P2kp

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View P2kp as PDF for free.

More details

  • Words: 18,116
  • Pages: 94
ABSTRAK IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN (P2KP) DI KECAMATAN BONTOMANAI KABUPATEN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN Andi Irmayanti Azis Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan memperoleh gambaran, hambatan dan upaya mengenai implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Informan penelitian terdiri dari : Bupati Selayar, Camat Bontomanai, Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat, Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Miskin. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar masih dalam tahap pelaksanaan dengan kriteria cukup baik. Hambatan dalam implementasi Kebijaksanaan P2KP di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar terbagi dalam dua bagian yaitu 1). Hambatan dari Individu yang meliputi a). Kebiasaan (habit), b). Ketergantungan (Dependence), c). Superego d). Rasa tidak aman dan regresi (insecurity and regression), sedangkan hambatan berikutnya adalah hambatan dari sistem sosial yang meliputi kesepakatan terhadap norma tertentu (conformity to norms) dan kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (systemic and cultural). Upaya-Upaya yang dilakukan dalam implementasi kebijaksanaan P2KP meliputi upaya Dimensi Makro yang terdiri dari a). Strategi pembangunan daerah dengan mengikutsertakan daerah-daerah pemasok migran; b). Bekerja sama dan mengembangkan jaringan (net working) dengan pemerintah daerah asal. c). Investasi pembangunan di daerah asal migran. d). Insentif bagi non-government organizations (NGO). Upaya dalam Dimensi Mikro melalui peningkatan kesadaran masyarakat dengan melakukan pendidikan masyarakat (community education) dan pemasaran sosial serta kesalehan sosial (adanya pemimpin yang teladan), sedangkan upaya dalam Dimensi Meso melalui pendekatan "pengembangan masyarakat" (community development), dan pendekatan "pelayanan masyarakat (community service approach).

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini, mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahankemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Berbagai persoalan kemiskinan penduduk sangat menarik untuk disimak dari berbagai aspek sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap sarana dan prasarana dan berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan. Mencermati situasi sosial tersebut, maka diperlukan intervensi pemerintah melalui kebijaksanaan publik yang berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat. Melalui kebijaksanaan tersebut, maka pada gilirannya dapat tercipta kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berarti, pemerintah tidak menempatkan masyarakat sebagai pihak yang lemah yang selalu bergantung pada pemerintah. Akan tetapi, pemerintah menempatkan masyarakat sebagai pihak yang memiliki potensi sehingga perlu

dibangkitkan

kesadaran,

2

motivasi,

mendorong

serta

mengembangkan potensi sumber daya yang mereka miliki. Dengan kata lain, masyarakat tidak lagi dijadikan sebagai obyek pembangunan untuk kepentingan politik tertentu, melainkan masyarakat selaku subyek yang paling berperan dalam implementasi kebijaksanaan pemberdayaan. Ermaya Suradinata (1993:192) : Konsep kebijaksanaan dimaknai sebagai policy dan wisdom. Sebagai wisdom, maka kebijaksanaan adalah pandangan luas yang masih dalam pemikiran, bersifat universal, mondial dan objeyektif. Sebagai policy atau kebijaksanaan adalah kebijaksanaan yang diterapkan secara subyektif yang operatifnya merupakan : 1) Suatu penggarisan ketentuan. 2) Bersifat pedoman, pegangan, bimbingan yang mencapai kesepahaman dalam maksud atau cara atau sasaran. 3) Bagi setiap usaha dan kegiatan sekelompok manusia yang berorganisasi. 4) Sehingga terjadi dinamika gerakan tindakan yang terpadu, sehaluan dan seirama dalam mencapai tujuan tertentu. Secara konstitusional, permasalahan kemiskinan di Indonesia telah dijadikan perhatian utama bangsa Indonesia sejak tersusunnya UndangUndang Dasar 1945. Manifestasi dari komitmen Indonesia dimaksud terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai

konsentrasi

dalam

penanganan

kemiskinan.

Menurut

Chamsyah, B (2006:1) berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan

Kesejahteraan

Rakyat

(Takesra),

Kredit

Usaha

Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah (KUKM), Jaring

Pengaman

Sosial

(Social

Safety

Net

Program),

Program

Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan lain-lain. Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pembangunan yang multidimensi sehingga cara pemecahannya diperlukan suatu strategi

3

komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Oleh karena itu pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum telah merancang suatu program untuk menanggulangi kemiskinan yang ada di perkotaan yaitu Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP).

Namun

patut

disadari

bahwa

program

penanggulangan

kemiskinan yang telah dilakukan oleh Pemerintah masih belum mampu mengatasi seluruh persoalan kemiskinan di tingkat masyarakat baik sebagai kelompok sasaran maupun dalam pengertian masyarakat warga secara keseluruhan. Hal ini antara lain disebabkan karena aspek penguatan terhadap kelembagaan yang bertumpu pada masyarakat dalam program dimaksud kurang mendapat perhatian yang memadai dari sisi konsep. Oleh karena itu dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut, pemerintah dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum telah merancang

suatu

program

yang

diharapkan

dapat

menjamin

keberlanjutan upaya-upaya dalam penguatan kelembagaan dan kapasitas masyarakat yang mengutamakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal. Kedua hal tersebut diyakini merupakan syarat menuju terbentuknya masyarakat yang mampu mengatasi persoalan kemiskinan yang dihadapi secara mandiri, efektif dan berkelanjutan. P2KP adalah suatu program yang dirancang dengan suatu paradigma

baru

bahwa

untuk

menanggulangi

kemiskinan

secara

berkelanjutan diperlukan suatu pendekatan yang berbasis pada prinsipprinsip pemberdayaan komunitas sehingga dalam proses pelaksanaan program perlu dilakukan upaya-upaya tertentu yang harus dilakukan oleh komunitas itu sendiri dengan sasaran utama adalah masyarakat miskin di tingkat kelurahan di perkotaan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa P2KP adalah program penanggulangan kemiskinan di perkotaan dari, oleh dan untuk rakyat. Sifat dan konsep dasar P2KP berbeda dengan program lainnya,dimana P2KP adalah program yang mengutamakan pada pengokohan/penguatan kelembagaan di masyarakat agar program ini

4

berkelanjutan. Dalam hal ini, masyarakat diperankan sebagai pelaku utama melalui partisipasi aktifnya sehingga masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya difungsikan sebagai obyek program,tetapi ikut serta dalam merumuskan program yang paling cocok bagi mereka melalui proses, perencanaan, pemantauan serta evaluasi hasil dari implementasi program. P2KP bukanlah program yang semata-mata menyalurkan dana ke masyarakat melainkan juga mendorong upaya pemberdayaan

masyarakat

untuk

dapat

berdiri

sendiri

dalam

menyelesaikan berbagai persoalan kemiskinan yang dihadapi. Tujuan P2KP yaitu untuk memberikan bantuan teknis berupa pendampingan

kepada

masyarakat

dalam

rangka

membantu

pengorganisasian kelembagaan di tingkat komunitas dan melakukan upaya bagi peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana dasar lingkungan serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga masyarakat dapat secara mandiri melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap

berbagai

program

yang

terkait

dengan

penyelesaian

permasalahan serta penyebab kemiskinan yang dihadapi. Memberikan bantuan kepada masyarakat miskin dalam bentuk dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat baik yang sifatnya bergulir atau sifatnya hibah. Penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Bontomanai sebagai salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Selayar. Kecamatan Bontomanai terdiri dari 10 Desa. Desa penerima bantuan P2KP di Kecamatan Bontomanai sebanyak 4 desa yaitu Desa Polebunging, Bontolempangan, Parak, dan Jambuiya. Dalam rangka melaksanakan program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan, pemerintah daerah telah berusaha meningkatkan anggaran untuk program-program yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan

5

data BPS Tahun 2005 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 37,70 juta jiwa atau sekitar 16,58 persen dari jumlah penduduk sebesar 220.953.634 jiwa. Sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal di pedesaan, yaitu mencapai

154,667,543.80 juta jiwa atau 70,00 %

(persen) dari seluruh penduduk Indonesia (Data BPS 2005). Sementara itu tingkat kemiskinan di perdesaan (ditinjau dari indikator jumlah dan persentase penduduk miskin maupun kedalaman dan keparahan kemiskinan) memiliki persentase yang cukup tinggi. Jumlah penduduk miskin total adalah sekitar 37,4 juta jiwa (BPS 2005) atau sekitar 17,2 % (persen) dengan persentase penduduk miskin perdesaan mencapai 20,2 % (persen) sedangkan di perkotaan sebesar 13,6 % (persen). Berdasarkan data BPS Tahun 2006 jumlah penduduk miskin yang menerima Program Beras Miskin (Raskin) di Kabupaten Selayar sebanyak 7.806 jiwa atau sekitar 6,81 % (persen) dari jumlah penduduk sebanyak 114.598 jiwa. Berdasarkan Profil Kabupaten Selayar 2006 terlihat bahwa jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin di Kecamatan Bontomanai pada tahun 2005 sebanyak 1.272 atau sekitar 16,29 % dari seluruh Kepala Keluarga miskin yang ada di Kabupaten Selayar. Tingginya angka kemiskinan tersebut menjadi bukti bahwa Kabupaten Selayar tercatat sebagai salah satu daerah tertinggal di Kawasan Timur Indonesia sehingga dengan kondisi yang demikian, maka Kabupaten Selayar khususnya Kecamatan Bontomanai merupakan salah satu daerah yang wajib diberikan kesempatan untuk pelaksanaan P2KP sebagai wujud program untuk penanggulangan kemiskinan. Adapun kegiatan yang dilaksanakan telah menghabiskan dana anggaran sebesar Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) yang terdiri dari empat desa masing-masing menerima Rp.250.000.000,- Perincian alokasi dana kegiatan adalah Rp. 297.600.000 untuk kegiatan lingkungan,

6

kegiatan sosial sebesar Rp. 155.950.000,- kegiatan ekonomi diperlukan anggaran sebesar Rp.516.450.000,- sedangkan BOP Rp. 30.000.000,Hal inilah yang melatarbelakangi dan mendorong penulis untuk melakukan

penelitian

dan

pengkajian

tentang



Implementasi

Kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar”. 1.2. Permasalahan 1.2.1. Identifikasi Masalah Latar belakang permasalahan tersebut dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut : 1. Kurang optimalnya pelaksanaan P2KP dalam pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Bontomanai. 2. Kurangnya sumber daya yang tersedia. 3. Kurangnya sinergi koordinasi antar instansi terkait (stakeholder) dalam pelaksanaan program P2KP. 4. Kurang optimalnya pelaksanaan evaluasi program P2KP. 1.2.2. Pembatasan Masalah Untuk mempersempit ruang lingkup masalah, maka perlu adanya pembatasan. Penulis membatasi masalah penelitian yang berfokus pada bagaimana

implementasi

kebijaksanaan

Program

Penanggulangan

Kemiskinan Perkotaan (P2KP), hambatan-hambatan serta upaya-upaya yang

dilakukan

Penanggulangan

dalam

implementasi

Kemiskinan

Perkotaan

kebijaksanaan (P2KP)

di

Program Kecamatan

Bontomanai Kabupaten Selayar. 1.2.3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

7

1. Bagaimana

implementasi

kebijaksanaan

Program

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar ? 2. Bagaimana kebijaksanaan

hambatan-hambatan Program

dalam

implementasi

Penanggulangan

Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar ? 3. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan dalam implementasi kebijaksanaan

Program

Penanggulangan

Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar ? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi serta menggambarkan tentang : 1. Implementasi

kebijaksanaan

Program

Penanggulangan

Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. 2. Hambatan-hambatan

dalam

implementasi

kebijaksanaan

Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. 3. Upaya-upaya kebijaksanaan

yang

dilakukan

Program

dalam

Penanggulangan

implementasi Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar.

8

1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami dan memperoleh gambaran implementasi kebijaksanaan

Program

Penanggulangan

Kemiskinan

Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. 2. Untuk memahami dan memperoleh gambaran hambatanhambatan

dalam

implementasi

kebijaksanaan

Program

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. 3. Untuk memahami dan memperoleh gambaran upaya-upaya yang dilakukan dalam implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Aspek Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan administrasi pemerintahan

daerah

khususnya

dalam

implementasi

kebijaksanaan program pemberdayaan masyarakat miskin kota. 1.4.2. Aspek Praktis 1. Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan daya analisis

penulis

implementasi

dalam

menyikapi

kebijaksanaan

berbagai

khususnya

fenomena

pemberdayaan

masyarakat miskin kota. 2. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan

9

bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. 3. Bagi Program Pascasarjana (MAPD) Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Hasil

penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

pengembangan koleksi perpustakaan Program Pascasarjana MAPD-IPDN dalam bidang kajian implementasi kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin kota. 1.5. Kerangka Pemikiran Keinginan menanggulangi kemiskinan di Indonesia bukan hal baru. Pada periode 1980-an, pemerintah pernah mencanangkan dua pokok kebijaksanaan penduduk

pembangunan

yang

hidup

di

yaitu

bawah

pertama, garis

mengurangi

kemiskinan,

dan

jumlah kedua,

melaksanakan delapan pemerataan yang meliputi pemerataan pembagian pendapatan, penyebaran pembangunan di seluruh daerah, kesempatan memperoleh berpartisipasi

pendidikan, dalam

kesehatan,

kegiatan

kesempatan

pembangunan

kerja, dan

berusaha, kesempatan

memperoleh keadilan. Program pembangunan dilaksanakan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah melainkan juga memenuhi kepuasan batiniah. Hasil pembangunan diarahkan merata ke seluruh penjuru tanah air, bukan hanya dinikmati oleh segolongan masyarakat, dan dapat dirasakan oleh segenap masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan sampai sekarang belum mencapai hasil yang diharapkan. Kemiskinan belum berkurang dan isu-isu ketimpangan semakin besar bahkan terus membengkak.

Roesmidi,

(2006:95)

menyatakan

bahwa

program

pembangunan ekonomi ternyata tidak efektif, bantuan yang dikucurkan pemerintah tidak menyentuh kelompok miskin. Lebih lanjut beliau menyatakan :

10

Untuk memahaminya perlu ditelaah kembali dimensi struktural kemiskinan itu sendiri. Secara sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui "institutional arrangments"yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berangkat pada "kelemahan diri", sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural seperti diungkap di atas. Kemiskinan semacam itu justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dilaksanakan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi. Kondisi kemiskinan di wilayah perkotaan pada umumnya hampir sama dengan pedesaan meskipun dengan wajah yang agak berbeda. Di antara pengusaha yang memperoleh kucuran dana untuk menunjang proses industrialisasi, ternyata banyak yang melakukan manipulasi dan monopoli.

Dengan

dalih

efektivitas

dan

efisiensi,

mereka

telah

"merampas" tanah dan tenaga kerja yang murah dalam proses produksi. Ironisnya, beberapa kebijaksanaan justru memperlicin proses perampasan itu. Di samping itu, golongan menengah kota belum terbentuk atau masih semu, belum terbuka pandangan dan kepentingan politik yang integral terhadap perkembangan ekonomi secara keseluruhan, belum tumbuh kesadaran kelas. Oleh karena itu, sebutan "kelas menengah" sebenarnya merupakan sub-elit yang feodalistik dan quasi liberal. Bahkan langkahlangkah yang diambil kerap kali justru menutup akses kelompok miskin pada kegiatan perekonomian. Mereka melakukan berbagai macam monopoli dan mengatur strategi untuk memanfaatkan subsidi pemerintah yang berujung pada kesenjangan sosial masyarakat yang terus menganga lebar. Kemiskinan merupakan suatu kondisi hidup yang merujuk pada keadaan kekurangan. Chamsyah, B (2006:15) menyatakan bahwa : Sering pula dihubungkan dengan kesulitan dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu kemiskinan sering juga didefinisikan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang

11

terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan Bank Dunia (World Bank) dalam Chamsyah, B (2006:16) memberi definisi keadaan miskin "Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in the equality refers to relative living standards across the whole society.".

