LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PPOK
A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan luar paru (Muttaqin, 2014). Penyakit Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (Depatermen Kesehatan R.I, 2007). Faktor Resiko Menurut Ikawati (2016): 1.
Usia
2.
Jenis kelamin
3.
Adanya ganggun fungsi paru yang sudah terjadi
4.
Genetik
B. Etiologi Etiologi Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut Ikawati, (2016): Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah : 1. Merokok Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingan dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kuranglebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat
PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kuranglebih 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar debu katun debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar dari pada yang bekerja ditempat selain yang disebutkan di atas. 3. Polusi Udara Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermontor, dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur. 4. Infeksi Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupkan suatu pemicu inflamasi neutronfilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkat kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkat jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK. C. Tanda dan Gejala Tanda Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut Gleadle (2007), antara lain: 1.
Sianosis
2.
Bibir mengerucut
3.
Hiperekspansi
4.
Takipnea
5.
Takikardia
6.
Pletorik
Gejala Tanda Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), antara lain: 1. Dispnea 2. Batuk 3. Mengi D. Patofisiologi Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut Muttaqin (2014), yaitu: Obstruktif jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam bergantung pada penyakit. Pada bronkhitis kronis dan bronkhiolitis, terjadi penumpukan lender dan sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma, jalan napas bronkhial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir dari masing-masing kelainan ini membutuhkan pendekatan spesifik. PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetic dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan ditempat kerja (terhadap batu bara, kapas, dan padi-padian) merupakan faktor risiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu. PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukan awitan (onset) gejala
klinisnya seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering menjadi simptomatik selama setahun-tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek fungsi paru tertentu seperti kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi
paksa
(FEV)
menurun
sejalan
dengan
penuaan
dan
mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada bronkhitis serta kehilangan daya pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu, terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien lansia dengan PPOK. E. Pemeriksaan diagnosis Pemeriksaan fisik fokus Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut Muttaqin (2014), antara lain: 1.
Inspeksi Pada klien dengan PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu nafas (sternokleidomastoid). Pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat klien mempunyai bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan masa otot, bernapas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif.
2.
Palpasi Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
3.
Perkusi Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar/menurun.
4.
Auskultasi Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus. Pemeriksaan diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut Muttaqin (2014), antara lain:
a. Pengukuran fungsi paru 1) Kapasitas inspirasi menurun. 2) Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkhitis, dan asma. 3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruktif progresif penyakit paru obstruktif kronis. 4) FVC awal normal→ menurun pada bronkhitis dan asma. 5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emfisema). b. Analisa PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma.Nilai pH normal,asidosis, alkalosis respiretorik ringan sekunder. c. Pemeriksaan laboratorium 1) Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia sekunder. 2) Jumlah darah merah meningkat 3) Eosinofil dan total IgE serum meningkat 4) Pulse oksimetri → SaO2 oksigenasi menurun. 5) Elektrolit menurun kerena pemakian obat diuretic d. Pemeriksaan sputum Pemeriksaan gram kuman/kultura adanya infeksi campuran. Kuman patogen yang biasa ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophylusinfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.
e. Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (Ap dan lateral)
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area. Pada emfisema paru didapatkan diagfragma dengan letak yang rendah dan mendatar, ruang udara retrosternal > (foto lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit. f. Pemeriksaan Bronkhogram Menunjukkan dilatasi bronchus, kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat. g. EKG Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat korpulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan Ppulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.Volume QRS rendah.I V1 rasio R/S lebihdari 1 dan dinV6 rasio R/S kurangdari 1.Sering terdapat RBBB inkomplet. F. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut Muttaqin (2014), yaitu: Intervensi medis bertujuan untuk: 1.
Memelihara kepatenan jalan napas dengan menurunkan spasme bronchus dan membersihkan secret yang berlebihan.
2.
Memelihara keefektifan pertukaran gas.
3.
Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernapasan.
4.
Meningakatkan toleransi latihan.
5.
Mencegah adanya komplikasi (gagal napas akut dan status asma tikus.
6.
Mencegah alergen/iritasi jalan napas.
7.
