Osteoporosis Dan Bone Mineral Density.docx

  • Uploaded by: NadestaYofianti
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Osteoporosis Dan Bone Mineral Density.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,497
  • Pages: 28
OSTEOPOROSIS DAN BONE MINERAL DENSITY ORTOPEDI

REFERAT

Penyusun Nadesta Yofianti 030.14.132

Pembimbing dr. David Idrial, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD BUDHI ASIH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 01 OKTOBER – 08 DESEMBER 2018

i

PENGESAHAN REFERAT Judul : OSTEOPOROSIS DAN BONE MINERAL DENSITY ORTOPEDI Nama mahasiswa: Nadesta Yofianti NIM : 030.14.132 Disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti Ujian Akhir Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Dokter pembimbing: Nama : dr. David Idrial, Sp.OT

i

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan nikmatNya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “OSTEOPOROSIS DAN BONE MINERAL DENSITY”. Penulis referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian akhir kepaniteraan klinik ilmu bedah di RSUD Budhi Asih. Penulis menyadari bahwa dalam penuisan referat ini masih banyak sekali kekurangan. Namun dengan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka referat ini dapat diselesaikan tepat waktu. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT, dan juga kepada dr. David Idrial, Sp.OT selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan juga memberikan bimbingan sehingga referat ini dapat diselesaikan. Akhir kata peneliti berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi pengembagan ilmu pengetahuan.

ii

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2 BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

iii

BAB I PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan gabungan dari kata osteo dan porous, osteo adalah tulang dan porous adalah berlubang-lubang atau keropos. Osteoporosis merupakan salah satu penyakit pada sistem muskuloskeletal yang paling sering terjadi dan disebut sebagai silent disease karena terjadi penurunan kepadatan tulang yang sangat progresif, namun tidak menampakkan gejala yang signifikan yang menyebabkan terjadinya patah tulang. (1) International

Osteoporosis

Foundations

(IOF)

mencatat

tiap

wanita

mempunyai risiko patah tulang akibat osteoporosis sebesar 40% dalam hidupnya dan pria sebesar 13%. Di Amerika Serikat, kejadian patah tulang akibat osteoporosis pada lansia mencapai lebih dari 1,2 juta setiap tahunnya. Sedangkan di Inggris sekitar 150.000-200.000 lansia mengalami patah tulang yang diakibatkan osteoporosis. Di Indonesia risiko osteoporosis pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki menurut prevalensi depkes tahun 2006 didapatkan bahwa perempuan yang berusia >50 tahun berpotensi terkena osteoporosis lebih tinggi dibandingkan dengan lakilaki.(1,2) Adapun beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis seperti usia, jenis kelamin, obesitas, penggunaan obat jangka panjang, faktor keturunan, menoupause dini dan kepadatan tulang. Osteoporosis dapat ditandai oleh dua hal yaitu densitas (kepadatan) tulang berkurang dan kualitas tulang menurun. BMD (Bone Mineral Density) merupakan pengukuran untuk menilai resiko terjadinya osteoporosis atau patah tulang. Menurut WHO, BMD dapat dibagi menjadi klasifikasi menurut derajat densitas mineral pada tulang. BMD merupakan gold standard dalam mendiagnosis osteoporosis. (1,7)

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tulang

Sepertinya halnya jaringan pengikat pada umumnya, jaringan tulang terdiri atas unsur-unsur : sel, substansi dasar, dan komponen fibriler. Tulang adalah jaringan yang tersusun oleh sel dan didominasi oleh matrix kolagen ekstraselular. Matriks tulang terdiri dari unsure anorganik matriks 50%, terdapat kalsium, fosfor, bikarbonat, magnesium, kalium, natrium. Ca dan P membentuk Kristal hidroksiapatit {Ca10(PO4)6(CH2)}. Unsur anorganik adalah kolagen tipe I dan substansi dasar yang amorf yaitu glikosaminoglikan (ikatan protrin-polisakarida) dan glikoprotein. Glikosaminoglikan tulang adalah kondrotin sulfat dan keratin sulfat. Struktur tulang Secara makroskopis terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa (jaringan berongga yang mengandung sumsum tulang dan pembuluh darah) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat). Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum), lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. Secara anatomi,