Mengenai pentingnya peran pemerintah,

Ndraha (2000 : 79) mengemukakan bahwa “Pemerintah mengembang dua fungsi yaitu fungsi pelayanan dan pemberdayaan”. Selanjutnya tugas-tugas pokok sebagaimana di atas, secara ringkas dikemukakan oleh Rasyid (1997 : 13) menjadi tiga fungsi yang hakiki dari pemerintahan

modern

yaitu

“pelayanan

(service),

pemberdayaan

(empowerment) dan pembangunan (development). Dikatakan lebih lanjut bahwa “pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan

akan

mendorong

kemandirian

masyarakat

dan

pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Inilah yang sekaligus menjadi misi pemerintahan”. Mardiasmo, (2002:59) menyatakan bahwa : Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, (2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Peran pemerintah selaku pelayan lebih konkret dijelaskan oleh Rasyid (1997 : 42) dalam konsepnya tentang pemerintahan yang baik, yaitu :

12

Pemimpin atau pemerintah yang baik adalah memberi rakyat apa yang mereka inginkan sebelum mereka Pemerintahan yang amanah adalah pemerintah yang keputusan dan kebijaksanaannya diorientasikan pemenuhan kebutuhan rakyat atau membahagiakan banyak”.

kepada minta. semua kepada orang

Secara jelas memberikan pemahaman konseptual pemerintah yang baik manakala melalui kebijaksanaannya selain orientasikan untuk memenuhi

kebutuhan

rakyat

atau

memerangi

kemiskinan,

juga

membahagiakan atau meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berkenaan dengan itu, Hogerwerf dalam (Islamy 1984:9) berpendapat bahwa “fungsi sentral dari suatu pemerintahan adalah menyiapkan, menentukan dan menjalankan

kebijaksanaan

atas

nama

dan

untuk

keseluruhan

masyarakat”. Definisi berikutnya dikemukakan James Anderson dalam Islamy, (1984 :17) bahwa kebijaksanaan itu adalah sebagai berikut: “A purposive course of action, followed by an actor or a set of actors in daling with a problem or metter of concern.” (“serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.”). Jika kebijaksanaan publik dipandang sebagai suatu proses, maka pusat perhatian pasti akan tertuju pada siklus kebijaksanaan. Pada umumnya siklus kebijaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, dan kegiatan-kegiatan tersebut adalah Perumusan, Implementasi dan Evaluasi (Nugroho, 2004:74). Menurut Ermaya (1993:193) ciri-ciri Policy (kebijaksanaan), yaitu sebagai berikut : a) Mengandung hubungan dengan tujuan organisasi atau tujuan lembaga yang bersangkutan; b) Dikomunikasikan dan dijelaskan kepada semua pihak yang bersangkutan;

13

c) Dinyatakan dengan bahasa yang mudah dipahami, sebaiknya tertulis; d) Mengandung ketentuan tentang batas-batasnya dan ukuran bagi tindakan di kemudian hari; e) Memungkinkan diadakan perubahan dimana perlu meskipun secara relatif tetap dan stabil; Selanjutnya

Nugroho

(2004:158)

memberikan

definisi

implementasi policy adalah sebagai berikut: Cara agar sebuah kebijaksanaan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijaksanaan publik, maka ada dua pilihan langkah yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijaksanaan turunan dari kebijaksanaan tersebut. Dari aspek implementasi kebijaksanaan, Dunn (1981 : 80) berpendapat bahwa : The policy implementation was to action and driving to purposed policy action to target of policy Implementasi kebijaksanaan adalah pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijaksanaan sampai dicapainya hasil kebijaksanaan”. Marse

dalam

Islamy

(1984:10)

mengatakan

“Implementasi

kebijaksanaan adalah merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuantujuan tertentu dan dalam urutan waktu tertentu”. Ini berarti bahwa implementasi kebijaksanaan merupakan tahapan yang sangat esensial dari suatu kebijaksanaan. Udoji dalam Dunn (1981 : 83) uraiannya mengemukakan “the execution of pilicies is a important if or not more important than policymaking. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented”. Dengan demikian, implementasi kebijaksanaan merupakan sesuatu yang sangat penting karena apabila gagal dalam tahap implementasi kebijaksanaan secara langsung akan berdampak pada publik secara luas.

14

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) (2003:145) dalam bukunya mengenai Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia/SANKRI menyatakan bahwa pembentukan kemampuan dan komitmen individu dan institusi negara dan masyarakat bangsa yang terlibat dalam proses kebijaksanaan publik, tidak cukup dengan mengetahui dan menghafal berbagai dimensi nilai yang terkandung, melainkan perlu disertai kompetensi dalam mengaktualisasikannya secara arif dan efektif, melalui pengelolaan proses kebijaksanaan yang rasional dan realistis, berdasarkan ilmu pengetahuan yang relevan dan teruji. Lebih lanjut LAN-RI (2003:146) menyatakan bahwa : Proses kebijaksanaan dapat dipandang merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok utama, yaitu (a) pembuatan atau formulasi kebijaksanaan, (b) pelaksanaan kebijaksanaan, dan (c) evaluasi kinerja kebijaksanaan, yang dilakukan dalam rangka pemantauan, pengawasan (internal/eksternal), dan pertanggung jawaban. Semua itu berlangsung dalam, dan merupakan core business dari, sistem administrasi negara modern yang juga berperan sebagai suatu "sistem kebijaksanaan". Berkenaan

dengan

implementasi

Program

Penanggulangan

Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat, diharapkan pula ada partisipasi masyarakat dalam implementasi program dimaksud. Ini sesuai dengan pendapat Mustopadidjaja (2002 : 11) yang mengemukakan “salah satu unsur keberhasilan implementasi kebijaksanaan adalah adanya dukungan dari target group atau kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dan perubahan serta peningkatan”. Pendapat

itu

menunjukkan

secara

jelas

bahwa

partisipasi

masyarakat memang mutlak diperlukan dalam mencapai keberhasilan implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Davis (2003 : 128) mendefinisikan konsep partisipasi, sebagai berikut: “Participation can be defined as mental and emotional involment of a

15

person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and to share rensposibility for them”. Selanjutnya Davis dalam Sastropoetro, (1988 : 13) mengemukakan unsur pokok partisipasi yaitu: Partisipasi adalah keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab atas usaha yang bersangkutan tiga unsur penting dalam partisipasi adalah (1) keterlibatan jasmaniah, mental dan perasaan, (2) kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok. Ini berarti bahwa terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk membantu kelompok, (3) tanggung jawab merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota. Diakui sebagai anggota artinya ada rasa sense of belongingness. Dalam kaitannya itu, Ndraha (2000 : 33) menyatakan bahwa : Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan fisik dan mental seseorang atau suatu kelompok masyarakat desa di dalam gerakan pembangunan yang mendorong yang bersangkutan untuk atas kehendak atau prakarsa sendiri menurut kemampuan yang ada mengambil bagian dalam usaha menyelenggarakan suatu program atau proyek atau kegiatan pembangunan desa yang bersangkutan dalam pertanggung jawabannya. Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah pembangunan yang multidimensi sehingga cara pemecahannya diperlukan suatu strategi komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan. Oleh karena itu pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum, telah merancang suatu program untuk menanggulangi kemiskinan yang ada di perkotaan

yaitu

P2KP

:

Proyek

Penanggulangan

Kemiskinan

di

Perkotaan. Namun patut disadari bahwa program atau proyek penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan oleh Pemerintah masih belum mampu mengatasi seluruh persoalan kemiskinan di tingkat masyarakat baik sebagai kelompok sasaran, maupun dalam pengertian masyarakat warga secara keseluruhan. Hal ini antara lain disebabkan karena aspek

16

penguatan terhadap kelembagaan yang bertumpu pada masyarakat dalam program atau proyek dimaksud kurang mendapat perhatian yang memadai dari sisi konsep. Freire, (1985:44) menyarankan cara yang tepat bagi suatu kepemimpinan

revolusioner

dalam

melakukan

tugas

pembebasan

kemiskinan, adalah bukannya propaganda pembebasan. Kepemimpinan juga tidak dapat hanya menanamkan pada kaum miskin suatu keyakinan pada kebebasan. Cara yang benar terletak dalam dialog, keyakinan kaum miskin bahwa mereka harus berjuang bukanlah suatu hadiah yang dianugerahkan

oleh

kepemimpinan

revolusioner,

tetapi

hasil

dari

penyadaran diri mereka sendiri. Lebih tegas lagi apa yang disampaikan oleh Mas’oed (1997:69) bahwa : Kata pembangunan telah cenderung menjadi mitos dan mengalami sakralisasi. Arti pembangunan sendiri adalah perubahan sosial dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih baik. Seolah-olah tersembunyi "nilai kebaikan" di balik pelaksanaan pembangunan. Karena tujuan dan anggapan dasarnya adalah baik maka proses pembangunan mengizinkan pengorbanan-pengorbanan berbagai dimensi kemanusiaan. Persoalannya adalah nilai yang dianggap baik dalam pembangunan tersebut adalah baik menurut siapa, lapisan mana, dan siapa atau kelompok mana yang harus dikorbankan. Oleh karena itu dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut, Pemerintah dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum telah merancang suatu program yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan upayaupaya dalam penguatan kelembagaan dan kapasitas masyarakat yang mengutamakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal. Kedua hal tersebut diyakini merupakan syarat menuju terbentuknya masyarakat yang mampu mengatasi persoalan kemiskinan yang dihadapi secara mandiri, efektif dan berkelanjutan. Program tersebut dikenal sebagai Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan yang disingkat

17

dengan P2KP. Sifat

dan

konsep

dasar

P2KP

berbeda

dengan

program lainnya. a) P2KP adalah program yang mengutamakan pada pengokohan/ penguatan

kelembagaan

di

masyarakat

agar

program

ini

berkelanjutan. b) Masyarakat diperankan sebagai pelaku utama melalui partisipasi aktifnya, sehingga masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya difungsikan sebagai obyek program, tetapi ikut serta dalam merumuskan program yang paling cocok bagi mereka melalui proses, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta evaluasi hasil dari implementasi program. c) Hasil program akan terus berlanjut atau kemungkinannya berhenti, sangat tergantung pada motivasi dan komitmen masyarakat sendiri. d) P2KP bukanlah program yang semata-mata menyalurkan dana ke masyarakat melainkan juga mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk dapat berdiri sendiri dalam menyelesaikan berbagai persoalan kemiskinan yang dihadapinya. e) Program ini tidak mempunyai batas waktu, program ini harus tetap berproses dan berjalan walaupun sebagai proyek telah dianggap selesai. f) Proyek penanggulangan kemiskinan di perkotaan hanya bertugas mendampingi

dan

memfasilitasi

masyarakat

dalam

mengimplementasikan konsep dasar P2KP pada waktu yang telah ditentukan. Secara konseptual, pentingnya partisipasi masyarakat dalam implementasi program pembangunan termasuk Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) merupakan suatu keharusan demi menjamin tercapainya keberhasilan program dimaksud. Hal ini ditegaskan oleh Korten dalam Supriatna, (2000 : 209) mengatakan “salah satu indikator

keberhasilan

pembangunan

18

adalah

adanya

partisipasi

masyarakat penerima program”. Hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan akan sesuai dengan aspirasi

dan

kebutuhan

masyarakat

itu

sendiri.

Dengan

adanya

kesesuaian itu, maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat (Supriatna, 2000 : 209). Berkaitan

dengan

pendapat

itu,

Moelyarto

(1987

:

48)

mengemukakan sebagai berikut: Terdapat beberapa alasan pembenar bagi partisipasi rakyat dalam pembangunan, yaitu : 1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut; 2. Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat; 3. Partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi untuk berhasilnya pembangunan; 4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki; 5. Memperluas jangkauan pemerintah masyarakat; 6. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia; 7. Partisipasi merupakan cara efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah, 8. Demokrasi dipandang sebagai pencerminan hak demokrasi individu. Dengan masyarakat

tak

memegang

pembangunan Kemiskinan

demikian

peranan

termasuk

Perkotaan

dapat

disangkal penting

implementasi

(P2KP),

namun

bahwa

dalam

Program untuk

partisipasi pelaksanaan

Penanggulangan

menumbuhkan

dan

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan bukanlah merupakan hal yang mudah sebab partisipasi tidak tumbuh dengan sendirinya. Ini secara tegas diungkapkan oleh Supriatna (2000 : 32) yang menyatakan :

19

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diusahakan terus menerus secara tekun dan diberi kesempatan untuk tumbuh, berakar dan berkembang secara wajar sehingga masyarakat mempunyai sikap, orientasi, persepsi dan identifikasi selaku subyek di dalam penyelenggaraan pembangunan Dalam

kaitan

dengan

itu,

Tjokroamidjodjo

(1995

:

226)

mengemukakan bahwa Faktor yang mempengaruhi partisipasi meliputi (1) masalah kepemimpinan; (2) komunikasi; (3) pendidikan”. Ndraha (2000 :27) mengatakan faktor-faktor yang mendukung partisipasi masyarakat adalah : 1) Memberikan stimulasi kepada masyarakat 2) Menyesuaikan program pemerintah dengan kebutuhan (keinginan) yang telah lama dirasakan oleh masyarakat desa. 3) Menumbuhkan dan menanamkan kesadaran akan kebutuhan atau perlu perubahan di masyarakat dengan memberikan pendidikan. Kedua pendapat itu menunjukkan secara jelas semangat partisipasi masyarakat komunikasi,

akan

muncul

pendidikan,

apabila

didukung

oleh

stimulasi.

Karena

itu

kepemimpinan, dalam

rangka

menggerakkan partisipasi masyarakat, haruslah memperhatikan beberapa faktor pendukung partisipasi masyarakat tersebut. Selanjutnya oleh Sastropoetro (1988 : 56 - 57) mengemukakan bentuk, jenis dan persyaratan melaksanakan partisipasi yang efektif, sebagai berikut: 1. Bentuk partisipasi : konsultasi, sumbangan uang, barang, proyek berdikari, jasa kerja, aksi masa mengerjakan proyek secara suka rela, perjanjian bersama untuk bekerja sama mencapai tujuan, pembangunan proyek komuniti yang otonom. 2. Jenis-jenis partisipasi : partisipasi dengan pikiran (psycological participation), tenaga (physical participation), pikiran dan tenaga (active participation), partisipasi dengan keahlian (participation with skill), barang (material participation), uang (money participation), jasa-jasa (service participation).

20

Partisipasi masyarakat dalam implementasi Program P2KP dapat diukur dari keterlibatan masyarakat secara sadar dan sukarela berupa pikiran, tenaga, benda, uang, tanggung jawab, menerima, memanfaatkan dan mengembangkan serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap hasil yang dicapai. Dalam penelitian ini indikator implementasi kebijaksanaan publik penulis adopsi dari teori implementasi kebijaksanaan publik berdasarkan konsep Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Tachjan, (2006:57-58) yaitu : 1) Mudah/ tidaknya masalah dikendalikan, 2).

Kemampuan

kebijaksanaan

untuk

menstrukturkan

proses

implementasi, 3). Variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi. Alasan dipilihnya model implementasi ini adalah karena model ini oleh penulis dianggap cukup sesuai dengan kondisi program yang sedang dijalankan yaitu P2KP yang memerlukan sebuah tahapan implementasi meliputi masalah yang akan dipecahkan, struktur implementasinya dan perhatiannya terhadap variabel luar. Bertolak dari keseluruhan uraian kerangka pemikiran di atas, dapat dikonstruksikan dalam bentuk gambar berikut :

21

GAMBAR 1.1 KERANGKA PEMIKIRAN PENELITIAN Masyarakat Miskin Kota Di Kecamatan Bontomanai

Pemerintah Kecamatan Bontomanai Masa Orba

Reformasi

Inpres IDT KUBE KMM TAKESRA KUKESRA KUKM JPS

RASKIN PPK BLT PKBM P2KP Pemberdayaan Masyarakat Miskin Belum Optimal

Impelementasi Kebijaksanaan 1.

2. 3.

Mudah/tidaknya Masalah Dikendalikan Kemampuan kebijaksanaan untuk menstrukturkan proses implementasi Variabel Luar Kebijaksanaan yang Mempengaruhi Proses Implementasi

Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Tachjan, (2006:57-58)

P2KP

Target Sasaran

Pelaksanaan Kebijaksanaan

22

Kondisi Lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Kebijaksanaan Berbagai

aktivitas

pemerintah

dalam

hubungannya

dengan

masyarakat (public) bisa saja dikatakan sebagai suatu kebijaksanaan pemerintah.

Secara

teoritik

Istilah

kebijaksanaan

seringkali

penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan

(goals),

program,

keputusan,

Undang-undang,

ketentuan-

ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar. Menurut United Nation dalam Wahab (2005:2), kebijaksanaan diartikan sebagai suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Menurut

Rasyid

(1997,

12)

kebijaksanaan

publik

adalah

keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijaksanaan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijaksanaan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Pengertian kebijaksanaan negara dalam arti luas dikemukakan oleh Anderson dalam Wahab (2005:5) yang merumuskan kebijaksanaan sebagai “perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu”.