Membebaskan adanya kecemasan dan mengobati depresi yang sering menyertai adanya obstruktif jalan napas kronis. Manajemen medis yang diberikan berupa:
a. Pengobatan farmakologi 1) Anti-infllamasi Merupakan obat-obatan yang mengurangi tanda-tanda dan gejala peradangan,
contoh
dari
obat-obatan
Anti-infllamasi
adalah
kortikosteroid, natriumkromolin, dan lain-lain. 2) Bronkodilator Bronkodilator adalah kelompok obat yang bisa digunakan untuk memperlancar pernapasan. 3) Antihistamin Antihistamin adalah obat atau komponen obat yang berfungsi untuk menghalangi kerja zat histamin dan dipakai khususnya untuk mengobati alergi. 4) Steroid Biasa disebut juga dengan kortikosteroid merupakan jenis obat yang digunakan sebagai anti inflamasi atau anti peradangan pada tubuh. 5) Antibiotik. Antibiotik/ antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil 6) Ekspektoran Obat yag dapat membantu mengeluarkan mukus dan bahan lain dari paru, bronchi, dan trachea. Salah satu contoh ekspektoran adalah guaifenesin
yang
menaikan
pembuangan
mengencerkannya dan juga melubrikasi. Oksigen digunakan 3 liter/menit dengan nasal kanul.. b. Hygiene paru
mukus
dengan
Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekret dari paru, meningkatkan kerja silia, dan menurunkan risiko infeksi. Dilaksanakan dengan nebulizer, fisioterapi dada, dan postural drainase. c. Latihan Tujuan untuk mempertinggi kebugaran dan melatih fungsi otot skeletal agar lebih efektif. Dilaksanakan dengan jalan sehat. d. Menghindari bahan iritan Penyebab iritan jalan napas yang harus dihindari diantaranya asap rokok dan perlu juga mencegah adanya alergen yang masuk tubuh. e. Diet Klien
sering
mengalami
kesulitan
makan
karena
adanya
dispnea.Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik dari pada makan sekaligus banyak. f. Meningkatkan bersihan jalan napas menurut Bulecheck dkk (2013), antara lain: 1) Lakukan fisioterapi dada 2) Peningkatan (manejemen batuk) 3) Terapi oksigen 4) Pengaturan posisi G. Tinjauan Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Asuhan keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK menurut Somantri (2009), yatiu: a. Pengkajian 1) Biodata Penyakit PPOK (Asma bronkial) terjadi dapat menyerang sengala usia tetapi lebih sering di jumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10
lahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sehelum usia 40 Tahun. Predisposisi laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2: l yang kemudian sama pada usia 30 tahun 2) Riwayat kesehatan a) Keluhan utama Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial adalah dispnea (bias sampai berhari-hari atau berbulan-bulan) batuk dan
mengi (pada
beberapa kasuss lebih banyak paroksismal). b) Riwayat kesehatan dahulu Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya penyakit ini, diantaranya adalah riwayat alergi dan riwayat penyakit saluran napas bagian bawah ( rhinitis, anaemia, dam eksim). c) Riwayat kesehatan keluarga Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya penyakit keturunan. tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di temukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya. 3) Pengngkajian diagnostic COPD a) Chest X-Ray : dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattered diafragma. peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda vascular / bullae (emfisema). peningtatan suara bronkovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asma). b) Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau retriksi, memperkirakan tingkat disfungsi. dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya bronkodilator. c) Total lung capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma. namun menurun pada emfisema. d) Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema e) FEVI/FVC : rasio tekanan volume ekspimsi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronkitis dan asma.
f) Arterial blood gasses : (ABGs) : menunjukan prose penyakit kronis, sering kali PaO. menurun dan PaCO2 normal, atau meningkatkan ( bronkitis kronis dan emfisema ). terapi sering kali menurun pada asma. Ph normal atnu asidosis. alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi ( emfisema sedang atau asma). g) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi. Kolabs bronkial
pada
tekanan
ekspirasi
(enfisema).
pembesaran
kelenjar
mucus( bronkitis). h) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (enfisema berat) dan eosinophil (asma). i) Kimia darah : alpha l-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer. j) Skutum kultur : untuk menemukan adanya infeksi dan mengidentifikasi pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan panyakit keganasan / elergi. k) Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan. gelombang P tinggi ( asmn berat). atrial disritmia ( bronkitis). gelombang P pada leadsII, III dan AVF panjang. tinggi( pada bronkitis dan efisema) . dan aksis QRS vertical (emfisema). l) Exerise ECG . stress test : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator. dan merencanakan/ evaluasi program. 4) Pemeriksaan fisik a) objektif (1) Batuk produktif/ non produktif (2) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada kedua fase respirasi semakin menonjol (3) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit dikeluarkan.