tulang

dibagi

menjadi

beberapa

bagian,

yaitu

tulang panjang

(contoh : femur), tulang pendek atau kuboid (contoh : tulang karpal), dan tulang pipih (contoh skapula).Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri dari matriks dan sel. Matriks tulang terdiri serat-serat kolagen dan protein non kolagen, sedangkan sel tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas, dan osteosit. a. Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses

formasi tulang (pembentuk tulang) yang berfungsi dalam sintesis matriks tulang dan mesekresikan kolagen tipe 1, proteoglikan dan glikoprotein. osteoblas mempunyai peranan penting pada mineralisasi matrik organic dan mengendapkan komponen anorganik matriks tulang. 2

b. Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab untuk resorpsi

tulang. Resorpsi tulang terjadi oleh kerja proteinase asam pada pusat ruang isolasi subosteoklas yang dikenal sebagai lakuna Howship. Membran plasma dari sel ini diinvaginasi membentuk ruffled border. Osteoklas mungkin berasal dari sel induk sum-sum tulang, yang juga menghasilkan makrofag-monosit. Perkembangan dan fungsi mereka dimodulasi oleh sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan interulekin-11 ( IL-11) c. Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam dalam matriks tulang.

Fungsi osteosit diduga berperan pada transmisi sinyal dan stimuli dari satu sel ke sel lainnya.

Secara Mikroskopis tulang terdiri dari 1. Sistem Havers (saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah, aliran limfe) 2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris). 3. Lacuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan– lempengan yang mengandung sel tulang). 4. Kanalikuli (memancar di antara lacuna dan tempat difusi makanan sampai ke osteon). Berfungsi untuk pertukaran nutrien, O2 dan metabolit antara osteosit dan kapilar darah(2)

3

.

2.1.2 Remodeling tulang Proses remodeling meliputi dua aktifitas yaitu proses pembongkaran tulang (bone resorpsion) yang diikuti oleh proses pembentukan tulang baru (bone formation), keseimbangan antara formasi dan resorpsi tulang. Keseimbangan ini dilaksanakan oleh osteoblas dan osteoklas pada unit remodeling tulang. Remodeling dibutuhkan untuk menjaga kekuatan tulang. Osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh hormon sistemik dan sitokin seperti faktor lokal lain (growth factor, protaglandin dan leukotrien, PTH, kalsitonin, estrogen dan 1,25- dihydrocyvitamin D3 [1,25-(OH)D3]). PTH bekerja pada osteoblas dan sel stroma, dimana mensekresi faktor soluble yang menstimulasi pembentukan osteoklas dan resorbsi tulang oleh osteoklas. Sintesis kolagen oleh osteoblas distimulasi oleh paparan pada PTH yang intermiten, sementara paparan terus menerus pada PTH menghambat sintesis kolagen. PTH berperan penting pada aktivasi enzim ginjal 1 & agr; hidroksilase yang menghidroksilat 25-(OH)D3 menjadi 1,25-(OH)2D3. Selain itu 4

osteoblas menghasilkan 2 signal kimiawi yang mempengaruhi aktivitas dan perkembangan osteoklas, yaitu RANK Liganf Dn Osteoprotegerin (OPG) selain itu, osteoblas juga menghasilkan M-CSF (Makrofas-Colony Stimulating Factor). Rank Ligand meningkatkan aktivitas osteoklas, Rank Ligand bersama dengan MCSF meningkat RANK (Receptors Activated NF-kB) yang terletak dipermukaan makrofag, dan kemudian menginduksi diferensiasi makrofag menjadi osteoklas dan mempertahankannya dengan cara menekan apoptosis. Osteopretegerin (OPG) memiliki efek yang berlawanan dengan Rank Ligand, yaitu menekan aktivitas osteoklas. OPG bekerja dengan mengikat RANK Ligand, sehingga tidak dapat berikatan dengan RANK reseptor. Hal tersebut menyebabkan pembentukan matriks karena osteoblas meningkat dan penghancuran oleh osteoklas terhambat (3,4,5)