Pendapat

ini

sejalan

dengan

pengertian

kebijaksanaan

pemerintah secara umum yang menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003:2) bahwa :

23

Kebijaksanaan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan ruang lingkup kebijaksanaan digolongkan ke dalam dua ruang lingkup, yaitu lingkup nasional dan lingkup wilayah atau daerah. Selanjutnya

Friedrich dalam Wahab (2005:3)

mendefinisikan

kebijaksanaan sebagai : Suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Berkaitan dengan definisi di atas,

Anderson

dalam Wahab

(2005:3) merumuskan kebijaksanaan sebagai : “Langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi”. Melalui

suatu

definisi

kerja,

Mustopadidjaja

(2002:16-17)

merumuskan kebijaksanaan sebagai : Keputusan suatu organisasi (publik atau bisnis) yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu atau mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam (1) pengambilan keputusan lebih lanjut yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijaksanaan, dan (2) penerapan atau pelaksanaan dari sesuatu kebijaksanaan yang telah ditetapkan, baik dalam hubungan dengan unit organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan. Pengertian kebijaksanaan tersebut cukup relevan bila dihubungkan dengan kebijaksanaan pemerintah, dimana terkait pula dengan suatu pedoman, rencana, program dan kegiatan tertentu yang biasanya dilakukan oleh pemerintah (pejabat, instansi pemerintah). Lebih lanjut

24

untuk

membedakan

apakah

kebijaksanaan

tersebut

merupakan

kebijaksanaan pemerintah atau bukan kebijaksanaan pemerintah, akan diungkapkan beberapa pandangan di bawah ini. Dye dalam Wahab (2005:4) berpendapat bahwa “kebijaksanaan negara ialah pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah”. Sedangkan Udoji dalam Wahab (2005:5) mengidentifikasikan

kebijaksanaan

negara

sebagai

suatu

tindakan

bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau pada suatu kelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat. Dengan demikian, yang membedakan antara kebijaksanaan pemerintah dan bukan kebijaksanaan pemerintah adalah : Pertama, bahwa kebijaksanaan pemerintah dibuat oleh suatu badan pemerintah, baik pejabat maupun instansi pemerintah. Kedua, kebijaksanaan dibuat dalam rangka hubungan pemerintah dengan masyarakat (sebagian besar warga masyarakat). Ketiga, kebijaksanaan merupakan pilihan pemerintah, baik melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu yang menyangkut masyarakat banyak (publik). Bila dihubungkan dengan kebijaksanaan pemerintah secara umum, maka kebijaksanaan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu, yang digolongkan ke dalam dua lingkup,

ruang

yaitu : 1) Lingkup Nasional, dan 2) Lingkup Wilayah atau

Daerah (LAN-RI, 2003:2). 2.1.1. Implementasi Kebijaksanaan Menurut

Thomas

R.

Dye

dalam

bukunya

yang

berjudul

Understanding Publik Policy (1978, 3-2) secara simpel, kebijaksanaan publik dapat diartikan sebagai apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk

25

dilakukan atau untuk tidak dilakukan (publik policy is whatever governments choose to do or not to do). Maksudnya adalah bahwa kebijaksanaan

publik

itu

merupakan

fungsi

utama

dari

setiap

pemerintahan dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat umum (publik). Fungsi pelayanan publik inilah yang di dalam wacana akademis dikenal dengan “administrasi publik”. Berdasar argumen sederhana ini dapatlah dipahami bahwa ada kaitan antara kebijaksanaan publik dengan administrasi publik. Lebih lanjut kaitan antara kebijaksanaan publik dan administrasi publik menurut Nicholas Henry (1975, 3) menyatakan bahwa “for the letter part of the twentieth century, the publik bureaucracy has been the locus of publik policy formulation and the major determinant of where this contry is going”. Dalam tulisannya itu Henry menggunakan istilah “birokrasi publik” untuk menyebut “administrasi publik”. Perbedaan penyebutan peristilahan ini bukanlah hal yang substansial, karena di dalam istilah birokrasi itu sendiri sebetulnya terkandung pengertian sebuah agen yang menyelenggarakan proses pelayanan publik. Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan itu adalah bahwa sejak abad-20 birokrasi pemerintah (administrasi publik) telah menjadi tempat percaturan dan perumusan kebijaksanaan publik (kebijaksanaan negara). Begitu sentralnya peran administrasi Negara dalam pandangan Henry sehingga ia membuat pembagian paradigma tentang administrasi negara. Pembagian paradigma ini sangat berguna bagi para mahasiswa yang mempelajari ilmu kebijaksanaan publik, setidaknya berguna untuk mengetahui dan memahami bahwa ada berbagai perbedaan dan variasi dalam mengkonsepsikan kebijaksanaan publik sebagai suatu ilmu maupun sebagai suatu praktek kenegaraan. Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan dalam cara pandang (paradigma). Secara konseptual, Kebijaksanaan Publik (Publik Policy) itu dipelajari oleh dua disiplin ilmu, yaitu ilmu politik dan ilmu administrasi

26

publik. Masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki sudut pandang yang berbeda-beda terhadap Kebijaksanaan Publik. Hal ini dikarenakan masing-masing disiplin ilmu itu memiliki Locus dan Focus yang berbeda. Locus ilmu politik adalah kekuasaan (power), sedangkan locus ilmu administrasi negara adalah organisasi dan manajemen. Focus ilmu politik adalah

memperbesar

akses

kekuasaan,

sedangkan

focus

ilmu

administrasi negara adalah efektivitas dan efisiensi. Adanya perbedaan locus dan focus tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan konseptualisasi kebijaksanaan publik. Dalam konsepsi Ilmu Politik, kebijaksanaan publik itu berasal dan dibuat oleh organ-organ yang memiliki kekuasaan yang sah (dalam hal ini adalah negara atau pemerintah). Tujuan dan sasaran dibuatnya kebijaksanaan publik sematamata untuk memperjuangkan dan memperbesar akses kekuasaan yang sudah ada. Sedangkan menurut konsep ilmu administrasi negara, kebijaksanaan publik itu berasal dan dibuat oleh pemerintah (manajemen) sebagai fungsi dinamis dari negara (organisasi), yang ditujukan untuk menciptakan

efektifitas

dan

efisiensi

pelaksanaan

tugas-tugas

pemerintahan dan kenegaraan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel perbandingan perspektif administrasi berikut : TABEL 2.1 PERBANDINGAN PERSPEKTIF TENTANG PUBLIK POLICY Faktor Pembanding (1) Locus (Sumber) Focus (Obyek) Persepsi tentang Public Policy

Disiplin Ilmu Politik Administrasi Publik (2) (3) Power (Kekuasaan) Organisasi dan Manajemen Power (Kekuasaan) Efektivitas dan Efisiensi Public Policy dibuat Public Policy Dibuat oleh oleh lembaga formal pemerintah untuk yang memiliki menciptakan kekuasaan (yakni, penyelenggaraan pemerintah) untuk administrasi memperjuangkan, Pemerintahan secara

27

memperbesar, dan mempertahankan kekuasaan.

efektif dan efisien.

Secara umum, kebijaksanaan dipandang sebagai suatu alat bagi organ-organ yang membuat (dalam hal ini adalah pemerintah) untuk mendapatkan kekuasaan, memperjuangkan kekuasaan, memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan perspektif ilmu administrasi negara terhadap kebijaksanaan publik dijelaskan bahwa ilmu administrasi negara itu memiliki delapan unsur (pilar) utama; yaitu organisasi, manajemen, personalia, material, finansial, human relations, komunikasi, dan ketatausahaan. Menurut Siagian (1999:14) bahwa : Administrasi adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari keputusan-keputusan yang telah diambil dan pelaksanaan itu pada umumnya dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut Nawawi (1999:15) bahwa : “Administrasi adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan sebagai proses pengendalian usaha kerja sama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya”. Kebijaksanaan publik (public policy) adalah fungsi dari pilar organisasi dan manajemen. Unsur organisasi di dalam perspektif ini adalah 'Negara', sedang unsur manajemen adalah

“Pemerintahan”.

Negara dipandang sebagai suatu wadah atau organisasi dalam arti statis. Unsur

ini

memerlukan

mesin

penggerak

yang

dapat

mendinamisasikannya. Unsur dinamis itu adalah manajemen, yang di dalam sistem kenegaraan lebih dikenal sebagai pemerintahan. Dalam perspektif ini bertemunya unsur Negara dan pemerintahan akan menghasilkan sebuah ketentuan, peraturan atau hukum yang lazim disebut kebijaksanaan publik.

28

Dengan demikian, materi studi kebijaksanaan publik menurut perspektif ini adalah multi disiplin. Ia memerlukan berbagai bantuan ilmuilmu lain, misalnya ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu psikologi dan lain-lainnya. Dalam perspektif ini lokus kebijaksanaan publik adalah teori organisasi dan manajemen, sedangkan fokusnya adalah efektivitas dan efisiensi. Kebijaksanaan publik dilihat sebagai instrumen pemerintah yang diambil dalam rangka menciptakan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Menurut Tachjan (2006, 106) implementasi kebijaksanaan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijaksanaan dapat mencapai tujuannya. Lebih lanjut Tachjan (2006, 106) menyatakan : Untuk mengimplementasikan kebijaksanaan publik, maka perlu ada dua pilihan langkah yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijaksanaan turunan dari kebijaksanaan publik tersebut. Kebijaksanaan publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah jenis kebijaksanaan publik penjelasan atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijaksanaan yang bisa langsung operasional antara lain keputusan presiden, keputusan kepala daerah, keputusan kepala dinas dan lain lain. Secara prinsip terdapat dua jenis teknik atau model implementasi kebijaksanaan. Pertama, implementasi kebijaksanaan yang berpola dari “atas ke bawah “(top down) versus “dari bawah ke atas” (bottom up) dan kedua, implementasi kebijaksanaan publik yang bersifat paksa (command-and-control) dan mekanisme pasar (economic incentive). Tahap implementasi kebijaksanaan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan aspek kebijaksanaan dan juga dapat dipandang sebagai suatu proses untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam

bentuk

undang-undang,

peraturan

pemerintah,

keputusan

peradilan, perintah eksekutif atau dekrit presiden). Menurut Hoogerwerf dalam Nugroho, (2004:137), bahwa “implementasi kebijaksanaan yaitu berbagai penggunaan sarana-sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-

29

tujuan yang dipilih. Sarana yang dimaksudkan adalah berupa peraturanperaturan atau keputusan keputusan yang telah ditetapkan pemerintah”. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Nugroho, (2004, 102), menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa : ”Memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatankegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”. Jadi implementasi kebijaksanaan adalah kompleks, tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat dan tidak mungkin dapat mewakili seluruh kelompok masyarakat yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut, jelaslah bahwa mereka yang terlibat dalam implementasi kebijaksanaan yang telah ditetapkan sebelumnya adalah pihak pemerintah sendiri dengan pihak kelompok-kelompok atau individu yang berkepentingan yang ada dalam masyarakat dimana kebijaksanaan itu diimplementasikan. Peranan pemerintah dalam proses implementasi kebijaksanaan tampak dalam cara-cara suatu pemerintah mengadakan intervensi kebijaksanaan. Menurut Mustopadidjaja (2002:124) bahwa hal ini bisa berupa : 1. kebijaksanaan langsung, yaitu kebijaksanaan dimana untuk mencapai tujuan-tujuan yang dimaksud pemerintah mengimplementasikan berbagai keputusan, ketentuan dan aturan yang terdapat dalam kebijaksanaan. 2. kebijaksanaan tak langsung adalah berbagai keputusan atau perundang-undangan, dimana untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan, pemerintah tidak mengiimplementasikan sendiri kebijaksanaan tersebut tetapi hanya mengeluarkan ketentuan atau aturan yang dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan masyarakat sehingga bergerak ke arah yang sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan.

30

3. kebijaksanaan campuran adalah kebijaksanaan dimana untuk mencapai tujuan tujuan yang dimaksudkan, terbuka kesempatan atau peran yang dapat diimplementasikan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat ataupun campuran keduanya. Implementasi kebijaksanaan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang, dari pemerintahan pusat hingga pemerintah desa. Disamping itu, setiap pelaksanaan

kebijaksanaan

masih

memerlukan

pembentukan

kebijaksanaan dalam wujud peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam implementasi kebijaksanaan publik biasanya akan terkait dengan aktor pelaksana dalam berbagai kedudukan dan peran yang disertai dengan penggunaan berbagai sarana. Organisasi pelaksana meliputi keseluruhan para aktor pelaksana dan pembagian tugas masing-masing. Implementasi kebijaksanaan publik sangat penting untuk memberikan perhatian yang khusus kepada peran kelompok kepentingan (interest groups)

yang

bertindak

sebagai

wakil

pelaksanaan

atau

objek

kebijaksanaan. Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam suatu kebijaksanaan publik, maka para pelaksana kebijaksanaan sebenarnya dihadapkan pada dua permasalahan yaitu berkaitan dengan lingkungan

interaksi

program

dan administrasi

program.

Idealnya

lembaga-lembaga publik harus selalu tanggap terhadap perkembangan dan kebutuhan dan pihak-pihak yang membutuhkan atau yang akan menerima manfaat program. Untuk itu para pelaksana pertama-tama harus berusaha untuk mendapatkan dukungan dari para elite politik, atau pihak-pihak yang diharapkan menerima manfaat dari program tersebut dan sebagainya. Implementasi kebijaksanaan merupakan aspek yang penting dari seluruh proses kebijaksanaan.

31

Implementasi

mengandung

makna

sebagaimana

yang

dikemukakan dalam kamus Webster dalam Wahab (2002 : 64), ”to implement berarti to provide the means for carrying out yang menekankan bahwa implementasi kebijaksanaan dapat dipandang sebagai suatu proses untuk melaksanakan keputusan kebijaksanaan”. Meter dan Horn dalam Wahab (2002 : 65), memberikan rumusan atau batasan tentang implementasi kebijaksanaan “Those action by publik are private aindividuals (or groups) that are directed at the achievement objectives set forth in prior policy decision”. Pandangan ini memberikan pemahaman bahwa implementasi kebijaksanaan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Demikian yang diperlukan dalam implementasi kebijaksanaan tidak hanya menyangkut tindakan atau perilaku institusi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada kelompok sasaran. Secara prinsip, terdapat empat hal yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijaksanaan (Nugroho, 2003 : 179180) yaitu : ”Pertama, apakah kebijaksanaan itu sendiri sudah tepat. Sisi pertama ketepatan kebijaksanaan ini dinilai dari sejauhmana kebijaksanaan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Sisi kedua adalah apakah kebijaksanaan tersebut telah dirumuskan sesuai karakter masalah yang hendak dipecahkan, sisi ketiga apakah kebijaksanaan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan yang sesuai dengan karakter kebijaksanaannya. Kedua, tepat dalam pelaksanaannya. Aktor implementasi kebijaksanaan bukan hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kejasama antara pemerintah-masyarakat/swasta atau implementasi kebijaksanaan yang diswastakan. Kebijaksanaan yang bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk atau yang mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijaksanaan yang bersifat memberdayakan masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan pedagang kaki lima (PKL) sebaiknya diselenggarakan pemerintah dan masyarakat. Kebijaksanaan yang

32

bertujuan mengarahkan masyarakat seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, maka sebaiknya diserahkan kepada masyarakat/swasta. Ketiga, tepat target. Dalam hal ini perlu memenuhi tiga syarat, yaitu : 1) apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, 2) apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi, misalnya sosialisasi kebijaksanaan pertanian didaerah konflik tidaklah salah namun tidak efektif karena prioritas utama adalah keselamatan. Penertiban PKL di saat krisis ekonomi tidaklah tepat karena akan terjadi penolakan dan perlawanan laten. 3) apakah intervensi bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijaksanaan sebelumnya. Keempat, tepat lingkungan. Ada dua lingkungan yang paling menentukan yaitu lingkungan kebijaksanaan : interaksi antara lembaga perumus kebijaksanaan dan pelaksana kebijaksanaan atau disebut dengan lingkungan endogen dan kedua adalah lingkungan eksternal atau lingkungan eksogen yang terdiri dari opini publik yaitu persepsi publik terhadap kebijaksanaan dan implementasi kebijaksanaan”. Menurut Nugroho, (2004 ; 180) keempat hal tersebut di atas masih perlu didukung oleh dukungan politik, dukungan strategi dan dukungan teknis. Ketiga hal ini akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan implementasi kebijaksanaan. 2.1.2. Model Implementasi Kebijaksanaan Implementasi

kebijaksanaan

publik

akan

lebih

mudah

dipahami apabila menggunakan suatu model atau kerangka pemikiran tertentu. Suatu model akan memberikan gambaran kepada kita secara bulat lengkap mengenai sesuatu objek, situasi, atau proses. Komponenkomponen apa saja yang terdapat pada objek, situasi, atau proses tersebut. Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model proses atau alur Smith (1973). Menurut Smith, dalam proses implementasi ada empat variabel yang perlu diperhatikan. Keempat variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling

33

mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu terjadi ketegangan-ketegangan (tensions) yang bisa menyebabkan timbulnya protes-protes, bahkan aksi fisik, di mana hal ini menghendaki penegakan institusi-institusi baru untuk mewujudkan sasaran kebijaksanaan tersebut. Ketegangan-ketegangan

itu

bisa

juga

menyebabkan

perubahan-

perubahan dalam institusi-institusi lini. Keempat variabel dalam implementasi kebijaksanaan publik tersebut, yaitu : (1) Kebijaksanaan yang diidealkan (idealised policy), yakni pola-pola

interaksi

ideal

yang

telah

mereka

definisikan

dalam

kebijaksanaan yang berusaha untuk diinduksikan; (2) kelompok sasaran (target groups), yaitu mereka (orang-orang) yang paling langsung dipengaruhi oleh kebijaksanaan dan yang harus mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijaksanaan; (3) implementing organisation, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijaksanaan; (4) environmental factor, yakni unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi kebijaksanaan, seperti aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Model proses atau alur Smith tersebut dapat disajikan di bawah ini. GAMBAR 2.1 A MODEL OF THE POLICY IMPLEMENTATION PROCESS

34

Dalam penelitian ini penulis tidak menggunakan model klasik Alur Smith,

karena

menampilkan

penulis

menilai

kesempurnaan

bahwa

tentang

model

Alur

Smith

proses-proses

belum

implementasi

kebijaksanaan. Pada Model Alur Smith hanya menampilkan apa bentuk dari implementasi, sasaran dan faktor lingkungan yang mempengaruhi. Model kedua adalah model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975) yang disebut sebagai Model of the Policy Implementation

Process.