(4) Bernapas dengan menggunakan otot- otot napas tambnhan. (5) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus. (6) Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apeks dan hilus) (7) Penurunan berat badan secara bermakna. b) Subyektif Klien merasa sukar bernafas dan anoreksia 5) Psikososial a) Cemas,takut, dan mudah tersinggung. b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitmya c) Data tambahan (medical terapi) 6) Bronkodilator Tidak digunakan bronkodilalor oral. tetapi dipakai secara inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral. sebab mekanisme yang berlainan. demikian pula sebaliknya. bila sebelumnya telah digunakan obat golongan
Teofilin
oral,
maka
sebaiknya
diberikan
obat
golongan
simpatomimetik secara aerosol atau parenteral. obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap adrenoreseptor (orsipredilin, salbutamol, terbutalin, ispentulin, fenoterol) mempunyai sifat Iebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif (adrenalin, Efiedrin, isoprendlin) a) Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek sampiag sistemiknya Iabih kecil. baik digunakan untuk sesak napas berat pada anakanak dan dawasa. Mula-mula deberikan dua sedotan dari Metered Aerosol Defire (AfulpenMetered Aerosol). Jika menunjukan perbaikan dapat diulang setiap empat jam jika tidak ada perbaikan dalam 10-15 menit setelah pengobatan, maka berikan Aminophilin intravena b) Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek samping takikardi, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada
penyakit hipertensi, kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1:1000 secara subkutan, Pada anak-anak 0,01 mg/KgBB subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan. c) Pemberian Aminophilin secara intravena dengan dosis awal 5-6 mg/KgBB dewasa/ anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis penunjang dapat diberikan sebanyak 0-9 mg/kgBB / jam scara intravena. Efek sampingnya tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara perlahan. 7) Kortikosteroid Jika pemberian obat-obat bonkodilator tidak menunjukkan perbaikan. maka bisa dilanjutkan dengan pengobatan kortikosteroid. 200 mg hidrokortison secara oral atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara parental sampai serangan akut terkontrol dengan diikuti pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari secara oral dalam dosis terbagi. kemudian dosis dikurangi secara bertahap 8) Pemberian oksigen Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan kecepatan 2-4 liter/menit, menggunakan air (humidifier) untuk memberikan pelembapan. Obat ekspektoran seperti gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk memperbaiki dehidrasi, oleh karena itu intake cairan per oral infus harus cukup sesuai dengan prinsip. 9) Beta Agonis Beta agonis (ß- adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan dalam penatalaksanaan penyakit asma, dikarenakan obat ini bekerja dengan cara mendilatsikan otot polos (vasedilator). Andrenerigic agent juga meningkatkan pargerakan siliari , menurunkan mediator kimia anafilaksis, dan dapat meningkatkan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid. Andrenergic yang sering digunakan antara lain epinefrin, albuterol. metaproternol, insprotetenol, isoetarin, dan terbutalin. Biasanya diberikan secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil. b. Diagnosis keperawatan
Menurut Diagnosis Keperawatan, 2013 ; NIC (Nursing Interventions Classification), 2013 : NOC (Nursing Outcomes Classification), 2013. 1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus berlebihan, sekresi yang tertahan, spasme jalan napas, hiperplasia pada dinding bronkus, eksudat dalam alveoli 2) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi 3) Ketidakseimbangan nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kurangnya asupan makanan 4) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan hiperventilasi, keletihan, keletihan otot pernapasan, obesitas, posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru.
c. Intervensi keperawatan Tabel 2.1 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
No 1.