5

2.2 Osteoporosis 2.2.1 Definisi Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Osteoporosis merupakan penyakit pada tulang yang ditandai dengan tulang yang menipis, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang. 2.2.2 Epidemiologi Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan merupakan problem pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik menjadi penting karena problem fraktur tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang jelas. Puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause adalah 1,4% per tahun Di Indonesia prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk wanita sebanyak 18-36% sedangkan pria 20-27%, untuk umur diatas 70 tahun untuk wanita 53,6% sedangkan pria 38%. (6,7) 2.2.3 Klasifikasi Osteoporosis dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. a.Osteoporosis primer Osteoporosis primer merupakan 80% dari seluruh kasus osteoporosis, terutama terjadi pada tulang belakang, femur, dan pergelangan tangan. Osteoporosis perimer dibagi lagi menjadi 2 yaitu Osteoporosis tipe 1 yang terjadi pada wanita post menopause dan osteoporosis tipe 2 atau osteoporosis senil yang dapat terjadi pada pria maupun wanita diatas 75 tahun yang disebut osteoporosis tipe 2. 6

b. Osteoporosis sekunder Jenis osteoporosis ini timbul akibat keadaan lain seperti akromegali, hiperparatiroidisme, DM tipe 1, terapi kortikosteroid lama, dan keganasan seperti myeloma multiple. c. Osteoporosis idiopatik Jenis osteoporosis ini tidak diketahui penyebabnya, ini biasanya ditemukan pada anak-anak, remaja, perempuan premeopause, dan jenis ini biasanya jarang dijumpai. 2.2.4 Faktor risiko a. Usia Faktor penuaan berkaitan erat dengan risiko oeteoporosis. Hal tersebut dipicu oleh menurunnya massa tulang seiring penuaan. Pada usia lanjut juga terjadi penurunan kadar kalsitriol (bentuk vitamin D yang aktif dalam tubuh) yang disebabkan berkurangnya intake vitamin D baik dalam diet, karena terjadi gangguan proses absorpsi. b. Jenis kelamin Osteoporosis dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, perempuan lebih berisiko terkena penyakit ini dikarenakan pada perempuan lebih berisiko terkena osteoporosis dimana terjadi penurunan kadar esterogen dalam tubuh perempuan. Hormon estrogen berfungsi untuk membantu mengatur pengangkutan kalsium kedalam tulang. Biasanya gejala akan timbul pada perempuan yang berusia antara 51- 75 tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Produksi hormon estrogen mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.

7

c. Riwayat Keluarga Riwayat keluarga juga memiliki peran terhadap terjadinya osteoporosis. Jika seseorang memiliki keluarga kandung (ibu, ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, anak laki-laki, anak perempuan) yang memiliki riwayat osteoporosis atau massa tulang yang rendah maka orang tersebut berisiko mengalami osteoporosis. d. Postur tubuh Semakin kecil rangka tubuh, semakin besar risiko seseorang mengalami osteoporosis. Pada perempuan, berat badan dapat mempengaruhi massa terutama melalui efeknya terhadap rangka tubuh. Pada orang yang memiliki kelebihan berat badan dapat menempatkan tekanan berat pada tulangnya. Pada tulang akan terjadi Peningkatan tekanan yang merangsang pembentukan tulang baru, sehingga massa tulang dapat ditingkatkan. e. Gizi Protein yang berlebihan dapat menurunkan kadar kalsium dalam plasma. Selain itu Kekurangan vitamin D dapat menyebabkan tulang lunak (osteomalasia), meningkatkan penurunan massa tulang, dan risiko patah tulang. Hal ini disebabkan karena vitamin D berperan untuk penyerapan kalsium dan fosfor dari saluran usus. f. Merokok Tembakau dapat meracuni tulang dan menurunkan kadar esterogen. Merokok juga dapat mempengaruhi berat badan. Biasanya, berat badan perokok lebih ringan dibanding bukan perokok. Berat badan yang ringan dan kadar esterogen yang rendah pada perempuan dapat berisiko mengalami menopause dini sehingga berisiko pula mengalami osteoporosis. Rokok juga berpengaruh buruk pada sel pembentuk tulang atau osteoblas.