Model

ini

menjelaskan

bahwa

kinerja

kebijaksanaan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas yang saling berkaitan, variabel-variabel tersebut yaitu: 1. Standar dan sasaran kebijaksanaan. 2. Sumber daya. 3. Karakteristik organisasi pelaksana. 4. Komunikasi atar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan. 5. Sikap para pelaksana. 6. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik. GAMBAR 2.2 MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN MENURUT METER DAN HORN

35

Pada model kedua, yaitu model yang dikemukakan Van Meter dan Van Horn (1975) sebenarnya relatif lebih lengkap dibandingkan model klasik Alur Smith. Dalam Model of the Policy Implementation Process penulis menganalisis bahwa telah tercantum sebuah runutan proses implementasi kebijaksanaan, namun demikian tampak belum membahas lebih jauh mengenai bagaimana sebuah kebijaksanaan diciptakan. Model ketiga adalah model yang dikembangkan oleh Brian W Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978;1984). Model ini disebut sebagai "The top down approach". Seperti halnya juga Hood, Gunn menekankan bahwa, kesempurnaan atau penyempurnaan dalam konteks ini hanya merupakan suatu konsep analitis atau idea dan bukan dalam pengertian colloquial dari ketentuan itu, suatu ideal yang akan dicapai. Menurut Hood dan

Gunn

(1984

:

199-206)

untuk

dapat

mengimplementasikan

kebijaksanaan negara secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut: 1. The circumtances external to the implementing agency do not impose cripling constraints. 2. That adequate time and sufficient resources rare made available to the programme. 3. That the requires combination of resources is actually available. 4. That the policy to be implemented is based upon a valid theory of cause and effect. 5. That the relationship between cause and effect is direct and that there are few if any, intervening link. 6. That dependency relationships are minimal. 7. Thatthereisunderstandingoj, and agreement on objectives. 8. That tasks are fully specified in correct sequence. 9. That there is perfect communication and coordination. 10. That those in authority can demand and obtain perfect

36

compliance. Model ketiga yang disebut sebagai "The top down approach" menurut analisa penulis merupakan penyempurna dari model kedua. Dalam

model

ketiga

ini

hanya

ditampilkan

persyaratan

dalam

implementasi sebuah kebijaksanaan negara, namun belum dijelaskan secara menyeluruh (lengkap) mengenai bentuk kebijaksanaannya dan siapa melakukan apa. Model keempat adalah model atau kerangka pemikiran yang dikemukakan oleh Hoogewerf (1978) dalam Tachjan (2006, 123). Menurut Hoogewerf sebab musabab yang mungkin menjadi dasar dari kegagalan implementasi kebijaksanaan, sangat berbeda-beda satu sama lain. Sebab-musabab ini ada sangkut-pautnya berturut-turut dengan isi (content) dari kebijaksanaan yang harus diimplementasikan, tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat pada implementasi, banyaknya dukungan bagi kebijaksanaan yang harus diimplementasikan dan akhirnya pembagian

dari

potensi-potensi

yang

ada

(struktur

organisasi,

perbandingan kekuasaan dan seterusnya). Model kelima adalah model yang dikemukakan oleh Elmore (dalam Hill, 1993 :314-345), ia mengemukakan bahwa, pada hakekatnya semua kebijaksanaan publik diimplementasikan oleh organisasi-organisasi publik yang besar, oleh karena itu pengetahuan tentang organisasiorganisasi telah menjadi suatu unsur penting dari analisis kebijaksanaan. Kita tidak dapat berkata dengan banyak kepastian bagaimana suatu kebijaksanaan itu adanya, atau mengapa tidak diimplementasikan, tanpa mengetahui sebagian besar tentang bagaimana organisasi-organisasi itu berfungsi. Model

keenam

adalah

yang

dikembangkan

oleh

Daniel

Mazmanian dan Paul A. Sabatier, yang disebut A Frame Work for Implementations Analysis. Menurut kerangka pemikiran ini, variabel-

37

variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Mazmanian dan Paul A. Sabatier, 1983:21-30) dalam Tachjan (2006:57-59) sebagai berikut: 1. Mudah

tidaknya

masalah

yang

akan

digarap/

kebijaksanaan

untuk

dikendalikan. 2. Kemampuan

keputusan

menstrukturkan secara tepat proses implementasinya. 3. Pengaruh langsung pelbagai variabel yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut. Ketiga kategori variabel tersebut sebagai variabel bebas yang mempengaruhi

terhadap

langkah-langkah

proses

implementasi

kebijaksanaan. Hal ini seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

38

GAMBAR 2.3 VARIABEL YANG TERLIBAT DALAM PROSES IMPLEMENTASI

Dari gambar di atas

dapat diketahui bahwa,

setiap kategori

variabel terdiri dari beberapa dimensi, yaitu: Adapun untuk masing-masing konsep di atas dapat dilihat secara rinci sebagai berikut : 1. Mudah/ tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem), dengan indikator: 1) Dukungan Teori dan Teknologi. 2) Keragaman perilaku kelompok sasaran. 3) Tingkat perubahan perilaku yang diinginkan. 2. Kemampuan

kebijaksanaan

untuk

menstrukturkan

proses

implementasi (Ability of policy decision to structure implementation), dengan indikator: 1) Kejelasan dan konsistensi tujuan.

39

2) Dipergunakannya teori kausal. 3) Ketepatan alokasi sumber dana. 4) Keterpaduan hierarki dalam dan diantara lembaga pelaksana. 5) Akses formal pihak luar. 3. Variabel

di

luar

kebijaksanaan

yang

mempengaruhi

proses

implementasi (nonstatury variable affecting implementation), dengan indikator: 1) Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi. 2) Dukungan publik. 3) Dukungan dari pejabat atasan. 4) Komitmen

dan

kemampuan

kepemimpinan

pejabat-pejabat

pelaksana. Selanjutnya,

mengenai

langkah-langkah

dalam

proses

implementasi sebagai variabel yang dipengaruhi (variabel tergantung) terdiri dari : GAMBAR 2.4 LANGKAH-LANGKAH PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN

Model keenam yang dikembangkan oleh Mazmanian dan Paul Sabatier atau A Frame Work for Implementations Analysis penulis adopsi dalam penelitian ini karena penulis anggap model ini relatif lengkap dibandingkan kelima model tersebut di atas. Dalam model ini tampak sangat jelas mengenai seluruh hal yang diperlukan dalam proses implementasi kebijaksanaan publik yang meliputi aspek kebijaksanaannya itu sendiri sampai bagaimana proses implementasinya. Kelengkapan

40

lainnya adalah adanya faktor-faktor yang mempengaruhi proses dalam implementasi yang dikemukakan secara jelas. 2.2. Manajemen Pemerintahan Daerah Organisasi dapat diibaratkan sebagai suatu organisme hidup yang selalu

berubah

dan

berkembang

sesuai

dengan

perubahan

lingkungannya. Ada organisasi yang dengan cepat beradaptasi terhadap perubahan, adapula yang lebih lambat. Organisasi pemerintah termasuk dalam kategori yang lambat menghadapi perubahan, begitu pula dengan manajemennya. Pada dekade 1980 - 1990-an, terjadi perubahan cukup besar pada manajemen pemerintahan. Ada beberapa konsepsi pemikiran mendasar yang secara nyata dan mampu mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah di berbagai negara, misalnya Savas (1987) dalam Sadu Wasistiono (2003:15)

yang

menawarkan

perlunya

privatisasi

penyelenggaraan

pemerintahan. Menurut Savas, privatisasi merupakan kunci ke arah pemerintahan yang lebih baik. Dari sudut pandang yang lain, Barzelay (1992) dalam Sadu Wasistiono (2003:16) menawarkan paradigma pasca birokrasi yang intinya mengurangi

sebanyak

mungkin

keterlibatan

birokrasi

terhadap

pemenuhan kebutuhan masyarakat. Masyarakat maju sebagai suatu kesatuan diyakini akan mampu mengurus sebagian besar kepentingannya oleh anggota masyarakatnya sendiri. Perubahan besar pada manajemen pemerintahan terjadi dengan hadirnya konsepsi pemikiran dari Osborne dan Gaebler (1992) dalam Sadu Wasistiono (2003:17) yang menawarkan perlunya transformasi semangat kewirausahaan pada sektor publik. Osborne dan Gaebler, mengemukakan sepuluh pokok pikiran yang intinya adalah mengurangi peranan

pemerintah

dengan

memberdayakan

masyarakat

serta

menjadikan sektor pemerintah menjadi lebih efisien. Inti pemikiran Osborne

41

dan Gaebler ini sebenarnya sejalan dengan pandangan Savas dan Barzelay. Berkaitan Wasistiono

dengan

(2003:18)

efisiensi,

Stewart

mengemukakan

(1988)

bahwa

dalam

kegiatan

Sadu

organisasi

pemerintah yang baik tidak cukup hanya memenuhi kriteria 2E (efficiency and effectiveness), melainkan harus memenuhi kriteria 4E (economic, efficiency,

effectiveness,

memperhatikan

faktor

equity). efisien

Artinya,

dan

efektif

pemerintah di

dalam

tidak

hanya

menjalankan

organisasinya, melainkan juga perlu memperhatikan faktor ekonomis dan keadilan. Tindakan-tindakan pemerintah perlu memperhitungkan aspekaspek ekonomi yang dapat menguntungkan pemerintah maupun masyarakat luas. Menurut Osborne dan Plastrik (1996) dalam Sadu Wasistiono (2003:21) mengemukakan lima strategi untuk melakukan pembaharuan pemerintahan. Kelima strategi tersebut adalah: (1) The core strategy; (2) The consequences strategy; (3) The customer strategy; (4) The control strategy; (5) The culture strategy. Kelima strategi tersebut perlu digunakan untuk meningkatkan kinerja sektor publik agar menjadi lebih baik. Strategi tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintahan yang berpusat pada masyarakat (the customer centered government) mungkin untuk dilaksanakan. Berikut penulis tampilkan lima strategi perubahan pemerintahan menurut Sadu Wasistiono (2003:24) sebagai berikut :

42

GAMBAR 2.5 LIMA STRATEGI PERUBAHAN PEMERINTAHAN DAERAH

Perubahan yang terjadi pada manajemen pemerintahan daerah, dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal maupun bersifat eksternal. Menurut Sadu Wasistiono (2003:26) ada tiga faktor dominan yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor struktural, faktor fungsional dan faktor kultural. Uraian lebih lanjut mengenai ketiga faktor dominan tersebut yaitu sebagai berikut: 1. Perubahan Struktural Terjadi perubahan hubungan struktural antara pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah. Daerah akan diberi kebebasan dan kewenangan yang lebih luas. Hal tersebut dengan sendirinya menuntut kesiapan daerah untuk mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri secara lebih leluasa. Kemampuan mengelola kegiatan operasional secara lebih profesional menjadi tuntutan kebutuhan utama, seiring dengan

meningkatnya

kesadaran

konsumen.

43

masyarakat

sebagai

2. Perubahan Fungsional Organisasi pemerintah Daerah yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat,

perlu

pula

berubah

guna

mengimbangi

perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi. Hal tersebut dengan sendirinya menuntut perubahan pada bentuk dan iklim organisasi. 3. Perubahan Kultural Perubahan kultural adalah yang paling sulit untuk dilaksanakan. Perubahan kultural akan menyangkut cara pandang, kebiasaan, mekanisme kerja maupun hubungan manusiawi yang mungkin sudah berjalan bertahun-tahun dengan pola tertentu. Perubahan struktural dan fungsional tanpa diikuti dengan perubahan kultural hanya menghasilkan perubahan pada bentuk belum pada tingkatan isi. Perubahan struktural, fungsional dan kultural pada manajemen pemerintahan akan mencakup semua aspek. Akan tetapi ada beberapa aspek yang perlu memperoleh perhatian utama menurut Sadu Wasistiono (2003:29) mengingat urgensinya sebagai berikut : 1. Apek manajemen sumber daya manusia. 2. Aspek manajemen perencanaan. 3. Aspek manajemen keuangan. 4. Aspek manajemen logistik. 5. Aspek manajemen konflik. 2.3. Pengertian Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah klasik yang selalu dihadapi oleh manusia, karena melibatkan seluruh aspek kehidupan. Bagi mereka yang tergolong miskin, kemiskinan merupakan keadaan nyata yang ada dalam

44

kehidupan mereka sehari-hari, karena mereka merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam kemiskinan. Menurut Soekanto (1990:365) mengartikan kemiskinan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas. Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan

bukan

merupakan

masalah

sosial,

karena

mereka

menganggap bahwa semua telah ditakdirkan , sehingga tidak ada usahausaha untuk mengatasinya. Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan. kemiskinan

Faktor-faktor adalah

yang

kesadaran

menyebabkan bahwa

mereka

mereka telah

membenci

gagal

untuk

memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan akan adanya ketidakadilan. Menurut Subroto (2005:4), kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi standar kebutuhan hidup minimal dengan urutan prioritas yakni : cukup pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan dan rekreasi. Menurut Soetrisno (2002:16-17), kemiskinan dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu : 1. Kemiskinan Natural Kemiskinan kategori ini timbul sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang rendah, artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah faktor alam yang kurang menguntungkan. Keadaan kemiskinan yang demikian mungkin saja terjadi

perbedaan-perbedaan

45

kemampuan

(kekayaan),

tetapi

dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata tradisional, seperti pola hubungan patronclient, jiwa gotong royong, dan sejenisnya yang secara fungsional dapat meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial. 2. Kemiskinan Struktural Kemiskinan kategori ini lebih disebabkan oleh struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Soemardjan

dalam

Soetrisno

(2002:19)

merumuskan

“Kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka”. Menurut Subroto (2005:4), indikator kemiskinan adalah sebagai berikut : 1. Cukup Pangan Yaitu apabila seseorang mampu mengonsumsi pangan <2.100 kalori per hari atau kurang dari dua kali makan makanan pokok per hari. Kecukupan pangan adalah indikator paling penting untuk menentukan tingkat kegawatan kemiskinan. Mengingat pangan adalah kebutuhan dasar hidup manusia maka apabila masyarakat atau seseorang kekurangan pangan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dari hasil usahanya maka tingkat kemiskinan masyarakat atau seseorang pada kondisi demikian dapat dikatakan sangat miskin. 2. Cukup Sandang Yaitu apabila seseorang mempunyai atau mampu membeli kurang dari dua setel pakaian dalam satu tahun untuk diri dan keluarganya. Kecukupan sandang adalah indikator paling penting berikutnya. Mengingat sandang adalah kebutuhan primer untuk kesehatan dan

46

bersosialisasi. Maka apabila masyarakat atau seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang tersebut maka dapat dikatakan miskin. 3. Cukup Papan Apabila masyarakat atau seseorang tidak atau belum mampu tinggal pada tempat tinggal (rumah) yang layak huni dalam kriteria tersedia cukup air (untuk mandi, cuci dan kakus), cukup sirkulasi udara dan cahaya serta mempunyai sistem sanitasi yang sehat maka dapat digolongkan cukup miskin. Mengingat papan adalah kebutuhan primer untuk kehidupan berkeluarga dan masyarakat maka kekurangan papan yang layak huni dapat menjadi indikator penting kemiskinan. 4. Cukup Pendidikan Apabila seseorang belum mampu membiayai pendidikan, minimal pendidikan dasar sembilan tahun bagi anggota keluarganya terutama anaknya maka tergolong miskin, karena pendidikan adalah kebutuhan primer untuk pembangunan sumber daya manusia. 5. Cukup Kesehatan Apabila masyarakat atau seseorang belum mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan modern minimal puskesmas terdekat dan tidak berprilaku hidup sehat maka tergolong miskin, mengingat kesehatan dan perilaku hidup sehat adalah kebutuhan primer untuk pembangunan sumber daya manusia. 6. Cukup Rekreasi Apabila seseorang atau masyarakat belum mampu melakukan rekreasi ulang atau membangun kreasi mental dan spiritual minimal satu kali dalam satu minggu untuk membangun motivasi, inovasi serta sikap mental positif sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap upaya peningkatan kesejahteraan baik secara kolektif maupun individual melalui kegiatan rekreasi. Kegiatan rekreasi tersebut seperti melaksanakan ibadah ritual agama, mendengarkan radio, tape recorder, televisi, tamasya, olahraga, berkesenian. Apabila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan maka dapat digolongkan miskin karena rekreasi juga termasuk kebutuhan primer untuk membangun potensi produktif sumber daya manusia lahir dan batin.

