tunggal yang dikendalikan oleh pengaruh–pengaruh interkatif dari faktor–faktor biologis, fisika, kimiawi. Lamun pada umumnya dianggap sebagai kelompok tumbuhan yang homogen. Lamun terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Lamun jenis Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat berpasir dan pasir sedikit bercampur dan kadang–kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran pecahan karang yang telah mati. Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut, tidak terlepas dari gangguan atau ancaman–ancaman terhadap kelangsungan hidupnya baik berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktifitas manusia. Banyak kegiatan atau proses, baik alami maupun oleh aktifitas manusia yang mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat aktifitas perahu di lingkungan pesisir yang tidak terkontrol (Sangaji 1994). Pengamatan lokal di Pulau Pari dan Teluk Banten menunjukkan kerusakan pada lingkungan lamun (Enhalus dan Syrongodium) karena kekeruhan air akibat teraduk oleh lalu lintas perahu dan kapal nelayan. Degradasi padang lamun di Teluk Banten terjadi secara luas sejak reklamasi dimulai tahun 1990 untuk pembangunan kawasan industri dan pelabuhan. Degradasi padang lamun juga terjadi di Teluk Grenyang dan Bojonegara. Sekitar 116 ha atau 26 % dari total luas padang lamun di Teluk Banten telah lenyap (Giesen et al 1990). Hilangnya area padang lamun dari perairan Indonesia dijumpai di Teluk Banten akibat kegiatan reklamasi pantai untuk pembangunan pelabuhan, jalan dan kawasan industri. Luas padang lamun hilang mencapai sekitar 116 ha atau sekitar 25 % dari total luas padang lamun (Douven et al 2004).

16

Masuknya nutrisi yang berasal dari aktivitas kegiatan manusia ke lingkungan pesisir telah secara dramatis meningkat di berbagai belahan bumi pada ahir abad ke 20 dan telah merubah berbagai ekosistem pesisir. Deegan et al. (2002) mengevaluasi pengaruh-pengaruh dari penambahan nitrogen terhadap struktur komunitas makrofit dan assosiasi biotanya. Pengaruh-pengaruh tersebut adalah 1). Mereka menemukan suatu perubahan dalam produsen primer dari lamun Zostera ke algae makro sebagai reaksi terhadap peningkatan masuknya nutrisi dan perubahan habitat ikan, stuktur kimiawi dan rantai makanan. Akibat peningkatan masuknya nitrogen, mereka menemukan naiknya biomas algae dan turunnya kerapatan dan biomas lamun Zostera, penurunan kelimpahan dan biomas ikan dan dekapoda serta penurunan keanekaragam jenis ikan. 2). Pengurangan makro algae mampu meningkatkan kelimpahan lamun, kualitas perairannya serta kadar oksigen pada lapisan dasarnya. Perubahan dalam struktur fisika dan kimia ekosistem dengan turunnya biomas makro algae menghasilkan lebih tingginya kelimpahan dan biomas ikan dan dekapoda. 3). Kombinasi percobaan dengan penjejak isotop stabil

15

N dan pertumbuhan ikan menunjukkan bahwa sedikit

sekali produksi dari makro algae yang langsung ditransfer ke tingkat konsumen ke 15

dua. Nilai δ N menunjukkan bahwa kebanyakan ikan tidak menggunakan suatu rantai makanan berdasarkan pada makro algae. Ikan cenderung untuk untuk tumbuh lebih baik dan mempunyai kemungkinan hidup lebih lama pada lingkungan lamun dibandingkan pada habitat makro algae. 4). Peningkatan nutrisi yang berasal dari daratan teleh menyebabkan peningkatan biomas makro algae dan degradasi serta hilangnya habitat lamun. Ancaman – ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon (terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut, interkasi populasi dan komunikasi (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut. Meskipun dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji 1994).