8

g. Alkohol Konsumsi alkohol yang berlebihan mengganggu metabolisme vitamin D dalam tubuh dan menghambat penyerapan kalsium, sehingga berpengaruh menurunkan kepadatan tulang. h. Akvitas fisik Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan tulang. Banyak beraktivitas fisik dan berolah raga memicu pembentukan massa tulang dan otot, sehingga tulang tidak mudah mengalami pengeroposan di usia tua.1 i. Penggunaan obat-obatan jangka panjang Penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan osteoporosis. Obat-obat yang

harus

perhatikan

karena

berisiko

menyebabkan

osteoporosis

adalah

kortikosteroid. Kortikosteroid mempunyai efek ke tulang dengan inhibisi aktivitas osteoblas yang berarti proses formasi tulang oleh osteoblas juga terhambat. Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang menyebabkan defisit massa tulang dan terjadi penipisan trabekula tulang. 2.2.5 Patofisiologi Osteoporosis terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan antara proses resorpsi tulang dan formasi tulang, dimana secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas (sel resorpsi tulang) melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel formasi tulang). Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang. Hal ini dikarenakan umur osteoblas yang lebih pendek sedangkan umur osteoklas lebih lama. Selain itu estrogen berperan menurunkan produksi dari berbagai sitokin oleh bone marrow stem cells dan sel-sel mononuklear seperti IL-1, IL-6, dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja osteoklas.

9

Defisiensi kalsium dan vitamin D sering didapat pada orang tua disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan paparan sinar

matahari

yang

rendah.

Akibat

defisiensi

kalsium,

akan

timbul

hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Remodeling tulang diatur oleh beberapa hormon yang bersirkulasi, termasuk estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH), demikian juga faktor pertumbuhan yang diproduksi lokal seperti IGF-I dan IGF–II, transforming growth factor (TGF), parathyroid hormone-related peptide (PTHrP), ILs, prostaglandin, dan anggota superfamili tumor necrosis factor (TNF). Faktor-faktor ini secara primer memodulasi kecepatan dimana tempat remodeling baru teraktivasi, suatu proses yang menghasilkan resorpsi tulang oleh osteoklas, diikuti oleh suatu periode perbaikan selama jaringan tulang baru disintesis oleh osteoblas. Sitokin bertanggung jawab untuk komunikasi di antara osteoblas, sel-sel sumsum tulang lain, dan osteoklas telah diidentifikasi sebagai RANK ligan (reseptor aktivator dari NF-kappa-B; RANKL). RANKL, anggota dari keluarga TNF, disekresikan oleh oesteoblas dan sel-sel tertentu dari sistem imun. Reseptor osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK. Aktivasi RANK oleh RANKL merupakan suatu jalur final umum dalam perkembangan dan aktivasi osteoklas. Umpan humoral untuk RANKL, juga disekresikan oleh osteoblas, disebut sebagai osteoprotegerin. Modulasi prekrutan dan aktivitas osteoklas tampaknya berkaitan dengan interaksi antara tiga faktor ini. Pengaruh tambahan termasuk gizi (khususnya asupan kalsium) dan tingkat aktivitas fisik. Setelah usia 30 - 45 tahun, proses resorpsi dan formasi menjadi tidak seimbang, dan resorpsi melebih formasi. Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada usia yang berbeda dan bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda.(4,5,6)