47

Adapun beberapa kriteria kemiskinan sebagai berikut : 1. Kriteria Kemiskinan Menurut Bank Dunia Kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1,00 per hari. 2. Kriteria Kemiskinan Standar Nasional a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang. b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murah. c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester. d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar (WC)/ bersama-sama dengan rumah tangga lain (WC umum). e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. f. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan. g. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah. h. Hanya mengonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam sebulan. i.

Hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun.

j.

Hanya sanggup makan satu/ dua kali dalam sehari.

k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik. l.

Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0.5 Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,00 per bulan.

m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah, tidak tamat SD atau hanya SD.

48

n. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp.500.000,00 seperti sepeda motor, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Walaupun kriteria kemiskinan telah ditetapkan secara standar nasional, tapi pada pelaksanaannya dalam penentuan kemiskinan tetap disesuaikan dengan kondisi daerah karena pada dasarnya setiap daerah memiliki ciri yang berbeda sehingga kategori kemiskinan tidak dapat disamaratakan di seluruh daerah. 2.4. Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) Era reformasi yang menuntut perubahan kondisi sosial, politik, desentralisasi, transparansi, dan otonomi menghendaki “paradigma baru” dalam pembangunan nasional yang berorientasi pada peningkatan peran serta masyarakat. Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) merupakan salah program pemberdayaan masyarakat miskin khusus di perkotaan. Program ini berasal dari Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil). Adapun nilai-nilai dasar yang ingin dikembangkan melalui P2KP adalah agar seluruh pihak terkait menjunjung tinggi serta memegang asas-asas : a) Keadilan. b) Kejujuran. c) Kesetaraan. d) Dapat dipercaya. e) Keikhlasan, dan f) Kebersamaan dalam keragaman. Sedangkan prinsip-prinsip P2KP menurut Buku Panduan P2KP yang dikeluarkan oleh Depkimpraswil (2004) adalah bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan P2KP harus pula berlandaskan pada : a) Demokrasi. b) Partisipasi.

49

c) Transparan.si. d) Akuntabilitas, dan e) Desentralisasi. Masyarakat mampu membangun sinergi dengan berbagai pihak untuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami secara mandiri, efektif dan berkelanjutan. Misi P2KP adalah memberdayakan masyarakat miskin perkotaan dalam upaya penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan kapasitas, penyediaan sumber daya, dan membudayakan kemitraan

sinergis

antara

masyarakat

dengan

pelaku-pelaku

pembangunan lokal lainnya. Untuk itu, melalui P2KP diharapkan masyarakat mampu : a) Mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi, merumuskan serta menetapkan prioritasnya. b) Merumuskan

alternatif

jalan

keluar

untuk

mengatasi

permasalahan tersebut. c) Mengorganisasi diri, sebagai salah satu cara penanggulangan permasalahan secara bersama. d) Mengembangkan aturan main, nilai norma yang disusun, disepakati serta dipatuhi bersama. e) Memperluas kerja sama serta mampu menjalin "kemitraan" yang setara. Memberikan

bantuan

teknis

berupa

pendampingan

kepada

masyarakat dalam rangka membantu pengorganisasian kelembagaan di tingkat komunitas dan melakukan upaya bagi peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana dasar lingkungan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga masyarakat

dapat

secara

mandiri

melaksanakan

perencanaan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap berbagai program yang terkait dengan penyelesaian permasalahan serta penyebab kemiskinan yang dihadapi. Memberikan bantuan kepada masyarakat miskin dalam

50

bentuk dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat baik yang sifatnya bergulir atau sifatnya hibah. Sasaran P2KP adalah warga masyarakat miskin perkotaan, termasuk didalamnya adalah masyarakat yang telah lama miskin. Masyarakat yang penghasilannya merosot dan tidak berarti, akibat inflasi, serta Masyarakat yang kehilangan sumber nafkahnya dikarenakan krisis ekonomi.

51

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian adalah desain penelitian Deskriptif Kualitatif. Menurut Nazir (2005:54) : Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu situasi, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penulisan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Al-Wasilah (2002:143) dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya kualitatif : dasar-dasar merancang dan melakukan penelitian kualitatif” mengemukakan bahwa : Desain penelitian deskriptif kualitatif merupakan desain penelitian yang tidak terstruktur seperti desain penelitian kuantitatif, karena bila terstruktur berarti kaku, tidak fleksibel sehingga data-data yang berharga sekalipun, bahkan percikan yang mencuat dan mencerdaskan akan diperlakukan sebagai tamu tak diundang. Kekuatan paradigma kualitatif justru terletak pada inductive dan grounded, yang memang tidak sejalan dengan pendekatan atau desain terstruktur. Peneliti kualitatif berfokus pada fenomena tertentu yang tidak memiliki generalizability dan comparability, tetapi memiliki internal validity dan contextual understanding. Lebih lanjut Al-Wasilah (2002:106) Dalam mencapai tujuan penelitian kualitatif, secara garis besarnya peneliti harus melakukan empat hal yaitu : 1). membangun keakraban dengan informan 2) penentuan sampel, 3) pengumpulan data, 4) analisis data. Untuk pendekatan metode analisis data penulis menggunakan pendekatan induktif sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Wasilah (2002:105) bahwa :

52

Metode analisis data dengan pendekatan induktif dipilih ketimbang metode deduktif karena metode ini lebih memungkinkan peneliti mengidentifikasi realitas yang berbeda-beda di lapangan, membuat interaksi antara peneliti dan responden lebih eksplisit, nampak dan mudah dilakukan; dan memungkinkan identifikasi aspek-aspek yang saling mempengaruhi.

3.2. Data yang diperlukan Dalam penelitian ini data yang diperlukan meliputi data tentang : 1. Gambaran umum atau kondisi umum Kecamatan Bontomanai yang meliputi keadaan demografi, sosial ekonomi, pendidikan, agama, kelembagaan sumber daya manusia aparatur dan fasilitas penunjang. 2. Peraturan-peraturan dengan

dan

kebijaksanaan

dokumen-dokumen pemberdayaan

yang

masyarakat

berhubungan miskin

di

Kecamatan Bontomanai khususnya program P2KP. 3. Informasi

yang

berhubungan

dengan

proses

implementasi

kebijaksanaan program P2KP di Kecamatan Bontomanai. 3.3. Sumber Data Menurut Lonfland dan Lonfland dalam Moleong (2006 : 157) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sedangkan Amirin (2000 : 132) berpendapat bahwa menurut derajat sumbernya, data terdiri dari dua yaitu data primer dan data sekunder. Untuk itu data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kualitatif ; yang terdiri atas : 1. Data Primer Data primer yakni data yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atas data tersebut Amirin (2000 : 132). Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah data yang langsung dari sumbernya, melalui wawancara yang dilakukan oleh

53

peneliti

dengan

informan.

Informan

adalah

orang

yang

mampu

memberikan data/informasi yang sebenar-benarnya tentang diri orang lain atau lingkungannya (Rusidi, 2006:28). Pada penelitian ini sumber data primer yang digunakan ialah hasil wawancara. Adapun Informan yang diwawancarai di dalam penelitian ini tidak hanya terbatas di kalangan Pejabat Pemerintahan Daerah, akan tetapi juga kalangan di luar unsur Pemerintahan penelitian

ini

Daerah.

Pemilihan dan penetapan

menggunakan

informan

dalam

teknik snow ball sampling. Untuk lebih

jelas dan terperinci dapat dilihat pada tabel berikut : TABEL 3.1 INFORMAN PENELITIAN JUMLAH

NO

INFORMAN

1. 2. 3. 4. 5.

Bupati Selayar Camat Bontomanai Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat Tokoh Masyarakat Masyarakat Miskin Total

(ORANG) 1 1 1 4 8 15

2. Data Sekunder Menurut Amirin (2000:132) menyatakan bahwa data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data tersebut. Data sekunder ini dikumpulkan untuk melengkapi data primer, yaitu seluruh data yang berkaitan dengan kebijaksanaan program P2KP di Kecamatan Bontomanai. Data sekunder juga diperoleh dari data yang diperoleh dari penelitian dokumen, laporan, serta berkas-berkas yang berhubungan dengan penelitian ini. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Metode yang paling utama dalam penelitian kualitatif adalah interview dan observasi. Istilah fieldwork dan field study terutama merujuk

54

pada kedua kegiatan ini dan kadang mencakup analisis dokumen (documentary analysis). Observasi berbeda dengan interview dalam dua hal. Interview dilakukan pada latar yang direncanakan, sedangkan observasi peran serta (participant observation) dilakukan pada latar yang alami. 1) Wawancara Nazir (2005:234) metode wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau

keterangan-keterangan.

Dalam

rangka

pengumpulan

data

dilakukan wawancara mendalam dengan Bupati Selayar, Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Camat Bontomanai, tokoh masyarakat

dan

beberapa

masyarakat

miskin

menyangkut

implementasi, hambatan dan dukungan serta upaya-upaya yang dilakukan

dalam

Penanggulangan

menyukseskan

Kemiskinan

Perkotaan

implementasi (P2KP)

di

Program Kecamatan

Bontomanai Kabupaten Selayar. Teknik Snow Ball Sampling penulis gunakan dalam wawancara mendalam, dapat digambarkan sebagai berikut :

55

GAMBAR 3.1 INFORMAN TERWAWANCARA MELALUI SNOW BALL SAMPLING Bupati Selayar H. Syahrir Wahab

T. Masyarakat Andi Zaenudin

Kepala BKM

Ir. H. Abd.Mapaseng

T. Masyarakat

T. Masyarakat

T. Masyarakat

Achyar Pajrin

Daulat Taba

H. Abd Karim

Abd Wahab S. Rambe

Bantasiku Khodijah

H. Baso Tala Musawwir

Ropi’ah Martadukeng

2) Dokumentasi Teknik dokumentasi menurut Arikunto (2005:200) yaitu “mencari data mengenai variabel yang berupa catatan transkrip, surat kabar, majalah, agenda dan sebagainya”. Pada penelitian ini dokumen yang digunakan adalah dokumen-dokumen yang menyangkut program pemberdayaan

masyarakat

miskin

di

lingkungan

Pemerintah

Kabupaten Selayar seperti ; Peraturan Daerah, Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan, Laporan Pertanggungjawaban Bupati Tahun 2002-2006, Statistik Kabupaten Selayar.

56

3.5. Teknik Pengujian Keabsahan Data Pada

tahap

pengujian

keabsahan

data,

dilakukan

dengan

menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pengujian keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik pengujian yang memanfaatkan penggunaan sumber yaitu membandingkan dan mengecek terhadap data yang diperoleh. Triangulasi dilakukan dengan sumber data dan penelitian atau pengamat lain. Teknik triangulasi yang digunakan adalah teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber (wawancara dan triangulasi) dengan sumber berarti membandingkan dengan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Triangulasi ini dilakukan dengan cara : 1. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. 2. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang saling berkaitan. 3. Mengadakan

perbincangan

dengan

banyak

pihak

untuk

mencapai pemahaman tentang suatu atau berbagai hal. 3.6. Instrumen Penelitian Moleong (2006:4-5) mengemukakan bahwa : "Jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu hanya "Manusia sebagai alat" sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila

57

terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya". Dalam melakukan penelitian ini, yang menjadi instrumen penelitian adalah penulis sendiri di mana penulis akan hadir secara langsung di lokasi penelitian dan melaksanakan wawancara, pengumpulan data, serta pencatatan data. Fungsi penulis sebagai instrumen penelitian bertujuan untuk mendapatkan data yang valid dan reliable, yang dapat dipenuhi karena peneliti langsung ke lapangan melakukan wawancara dengan informan. 3.7. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif menurut Bogdam dan Biklen (dalam Moleong, 2006:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Mengacu pada pendapat tersebut, maka analisis dan penafsiran data untuk penelitian ini secara umum dilakukan sepanjang penelitian dan dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir, adanya data baru yang terkumpul secara simultan akan dianalisis dalam penelitian ini. Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber (wawancara dan dokumen). Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif melalui model analisis linier. Menurut Sutopo (1998:19) model linier ini cenderung dekat dengan struktur yang sudah standar dalam penelitian kualitatif tetapi menghilangkan tahap penyusunan hipotesis sehingga dalam kegiatannya berjalan secara suksesif, tidak pernah berulang namun tetap fleksibel terhadap kenyataan-kenyataan di

58

lokasi penelitian. Menurut Milles dan Huberman (Sutopo, 1998:34-36) inti dari analisis mengalir atau linier (flow model of analysis) adalah : 1. Pengumpulan data Pengumpulan data merupakan pencarian informasi baik dari data primer maupun data sekunder, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengumpulan data dalam penelitian ini penulis lakukan dengan cara wawancara dengan informan dan pengumpulan dokumendokumen yang berkaitan dengan penelitian ini, di mana hasil wawancara tersebut akan menghasilkan data primer dan hasil pengumpulan dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data sekunder. 2. Reduksi data Reduksi data merupakan proses seleksi atau pemilihan, pemfokusan atau pemusatan perhatian penyederhanaan dan abstraksi data kasar yang ada dalam catatan lapangan. Dengan kata lain reduksi data sebagai

bagian

analisis

ini

mempertegas,

memperpendek,

memusatkan perhatian membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa. Dalam penelitian ini penulis melakukan reduksi data dengan cara menyederhanakan data-data yang didapat dalam lapangan, dengan cara menganalisis data-data yang mana saja yang berhubungan dengan penelitian ini dan perlu untuk ditulis dalam penelitian ini. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian dimulai dari sebelum pengumpulan data, saat pengumpulan data sampai dengan penelitian ini selesai ditulis. 3. Penyajian data Penyajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan mudah dimengerti dalam bentuk yang kompak untuk menarik kesimpulan penelitian. Dalam penelitian ini penyajian data sangat berhubungan dengan proses pembahasan

59

dan analisis lebih lanjut dari perumusan masalah dan tujuan penelitian, penyajian data menjadi satu-kesatuan dengan pembahasan penelitian ini sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, dimana data-data yang didapat penelitian ini dianalisis sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian. 4. Penarikan Kesimpulan/verifikasi Penarikan kesimpulan merupakan suatu usaha menarik konklusi dari hal-hal yang ditemui dari pengumpulan data, reduksi data maupun penyajian data. Dalam penelitian ini kesimpulan terdiri dari tiga hal pokok sebagai hasil pembahasan dari perumusan masalah dan tujuan penelitian, yaitu : 1. Kesimpulan yang berkaitan dengan implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. 2. Kesimpulan yang berkaitan dengan hambatan-hambatan dalam implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar. 3. Kesimpulan yang berkaitan dengan upaya-upaya yang dilakukan dalam implementasi kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan

Perkotaan

(P2KP)

Kabupaten Selayar.

60

di

Kecamatan

Bontomanai

3.8. Lokasi dan Jadwal Penelitian Penulis Kabupaten

memilih

Selayar

lokasi

sebagai

penelitian

Kecamatan

Bontomanai

objek observasi dengan pertimbangan

bahwa : 1) Kecamatan Bontomanai memiliki persoalan yang substantif dan teoritik untuk diteliti. 2) Belum pernah dilakukan penelitian dengan tema yang sejenis. 3) Aspek praktis dalam hubungannya secara geografis dimana tempat peneliti melaksanakan tugasnya sebagai abdi negara. 4) Mudah diakses berbagai kendaraan baik pribadi maupun umum. 5) Data-data yang diperlukan lebih lengkap dan mudah diperoleh. 6) Biaya hidup selama penelitian relatif rendah, sehingga penulis dapat mengalokasikan dana untuk biaya penelitian yang lain. Adapun proses pelaksanaan penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini dapat dilihat pada tabel : TABEL 3.2 JADWAL PENELITIAN No

KEGIATAN

1

2

Jan 3

1 2 3

Penyusunan Usulan Penelitian Penelitian dan Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis data serta

4

Bimbingan Sidang Tesis

61

Febr 4

2008 Mart 5

Aprl 6

Mei 7

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implementasi Kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar Dalam penelitian ini variabel implementasi kebijaksanaan publik penulis adopsi dari teori implementasi kebijaksanaan publik berdasarkan konsep Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Tachjan, (2006:57-58) yaitu : 1) tractability of the problem, 2). Ability of policy decision to structure implementation, 3). nonstatury variable affecting implementation. Adapun untuk masing-masing konsep di atas dapat dilihat secara rinci sebagai berikut : Mudah/tidaknya Masalah Dikendalikan (tractability of the problem) 1) Dukungan teori dan teknologi Tercapai atau tidaknya tujuan suatu program atau kebijaksanaan Pemerintah baik Pusat dan Daerah akan tergantung pada sejumlah persyaratan

teknis,

termasuk

di

antaranya

kemampuan

untuk

mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja, teori dan teknologi serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal yang

mempengaruhi

masalah.

Kebijaksanaan

penanggulangan

kemiskinan perkotaan masih berjalan tersendat, hal ini disebabkan pembuat kebijaksanaan atau program belum memahami benar apa yang harus

dilakukan

apa.