17

Limbah pertanian, industri dan rumah tangga yang dibuang ke laut, pengerukan lumpur dan lalu lintas perahu yang padat dapat merusak lamun. Di tempat hilangnya padang lamun, diperkirakan terjadi perubahan sebagai berikut (Fortes 1989). 1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring – jaring makan di daerah pantai dan komunitas ikan. 2. Perubahan dalam produsen yang dominan dari yang bersifat bentik ke yang bersifat planktonik. 3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat–sifat pengikat lamun. 4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul. Berbagai tekanan terhadap padang lamun yang terjadi di lingkungan baik dari darat maupun dari pantai yaitu : a. Eutrofikasi dari sumber hara di darat seperti saluran air kotor, pupuk, sungai, limbah tambak, dapat menimbulkan peledakan epifit lamun dan mengurangi cahaya ke tumbuhan tersebut. Hilangnya tumbuhan lamun mengarah ke erosi lokal, yang meningkatkan gerakan ombak di dasar laut dan kekeruhan serta lebih jauh lagi mengurangi cahaya b. Meskipun tumbuhan lamun dapat hidup pada tingkat sedimentasi tertentu, kekeruhan berlebihan dapat merusak yang disebabkan oleh penambangan, pengerukan, jaring pukat serta sedimen dari buruknya pemanfaat tanah di daerah aliran sungai c. Perubahan struktur garis pantai (bangunan, hilangnya mangrove) dapat mengubah sirkulasi air dan habitat yang dibutuhkan untuk tumbuhan lamun d. Eksploitasi perikanan berlebihan di dalam padang lamun dapat menjadi masalah e. Polusi yang bersumber dari darat dapat menyebabkan akumulasi zat pencemar (biasanya logam berat) di dalam jaringan tumbuhan lamun dan di dalam binatang yang memakan lamun.sumber f. Efluen panas (air pendingin dari industri) dapat mematikan lamun.

18

Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi lingkungan pertumbuhan juga mempengarui kelangsungan hidup suatu jenis lamun seperti yang dinyatakan oleh Barber (1985) bahwa temperatur yang baik untuk mengkontrol produktifitas o

o

lamun pada air adalah sekitar 20 sampai dengan 30 C untuk jenis lamun o

Thalassia testudium dan sekitar 30 C untuk Syringodium filiforme. Intensitas cahaya untuk laju fotosintesis lamun menunjukkan peningkatan dengan o

o

o

meningkatnya suhu dari 20 C sampai 35 C untuk Zoantera marina, 30 C untuk o

Cymodoceae nodosa dan 25 – 30 C untuk Possidonia oceania. Kondisi ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sekitar 30 – 40%. Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah industri dan pertumbuhan penduduk. Diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali dan Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan spesies lamun. Rekolonisasi ekosistem padang lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5 – 15 tahun dan biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di daerah tropis berkisar 22.800 – 684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktivitas pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat meminimalkan dampak negatif melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu : aspek kelestarian lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial (Fortes 1989). Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan berasal dari aktifitas manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya ekosistem padang lamun dengan menggunakan potasium sianida, sabit dan gareng serta pembungan limbah industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal ini Fauzi (2000) menulis bahwa dalam menilai dampak suatu aktifitas manusia terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan dengan metode teknik evaluasi lingkungan yang dikenal dengan istilah Environmental Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikan instrumen universal dalam mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktifitas pembangunan, disamping itu metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.

19

2.5 Nilai Ekologi dan Ekonomi Ekosistem Padang Lamun Keough dan Jenkins (1995) menyatakan ekosistem padang lamun memiliki kemampuan produktifitas yang tinggi dan memiliki peranan dalam sistem rantai makanan khususnya pada periphyton dan epiphytic dari detritus yang dihasilkan. Sumbangan lamun terhadap produksi primer di estuaria Australia yaitu :1 – 20 % dari Posidonia, Zostera dan Thalasia yang diekspor keluar dari padang lamun, ekosistem padang lamun di daerah tropis dan subtropik yang didominasi oleh jenis Syringodium 47 – 75% produksi primernya telah diekspor keluar dari padang lamun. Padang lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken (1988), fungsi ekologis padang lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biotabiota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan. Selanjutnya, dari berbagai literatur, Dahuri (2003) menyimpulkan akan pentingnya nilai ekonomi dan ekologi padang lamun, terutama terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun ini. Terdapat hingga 360 spesies ikan, 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan. Keberadaan ekosistem padang lamun sepertinya akan semakin penting terkait dengan adanya isu pemanasan global, dimana kemungkinan potensi tumbuhan ini sebagai pereduksi CO2. Lindeboom dan Sandee (1989) mempelajari produksi vegetasi campuran di P. Komodo yang memakai metode pengukuran oksigen dengan menggunakan -2 -1

bell-jar. Mereka memperoleh hasilnya sebesar 1.230 – 4.700 mg.C.m .h . Metoda yang sama dipakai oleh Erfemeiyer et al. (1993) pada vegetasi campuran

20

-2 -1

di Kep. Spermonde dengan hasil 900 – 4.400 mg.C.m .h . Penelitian-penelitian produksi lamun di perairan Indonesia lainnya hanya memberikan nilai produksi -2 -1

lamun dalam berat kering, nilai terendah adalah 0,6 g.BK. m .h -2 -1

serrulata) dan yang tertinggi adalah 8,1 g.BK. m .h

(Cymodocea

(Thalassia hemprichii)