Perencanaan Diagnosis Keperawatan (NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Bersihan jalan nafas tidak NOC : Status pernafasan (kepatenan jalan NIC : fisioterapi dada a. Kenali ada tidaknya kontra indikasi efektif nafas) berhubungan dengan Kepatenan jalan nafas dengan skala(1-5) dilakukannya fisioterapi dada pada pasien Sekresi yang tertahan setelah diberikan asuhan keperawatan (misalnya, PPOK). Mukus berlebihan b. Lakukan fisioterapi dada minimal dua jam Adanya jalan nafas selama ... hari, dengan kreteria : setelah makan Dispnea saat istirahat berkurang tambahan c. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan Dispnea saat aktivitas ringan berkurang Ditandai dengan: Frekuensi pernafasan dalan rentang fisioterapi dada kepada pasien Batuk yang tidak efektif d. Dekatkan alat-alat yang diperlukan normal Perubahan frekuensi e. Monitor status respirasi dan kardiologi Irama pernafasan napas f. Monitor jumlah dan karakteristik sputum Kemampuan mengeluarkan sekret Sputum dalam jumlah g. Tentukan segmen paru mana yang berisi Suara nafas tambahan
yang berlebihan Suara napas tambahan
sekret berlebihan h. Posisikan segmen paru yang akan dilakukan fisioterapi dada diatas, i. Gunakan bantal untuk menompang posisi pasien j. Tepuk dada dengan dengan teratur dan cepat dengan menggunkan telapak tangan yang dikuncupkan diatas area yang ditentukkan
selama 3-5menit k. Lakukan getaran
apply
pneumatic,
acoustical, or electrical chest percussors l. Getarkan dengan cepat dan kuat dengan telapak tangan,jaga agar bahu dan lengan tetap lurus,pergelangan tangan kencang,pada area yang akan dilakkukan fisioterapi dada ketika pasien menghembuskan nafas atau batuk 3-4 kali m. Instruksikan pasien untuk mengeluarkan nafas dengan teknik nafas dalam n. Anjurkan untuk batuk selama dan setelah tindakan o. Sedot sputum p. Monitor kemampuan pasien sebelum dan setelah
prosedur
(contoh
:
oksimetri
nadi,tanda vital, dan tingkat kenyamanan 2.
pasien) Gangguan pertukaran gas NOC : Status pernafasan (pertukaran gas) NIC : Terapi oksigen setelah diberikan perawatan kelebihan a) Bersihkan mulut,hidung dan sekresi trakea yang berhubungan dengan : atau deficit pada oksigenasi dan eliminasi dengan tepat Ketidakseimbangan b) Batasi aktivitas merokok karbondioksida pada membran alveolarventilasi perfusi c) Siapkan peralatan oksigen dan berikan Perubahan membran kapiler berkurang, Dengan kriteria : melalui sistem humidifier Tekanan parsial oksigen di darah arteri d) Monitor aliran oksigen alveolar-kapiler Ditandai dengan : e) Periksa penggantian masker oksigen setiap normal
3.
Dyspnea Penurunan
Tekanan parsial karbondioksida di darah
dioksida Gangguan penglihatan Napas cuping hidung Sianosis Sakit kepala saat
karbon
bangun Ketidakseimbangan nutrisi : Kurang
dari
arteri normal Dispnea saat istirahat berkurang Dispnea saat aktivitas ringan berkurang Saturnasi oksigen dalam rentan normal
kali perangkat diganti f) Anjurkan pasien dan keluarga mengenai penggunaan oksigen di rumah
NOC : Status nutrisi NIC : manajemen nutrisi setelah diberikan perawatan nutrisi dapat a. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan
kebutuhan dicerna dan diserap untuk memenuhi
pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi b. Indentifikasikan adanya alergi atau intoleansi
tubuh yang berhubungan kebutuhan metabolik, dengan kriteria : makanan yang dimiliki pasien Asupan makanan adekuat dengan : c. Tentukan apa yang menjadi preferensi Kurang asupan Asuapan gizi terpenuhi Asupan cairan terpenuhi makanan bagi pasien makanan Energi meningkat d. Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang Ketidakmampuan Rasio berat badan atau tinggi badan yang dibutuhkan untuk memenuhi mencerna makanan bertambah persyaratan gizi Ketidakmampuan Hidrasi berkurang e. Anjurkan pasien untuk memantau kalori dan mengabsorpsi nutrien intake makanan Ketidakmampuan f. Pastikan diet mencakup makanan tinggi makanan kandungan serat untuk mencegah konstipasi Ditandai dengan : Berat badan 20% atau lebih
dari
bawah
rentang berat badan
4
ideal Bising usus hiperaktif Cepat kenyang setelah
makan Gangguan sensasi rasa Ketidakefektifan pola Status pernafasan Monitor pernapasan: Tujuan: 1. Monitor pola napas pernapasan yang Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2. Monitor keluhan sesak napas pasien, berhubungan dengan pada Tn.X selama …..tidak ada gangguan termasuk kegiatan yang meningkatkan atau hiperventilasi, keletihan, pola napas dengan kriteria hasil: memperburuk sesak napas keletihan otot pernapasan, Frekuensi pernafasan dalam rentang 3. Monitor suara napas tambahan 4. Auskultasi suara napas obesitas, posisi tubuh yang normal (RR: 16-24x/mnt) 5. Kolaborasi dengan tim medis untuk Irama pernapasan menjadi teratur menghambat ekspansi paru pemberian nebulizer Dyspnea saat istirahat berkurang Terapi Oksigen: Dyspnea saat aktivitas ringan berkurang 1. Batasi (aktivitas) merokok 2. Siapkan peralatan oksigen dan berikan melalui sistem humidifier 3. Monitor aliran oksigen 4. Monitor posisi perangkat(alat) pemberian oksigen 5. Pastikan penggantian masker oksigen/kanul nasal setiap kali perangkat diganti 6. Rubah perangkat pemberian oksigen dari masker ke kanul nasal saat makan Sediakan oksigen ketika dibawa/dipindahkan
pasien
Sumber : Nanda, NIC-NOC (2013).