Tersendatnya

implementasi

kebijaksanaan

berdampak pada masih tingginya angka kemiskinan di wilayah perkotaan sebagai ekses hebat dari pembangunan yang lebih berorientasi pada pembangunan fisik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bupati Selayar Bapak H. Syahrir Wahab pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008 bertempat di Kantor Pemerintah Kabupaten menyatakan bahwa :

62

“Program Penanggulangan Kemiskinan (P2KP) sudah bergulir sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang di Kabupaten Selayar diharapkan dapat berlangsung secara terus menerus atau berkelanjutan, pemberdayaan yang sinergis bagi penanggulangan kemiskinan sehingga diharapkan masyarakat dapat, menyelesaikan sendiri masalah kemiskinan yang ada di wilayahnya, seiring dengan perjalanannya banyak masukan dan kritikan yang berharga bagi keberlanjutan program ini. Pemerintah Kabupaten Selayar sendiri dengan serius memberdayakan masyarakat miskin,dengan tujuan menurunkan angka kemiskinan di Indonesia dengan salah satunya mengacu pada target MDGs dan HDI, sehingga dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut Pemerintah Kabupaten Selayar berusaha mensinergikan semua program penanggulangan kemiskinan dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dengan menggunakan metodologi P2KP untuk Perkotaan dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di pedesaan. Dengan demikian tujuan memberdayakan masyarakat miskin menjadi berdaya, mandiri dan madani dapat terlaksana dengan baik. Dari aspek teori dan teknologi saat ini masih belum maksimal karena ada masalah kendala Anggaran dalam pengadaan Teknologi Informasi” Sejalan dengan pendapat tersebut, Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kabupaten Selayar Bapak Ir. H. Abdulah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu tanggal 19 Maret 2008 bertempat di Kantor BKM menyatakan bahwa “dalam rangka mensukseskan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Selayar, maka bukan hanya dari aspek kebijaksanaan saja, namun lebih dari itu yaitu kualitas sumber daya manusia dan dukungan teori (ilmu) serta teknologi yang handal, sehingga dapat mendeteksi sejauhmana penyebab kemiskinan dan dampak kemiskinan terjadi” Berdasarkan dua hasil wawancara tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan dari kebanyakan program akan dipengaruhi pula oleh tersedianya atau telah dikembangkannya teknologi tertentu. Keefektifan Biro Pusat Statistik dalam upaya penghimpunan, penganalisaan dan penyajian data Statistik mengenai pelbagai sektor pembangunan dibantu oleh penggunaan peralatan komputer yang mampu

63

bekerja dengan cepat dan cermat sangat membantu dalam memperoleh data yang akurat dan handal. Implementasi kebijaksanaan tentang Proyek

Penanggulangan

Kemiskinan

Perkotaan

(P2KP)

yang

dilaksanakan di Kabupaten Selayar sejalan dengan visi dan misi Kabupaten Selayar sebagai Kabupaten termaju di Provinsi Sulawesi Selatan. 2) Keragaman perilaku kelompok sasaran Semakin beragam perilaku yang diatur atau semakin beragam pelayanan yang diberikan, semakin sulit upaya untuk membuat peraturan kebijaksanaan yang tegas dan jelas serta komprehensif, dengan demikian semakin besar kebebasan bertindak yang harus diberikan kepada para pejabat di lapangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa “Perlu dilakukan upaya pendekatan perencana program yang mampu menciptakan keserasian dan kesesuaian antar tujuantujuan program/kebijaksanaan dengan kebutuhan kelompok sasaran. Dengan dipenuhinya persyaratan-persyaratan ini maka akan dapat dipastikan resiko kegagalan pelaksanaan program atau penolakan dari kelompok sasaran dapat diminimalkan. Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat dikemukakan bahwa adanya kemungkinan perbedaan komitmen diantara pejabat lapangan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijaksanaan,

maka

pemberian

kebebasan

bertindak

tersebut

kemungkinan akan menimbulkan perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar dalam tingkat keberhasilan pelaksanaan program.

3) Tingkat perubahan perilaku yang dikehendaki

64

Jumlah modifikasi perilaku yang diinginkan bagi tercapainya tujuan formal/tujuan kebijaksanaan adalah fungsi dari jumlah total orang yang menjadi kelompok sasaran dan jumlah perubahan yang dituntut dari mereka.

Dalam

penanggulangan

kaitan

dengan

kemiskinan

implementasi

perkotaan

(P2KP)

kebijaksanaan di

Kecamatan

Bontomanai, hasil analisis penulis menyatakan bahwa kelompok sasaran masyarakat miskin perkotaan tersebut merupakan sebagian kecil dari totalitas penduduk dan tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan memiliki kategori sedang. Berdasarkan

hasil

wawancara

dengan

Kepala

Badan

Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kabupaten Selayar Bapak Ir. H. Abdullah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu tanggal 19 Maret 2008 bertempat di Kantor BKM menyatakan bahwa Tingkat perubahan perilaku masyarakat miskin perkotaan dari adanya program ini adalah masyarakat memiliki kepercayaan diri dan bangit melawan kemiskinan yang menghimpitnya melalui bantuan teknis berupa pendampingan kepada masyarakat dalam rangka membantu pengorganisasian kelembagaan di tingkat komunitas dan melakukan upaya bagi peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi, perbaikan sarana dan prasarana dasar lingkungan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga masyarakat dapat secara mandiri melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap berbagai program yang terkait dengan penyelesaian permasalahan serta penyebab kemiskinan yang dihadapi. Memberikan bantuan kepada masyarakat miskin dalam bentuk dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat baik yang sifatnya bergulir atau sifatnya hibah. Hasil

wawancara

tersebut

di

atas

menunjukkan

bahwa

implementasi kebijaksanaan P2KP ini relatif mudah untuk diwujudkan.

65

Kemampuan

kebijaksanaan

untuk

menstrukturkan

proses

implementasi (Ability of policy decision to structure implementation), Pada prinsipnya, setiap undang-undang, keputusan Mahkamah/ pengadilan

atau

perintah

eksekutif

dapat

menstrukturkan

proses

implementasi ini dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang akan dicapainya dengan cara menseleksi lembaga-lembaga yang tepat untuk mengimplementasikannya, memberikan kewenangan dan dukungan sumber-sumber finansial pada lembaga-lembaga tersebut, mempengaruhi orientasi kebijaksanaan dari para pejabat pemerintah, dan dengan cara memberikan kesempatan berpartisipasi bagi pihak swasta atau lembagalembaga swadaya masyarakat dalam proses implementasi itu. Dengan demikian, nampak bahwa para pembuat kebijaksanaan sebenarnya dapat memainkan peran yang cukup. 1). Kejelasan dan konsistensi tujuan Tujuan-tujuan resmi yang dirumuskan dengan cermat dan disusun secara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman yang konkrit bagi pejabat-pejabat pelaksana dan sebagai sumber dukungan bagi tujuan itu sendiri. Kebijaksanaan P2KP diluncurkan

dengan

maksud

pemberdayaan

masyarakat

melalui

pembelajaran nilai-nilai luhur kemanusiaan : adil, jujur, dapat dipercaya dan kepedulian. Nilai-nilai baik inilah yang dijadikan pondasi untuk penanggulangan kemiskinan melalui pembelajaran Tridaya; 1) Pembangunan sarana dan prasarana lingkungan ; perbaikan jalan setapak, gorong-gorong dan penataan lingkungan lainnya 2) Pemberian pinjaman (Modal bergulir) bagi masyarakat miskin dalam peningkatan

penapatan

kecil masyarakat

66

berkelanjutan,

usaha

3) Kegiatan

sosial,

pemberian

santunan,

bea

siswa,

pelatihan, perbaikan rumah kumuh dan lain-lain Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa : Kebijaksanaan P2KP adalah suatu kebijaksanaan yang dirancang dengan suatu paradigma baru bahwa untuk menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan diperlukan suatu pendekatan yang berbasis pada prinsip-prinsip pemberdayaan komunitas sehingga dalam proses pelaksanaan program perlu dilakukan upaya-upaya tertentu yang harus dilakukan oleh komunitas itu sendiri. Dari aspek kejelasan dan konsistensi tujuan sudah sangat bagus tinggal bagaimana implementasinya di lapangan. Namun demikian harapan kami pejabat dilapangan baik dari semua Kepala Bidang maupun Kepala Seksi mampu menjabarkan tujuan dan misi dari kebijaksanaan tersebut Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, tampak bahwa responden penelitian menilai program P2KP ini dari aspek kejelasan dan konsistensi tujuan sudah baik, namun masih meragukan pada tataran implementasinya. 2) Dipergunakannya teori kausal Setiap usaha pembaharuan sosial besar-besaran, setidaknya secara implisit memuat suatu teori kausal tertentu yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan itu akan dicapai. Suatu teori kausal yang baik mempersyaratkan: a) bahwa hubungan-hubungan timbal balik antara campur tangan pemerintah di satu pihak, dan tercapainya tujuan-tujuan program dapat dipahami dengan jelas; b) bahwa para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program mempunyai kewenangan yang cukup atas sejumlah matarantai hubungan yang penting guna mengusahakan tercapainya tujuan.

67

Dalam kerangka implementasi kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan perkotaan di Kabupaten Selayar persyaratan teori kausal telah terpenuhi. Hal ini seperti yang telah disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan Bupati Selayar Bapak H. Syahrir Wahab pada hari Senin tanggal 17 Maret 2008 bertempat di Kantor Pemerintah Kabupaten menyatakan bahwa : Campur tangan pemerintah dalam hal ini pemerintah Kabupaten Selayar dalam menanggulangi kemiskinan perkotaan dengan melibatkan masyarakat melalui P2KP sudah tercapai dan dipahami dengan jelas serta para pejabat yang mengimplementasikan sudah memahami tanggung jawabnya masing-masing. Dapat disimpulkan berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas bahwa salah satu kontribusi penting dari analisis implementasi Program P2KP ialah perhatiannya pada teori yang menyeluruh mengenai bagaimana cara mencapai perubahan-perubahan yang dikehendaki. 3) Ketepatan alokasi sumber dana Dana tak dapat disangkal merupakan salah satu faktor penentu dalam program pelayanan masyarakat apapun. Dalam program-program regulatif, dana juga diperlukan untuk menggaji atau menyewa tenaga personalia dan untuk memungkinkan dilakukannya analisis teknis yang diperlukan

untuk

membuat

regulasi

tersebut,

mengadministrasikan

program perizinan dan memonitor pelaksanaannya. Dalam kerangka implementasi kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan perkotaan di Kabupaten Selayar dari aspek pendanaan administrasi sudah cukup baik. Hal ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kabupaten Selayar Bapak Ir. H. Abdulah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu tanggal 19 Maret 2008 bertempat di Kantor BKM menyatakan bahwa :

68

“Yang mengatur mengenai alokasi dana implementasi kebijaksanaan adalah Bupati. Bupati selaku pelaksana kebijaksanaan tingkat atas, telah menganggarkan sejumlah dana untuk kesuksesan kebijaksanaan ini” Penjelasan hasil wawancara tersebut adalah tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu amat diperlukan agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal, dan tersedianya dana di atas tingkat batas ambang ini akan sebanding dengan peluang tercapainya tujuantujuan tersebut. 4). Keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana Masalah koordinasi semakin bertambah runyam jika menyangkut peraturan pemerintah pusat, yang dalam pelaksanaannya seringkali amat tergantung pada pemerintah daerah dan instansi-instansi di daerah kabupaten, karena perlu dijabarkan dalam bentuk program-program dan terjalin dalam suatu sistem yang amat heterogen. Koordinasi

dalam

rangka

implementasi

kebijaksanaan

penanggulangan kemiskinan perkotaan di Kabupaten Selayar telah berjalan cukup baik. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa : “telah terjadi keterpaduan hirarkis dalam implementasi kebijaksanaan P2KP, jika sistem ini hanya terpadu secara longgar, maka kemungkinan akan terjadi perbedaan-perbedaan perilaku kepatuhan yang cukup mendasar di antara pejabat-pejabat pelaksana dan kelompok-kelompok sasaran, sebab mereka akan berusaha untuk melakukan modifikasi atau perubahan-perubahan tertentu sejalan dengan rangsangan atau insentif yang muncul di lapangan” Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan

69

perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hierarki badan-badan pelaksana. 5). Keterbukaan dari pihak luar Faktor lain yang dapat mempengaruhi implementasi kebijaksanaan ialah sejauh mana peluang-peluang untuk berpartisipasi terbuka bagi para aktor di luar badan-badan pelaksana mempengaruhi para pendukung tujuan resmi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa : Dalam

proses

implementasi

kebijaksanaan

mengenai

penanggulangan kemiskinan di Kecamatan Bontomanai telah mempertimbangkan keterbukaan bagi pihak luar untuk memberikan masukan baik dari tokoh masyarakat, mantan pejabat LSM, dan akademisi. Mengacu hasil wawancara tersebut dapat dikemukakan bahwa Undang-undang, selain dapat mempengaruhi proses implementasi melalui pemilihan badan-badan pelaksana yang tepat (merancang bangun sifat strukturalnya), ia dapat pula mempengaruhi partisipasi dua kelompok aktor di luar badan-badan pelaksana tersebut, yaitu: a) calon-calon penerima manfaat dan atau kelompok-kelompok sasaran masyarakat miskin yang ada b) badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang merupakan atasan-atasan dari badan-badan pelaksana itu.

70

Variabel

Luar

Kebijaksanaan

yang

Mempengaruhi

Proses

Implementasi (nonstatury variable affecting implementation) 1) Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi Perbedaan - perbedaan waktu dan wilayah hukum pemerintahan dalam hal kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan teknologi berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undangundang. Kemungkinan perbedaan-perbedaan kondisi semacam itu dapat mempengaruhi efektivitas dukungan politik terhadap tujuan-tujuan dan, karena itu, berpengaruh pula terhadap output kebijaksanaan dari badanbadan pelaksana serta pada gilirannya terhadap pencapaian tujuan-tujuan itu sendiri. Kondisi ekonomi masyarakat miskin di Kecamatan Bontomanai serba terbatas disertai dengan kurangnya tingkat pendidikan diantara mereka, membuat implementasi kebijaksanaan ini relatif menemui kendala. Hal ini terungkap dari hasil wawancara

dengan Camat

Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa : “perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomi dapat mempengaruhi persepsi mengenai kadar pentingnya masalah yang akan ditanggulangi oleh suatu proyek dalam hal ini P2KP. Keberhasilan implementasi mungkin akan lebih sulit dicapai mengingat perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomis setempat dan tingkat keseriusan masalah yang sedang dihadapi. Perbedaan-perbedaan menimbulkan

kondisi

desakan-desakan

sosio-ekonomis

untuk

membuat

tersebut

akan

program-program

pemberdayaan yang luwes dan yang memberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan-tindakan administrasi tertentu pada satuan-satuan organisasi lokal (badan-badan pelaksana daerah). Dalam keadaan seperti ini, maka output-output kebijaksanaan badan-badan pelaksana akan

71

mencerminkan derajat dukungan lokal terhadap tujuan-tujuan undangundang tersebut. 2) Dukungan publik Perbedaan-perbedaan waktu dan perbedaan wilayah hukum dalam dukungan publik bagi tujuan undang-undang adalah merupakan variabel kedua yang dapat mempengaruhi implementasi. Perhatian publik (dan juga perhatian media) pada kebanyakan isu kebijaksanaan cenderung mengikuti suatu siklus di mana pada suatu saat mula-mula perhatian dan dukungan publik terhadap suatu masalah begitu menggebu-gebu, kemudian tiba-tiba dukungan yang luas itu merosot secara tajam karena orang mulai menyadari ongkos untuk mengatasi masalah tersebut, Kebijaksanaan mengenai penanggulangan masyarakat miskin kota melalui proyek P2KP di Kecamatan Bontomanai

telah mendapat

dukungan penuh baik dari anggota DPRD, tokoh masyarakat, pemerhati sosial,

sehingga

Pemerintah

dengan

Daerah

dukungan

Kabupaten

publik

Selayar

yang lebih

penuh giat

lagi

tersebut dalam

implementasinya untuk memberantas kemiskinan. Adapun programprogram yang telah dilaksanakan di Perkotaan antara lain : 1. KBP (Komunitas Belajar Perkotaan) Fungsi KBP adalah sebagi forum untuk belajar, sharing pemikiran dan pengalaman, tempat berkomunikasi, yang dilandasi prinsip kemitraan untuk menemukan best practice tentang model penanggulangan kemiskinan yang partisipatif dan perencanaan yang partisipatif. Keberadaan atau eksistensi Komunitas Belajar Perkotaan (KBP) di kabupaten Selayar, masih sangat perlu didorong dan lebih dikembangkan lagi agar menjadi lebih baik, hal ini sangat penting karena keberadaan KBP belum optimal memberikan warna dalam melakukan kegiatan-kegiatan TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan), namun demikian kegiatan KBP sudah berjalan dengan

72

tersusunnya Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) serta Perencanaan Jangka menengah Program Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Selayar 2. Forum BKM Tingkat Kota Forum Antar BKM merupakan wadah dan atau wahana individu anggota BKM untuk secara bersama-sama dan teratur mengadakan dialog-diskusi-konsultasi tentang berbagai masalah dalam upaya mengembangkan peran dan fungsi BKM sebagai institusi lokal yang bertanggungjawab mengatasi kemiskinan di wilayah kabupaten selayar. Forum BKM sebagai suatu forum yang beranggotakan institusi-institusi masyarakat -BKM secara lembaga berusaha untuk memperkuat daya dan kesadaran kritis serta posisi tawar masyarakat miskin dengan memulai dan terus menerus membangun dan memperkuat masyarakat miskin serta institusi masyarakat (institusional building) ke arah yang lebih kuat, sehingga pada saat-nya institusi masyarakat tersebut dapat menjalankan peran sebagai pelaku utama pembangunan lokal, mampu berperan menciptakan mekanisme atau aturan saluran-saturan alternatif (channeling) aspirasi masyarakat serta

mampu

berperan

sebagai

control

social

terhadap

penyelenggaraan urusan public atau pelayanan umum. Meskipun demikian, sebagai forum komunikasi dan koordinasi ataupun jejaring kerjasama, maka keberadaan Forum BKM tidak dimaksudkan untuk mensubordinasi BKM-BKM yang ada di kota/kabupaten bersangkutan dan atau

menjurus

pada

exclusivisme yang

lebih

memenuhi

kepentingan personil pengurus forum BKM-nya. Keberadaan forum BKM, baik ditingkat kecamatan maupun kota/kabupaten, harus penguatan

kapasitas

nyata-nyata

berorientasi

pada

dan memperjuangkan kepentingan bersama

BKM-BKM.