(Azkab, 1999). Kusumastanto et al. (1999) menyatakan bahwa produksi perikanan ekosistem padang lamun dapat dihitung seperti pada nilai produksi perikanan pada ekosistem terumbu karang. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai ekonomi padang lamun di Balerang dan Bintan yaitu : ikan 3,858.91 US S/ha/th, pencegahan erosi 34,871.75 US S/ha/th, biodiversity 15.00, US S/ha/th, dan total nilai ekonominya adalah 38,745.66 US S /ha/th. Tomascik et al. (1997) menjelaskan bahwa molusca telah banyak dieksploitasi dari ekosistem padang lamun karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Jenis hewan tersebut telah mengalami penurunan jumlah populasi di ekosistem padang lamun Teluk Kute dan Teluk Gerupuk Lombok Selatan. Azkab (1988) menyatakan bahwa akhir – akhir ini telah terjadi peningkatan eksploitasi hewan echinodermata khususnya teripang. Perbandingan jumlah komposisi fauna yang berasosiasi dengan vegetasi lamun tergantung pada tipe padang lamun, pada padang lamun yang bertipe campuran yaitu zona Enhalus acoroides, didominasi oleh jenis fauna Gastropoda, dan pada zona Halodule uninerve didominasi oleh bivalvia (kerang – kerangan) dan pada jenis Halophila didominasi oleh jenis Crustacea. Asosiasi antara lamun dengan hewan dapat terjadi jika ekosistem padang lamun dapat : (1) menyediakan makanan, (2) tempat perlindungan dari predator, (3) meningkatkan ruang kehidupan. Menurut De Iongh (1995) duyung lebih suka makan Halodule uninervis. Merujuk pada hasil penelitiannya dapat ditegaskan bahwa terdapat korelasi antara jumlah duyung dan makanan yang tersedia. Selain itu, perubahan kelimpahan lamun dan kualitas haranya akan mempengaruhi pergerakan dan siklus kawin duyung.

21

2.6

Pengelolaan Padang Lamun

Pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan

masyarakat

hendaknya

mempertimbangkan

keterpaduan antara unsur ekologi, ekonomi dan sosial. Keterpaduan ini secara ekonomi dapat mencapai pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi, sedangkan secara sosial dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat, mobilitas sosial yang terkontrol, tumbuhnya identitas budaya dan dapat dilakukan pengembangan kelembagaan baik yang formal maupun non formal, secara ekologi dapat memperlihatkan keterkaitan fungsional antar ekosistem, daya dukung (carrying capacity), biodiversity dan hal–hal yang terkait dengan isu global (Daily 1996) dan selanjutnya di jelaskan bahwa dalam menjamin keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya alam hal–hal yang harus diperhatikan adalah pemerataan (capacity), social polytical right, pendidikan, kesehatan dan teknologi. Dalam kondisi seperti ini konsep sustainability mengandung makna keterkaitan dengan konsep carrying capacity yang dapat dijadikan ukuran tercapainya sustainability mengandung makna keterkaitan dengan konsep carrying capacity yang dapat dijadikan ukuran tercapainya sustainability dari suatu aktivitas pembangunan. Daily (1996) menjelaskan bahwa konsep daya dukung dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : (1) daya dukung biofisik yaitu merupakan ukuran maksimum populasi yang dapat survival, dibawah kendali suatu sumberdaya dan teknologi dan (2) daya dukung sosial yaitu merupakan jumlah penduduk yang dapat hidup layak di bawah kendali suatu sistem sosial. Dahuri (1999) menjelaskan bahwa dalam

kebijakan dan strategi

pembangunan wilayah pesisir pada kegiatan perlindungan dan konservasi dititik beratkan pada dua komponen utama yaitu : (1) penanggulangan dampak dari daratan dan (2) perlindungan fisik habitat ekosistem pesisir dan lautan. Dari konsep ini dapat dilakukan beberapa hal penting diantaranya adalah : (a) meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir seperti ekosistem padang lamun, (b) mengikutkan nilai eksternal dalam perencanaan perhitungan nilai ekonomi suatu sumberdaya.