38
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, Muhamad. 2013. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta: DIVA. Andayani kristinawati, dan Supriyadi. 2014. “Pengaruh Pemberian Teknik Clapping dan Batuk Efektif Terhadap Bersihan Jalan Nafas Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik(PPOK) Di BP4 Kota Yogyakarta”. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat Vol 10(1).42-49. http://ejournal.suryaglobal.ac.id. Diakses pada tanggal 18 Juli 2018. Adiputra, I Made Sudarma dan Rahayu Kadek Mahendra Novita. 2017. “Mengkonsumsi Air Hangat Sebelum Tindakan Nebulizer Meningkatkan Kelancaran Jalan Nafas pada Pasien Asma”. Naskah Publikasi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika PPNI Bali. http://www.balimedikajurnal.com. Diakses pada tanggal 26 Juli 2018. Bulecheck,. Dkk. 2013. Nursing Interventions Classification(NIC). Indonesia: Elsevier. Departemen Kesehatan R.I. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar Dipuskemas.Jakarta: Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan alat kesehatan. Djojodibroto, R Darmanto. 2009. “Asuhan Keperawatan dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan
Nafas”.
KTI
STIKES
Muhammadiyah
Gombong.
Jakarta:
EGC.
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id. Diakses pada tanggal 13 Juli 2018. Gleadle, Jonathan. 2007. At a Glaence Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:Erlangga. Hapsari, Endah Retno. 2016. Asuhan Keperawatan pada PPOK. Falkutas Ilmu Kesehatan UMP.
Karya
Tulis
Ilmiah.
Universitas
Muhammadiyah
Purwokerto.
http://repository.ump.ac.id. Diakses pada tanggal 09 Desember 2017. Herdman, Heather. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi Jakarta: EGC.
Hidayat, dkk. 2014. Praktik Laboratorium Keperawatan. Pare: Erlangga. Ikawati, Zullies. 2012. Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernafasaan. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Irianto, Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan Klinis. Bandung: Alfabeta. Khairani, Fathia. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Fak Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification(NOC). Indonesia: Elsevier. Mubin, Halim. 2013. Panduan Praktis Ilmu Penyakit dalam : Diagnosis dan Terapi. Jakarta: EGC. Muttaqqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Ningrum, Hilda Septa. 2013. Asuhan Keperawatan pada PPOK. Skripsi. Universitas Diponegoro. http://epirints.undip.ac.id. Diakses pada tanggal 09 Desember 2017. Nurarif, Amin H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Diagnosa Association. Yogyakarta: Medication. Oemiati, Ratih. 2013. “Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK)”. Skripsi. Universitas Muhammdiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id. Diakses
pada tanggal 09 Desember 2017. Priadi, Nanang Ilham Setyaji, Angelin Kusuma Pertiwi. 2016. “Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Ekspektorasi Sputum dan Peningkatan Saturasi Oksigen Penderita PPOK Di RSD Dungus Madiun”. Jurnal Keperawatan Madiun Vol 3(1).14-20. https://slidedokumen.com. Diakses pada tanggal 28 November 2017.
Saputra, Lyndon. 2013. Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara. Sigalingging, Ganda. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC. Somantri, Imam. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Pada Sistem Pernapasan. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Purwokerto. http://repostory.ump.ac.id. Diakses pada tanggal 8 Desember 2017. Setiyawati, Ella Budi. 201. “ Perbedaan Pengaruh Latihan Batuk Efektif dan Postural Drainage pada Intervensi Nebulizer terhadap Penurunan Frekuensi sesak Napas pada
Asma
Bronchial”.
Skripsi.
Universitas
Aisayah
Yogyakarta.
http://repository.upi.edu. Diakses pada tanggal 26 Juli 2018. Wilkinson. J., and Ahem. N. R. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 9 Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. ECG. Jakarta.