10

2.2.6 Manifestasi Klinis Osteoporosis merupakan silent disease, dimana kehilangan massa tulang tidak disertai gejala dan keluhan. Seseorang tidak akan menyadari bahwa mereka mengalami osteoporosis hingga mereka jatuh, menabrak sesuatu, atau terpeleset dan mengalami patah tulang. Osteoporosis mengenai tulang di seluruh tubuh, tetapi paling sering menimbulkan gejala pada daerah-daerah yang menyanggah berat badan atau pada daerah yang mendapat tekanan (tulang vertebra dan kolumna femoris). Hal ini mengakibatkan berat badan pasien menurun dan terdapat lengkung vertebra abnormal (kifosis). Osteoporosis pada kolumna femoris sering terjadi fraktur patologik (yaitu fraktur akibat trauma ringan), yang sering terjadi pada pasien usia lanjut. Akan tetapi, ada beberapa tanda yang harus diwaspadai, antara lain seperti: a) Deformitas tulang, terutama terjadi pada tulang punggung atau yang disebut dengan dowager’s hump hal tersebut timbul jika fraktur didaerah punggung dikarenakan osteoporosis, deformitas tulang tersebut dapat membuat penekanan pada organ di dada dan perut yang membuat sulit bernapas dan pencernaan dapat terganggu. b) Nyeri dan memar yang terjadi setelah jatuh, dimana proses jatuh tanpa terjadi banyak tekanan atau trauma. Nyeri terjadi akibat kolaps vertebra terutama pada daerah dorsal atau lumbal. c) Sakit punggung yang datang tiba-tiba pada tulang punggung Hal yang perlu diwaspadai sebagai kemungkinan osteoporosis yaitu: • Patah tulang akibat trauma yang ringan. • Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang. • Gangguan otot (kaku dan lemah), dikarenakan aktivitas fisik menurun.

11

• Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas. 2.2.7 Diagnosis Diagnosis osteoporosis sulit dinilai, karena tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis lanjut. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan adanya nyeri akibat defisiensi estrogen. Rasa nyeri timbul setelah bekerja, memakai baju, pekerjaan rumah tangga, Keluhan umum pada osteoporosis adalah nyeri tulang kronik dan intermiten yang mungkin berhubungan dengan fraktur mikroskopik berulang, sebagaimana nyeri tulang di bagian lain, tinggi badan berkurang baik saat berdiri maupun duduk, dan berkurangnya kemampuan fisik, termasuk fungsi respirasi. Pasien dengan osteoporosis berat terlihat rapuh dan cenderung kifosis (dowager’s hump). Berdasarkan: 1) Anamnesis Anamnesis memegang peranan yang penting dalam evaluasi penderita osteoporosis.

Keluhan

utama

berupa

fraktur

dapat

mengarahkan

kepada

diagnosis,terutama lokasi terjadinya osteoporosis. Hal yang harus ditanyakan pada pasien yang dicurigai osteoporosis adalah Adanya fraktur pada trauma minimal, immobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, atau latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing. Riwayat keluarga dengan osteoporosis. Riwayat konsumsi obat-obatan jangka panjang seperti kosrtikosteroid, hormone tiroid, anti konvulsan, heparin, antacid yang mengandung alumunium, sodium-flourida dan bifosfonat etidronat. Riwayat konsumsi alcohol dan rokok, riwayat penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis, seperti penyakit ginjal, saluran pencernaan, hati, kelenjar endokrin. Riwayat haid, umur menarke dan menopause dan penggunaan obat kontrasepsi. 12

2) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik diharuskan mengukur tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui adanya penurunan tinggi badan. Selain itu juga dinilai gaya berjalan, deformitas

tulang, dan nyeri spinal. Pada penderita osteoporosis sering

mengalami kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga

didapatkan protuberansia abdomen,spasme otot paravertebra dan

kulit yang tipis (McConkey sign).