73

3. TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) Kegiatan Penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Selayar dengan dibentuknya Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan Keputusan Bupati Nomor 110 Tahun 2006 yang merupakan forum lintas sektor sebagai wadah penanggulangan kemiskinan yang bertugas melakukan langkah-langkah konkrit untuk mempercepat pengurangan

jumlah

penduduk

miskin

melalui

koordinasi

dan

sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan. 4. SPKD

(Strategi

Penanggulangan

Kemsikinan

Daerah)

dan

PJM Pronangkis (Program Jangka Menengah) Penanggulangan Kemiskinan SPKD dan PJM Pronangkis Kabupaten Maritim Selayar disusun dengan serangkaian diskusi-diskusi tentang kemiskinan di kabupaten selayar, kemudian dilanjutkan diskusi/FGD pengkajian pemetaan sampai disusunnya strategi penanggulangan kemiskinan kemudian dirumuskan dalam matriks kebijaksanaan, tujuan, sasaran dan program penanggulangan kemiskinan di kabupaten selayar. Kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan PJM. SPKD menjadi bahan rujukan atau koridor dalam upaya penanggulangan

kemiskinan

dengan

mengedepankan

sinergitas

program-program penanggulangan kemiskinan di kabupaten selayar. Begitupula SPKD yang disinergikan dengan kegiatan masyarakat yang ada di desa/kelurahan Sementara itu, kegiatan review PJM Pronangkis kota harus setiap tahun dilakukan dalam rangka untuk meng up date data yang ada di masyarakat 5. Fasilitasi Pelaksanaan Kemitraan Penanggulangan Kemiskinan Terpadu (PAKET) PAKET merupakan program kemitraan antara pemerintah Daerah, swadaya masyarakat dan

74

kelompok

peduli,

sinergitas

inilah yang selanjutnya merupakan program bersama menjadi keterpaduan. Untuk pengambilan keputusan di program PAKET dilakukan oleh Kelompok Kerja (POKJA) PAKET, yang menentukan Panitia kemitraan (PAKEM) yang berhak mendapatkan pendanaan kegiatan PAKET tersebut. Di Kabupaten Selayar, pelaksanaannya setelah MoU ditandatangani pada bulan Juni 2007, dimulailah serangkaian kegiatan dimulai tahapan : a. Persiapan daerah b. Perencanaan c. Penetapan Proposal d. Pelaksanaan e. Monitoring dan Evaluasi Untuk kegiatan di Tingkat Masyarakat pelaksanaan kegiatan P2KP, diluncurkan

dengan

maksud

pemberdayaan

masyarakat

melalui

pembelajaran nilai-nilai luhur kemanusiaan : adil, jujur, dapat dipercaya dan kepedulian. Nilai-nilai baik inilah yang dijadikan pondasi untuk penanguulangan kemiskinan melalui pembelajaran Tridaya; a. Pembangunan sarana dan prasarana lingkungan ; perbaikan jalan setapak, gorong-gorong dan penataan lingkungan lainnya b. Pemberian pinjaman (modal bergulir) bagi masyarakat miskin dalam peningkatan penapatan

berkelanjutan,

usaha

kecil

masyarakat. c. Kegiatan

sosial,

pemberian

santunan,

bea

siswa,

pelatihan, perbaikan rumah kumuh dan lain-lain Saat ini jumlah Keluarga miskin di Kecamatan Bontomanai cukup tinggi yaitu 1.324 Keluarga dan menempati urutan ketiga terbesar di seluruh Kabupaten Selayar setelah Kecamatan Bontosikunyu dan Bontomatene. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut :

75

TABEL 4.9 JUMLAH KELUARGA DAN PENDUDUK MISKIN DI KECAMATAN BONTOMANAI TAHUN 2007 BANYAKNYA Rumah Tangga Penduduk

DESA / KELURAHAN

Miskin

(1) Parak

Jambuiya Bontomarannu Bonea Timur Mare-Mare Barugaiya Polebunging Bonea Makmur Koala Bontolempangan Jumlah Sumber : Selayar dalam Angka, 2007

Miskin

(2)

(3)

202

783

114 188 71 104 148 149 70 106 172 1.324

298 638 262 339 513 477 283 362 642 4.587

Alokasi dana P2KP di Kabupaten Selayar yang berlangsung dari tahun 2004-2006 sebesar Rp 1.000.000.000,- untuk 4 desa, dengan pagu dana per Desa Rp 250.000.000,-. Untuk lebih jelasnya alokasi BLM P2KP 2 tahap 1 dapat dilihat pada tabel berikut :

76

TABEL 4.10 ALOKASI DANA BLM P2KP 2 TAHAP 1 No

Pagu Dana BLM

Desa

(Rp) 1. Polebunging 250.000.000,2. Bontolempangan 250.000.000,3. Parak 250.000.000,4. Jambuiya 250.000.000,Jumlah 1.000.000.000,Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007 Adapun rekapitulasi penyerapan dana dan penerima manfaat untuk program P2KP 2 Tahap 1 dapat dilihat sebagai berikut : TABEL 4.11 PENYERAPAN DANA DAN PENERIMA MANFAAT P2KP 2 TAHAP 1 No

Jenis Kegiatan

BLM

Jumlah

Jumlah

(Rp) KSM/Panitia Anggota 1. Lingkungan 297.600.000 46 322 2. Sosial 155.950.000 17 841 3. Ekonomi 516.450.000 172 1.027 4. BOP 30.000.000 Jumlah 1.000.000.000 235 2.190 Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007 Perkembangan

Kelompok

Keswadayaan

Masyarakat

(KSM)

Ekonomi dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat sebagai berikut :

77

TABEL 4.12 PERKEMBANGAN KSM EKONOMI

KSM

Desa

Ekonomi

Polebunging Bontolempangan Kondisi Awal Parak Jambuiya Jumlah Ekonomi Awal Kondisi Polebunging Bontolempangan Perguliran Parak sampai bulan Jambuiya

BLM

Jumlah

Jumlah

(Rp)

KSM/Panitia

Anggota

134.000.000 125.700.000 129.750.000 127.000.000 516.450.000 232.250.000 212.500.000 399.000.000 127.000.000

31 42 50 49 172 53 102 125 49

268 252 259 248 1027 421 486 788 248

Desember 2007 Jumlah Perguliran 970.750.000 329 Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007

1943

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan P2KP, maka mulai bulan April 2007 diperkenalkan Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat

(PNPM) yang merupakan program payung dari program pemberdayaan yang dimulai P2KP dan PPK. Kecamatan Bontomanai tidak mendapatkan alokasi PNPM P2KP pada tahun 2007, yang ada yaitu penambahan 2 alokasi daerah baru yaitu di Kecamatan Benteng dengan 2 kelurahan yaitu Kelurahan Benteng dan Benteng Utara. Di dua kelurahan ini dimulai tahapan siklus/kegiatan : a. Sosialisasi awal dan rembuk kesiapan masyarakat. b. Refleksi kemiskinan. c. Pemetaan swadaya. d. Pembangunan BKM. e. Perencanaan partisipatif PJM Pronangkis. f. Koordinasi Program IPM.

78

g. Pembentukan KSM. Alokasi dana PNPM P2KP Tahun 2007 sebesar Rp. 600.000.000,untuk 2 kelurahan, dengan dana pagu per kelurahan sebesar Rp. 300.000.000,- Fasilitas kegiatan PAKET oleh kelompok kerja (POKJA) dan penanggung jawab operasional kegiatan (PJOK) Paket, dilakukan secara beriringan di tingkat kota dalam rangka untuk pelaksanaan kegiatan dari panitia kemitraan (Pakem). Pelaksanaan PAKET tahun 2007, dimulai dengan pembentukan Pakem didahului dengan sosialisasi, kemudian pembentukan Pakem di setiap desa, penyusunan proposal dan serangkaian pertemua warga di sekitar lokasi dan pelaksanaan kegiatan. 3) Dukungan pejabat yang lebih tinggi (atasan) Salah satu kesulitan terbesar dalam implementasi program-program antar lembaga pemerintahan ialah bahwa badan-badan pelaksana bertanggung jawab pada lembaga-lembaga atasan yang berlainan yang masing-masing ingin melaksanakan kebijaksanaan yang berlainan pula. Seringkali, dalam situasi seperi ini, pada saat suatu badan antar lembaga pemerintah bawahan tersebut menghadapi petunjuk-petunjuk yang saling bertentangan yang berasal dari lembaga-lembaga antar pemerintah atasannya masing-masing dan dari lembaga atasan yang berperan selaku koordinator, maka badan ini akan cenderung mematuhi petujuk-petunjuk dari lembaga atasannya masing-masing yang paling berpengaruh terhadap sumber-sumber hukum (termasuk di sini penilaian prestasi kerja, jabatan dan kepangkatan) serta sumber-sumber keuangan mereka (gaji, dana rutin/proyek dan sebagainya) dalam jangka panjang. Dalam kerangka

implementasi kebijaksanaan penanggulangan

masyarakat miskin melalui P2KP berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Kabupaten Selayar Bapak Ir. H. Abdulah Mapaseng, M.Si pada hari Rabu tanggal 19 Maret 2008 bertempat di Kantor BKM mengungkapkan bahwa kebijaksanaan

79

tentang P2KP ini sepenuhnya didukung oleh Bupati dan Gubernur Provinsi

Sulawesi

Selatan

sehingga

tidak

menjadi

hal

yang

mengkhawatirkan dalam tataran dukungan. 4) Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana Variabel yang paling berpengaruh langsung terhadap output kebijaksanaan badan-badan pelaksana ialah kesepakatan para pejabat badan pelaksana terhadap upaya mewujudkan tujuan kebijaksanaan. Hal ini sedikitnya terdiri dari 2 (dua) komponen: pertama, arah dan ranking tujuan-tujuan tersebut dalam skala prioritas pejabat-pejabat tersebut; dan, kedua,

kemampuan

pejabat-pejabat

tersebut

dalam

mewujudkan

perioritas-prioritas tersebut, yakni kemampuan mereka untuk menjangkau apa yang dalam keadaan normal dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber

yang

tersedia.

Pentingnya

persoalan

sikap

dan

kemampuan ini, tentu saja, tergantung pada luas tidaknya kebebasan bertindak yang dimiliki para administrator. Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana kebijaksanaan tentang P2KP di Kabupaten Selayar sudah cukup baik, karena didasarkan pada spesifikasi keahlian di bidang masing-masing. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan Camat Bontomanai Bapak Drs. Ahmad Aliefyanto, MM pada hari Selasa tanggal 18 Maret 2008 bertempat di Kantor Camat menyatakan bahwa : “komitmen dan kualitas pejabat pelaksana P2KP di Kecamatan Bontomanai tidak perlu diragukan lagi, karena mereka terdiri dari para ahli di bidangnya dan berkompeten” Berdasarkan hasil wawancara dan analisis, penulis simpulkan bahwa implementasi kebijaksanaan program P2KP di Kecamatan Bontomanai telah berjalan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan program P2KP dalam menurunkan jumlah keluarga miskin di

80

empat desa dimana program P2KP tersebut berjalan. Untuk lebih terinci penulis tampilkan tabel berikut : TABEL 4.13 PERKEMBANGAN JUMLAH KELUARGA MISKIN SEBELUM DAN SESUDAH PROGRAM P2KP DILAKSANAKAN PERIODE 2004-2006 Jumlah Keluarga Miskin Sebelum P2KP Setelah P2KP Polebunging 149 68 Bontolempangan 172 95 Parak 202 118 Jambuiya 114 50 Total 637 331 Sumber : Laporan Profil P2KP Kabupaten Maritim Selayar,2007 Desa

Hambatan

Dalam

Penanggulangan

Implementasi

Kemiskinan

Kebijaksanaan

Perkotaan

(P2KP)

di

Program Kecamatan

Bontomanai Kabupaten Selayar Meski proses pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang berkesinambungan, dalam penerapannya tidak semua strategi yang telah direncanakan dapat berjalan mulus. Ada kalanya kelompok masyarakat

melakukan

penolakan

terhadap

perubahan

dan

pembaharuan yang dilakukan, sehingga merupakan kendala atau hambatan yang dapat menghalangi terjadinya perubahan atau pembangunan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang menjadi daya hambat atas terlaksananya program P2KP di Kecamatan Bontomanai. Hambatan ini penulis bagi dalam 2 kategori hambatan yaitu :

81

Hambatan dari Individu Meski proses pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang berkesinambungan, dalam penerapannya tidak semua strategi yang telah direncanakan dapat berjalan dengan mulus. Ada kalanya kelompok masyarakat melakukan penolakan terhadap perubahan dan pembaharuan yang dilakukan. Hambatan dari individu berasal dari kepribadian individu. a) Kebiasaan (habit) Setiap individu akan bereaksi sesuai dengan kebiasaannya; kebiasaan adalah suatu tindakan yang sebaiknya dilakukan, walaupun mungkin kebiasaan tersebut dinilai pihak lain tidak baik. Dalam penelitian melalui observasi singkat, penulis menemukan cara kebiasaan

hidup

masyarakat

miskin

di

wilayah

Kecamatan

Bontomanai yang kumuh dan tidak peduli terhadap lingkungannya. Mereka sudah terbiasa dengan sampah yang bertumpuk-tumpuk, kondisi jalan becek dan membuang hajat (Buang Air Besar) di sungai-sungai. Tampak sekali mereka tidak begitu hirau dengan keadaan tersebut. b) Ketergantungan (Dependence) Ketergantungan terhadap orang lain akan menghambat proses "pemandirian" masyarakat. Hal ini penulis temukan dalam beberapa kali kunjungan/observasi serta wawancara dengan salah satu masyarakat miskin di Kecamatan Bontomanai yaitu Ibu Khodijah pada hari Kamis tanggal 20 Maret 2008 yang menyatakan bahwa : “tampaknya ini proyek mereka semua mau, karena kalaupun gagal mereka mesti tanggung jawab, semua pasti seperti lalu-lalu, yang sering saja pemerintah ini bikin proyek. Semua mereka enak dibuatnya Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa mereka cenderung pasif dalam proyek P2KP ini dan

82

terlalu menggantungkan nasib mereka dengan proyek P2KP, serta orientasi berfikir mereka bahwa program ini adalah hampir sama dengan program yang telah dilaksanakan sebelumnya yaitu pemerintah “memberi” kebutuhan mereka atau sejenis uang (BLT). c) Superego Superego yang terlalu kuat membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan dan menganggap pembaharuan merupakan hal yang tabu. Dorongan dari diri untuk hasil yang lebih baik (pleasure principle) dikalahkan oleh kekuatan superego. Hal ini penulis temui ketika wawancara dengan salah satu masyarakat miskin yaitu Saudara Martadukeng yang menyatakan bahwa : “semua program pemerintah itu “bulsyit”alias bohong besar. Saya berpandangan bahwa pemerintah saat ini lebih asyik bermain kekuasaan, bahkan saya menduga bahwa proyek P2KP ini adalah kampanye terselubung bagi kepala daerah bersama para anteknya” Penulis menyadari bahwa pola pikir semacam itu tidak bisa dihindari dan pasti akan ditemui pada suatu komunitas/masyarakat yang serba terbatas. Namun dengan informasi tersebut justru harapan penulis pemerintah khususnya aparatur kecamatan Bontomanai lebih pro aktif dalam sosialisasi proyek P2KP serta mengajak yang bersangkutan untuk menjadi pelaksana di lapangan. d) Rasa tidak aman dan regresi (insecurity and regression) Rasa tidak senang/tidak nyaman dengan keadaan saat ini, dengan banyaknya para aparat dan masyarakat yang ditangkap oleh pihak berwajib karena diduga menyelewengkan dana KUT dapat meningkatkan kecemasan dan ketakutan. Hal ini penulis temui dalam wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Bapak H. Achyar Fajrin hari Jum’at tanggal 21 Maret 2008 di Masjid Al-Huda yang menyatakan bahwa :