22

Pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable environmental management) yang memiliki dimensi ekonomi, sosial dan ekologi. Dimensi ekonomi menekankan bahwa pertumbuhan dan efesiensi dalam pemanfaatan sumberdaya alam harus diupayakan secara terus menerus. Dimensi sosial mencakup isu – isu yang berkaitan dengan distribusi kekayaan/pemerataan pada pentingnya upaya – upaya untuk mencegah terganggunya fungsi dasar ekosistem sehingga tidak akan mengurangi fungsi layanan ekologi (ecology service). Oleh karena itu tuntutan ke arah konservasi ekosistem semakin besar karena meningkatnya ancaman terhadap kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati terutama akibat pertumbuhan jumlah penduduk, anomali iklim, pola konsumsi dan antropogenik lainnya. Carter (1996) menjelaskan bahwa konsep pengelolaan berbasiskan masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu : (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, (2) mampu merefleksi kebutuhan–kebutuhan masyarakat local yang spesifik, (3) mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis, (4) responsive dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan local, (5) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen dan (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Pengembangan persepsi sosial masyarakat yang positif perlu terus dikembangkan yaitu untuk melahirkan perilaku masyarakat yang berorientasi pada pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan Persepsi sosial masyarakat yang perlu dikembangkan adalah : (1) saling menghargai dan bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakat, (2) berorientasi pada peningkatan kualitas hidup, (3) menumbuhkan jiwa masyarakat yang peduli terhadap lingkungan, (4) merubah watak dan sikap individu maupun kelompok yang kurang baik, (5) menciptakan kebersamaan, (6) melestarikan nilai yang vital pada ekosistem wilayah pesisir seperti ekosistem padang lamun, terumbu karang dan mangrove, (7) mengurangi kemunduran secara ekologis maupun ekonomi dari ekosistem wilayah pesisir, dan (8) menjaga tetap dalam kapasitas kemampuan daya dukung yang maksimal.

23

Tiga

kunci

kegiatan

diperlukan

untuk

menjamin

efektivitas

dari

perlindungan ekosistem lamun: 1) membangun suatu jaringan monitoring dunia, 2) membangun model kuantitatif dugaan reaksi lamun terhadap gangguangangguan, dan 3) pendidikan masyarakat akan fungsi dan peranan padang lamun dan dampak-dampak dari kegiatan manusia (Duarte 2002). Meskipun beberapa areal ekosistem pesisir termasuk areal padang lamun di Indonesia telah dimasukan ke dalam suatu kawasan lindung, namun pada kenyataan di lapangan menunjukkan banyak diantaranya yang masih mendapat tekanan yang cukup berarti. Sebagai upaya pemecahan, kini pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan instansi terkait lainnya berusaha mengembangkan pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai pihak, yaitu Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu atau Integrated Coastal Management (ICM). Pengeloaan pesisir secara terpadu memerlukan justifikasi yang bersifat komprehensip dari subsistem-subsistem yang terlibat di dalamnya. misalnya implikasi terhadap lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam perspektif mikro maupun makro. Pembangunan hendaknya mempertimbangkan keterpaduan antar unsur ekologi, ekonomi dan sosial. Pada lingkungan pesisir, memiliki kendala khusus dalam melihat implikasi dari suatu strategi pengelolaan, hal ini disebabkan karena adanya bermacammacam aktivitas dan kelompok masyarakat sebagai pengguna, seperti rencana pengelolaan yang dibuat oleh pemerintah sering tidak dapat mencakup semua kepentingan masayarakat dan sebaliknya masyarakat menganggap sumber alam sebagai open acces resources (Raharjo 1996). Namun yang paling penting dalam pengelolaan ekosistem di dalam wilayah pesisir harus diingat, bahwa suatu ekosistem di wilayah pesisir tidak berdiri sendiri atau diantara beberapa ekosistem saling terkait baik secara biogeofisik, maupun secara sosioalekonomi; dan kelangsungan hidup suatu ekosistem juga sangat tergantung pada aktifitas manusia di darat yang dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya konservasi dan pelestarian serta pengunaan sumber daya ekosistem lamun yang berkelanjutan memerlukan pengelolaaan secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumber daya alam jasa-jasa lingkungan pesisir

24

dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assesment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dangan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah area pesisir (stakeholder) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada. Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keperpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam persisir (Bengen 2001).

Related Documents

Padang Lamun.doc
November 2019 38
Permainan Padang
November 2019 45
Padang Lamun.docx
October 2019 46
Padang Lamun
November 2019 38
Padang Bulan.docx
July 2020 19
Padang Bulan.docx
July 2020 32

More Documents from "Tri Yulianto"

R,rumput.doc
November 2019 6
Padang Lamun.doc
November 2019 38
Bentos.docx
November 2019 3
Lamun.docx
November 2019 2
Intake System.docx
May 2020 102