Dowager’s hump 3) Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium (bone turnover) Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat memberikan gambaran tentang proses dinamis penyerapan dan pembentukan tulang yang dapat menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang dengan jelas, tetapi biopsy tulang merupakan prosedur yang invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin. Sehingga pilihan untuk

13

menentukan bone turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi. Pada osteoporosis, petanda bone turnover dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita pascamenopause, untuk memperkirakan kejadian fraktur osteoporosis dan untuk memantau efikasi pengobatan. Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan membandingkan aktivitas formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila aktivitas pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas resorpsi tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis. Evaluasi biokimia ini dilakukan melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari. Petanda untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation) : a. Osteokalsin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi membantu proses mineralisasi tulang. b. Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang. Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption) : a. Deoxypyridinolin-Crosslink β yaitu protein penguat mekanik tulang yang dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika terjadi proses resorpsi/ penyerapan tulang. b. CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifik untuk tulang. Selain itu, pemeriksaan kadar CTx dan deoxypyridinolin dapat digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan terapi (sebelum pemeriksaan densitas mineral tulang berikutnya) Uji laboratorium dapat dillakukan untuk memeriksa komponen biokimiawi menurut osteoporosis sekunder, seperti hipertiroidisme (kadar TSH dan FT4), sindrom cushing (kortisol), dan mieloma (hrmatologi rutin). Kadar kalsium, fosfat, kalsitonin, dan vitamin D juga dapat diperiksa. 14

 Pemeriksaan Radiologi Gambaran radiologi yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran frame vertebra. Selain itu pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya saat itu dan risiko terjadinya patah tulang di masa yang akan datang. Untuk mendiagnosis osteoporosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan Densitas Massa Tulang atau Bone Mass Density (BMD). Pengukuran BMD dengan DXA merupakan gold standard dalam mendiagnosis osteoporosis. DXA menggunakan 2 energi radiasi sinar-X sehingga pengaruh jaringan lunak dapat dihilangkan dan dapat mengukur kepadatan tulang-tulang sentral seperti tulang belakang (L1-L4) dan femur proksimal, tulang-tulang perifer seperti lengan bawah dan juga dapat mengukur total body BMD. (7,8)

2.2.8 Tatalaksana a. non farmakologi Hal-hal yang harus diperhatikan dalam edukasi dan pencegahan, sebagai berikut : 1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit per hari, bersepeda maupun berenang. 2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun suplementasi. 3. Hindari merokok dan minum alkohol.

15

4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testesteron pada laki-laki dan menopause awal pada perempuan. 5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis. 6.Hindari mengangkat barang yang berat pada penderita yang sudah pasti osteoporosis 7. Hindari berbagai hal yang dapat membuat penderita terjatuh, seperti lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti hipertensi yang dapat menimbulkan hipotensi orthostatik. 8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang kurang terpajan sinar matahari atau penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Bila di duga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila kadar 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 12,5(OH)2D harus dipertimbangkan. 9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari). 10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glokokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin. 11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamasi yang aktif.

16

b. Farmakologi Osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat anti resorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak mempunyai efek anti resorpsi maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel osteoblas. Terapi farmakologi seharusnya diberikan pada wanita pascamenopause dan pria yang berusia >50 tahun dengan faktor risiko osteoporosis berikut: 1. Riwayat patah tulang panggul dan tulang belakang 2. Nilai pemeriksaan BMD menggunakan DXA pada tulang paha atau tulang belakang menunjukkan skor T –2,5 3. Massa tulang rendah, skor T tulang paha atau tulang belakang antara –1,0 dan –2,5, dan probabilitas patah tulang panggul dalam 10 tahun 3%. 1. Bisfosfonat Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat kerja 36 osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah osteoklas. Contoh: Alendronate 10 mg/hari, Risedronate memiliki sediaan oral dengan dosis 5 mg/hari, Ibandronate Dosis adalah 150 mg/bulan PO atau 3 mg per 3 bulan secara I.V, Zolendronate Dosisnya 5 mg setiap 12 bulan. Alendronate direkomendasikan sebagai terapi lini pertama karena kerja spektrum luasnya sebagai agen antifraktur. Efek samping bisfosfonat adalah refluks esofagitis, osteonekrosis hipokalsemia dan atrial fibrilasi. Oleh sebab itu, penderita yang memperoleh bisfosfonat harus diperhatikan asupan kalsiumnya