83

Sebenarnya

saya

ingin

membantu

dalam

memberdayakan

masyarakat miskin di daerah ini melalui dukungan kepada pemerintah, namun demikian tampaknya baik aparat maupun pelaksana tingkat desa kurang amanah, sehingga saya takut terbawa arus, program semacam ini memang pernah dan hasilnya ada yang masuk tahanan dan pengadilan. Berdasarkan wawancara di atas, kondisi ini menurut penulis sangat tidak baik, sebab keberadaan seorang tokoh masyarakat sangat penting dalam suksesnya program pemerintah. Hemat penulis sebaiknya pihak Kecamatan Bontomanai menjelaskan mekanisme program ini lebih komprehensif termasuk aspek legalitas hukumnya. Hambatan dari sistem sosial Sistem sosial suatu tempat akan selalu berbeda dengan tempat yang lainnya. Sistem sosial dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat. Sistem sosial yang ketat dan tertutup menyebabkan informasi,

inovasi

(adopsi)

terhadap

hal-hal

baru

relatif

sulit

dilaksanakan. a) Kesepakatan terhadap norma tertentu (conformity to norms) Norma sebagai aturan tidak tertulis akan mengikat perilaku masyarakat. norma-norma yang negatif, tidak sehat, tidak mendidik dari masyarakat dapat merupakan hambatan. Pembaharuan akan dilihat sebagai penyimpangan. Keadaan ini penulis temui ketika wawancara informal dengan salah satu masyarakat yaitu Bapak Musawwir Jum’at tanggal 21 Maret 2008 yang menyatakan bahwa : ”Saya cukup bahagia dengan anak bini disini, tak usahlah pemerintah repot-repot pikirkan kita, pikir saja perilaku dan moral mereka semua, kami makan tidak makan yang penting kumpul”

84

Hasil wawancara di atas menggambarkan bahwa pada umumnya masyarakat miskin di Kecamatan Bontomanai masih memiliki pola pikir “Makan enggak makan yang penting kumpul” sehingga ketika ada salah satu anggota keluarganya aktif dan mulai meninggalkan keluarga untuk program ini, oleh anggota keluarga yang lainnya dipertanyakan. b) Kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (systemic and cultural coherence) Dalam komunitas terdapat berbagai sistem yang saling terkait/ terpadu yang memunculkan kehidupan yang "mapan" (steady state) dan mantap. Perubahan pada satu sistem akan berpengaruh pada sistem lain. Dalam penelitian ini penulis temukan beberapa masyarakat yang berpindah profesi setelah mengikuti program P2KP. Pada saat awal penulis melihat mereka agak canggung dengan profesinya namun lambat laun (15 hari kemudian selama penelitian) penulis melihat sudah terbiasa. Hasil wawancara dengan salah satu masyarakat yaitu Bapak Abd. Wahab hari Minggu tanggal 23 Maret 2008 menyatakan bahwa : “sebelumnya saya adalah buruh nelayan yang menjadi ABK sebuah kapal, namun penghasilan tidak cukup untuk istri anak saya, dengan P2KP ini saya sekarang baganti profesi jadi perakit jala, sekarang saya terbiasa setelah 15 hari saya jalani dan meningkat penghasilannya.

Upaya-Upaya

yang

Penanggulangan

Dilakukan

Kemiskinan

Dalam

Perkotaan

Bontomanai Kabupaten Selayar

85

Implementasi (P2KP)

di

Program Kecamatan

Sebelum melakukan beberapa upaya dalam implementasi program pemberdayaan masyarakat miskin di wilayah perkotaan, penulis mencoba mengurai secara umum tentang penyebab kemiskinan itu terjadi dalam tiga dimensi yaitu dimensi Makro, Mikro dan Meso. Lebih detil penulis uraikan sebagai berikut : Upaya Dalam Dimensi Makro: kesenjangan "Desa" - "Kota" Kesenjangan pembangunan antara desa dan kota merupakan salah satu faktor penyebab utama terjadinya migrasi dari desa ke kota yang tak terkendali (urbanisasi). Pemusatan pembangunan pada kota-kota besar membuat kota-kota besar ini semakin menjulang sementara daerah pedesaan menjadi terpinggirkan, tertinggal dibanding dengan kota besar. Urbanisasi menyebabkan potensi "human capital" yang mestinya dapat untuk membangun desa justru mengalir ke kota dengan bekal keterampilan

seadanya

mereka

tidak

mampu

bersaing

untuk

memperoleh lapangan kerja sehingga akhirnya terdampar ke sektor informal, atau terlempar ke "jalan". Kesenjangan desa-kota nampak pula pada sektor pendidikan, kesehatan, sosial, teknologi dan lain-lain yang akan mendorong tumbuhnya kemiskinan. Keadaan ini sangat nampak sekali terjadi dimana, Desa Polebunging yang merupakan Ibu kota Kecamatan Bontomanai begitu ramai dan pesat serta lengkap dari sarana pendidikan, kesehatan dan hiburan, sedangkan desa-desa lainnya hanya berupa hamparan sawah dan kebun, mereka umumnya berkebun dan nelayan musiman dengan alat

tangkap

yang

sangat

sederhana.

Keadaan

mereka

jauh

memprihatinkan dibandingkan Desa yang terletak dengan ibu kota kecamatan. Oleh sebab itu terjadilah proses kemiskinan struktural, dimana struktur yang ada membuat jurang pemisah antara mereka yang berada di pusat/ kota mempunyai akses yang lebih besar untuk menikmati hasil

pembangunan

sementara

yang

di

pinggir/desa

sulit

untuk

memperolehnya. Hal ini menimbulkan sikap pasrah yang membentuk

86

budaya kemiskinan atau bahkan memicu timbulnya tindak kejahatan dan kerawanan sosial lainnya. Dalam kaitan dengan kebijaksanaan sosial yang ada, pemerintah Kabupaten Selayar telah melakukan berbagai upaya antara lain sebagai berikut. a. Strategi pembangunan daerah dengan mengikutsertakan daerah-daerah pemasok migran dan telah mengalokasikan dana guna mengembangkan daerah asal migran tersebut. Dalam hal ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bersinergi dengan seluruh Kabupaten yang ada bersatu membuat kebijaksanaan pembangunan yang merata, sehingga tidak terjadi perpindahan antar Kabupaten. Upaya lainnya adalah menangkap

gelandangan

dan

pengemis

serta

memulangkannya ke daerah asal, sehingga membuat sedikit jera para gelandangan dan pengemis. Namun penulis berpendapat bahwa langkah penertiban tersebut akan sia-sia jika tidak diidentifikasi dari mana asal migran. Strategi ini bersifat jangka panjang yang harus dilakukan secara konsisten untuk membangun daerah asal migran yang bermasalah. b. Bekerja sama dan mengembangkan jaringan (net working) dengan pemerintah daerah asal yaitu dengan Forum Muspida seluruh Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut penulis hal ini sangat penting guna menghindari sikap mementingkan daerahnya sendiri saja. Kebijaksanaan ini meminimalisir egoisme daerah dan ini perlu dikembangkan dalam era desentralisasi guna mengembangkan model kerja sama antar sesama daerah dalam pembangunan c. Investasi pembangunan di daerah asal migran. Kebijaksanaan ini mendorong pihak dunia usaha untuk mau menginvestasikan sebagian dananya di daerah asal migran, serta mendidik masyarakat sekitar agar mereka dapat terserap pada unit-unit

87

produksi tersebut. Upaya ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati Nomor 114 Tahun 2004 tentang kemudahan bagi investor yang akan menanamkan modalnya di Kabupaten Selayar. d. Insentif bagi non-government organizations (NGO). Insentif ini diberikan kepada LSM yang mau mengembangkan migran di daerah asal mereka. Contoh pelaksanaan ini adalah antara LSM Semawar

dengan

LSM

Gelatik

yang

telah

dua

tahun

mengembangkan proyek budi daya rumput laut di kawasan pulau terpencil. Upaya Dalam Dimensi Mikro: mentalitas materialistik dan ingin serba cepat (instant) Perkembangan mentalitas ini menurut penulis pada titik akhirnya akan memunculkan "mentalitas korup". Mentalitas korup ini di Indonesia demikian merajalela hampir-hampir tidak ada sektor yang tidak terjangkit. Departemen yang seharusnya menjadi penjaga gawang aspek mental dan spiritual pun menjadi salah satu departemen yang tertinggi dalam perbuatan korupsi. Bencana banjir, pembalakan hutan (ilegallogging), pengelolaan sampah, penerimaan pegawai, proyek pembangunan, pemberian gelar, transportasi dan lain-lain merupakan masalah konkret yang merupakan buah dan mental korup. Deretan ini akan bertambah panjang kalau kita memperhatikan kehidupan keseharian di sekitar kita yang juga terimbas dengan banyaknya mentalitas korup pada masyarakat kita. Hal yang semakin memperumit adalah sudah semakin terlatihnya para pelaku, sehingga serumit apa pun sistem pengawasan yang dikembangkan akan selalu ada celah untuk melakukan korupsi. Perubahan dalam dimensi makro di atas, pada dasarnya harus diikuti dengan perubahan terhadap dimensi mikro. Tanpa adanya

88

perubahan, maka sulit pembangunan dalam dimensi makro akan dapat berjalan dengan baik. Bila aparat pada organisasi pemerintah, organisasi non-pemerintah maupun dunia usaha, serta masyarakat di tingkat grassroot sebagai stakeholders pembangunan masih mendukung pada mentalitas korup; maka yang terjadi tetap pembusukan dari dalam. Strategi yang diterapkan Kecamatan Bontomanai dalam rangka mengatasi permasalahan yang ada adalah melalui peningkatan kesadaran masyarakat dengan melakukan pendidikan masyarakat (community education) dan pemasaran sosial. Upaya ini melalui penyuluhan, pendidikan dan pengajian rutin di setiap desa yang ada di Kecamatan Bontomanai. Upaya Dalam Dimensi Meso : melemahnya social trust dalam komunitas dan organisasi "Social trust" sebagai unsur pengikat suatu interaksi sosial yang sehat dan menjadi bagian utama modal sosial memainkan peranan penting dalam pembangunan. Pembangunan tidak akan mencapai hasil optimal bila tidak ada trust antara pelakunya, baik secara vertikal antara pemerintah dengan warganya maupun secara horisontal antara sesama kelompok/ warga dalam suatu komunitas masyatakat. Masalah trust akan dapat melemahkan integrasi sosial, baik pada komunitas lokal, regional maupun nasional. Dalam satu organisasi melemahnya trust antara lain muncul karena adanya tenagatenaga yang tidak berkompeten akan tetapi menempati posisi tertentu. Melemahnya trust dalam komunitas dapat membuat masyarakat bertindak

anarkis;

seperti

melemahnya

kepercayaan

terhadap

penegakan hukum membuat main hakim sendiri dan membakat pelaku kejahatan di tingkat lokal. Berdasarkan pada paparan penulis di atas, maka langkah/ tindakan yang ditempuh harus pula mendasarkan pada upaya yang sekurangkurangnya

meliputi

tiga

dimensi

89

tersebut

yakni

dimensi

makro

(kebijaksanaan pemerintah), mikro (individu, keluarga dan kelompok kecil), serta dimensi Meso (komunitas dan organisasi). Sejalan dengan arah perubahan pada dimensi makro, maka arah implementasi pembangunan diharapkan akan dapat berubah dari fokus pada aspek relief dan rehabilitatif ke arah preventif dan mitigasi dari bencana yang mungkin terjadi kalau arah pembangunan masih dilakukan seperti saat ini. Pihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia swasta disini diharapkan concern dengan pengembangan daerah asal migran yang bermasalah, dibandingkan dengan upaya pembangunan yang hanya fokus pada pemberian paket bantuan penambahan modal (income generating) yang ternyata tidak mengangkat kondisi masyarakat yang rendah. Dalam kaitan dimensi Meso ini, maka pendekatan alternatif strategi yang dapat diterapkan untuk mengembangkan daerah asal migran yang bermasalah adalah melalui pendekatan "pengembangan masyarakat" (community development), dan pendekatan "pelayanan masyarakat (community service approach) yaitu : a) Realisasi pembangunan daerah asal migran diharapkan terjadi secara konsisten dengan melakukan pendampingan masyarakat di daerah asal migran. Disini perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi utamanya, di samping pemberdayaan sosial, hukum, politik, pendidikan, kesehatan dan lain-lain sesuai prioritas kebutuhan/ kondisi masyarakat setempat. b) Pemberdayaan memerlukan keterlibatan LSM guna membantu proses pendampingan yang tidak mungkin hanya dari unsur pemerintah, dengan konsekuensi pendanaannya. Pendampingan juga berfungsi untuk mendidik masyarakat di daerah asal migran serta "membina" aparat pemerintah di daerah itu. c) Sejalan

dengan

masyarakat

dan

upaya

untuk

meningkatkan

90

meningkatkan jenis

trust

pada

pelayanan

pada

masyarakat, maka perlu juga dilakukan "capacity building', terutama dalam kaitan mengembangkan pelaku perubahan yang lebih bergaya partisipatif dibandingkan instruktif, supaya tenaganya mempunyai kemampuan sesuai kebutuhan. Tenaga/ agen perubahan yang perlu ditingkatkan kapasitasnya bukan saja tenaga pada organisasi pemerintah, akan tetapi juga tenaga pada organisasi non-pemerintah. Ketiga strategi sebagaimana penulis kemukakan di atas pada dasarnya merupakan strategi umum (general strategy) yang harus dikembangkan secara konsisten

dan

berkesinambungan.

Karena

perbaikan pada satu dimensi saja, tidaklah akan dapat memberikan efek yang bermakna bagi kesejahteraan masyarakat.

91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Implementasi Kebijaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar masih dalam tahap pelaksanaan dengan kriteria cukup baik. Hal ini ditandai dengan sebagian aspek implementasi kebijaksanaan telah dilaksanakan secara baik, walaupun demikian masih ada yang harus lebih ditingkatkan lagi. 2. Hambatan dalam implementasi kebijaksanaan P2KP terbagi dalam dua bagian yaitu 1). hambatan dari Individu yang terdiri dari a). kebiasaan (habit), b) ketergantungan (Dependence), c). Superego dan rasa tidak aman dan regresi (insecurity and regression), sedangkan hambatan dari sistem sosial terdiri dari a). kesepakatan terhadap norma tertentu (conformity to norms) dan b). kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (systemic and cultural). 3. Upaya-Upaya yang dilakukan dalam implementasi Program P2KP di Kecamatan Bontomanai Kabupaten Selayar terdiri dari upaya dalam dimensi makro yang terdiri dari 1). Strategi pembangunan daerah dengan mengikutsertakan daerah-daerah pemasok migran; 2). Bekerja sama dan mengembangkan jaringan (net working) dengan pemerintah daerah asal. 3). Investasi pembangunan di daerah asal migran dan Insentif bagi non-government organizations (NGO). Upaya dalam

Dimensi

Mikro

dengan

cara

meningkatkan

kesadaran

masyarakat dengan melakukan pendidikan masyarakat (community education) dan pemasaran sosial serta kesalehan sosial (adanya pemimpin yang teladan), sedangkan upaya dalam Dimensi Mezzo melalui

92

pendekatan "pengembangan masyarakat" (community development), dan pendekatan "pelayanan masyarakat (community service approach) yaitu :a). Realisasi pembangunan daerah asal migran secara konsisten dengan melakukan pendampingan masyarakat di daerah asal migran; b) Melibatkan LSM guna membantu proses pendampingan yang tidak mungkin hanya dari unsur pemerintah dan c). Perlu dilakukan "capacity building', terutama dalam kaitan mengembangkan pelaku perubahan yang lebih bergaya partisipatif dibandingkan instruktif. 5.2. Saran 1. Implementasi

kebijaksanaan

P2KP

yang

ada

di

Kecamatan

Bontomanai harus lebih ditingkatkan dengan cara memberikan partisipasi lebih luas kepada seluruh pihak yang berkompeten dalam pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan dan pelatihan kerja sesuai dengan mata pencaharian. 2. Hambatan-hambatan yang dihadapi perlu segera dievaluasi dengan peningkatan frekuensi evaluasi antara lain per triwulan atau per semester, sehingga Pemerintah Kecamatan Bontomanai terbebas dari masalah-masalah yang ada. 3. Kecamatan Bontomanai perlu menjalin koordinasi yang baik dengan pihak/instansi yang mendukung program P2KP, khususnya Dinas Kesbang dan Pemberdayaan Masyarakat yang bertanggung jawab terhadap keluhan dan pengaduan dari masyarakat.

93

94

Related Documents

P2kp
December 2019 5