17

2. Kalsitonin obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakitpenyakit yang meningkatkan resorpsi tulang. Dosis yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200 IU pre hari. Kadar puncak dalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. 3. Kalsitriol Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun gagal ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan 1-2 kali per hari. 4. Kalsium Kalsium dapat diberikan pada laki-laki 1000mg/hari dan pada perempuan dapat diberikan 1500mg/hari. 5. Terapi sulih hormone merupakan terapi gold standard, tetapi penggunaannya perlu pengawasan dokter karena dapat menimbulkan terjadinya keganasan.(8,9) 2.2.9 Prognosis Prognosis untuk osteoporosis baik jika kehilangan tulang terdeteksi di tahap awal dan intervensi yang tepat dilakukan. Pasien dapat meningkatkan BMD dan mengurangi faktor risiko patah tulang dengan obat anti osteoporosis yang tepat. Selain itu, pasien dapat mengurangi risiko jatuh dengan berpartisipasi dalam rehabilitasi dan juga modifikasi lingkungan memburuknya keadaan dapat dicegah dengan memberikan manajemen yang nyeri yang tepat dan jika diindikasikan. Meskipun pasien osteoporosis memiliki tingkat kematian meningkat karena komplikasinya yaitu patah tulang, tetapi dengan sendirinya osteoporosis jarang

18

mematikan. Terlepas dari risiko kematian dan komplikasi lainnya, fraktur osteoporosis berhubungan dengan kualitas hidupnya.

19

2.3 Bone Mineral Densitas Bone mineral densitas (BMD) adalah pengukuran untuk menilai kepadatan tulang dan kualitas tulang yang menjadi resiko terjadinya osteoporosis atau patah tulang. untuk pengukuran mineral tulang dapat dilakukan dengan menggunakan dua skor, yaitu; 1. Skor T

Skor T dimana angka dari standar deviasi densitas tulang pasien bervariasi dari rata-rata densitas tulang pada subyek normal dengan jenis kelamin yang sama 2. Skor Z

Skor Z dimana angka dari standar deviasi densitas tulang pasien bervariasi dari rata-rata densitas tulang pada subyek dengan umur yang sama 2.3.1 Klasifikasi BMD menurut WHO 1. Normal bila densitas massa tulang > -1 SD rata-rata nilai densitas massa tulang orang dewasa muda (T-score) 2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-score. Osteopenia merupakan tanda akan terjadinya osteoporosis, dimana kepadatan tulang berkurang dan hilangnya massa tulang. 3. Osteoporosis bila densitas massa tulang <-2,5 SD T-score. 4. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur. (1)

20

2.3.2 Alat ukur BMD Alat ukur BMD disebut dengan bone densitometry, alat ini dipergunakan untuk mendeteksi apakah seseorang terkena osteoporosis dan fraktur; 1. DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) Menggunakan 2 energi radiasi sinar-X sehingga pengaruh jaringan lunak dapat dihilangkan dan dapat mengukur kepadatan tulang- tulang sentral body BMD,

Pemeriksaan DXA pusat memiliki tiga peran utama,yaitu dapat membantu mendiagnosis osteoporosis, penilaian risiko pasien patah tulang, dan pemantauan tatalaksana osteoporosis.

21

2. SXA ( Single Energy X-ray Absorptiometry) Metode ini untuk mengukur dibagian perifer, misalnya tumit dan pergelangan tangan. Alat ini menggunakan sumber Photon untuk menembus jaringan mineral tulang yang akan dihitung. 3. Quantitative Ultrasound (QUS) Metode ini menggunakan ultrasound dan untuk mengukur tulang tumit, kalkaneus dan jari-jari. Pengukuran menggunakan QUS tidak efektif dikarenakan bagian tumit yang diukur, dimana kepadatan tulang tumit lebih lambat dibandingkan tulang pinggul dan tulang belakang. 4. Quantitative Computed Tomography (QCT) 2.3.3 Indikasi BMD Menurut National Osteoporosis Foundation (NOF) merekomendasikan pengukuran densitas mineral tulang pada 4 keadaan: 1. Wanita dengan defisiensi estrogen (hipoestrogenia), untuk diagnosis pasti masa tulang rendah sehingga dapat diambil keputusan tentang penggunaan terapi sulih hormon. 2. Pasien dengan kelainan vertebra atau masa tulang rendah berdasarkan pemeriksaan

x-ray

(roentgenographic

osteopenia),

untuk

diagnosis

osteoporosis tulang belakang sehingga dapat diambil keputusan untuk evaluasi diagnostik selanjutnya dan terapi. 3. Pasien yang mendapatkan kortikosteroid jangka lama, untuk diagnosis masa tulang rendah sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai. 4. Pasien dengan hiperparatiroid primer asimptomatik, untuk diagnosis masa tulang rendah sehingga dapat diidentifikasi mereka yang berisiko untuk mendapat penyakit skeletal berat yang merupakan kandidat untuk intervensi bedah. (9,10,11) 22

BAB III KESIMPULAN Osteoporosis merupakan penyakit pada tulang yang ditandai dengan tulang yang menipis, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang. Osteoporosis dibagi dua, yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang sangat berperan adalah pemeriksaan massa tulang yang dapat dinilai dengan tiga cara yaitu, kuantitatif, semi kuantitatif, dan kualitatif. Osteoporosis dapat ditatalaksana secara farmakologik dan non-farmakologik. Prognosis osteoporosis baik jika kehilangan massa tulang terdeteksi sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan

23

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Prevention and management of osteoporosis: report of a WHO scientific group WHO technical report series;921.2003.WHO 2. Roland Baron R. Chapter 1: Anatomy and ultrasturcture of bone histologenesis, growth and remodelling. Disease of bone and mineral metabolisme. 3. Setiowati, Anies. (2012). Histologi Tulang. Retrived November 1, 2014, from http://ikor.unnes.ac.id/wpcontent/uploads/2012/05/HISTOLOGITULANG .pdf 4. Sherwood L, Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. EGC. 2009 5. Buckwalter J, Einhorn T, Simon S. Orthopaedic Basic Science Biology and Biomechanics of the Musculosceletal System.american academy of ortopaedic surgeons. 2000.Ed 2 6. Rosen C. Chapter 11: The epidemiology and pathogenesis of osteoporosis. In: Arnold A. editor. Disease of bone and mineral metabolism 7. Fatmah. Osteoporosis dan Faktor Risiko pada Lansia. Media Medika Indonesia, 2008:Volume 1 Nomor 4: 1–13. 8. Hough, S., Ascott Evan B., Brown S., Cassim B., De Villiers T., Lipschitz S., et al. NOFSA Guideline for the Diagnosis and Management of Osteoporosis. South Africa: NOFSA; 2010 9. Sweet, M. G., Jon M. S., Michael P. J., dan Sim S. G. Diagnosis and Treatment of Osteoporosis. Am Fam Physician. 2009;79(3):193-200 10. Clinician’s guide to prevention and treatment of osteoporosis. Washington: National Osteoporosis Foundation; 2010 11. National Osteoporosis Guideline Group. Osteoporosis clinical guideline for prevention and treatment. Executive summary.

24

Related Documents

Osteoporosis
May 2020 35
Osteoporosis
June 2020 36
Osteoporosis
November 2019 54
Osteoporosis
November 2019 46

More Documents from ""